• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1442 H/2021 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1442 H/2021 M"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

“IZIN POLIGAMI SETELAH PERNIKAHAN SIRRI (STUDI PUTUSAN NOMOR 0110/PDT.G/2015/PA.LBT)”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

LUTHFI ARDIANSYAH NIM : 11150440000146

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1442 H/2021 M

(2)

i

LEMBAR PERSETUJUAN

IZIN POLIGAMI SETELAH PERNIKAHAN SIRRI (STUDI PUTUSAN NOMOR 0110/PDT.G/2015/PA.LBT)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Luthfi Ardiansyah NIM. 11150440000146

Dibawah Bimbingan

Drs. H. Wahyu Widiana, M.A.

NIP. 195209118978031003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Izin Poligami Setelah Pernikahan Sirri (Studi Putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Juni 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 28 Juni 2021 Mengesahkan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H.

NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag. (………...)

NIP. 197602132003122001

Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, MA. (………...) NIP. 197205312007101002

Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, M.A. (………...) NIP. 195209118978031003

Penguji I : Dr. Azizah, M.A. (………...)

NIP. 196304091989022001

Penguji II : Ahmad Chairul Hadi, MA. (………...) NIP. 197205312007101002

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Juni 2021

Luthfi Ardiansyah 11150440000146

(5)

iv

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.

Penelitian ini untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam hal penerapan izin poligami setelah pernikahan siri putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt ditinjau dari Hukum Positif dan Hukum Islam.

Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kualitatif.

Sumber data yang diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Limboto, pendekatan yang penulis gunakan normatif doktriner, Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi Pustaka. Metode menganalisisnya menggunakan metode analisis deskriftif.

Pada putusan nomor 0110/Pdt.G/2015/Pa. Lbt, dinyatakan dalam pertimbangannya, Hakim menolak untuk memberikan izin poligami dikarenakan alasan Pemohon untuk mengajukan Poligami tidak kuat. Dalam putusan tersebut Pemohon mengambil alasan sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 Ayat (2), angka 3, yaitu “istri tidak dapat melahirkan keturunan” bukan mengambil alasan pada angka 1, yaitu “istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri”.

Kemudian dalam pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya, Kekhawatiran Pemohon akan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar hukum Islam tidak berdasar, sebab pada kenyataanya mereka sudah menikah 3 bulan yang lalu, secara siri, tanpa pencatatan.

Penolakan Hakim terhadap izin poligami jika ditinjau dari hukum Islam (fiqh) telah disepakati oleh para ulama bahwasannya syarat untuk melangsungkan poligami adalah jumlah istri tidak boleh melebihi dari empat, suami harus berlaku adil dan mampu mencukupi nafkah bagi keluarganya. Dengan terpenuhi syarat tersebut, putusan nomor 0110/Pdt.G/2015/Pa.Lbt tidak sejalan dengan kaidah fiqh dan pendapat para ulama. Demikian pula, kalau dilihat dari segi kemaslahatan, pernikahan kedua ini nampak lebih manfaat bagi semuanya, sebab penghasilan pemohon dianggap cukup untuk berpoligami, sehari-hari pemohon bekerja dan tinggal di satu kota dengan calon istri kedua, jauh dari tempat tinggal termohon, dan termohon memberi izin terhadap pemohon untuk berpoligami. Majelis Hakim dalam kasus ini hanya melihat dari segi hukum acaranya saja, tidak melihat dari hukum Islam dan kemaslahatan.

Kata Kunci : Poligami, Nikah Sirri

Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, M.A.

Daftar Pustaka : 1978 s.d 2019

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam dan Tuhan di atas segala kebesaran yang ada. Dengan kalimat “Laailaha illallah” kita hidup dan kita dimatikan semoga tetap dengan prinsip menjaga iman serta tauhid kita kepada Allah SWT. Atas dasar rahmat-Nya lah yang selalu menaungi setiap hamba- Nya tanpa pilih kasih, tanpa membedakan satu sama lain dan dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya, sehingga penulis mampu merasakan nikmat hidup dan nikmat sehat serta nikmat lainnya, nikmat yang tiada tara. Dan dari sebab- sebab itulah, penulis pun akhirnya mampu menyelesaikan tulisan ini sebagai tugas akhir.

Tidak lupa dan tidak akan pernah bisa putus shalawat serta salam kita kepada Nabi junjungan umat, yang selalu menegakkan kalimat Allah dalam setiap tutur kata, tindakan dan ketetapannya, yang selalu kita harap penuh syafaat darinya dan selalu kita rindu untuk berjumpa dengannya, tidak lain dan tidak bukan Baginda Nabi Besar nan Agung Muhammad SAW. Atas dasar peran besar beliaulah, Islam selain merupakan agama juga menjadi peran peradaban dan sejarah yang besar yang bisa membawa dan menuntun umatnya kedalam jalan yang benar-benar lurus dan penuh keridhoan dari-Nya. Jalan yang indah dan penuh perdamaian serta kesejahteraan bagi yang mampu meresapi nilai-nilainya.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari do’a, dukungan, dan bantuan berbagai pihak, baik secara materi maupun moril. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih banyak kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019- 2023.

(7)

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Mesraini, S.H, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Yang mana selalu mendorong penulis dengan nasihat, motivasi dan bantuannyalah penulis selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ahmad Chairul Hadi, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga. Yang selalu memberikan pelayanan administratif bagi penulis untuk menyelesaikan berbagai persoalan administrasi.

5. Dr. Azizah, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas Syariah dan Hukum tercinta ini, yang telah memberikan masukan, kritikan, dan saran-saran yang bermanfaat kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Drs. H. Wahyu Widiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran di tengah kesibukan yang beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan yang sangat positif untuk perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi penulis karena telah dibimbing oleh orang hebat seperti beliau.

7. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional.

8. Keluarga Besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) dan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

viii

9. Kepada yang teristimewa kedua orang tua, yakni Ayahanda Zainudin yang telah memberi semangat kepada penulis dan mendidik penulis hingga saat ini dan Ibunda tercinta Maziah Mahdi yang tidak pernah menyerah memberikan dukungan moril dan materil hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini, dan kakakku Nabil Fairuza, S.Pd. beserta istri, Kak Ersi Novita, S.Pd. serta adik-adik Fikri Tamami, Naila Hasna Azzahra dan juga keponakan Nadhira Azmi Falisha yang terus memberikan semangat dan doa kepada penulis.

10. Sahabat terbaik Nabila Noor Fathima yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan Moch. Khoeru Ilham Rosyadi, Luthfi Zakaria Mubarok, Elliani Fikriyah, Fiqhil Wathon, Vania Utami, Windia Indri, Rizky Adams, Adon, Imam Muhtar, Helmi, Ei, Maulvi, Rapid, Rahman yang banyak sekali membantu dalam proses penulisan skripsi dan yang selama merupakan teman bertukar pikiran dan teman berdiskusi penulis penulis menyadari peulisan skripsi ini masih perlu perbaikan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta dicatat menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Amin.

Jakarta, 28 Juni 2021 Penulis

Luthfi Ardiansyah

(9)

ix

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

B Be

ت

T Te

ث

Ts te dan es

ج

J Je

ح

H ha dengan garis

bawah

خ

Kh ka dan ha

د

D De

ذ

Dz de dan zet

ر

R Er

ز

Z Zet

س

S Es

ش

Sy es dan ye

ص

S es dengan garis

bawah

ض

D de dengan garis

bawah

ط T te dengan garis

bawah

ظ Z zet dengan garis

bawah

(10)

x

ع „ koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ؼ F Ef

ؽ Q Qo

ؾ K Ka

ؿ L El

ـ M Em

ف N En

ك W We

ق H Ha

ء ˋ Apostrop

ي Y Ya

b. Vocal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

______ A Fathah

_______ I Kasrah

________ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:

(11)

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ي Ai a dan i

ك Au a dan u

c. Vocal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

اَـــــ

 a dengan topi di

atas

يِـــــ Î i dengan topi di

atas

وُـــــ Û u dengan topi di

atas

d. Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ؿا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qomariyyah. Misalnya: داهتجلإا = al-ijtihâd, ةصخرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةعفشلا = al- syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah.

f. Ta Marbutah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

“t” (te) (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara

(12)

xii

1

يعة شر

syarî‟ah

2

ة لامي سلإا ة ريع الش

al-syarî‟ah al-islâmiyyah 3

ب ذلاى ام رنة مقا

muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh: يراخبلا = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri. Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara

1.

ت را وظ لحما ح بتي رة رك ض ال

al-darûrah tubîhu al- mahzûrât

2.

ي لام سلإا د صا اقلات

al-iqtisâd al-islâmî

3.

و فق ال ؿ وصأ

usûl al-fiqh

4.

ة حبلاإ ا ياء شلأا في ل صلأا

al-„asl fî al-asyya al-

ibâhah

5.

ة رسل لما حة لصلما

al-maslahah al-

mursalah

(13)

xiii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

F. Review Studi Terdahulu ... 7

G. Metode Penelitian... 8

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis Penelitian ... 9

3. Sumber Data ... 9

4. Metode Pengumpulan Data ... 9

5. Analisa Data ... 9

6. Teknik Penulisan ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KONSEP POLIGAMI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Konsep Poligami Menurut Hukum Positif ... 12

1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Positif ... 12

2. Dasar dan Alasan Poligami Menurut Hukum Positif ... 13

3. Syarat Poligami Menurut Hukum Positif ... 15

(14)

xiv

4. Prosedur Poligami Menurut Hukum Positif ... 17

5. Perkawinan Poligami yang Tercatat ... 20

B. Konsep Poligami Menurut Hukum Islam ... 26

1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Islam ... 26

2. Dasar Hukum Poligami Menurut Hukum Islam ... 26

3. Alasan Poligami Menurut Hukum Islam ... 29

4. Syarat Poligami Menurut Hukum Islam ... 32

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA LIMBOTO NOMOR 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt YANG MENOLAK IZIN POLIGAMI KARENA NIKAH SIRRI A. Posisi Kasus ... 36

B. Putusan Hakim dan Pertimbangannya ... 40

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS PUTUSAN A. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Limboto ditinjau dari Hukum Positif ... 42

B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Limboto ditinjau dari Hukum Islam ... 46

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 52

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN – LAMPIRAN... 59

(15)

1 A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat disepanjang masa, yang pada hakekatnya merupakan sistem Aqidah dan tata Kaidah yang mengatur segala kehidupan manusia dalam berbagai hubungan baik dengan Pencipta maupun dengan sesama, seperti hubungan dalam pernikahan.

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya.1 Pernikahan merupakan aktor paling kuat atau tembok paling kokoh yang mampu menjaga manusia dari ketergelincirnya ke lembah dosa dan jurang kehinaan. Allah Swt menjadikan nikah sebagai anugerah bagi hamba-hambanya yang mukmin serta menjadi benteng tempat berlindung dari godaan setan yang terkutuk.2

Pernikahan disebut juga dengan perkawinan, perkawinan termasuk sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt sebagai jalan hidup bagi makhluknya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya masing-masing.3

Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah: “Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

1 A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-&, h.48

2 Muhammad at-Tihami, Merawat Cinta Kasih Menurut Syariat Islam, (Surabaya: Ampel Mulia Surabaya, 2004), cet. Ke-2, h. 1

3 M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), Ed.1, h. 6

(16)

2

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.4

Pada dasarnya asas dalam pernikahan adalah monogami, dimana seorang suami tanpa ada alasan yang jelas dan rasional hanya diperbolehkan beristri satu. Namun pada kenyataannya tidak sedikit terjadi di masyarakat, seorang suami memiliki lebih dari seorang istri/poligami.5

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada dasarnya menganut asas monogami, tetapi dalam pelaksanaannya tidak mutlak dan bukan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Undang-undang itu masih tetap mentolerir dan memberi peluang kepada laki-laki untuk berpoligami asalkan syaratnya terpenuhi.

Dalam Islam memiliki istri lebih dari seorang disaat bersamaan (poligami) tidak dilarang, bahkan diperbolehkan tetapi hal tersebut dibatasi dengan syarat-syarat tertentu dan harus melalui izin pengadilan.6

Poligami bukan merupakan suatu kewajiban maupun anjuran, namun merupakan suatu pilihan dalam keadaan tertentu yang diperbolehkan demi kelangsungan ikatan perkawinan.

Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat pologami, dalam mendapatkan izin dari pengadilan agama adalah:

1. Adanya alasan untuk berpoligami:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan 2. Syarat-syarat suami untuk berpoligami

4Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), Cet. Ke-1, h. 2

5 Team Media, Kompilasi hukum Islam, (Surabaya: Arkola), h. 120

6 Tihami dkk, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, h. 358

(17)

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.7

Persyaratan untuk berpoligami memang terasa berat untuk dipenuhi, hal itu bertujuan karena poligami bukanlah perbuatan sembarangan, tetapi terkait masalah keharmonisan keluarga dari istri tua maupun muda yang harus dilindungi kesemuanya. Maka tidak sembarangan bagi laki-laki bisa melakukan poligami.

Namun dalam berbagai keadaan tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga, kemandulan seorang wanita atau penyakit menahun yang diidapnya, serta wanita yang kehilangan daya tarik atau mental yang akan lebih banyak menyeret terjadinya perceraian dari pada poligami. Sudah sepatutnya istri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak untuk berpoligami sebagai bukti tanggung jawabnya dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga.

Apabila diperhatikan alasan izin poligami diatas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah Kompilasi Hukum Islam disebut sakinah, mawaddah, warahmah) berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Apabila ketiga alasan yang disebutkan diatas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan menciptakan keluarga bahagia.8

Dipengadilan agama Limboto, terdapat sebuah kasus tentang izin poligami, terdapat dalam putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt.

dimana seorang suami melakukan izin poligami. Dalam perkara ini

7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1)

8 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47

(18)

4

pemohon izin poligami (suami) mengajukan permohonan menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan, dengan alasan sebagai berikut:

Bahwa istri pemohon sudah tidak bisa lagi memberikan keturunan karena diputuskan dokter, apabila melahirkan lagi maka akan beresiko tinggi sehingga kandungannya sudah diikat. Tempat kerja pemohon diluar daerah, sementara istri dan anak-anak tidak memungkinkan pemohon ajak tinggal disana. Selain itu pemohon takut menyalahi norma-norma agama dan hukum, calon istri kedua pemohon tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan menurut Undang-undang, pemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya.

Dalam keterangannya termohon (istri), tidak keberatan pemohon menikah lagi dan menyetujui perempuan yang akan dijadikan istri kedua pemohon.

Dalam keterangan calon istri kedua pemohon, dirinya telah hadir dipersidangan, dan menyatakan bersedia menjadi istri kedua pemohon serta bersedia menanggung resiko dari instansi tempatnya bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)

Dalam keterangan alat bukti; P2 sampai dengan P13:

1. Bahwa Pemohon akan sanggup berlaku adil;

2. Bahwa Pemohon sanggup membiayai kebutuhan istri-istri dan anak- anaknya;

3. Bahwa Termohon memiliki harta bersama berupa sebuah rumah beserta sebidang tanah dan satu unit kendaraan bentor;

4. Bahwa Pemohon mempunyai penghasilan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulan;

5. Bahwa pemohon mempunyai pekerjaan/usaha pakaian jadi;

6. Bahwa calon istri kedua pemohon bersedia untuk menjadi istri kedua dari pemohon dan bersedia menanggung resiko dari instansi tempatnya bekerja;

7. Bahwa calon istri kedua Pemohon telah bercerai dengan suaminya (janda);

(19)

8. Bahwa Pemohon berdomisili di Kabupaten Gorontalo;

9. Bahw Termohon berdomisili di Kabupaten Gorontalo;

10. Bahwa calon istri kedua pemohon berdomisili di Kabupaten Konawe;

Dalam keterangan dua orang saksi menerangkan bahwa pemohon dengan calon istrinya telah melangsungkan perkawinan, sebelum mengajukan izin poligami ke Pengadilan;

Kemudian dalam pertimbangan Majelis Hakim, permohonan izin poligami oleh Pemohon tidak dapat diterima dengan alasan bahwa alasan pokok Pemohon bukanlah alasan poligami sebab Pemohon dan Termohon telah dikarunia 5 (lima) orang anak, selain itu apabila seorang pria/ laki- laki yang akan mempersunting wanita sebagai istri kedua, ketiga atau keempat harus wanita yang tidak pernah dinikahi sebelumnya, akan tetapi calon istri kedua Pemohon tersebut adalah wanita yang telah dinikahi Pemohon kurang lebih 3 (tiga) bulan yang lalu, maka dalil Pemohon yang menyatakan takut menyalahi norma-norma agama dan hukum, patut dinilai bahwa alasan Pemohon untuk berpoligami karena telah terlanjur menjalin “ikatan” dengan calon istri kedua pemohon. Dengan demikian permohonan Pemohon untuk berpoligami tersebut patut ditolak.

Berdasarkan uraian diatas, perkara izin poligami tersebut menarik Penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut bagaimana pertimbangan hakim menolak izin poligami yang nampaknya sudah memenuhi alasan dan syarat tersebut kemudian ditolak oleh majelis hakim. Maka, penulis memberi judul dalam tulisan ini “Izin Poligami Setelah Pernikahan Siri (Studi Putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt)”

B. Identifikasi Masalah

Dari beberapa permasalahan yang ditemukan dalam judul ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penerapan izin poligami setelah pernikahan siri dalam Putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt?

(20)

6

2. Bagaimana penerapan izin poligami setelah pernikahan siri menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam?

3. Bagaimana penerapan izin poligami setelah pernikahan siri menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

4. Bagaimana penerapan izin poligami setelah pernikahan siri dipandang dari teori Maqasid Syariah?

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan pengadilan agama di Indonesia, maka penulis disini membatasi dan berfokus pada putusan Pengadilan Agama Limboto, Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt

D. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penerapan izin poligami setelah pernikahan siri pada putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt ditinjau dari Hukum Positif?

b. Bagaimana pertimbangan hakim pada putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt ditinjau dari Hukum Islam?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam hal penerapan izin poligami setelah pernikahan siri putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt ditinjau dari Hukum Positif

b. Untuk mengetahui putusan hakim pada putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt ditinjau dari Hukum Islam

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum perkawinan pada umumnya dan konsep poligami setelah pernikahan siri pada khususnya.

(21)

b. Menjadi bahan masukan bagi para praktisi hukum, terutama para hakim dalam memutus perkara izin poligami setelah terjadi pernikahan siri.

c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan izin poligami.

F. Review Studi Terdahulu

Dari hasil penelusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan izin poligami, ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Baik itu secara tematik serta objek kajian yang diteliti. Adapun kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya:

1) Noman Opotu, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (2016) dalam penelitian skripsinya berjudul: Analisis Yuridis Terhadap Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Limboto (Studi kasus terhadap Perkara Nomor 143/Pdt.G/2013/PA Lbt dan Perkara Nomor 433/Pdt.G/2013/PA Lbt). Kesimpulan:

Menganalisis 2 putusan yang berbeda dengan perkara yang berbeda namun sama-sama tentang izin poligami. Dan dalam putusan tersebut masing-masing mengabulkan serta menolak izin poligami.

2) Sakinah Himmatul Ulya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember (2016) dalam penelitian skripsinya berjudul: Permohonan Izin Poligami Pegawai Negeri Sipil Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima (Studi Penetapan Nomor 1134/Pdt.G/2013/PA.Bgl).

Kesimpulan: Menganalisis dasar pertimbangan hukum hakim yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima dengan ketentuan hukum yang berlaku sudah sesuai, yaitu berdasarkan pasal 125 ayat 1 HIR tentang ketidak hadiran termohon/ kuasanya/ wakilnya dalam persidangan yang telah dipanggil secara resmi dan patut. Ketidak hadiran termohon bukan karena kehendalnya melainkan permohonan pemohon yang kabur (obscuurlibel) terkait ketidakjelasan alamat

(22)

8

termohon dalam permohonannya serta pemohon dalam mengajukan permohonan tidak bersungguh-sungguh.

3) Dani Tirtana, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2008) dalam penelitian skripsinya berjudul:

Analisis Yuridis Izin Poligami dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kesimpulan: Membahas mengenai keputusan hakim yang tidak sesuai Undang-undang pada syarat alternatif dan syarat Kumulatif.

4) Muhammad Nurrizal Fanani, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (2017) dalam penelitian skripsinya berjudul: Pemberian Izin Poligami oleh Pengadilan Agama Kudus Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama di Kabupaten Kudus bahwa sesungguhnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperbolehkan adanya poligami, namun beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang suami terlebih dahulu sehingga terkadang syarat-syarat yang ada ini dapat memberatkan dan menjadi hambatan dalam pelaksanaan poligami.

Dari keempat karya studi terdahulu diatas, tampak bahwa apa yang penulis bahas belum dikaji oleh para peneliti terdahulu. Pada penelitian ini penulis menganalisis pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menolak permohonan izin poligami berdasarkan hukum positif maupun hukum Islam.

G. Metode Penelitian

Dalam pembahasan penelitian ini, diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.

Adapun metode yang penulis gunakan, yaitu:

(23)

1. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif doktriner yaitu pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Hukum Islam9, dan sejumlah peraturan perkawinan di Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan Putusan Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.

3. Sumber Data

a. Data Primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan penetapan penolakan izin poligami yaitu salinan Putusan Nomor:

0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Data sekunder yaitu buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber.

Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku- buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.

5. Analisa Data

Data yang didapatkan oleh penulis yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan, kemudian diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu usaha mengumpulkan data

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, ( Jakarta, 2011), h. 35

(24)

10

berdasarkan kategori tertentu. Selanjutnya penulis melakukan analisis data dengan metode content analysis yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 Bab, dimana masing-masing Bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab Kedua, kajian kepustakaan yang dibahas dalam bab ini adalah ketentuan poligami dan teori Maqasid Syariah.

Bab Ketiga, menjelaskan mengenai penetapan hakim dalam penolakan izin poligami dalam perkara Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt yang meliputi duduk perkara, pertimbangan Hakim, dan Penetapan Hakim.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu analisis pertimbangan hakim dalam penetapan penolakan izin poligami dalam perkara Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt. dalam hal penentuan izin poligami setelah nikah siri dan relevansinya dengan teori Maqasid syariah.

(25)

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

(26)

12 BAB II

KONSEP POLIGAMI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Konsep Poligami Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Positif

Secara Etimologi kata-kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu polus yang artinya banyak dan gamein yang artinya kawin.10 Sedangkan secara Terminologi, poligami yaitu seorang laki- laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang.11

Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan di mana salah satu pihak mempunyai atau menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.12 Berdasarkan hal tersebut, poligami mempunyai dua kemungkinan makna yaitu: Pertama, seorang laki- laki menikah dengan banyak perempuan. Kedua, seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri.13 Hanya saja sejak berkembangnya zaman pengertian itu mengalami perubahan sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki yang memiliki banyak istri, sedangkan poligini sendiri tak lazim digunakan, khususnya di Indonesia.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3, poligami dapat diartikan ikatan perkawinan di

10 Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, tth), h. 13.

11 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 129.

12 Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. VI, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009), h. 364.

13 Rijal Imanullah, Poligami dalam Hukum Islam Indonesia, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XV, No. I (Juni 2016), h. 108

(27)

mana suami memiliki istri leibih dari seorang.14 Dalam Peratutran Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diamandemen menjadi Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dalam Pasal 4 poligami dapat diartikan pegawai negeri sipil pria yang memiliki istri lebih dari seorang.15 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa poligami yaitu beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang. Sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.16

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa poligami adalah suatu perkawinan dimana seorang laki-laki yang menikahi lebih dari seorang wanita pada waktu yang bersamaan. Akan tetapi, hanya dibatasi sampai dengan empat orang wanita.

2. Dasar dan Alasan Poligami Menurut Hukum Positif

Landasan hukum yang dianut oleh Indonesia sekarang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami diatur pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.17

14 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 523.

15 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 685.

16 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), h. 126.

17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

(28)

14

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin. Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (2):

Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.18

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (sakinnah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).19 Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, tentu hal tersebut akan mengganggu kelangsungan hidup rumah tangga yang mereka jalani. Kemudian jika kebutuhan seksual tidak terpenuhi, hal ini akan menjadi masalah bagi pasangan suami istri tersebut. Demikian juga, apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa untuk disembuhkan.

18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

19 Zainuddin Ali, Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.

(29)

Akan halnya alasan yang ketiga, tidak setiap pasangan suami istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka terkadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan masuk akal. Karena keluarga tanpa ada anak, tidaklah lengkap.20

Adapun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang mempersulit terjadinya poligami memberikan pemahaman bahwa perempuan atau istri diangkat derajatnya agar tidak diperlakukan semena-mena oleh laki-laki. Oleh karena itu, suami yang ingin berpoligami harus meminta persetujuan kepada istri dan harus dinyatakan di depan majelis hakim di Pengadilan.

3. Syarat Poligami Menurut Hukum Positif

Selain harus memiliki alasan-alasan, seorang suami harus memenuhi syarat-syarat bila ingin berpoligami yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan-ketentuan tersebut untuk mencegah kemungkinan timbulnya berbagai akibat negatif dalam kehidupan rumah tangga, baik dari segi mental, psikologi sosial maupun ekonomi akibatnya merugikan seluruh anggota keluarga dan tentu tidak sejalan dengan hakikat dan tujuan perkawinan.21 Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

Dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:

20 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 172.

21 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 172.

(30)

16

a. Adanya persetujuan dari istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri- istri mereka.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami.22 Artinya syarat istri tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat atau sakit yang tidak bisa disembuhkan dan istri mandul merupakan syarat yang harus terpenuhi salah satu saja, tidak harus semuanya. Sedangkan dalam pasal 5 adalah kumulatif, dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami tersebut diatur dalam pasal 55 yaitu:

1) Beristri lebih satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.

2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.23

Selanjutnya, dalam pasal 56 juga diuraikan tentang prosedur permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama sebagai berikut:

1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, BAB 1 Pasal 4 dan 5

23 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 55

(31)

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam BAB VII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan Hukum.24

Dalam pasal 57 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.25

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 59 dinyatakan dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.26

4. Prosedur Poligami Menurut Hukum Positif

Pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, namun tetap terbuka bagi yang ingin berpoligami dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa: (1), Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang

24 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 55

25 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 57

26 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 59.

(32)

18

pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami; (2), Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.27

Pengajuan permohonan izin seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.28

Adapun prosedur yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun1975 adalah sebagai berikut:

Pasal 40:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.29

Pasal 41:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.

- Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

- Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 3.

28 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 56.

29 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 40.

(33)

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan;

- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat kerja; atau

- Surat keterangan pajak penghasilan; atau

- Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.30

Kemudian tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:

1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.

2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat- lambatnya 30 (Tiga Puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.31

Setelah Pengadilan melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42, Apabila pengadilan berpendapat setelah menelaah dan mengkaji dan mencermati dengan jeli dan teliti, serta dan dianggap sudah cukup beralasan untuk memberikan izin berpoligami, maka Pengadilan dapat mengeluarkan surat izin berpoligami. Hal ini merujuk kepada PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 43,

“Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon

30 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 41.

31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 42.

(34)

20

untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.32

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.33

Prosedur-prosedur hukum yang telah disebutkan di atas haruslah dilalui oleh seorang suami yang akan berpoligami. Tanpa prosedur di atas Pengadilan Agama tidak akan mengesahkan perkawinan poligami suami dengan istri kedua dan seterusnya.

5. Perkawinan Poligami yang Tercatat

Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika dilangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.34

Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. Juga oleh pegawai perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.35

32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 43.

33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 44.

34 Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta:

Graha Cipta, 2005), Cet, ke-1, h. 36.

35 Arso Sostroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, “Hukum Perkawinan Indonesia”, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1978), hal. 55-56.

(35)

Untuk hukum yang berlaku di Indonesia pencatatan perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.36

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan ketentuan- ketentuan pelaksanaannya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Bagi yang Beragama Islam. Ketentuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan putusan/penetapan izin berpoligami, maupun oleh pejabat pencatat nikah dalam menyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.37

Dalam pasal 8 ayat 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 mengatur mengenai surat izin bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus membawa surat izin dari Pengadilan Agama.38

Pasal 1 ayat 2 poin (h) izin beristri lebih dari seorang dari Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa izin beristri lebih dari seorang.39

36 Jaih Mubarok, “Modernisasi Hukum Islam”, (Bandung: Pustaka Bani Quraysi, 2005), hal. 76.

37 Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama, (Bandung; CV. Armico, 1984), h. 67

38 Permenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 8 Ayat 2).

39 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 1 Ayat 2 poin h)

(36)

22

Pasal 14 ayat 1 mengatur permohonan secara tertulis. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, dengan membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain yang diperlukan.

Pasal 14 ayat 2, Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal- hal sebagaimana yang diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah No.

9 Tahun 1975.

Pasal 14 ayat 3, Pengadilan Agama dalam melakukan pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Setelah melakukan pemeriksaan, apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup beralasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang kepada pemohon yang bersangkutan. 40

Pegawai Pencatat Nikah atau P3 NTR dilarang melangsungkan, membantu, melangsungkan, mencatat, atau menyaksikan pernikahan sebelum dipenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan sebagaimana diatur dalam pasal 8, 12, 13, dan 14 Peraturan ini.41

Berdasarkan ketentuan pencatatan perkawinan poligami di atas, seorang yang ingin beristri lebih dari seorang diharuskan mengikuti proses serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

40 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 14)

41 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 15)

(37)

Jika tidak, maka izin untuk beristri lebih dari seorang dapat ditolak oleh Pengadilan Agama serta Pegawai Pencatat Nikah.

Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, namun sampai saat ini masih ada kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim belum mengetahui keberadaan aturan tersebut. Ataupun masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fiqh tradisional.

Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu hanya merepotkan saja. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan secara sirri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan.42

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sirri secara etimologi berasal dari kata sirrun yang artinya rahasia, sunyi, diam, tidak ditampakkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, dan tidak memperoleh pengakuan secara hukum, karena tidak pernah didaftarkan pada catatan sipil.43

Nikah sirri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah nikah menurut hukum

42 Muhammad Fahri, Pembagian Waris dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan), Skripsi UIN Jakarta, 2016, h.32

43 Eko Setiawan, Fenomena Nikah Sirri Dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Justicia Islamica, Vol. 13 No. 1 Tahun 2016, h. 139.

(38)

24

dianggap liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum.44

Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/ Kepala KUA), karena pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.45

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mensahkan pernikahan sirri, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik dengan menuruti perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, orang yang melakukan nikah sirri dalam pandangan perundang-undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan di luar nikah..46

Praktek perkawinan sirri (bawah tangan) hingga kini masih banyak terjadi. Padahal perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak.47

Adapun akibat-akibat dari pernikahan sirri, yaitu:

a. istri yang dinikahi dan tidak tercatat (di bawah tangan) tidak dianggap sebagai istri yang sah. Berdasarkan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2, perkawinan harus dicatat menurut Peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak

44 Basith Mualy, Pernikahan Sirri & Akad Nikah, (Surabaya; Quntum Media, 2011), h.12.

45 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), (Bandung; Al-Bayan, 1994), Cet. 1, h.22.

46 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), (Bandung; Al-Bayan, 1994), Cet. 1, h. 12

47 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta;

Elsas, 2008), h. 150.

(39)

dicatatnya perkawinan berarti menyalahi ketentuan ini, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan ilegal.

b. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian.

c. Istri tidak berhak atas nafkah, dan jika suami meninggal dunia, maka dia juga tidak berhak mendapatkan warisan dari peninggalan suaminya itu.

d. Anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayahnya. Dalam pasal 42 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat yang sah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak hasil perkawinan tidak tercatat dianggap anak yang tidak sah.

e. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, tetapi hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Ketentuan ini berdasarkan pasa Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hunungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.48

Dengan demikian, pernikahan sirri merupakan nikah yang dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak dicatatkan. Kemudian juga nikah sirri banyak menimbulkan kerugian bagi si istri dan anaknya dengan tidak berhak atas keduanya atas nafkah dan warisan dari suami atau ayahnya.

48 Muhammad Fahri, Pembagian Waris dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan), Skripsi UIN Jakarta, 2016, h.36

(40)

26

B. Konsep Poligami Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Islam

Dalam istilah kitab-kitab fiqh poligami disebut dengan ta’addud al-zaujah yang berarti banyak istri.49 Secara Terminologis, menurut Muzdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.50 Dalam Penjelasan yang lebih ringkas dan jelas menurut Abdurrahman Ghazali, poligami adalah ikatan perkawinan yang dalam hal ini suami mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang sama, akan tetapi hanya terbatas pada empat orang.51

Dengan demikian menurut para ahli bahwa poligami atau poligini yaitu perkawinan dimana seorang pria mengawini lebih dari seorang wanita di dalam waktu yang bersamaan.52

2. Dasar Hukum Poligami Menurut Hukum Islam

Sebagaimana hukum perkawinan yang bisa memiliki banyak bentuk, maka begitu juga dengan poligami. Hukumnya ditentukan oleh kondisi seseorang yang ingin melakukan poligami tersebut.53

Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak

49 Supandi Mursalim, Menolak Poligami Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 16

50 Siti Muzdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 43.

51 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 131.

52 Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional), (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 139.

53 Yayan Sopyan, Islam Negara h. 149.

(41)

berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.54

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3,

ُـت الاَأ ۡمُت ۡفِخ ۡنِإَو الاَأ ۡمُت ۡفِخ ۡنِإَف ََۖعََٰبُرَو َثََٰلُـثَو ََٰنَۡثَم ِءٓاَسِ نلٱ َنِ م مُكَل َباَط اَم ْاوُحِكنٱَف َٰىَمََٰتَـيۡلٱ ِفِ ْاوُطِسۡق

ْاوُلوُعَـت الاَأ ََٰٓنۡدَأ َكِلََٰذ ۡۚۡمُكُنََٰۡيَأ ۡتَكَلَم اَم ۡوَأ ًةَدِحََٰوَـف ْاوُلِدۡعَـت ٣

Artinya: “dan jika kamu tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak (perempuan) yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu kuatir akan tidak dapat berbuat adil maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

(an-Nisa’/4:3)

Menurut jumhur (kebanyakan) ulama, ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika itu banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada. Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka. Kondisi inilah yang melatar belakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.55

Ayat al-Quran di atas memberikan batasan-batasan yang mencakup dua hal: Pertama, batasan yang bersifat kuantitatif, yaitu poligami tidak dibenarkan lebih dari empat orang istri. Kedua, batasan yang bersifat

5454 Edi Darmawijaya, “Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Tinjaun Hukum Keluarga Turki, Tunisia dan Indonesia)”, Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies, vol. 1,no. 1, (Maret 2015), h. 28.

55 Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami: Sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 85.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang terjadi yaitu pengawasan terhadap profesi hakim terbentur dengan regulasi “kekuasaan hakim yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa dan

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan permohonan Pemohon cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan

Permohonan pernyataan pailit baik atas permohonan kreditor maupun debitor sendiri wajib diwakili oleh advokat yang memiliki izin praktik beracara sebagaimana yang diatur dalam Pasal

dispensasi untuk melangsungkan perkawinan yang ditujukan melalui permohonan ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri sesuai dengan agama pemohon. Oleh karenanya

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon tidak melawan hukum dan telah terbukti bahwa

[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu

42 tahun 2007 tentang waralaba, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha

Berdasarkan analisis di atas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas