Bab I, merupakan pendahuluan, yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka dan metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II, Pengaturan Hak Cipta Merek Di Indonesia. Bab ini berisikan Definisi dan Dasar Hukum Merek, Jenis- jenis dan Bentuk Merek, Mekanisme Permohonan Pendaftaran Merek, Pengaturan Merek di Indonesia.
Bab III, Pelanggaran Terhadap Hak Pencipta Logo Dalam Penggunaan Sebagai Merek. Bab ini berisikan Penggandaan Logo yang Dilakukan Secara Ilegal, Penggunaan Logo Sebagai Merek Tanpa Seizin Pencipta Logo,
Perlindungan Terhadap Pencipta Logo yang Digunakan Sebagai Merek Dengan Penggandaan Secara Ilegal.
Bab IV, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 08/Pdt.Sus-Hak Cipta/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst). Bab ini berisikan Pertimbangan dalam Memutuskan Sengketa Merek, Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
08/Pdt.Sus-Hak Cipta/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst), Akibat Hukum Atas Putusan Mahkamah Agung No. 08/Pdt.Sus-Hak Cipta/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst) Terhdap Pencipta dan Pengguna Logo Sebagai Merek.
Bab V, Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan penutup dari penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis menyimpulkan pembahasan- pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran- saran.
A. Pengaturan Hak Cipta Logo
Pelanggaran hak cipta merupakan permasalahan hak cipta di Indonesia yang sampai sekarang masih belum dapat dilakukan penegakan hukum secara maksimal. Munculnya permasalahan hak cipta adalah seiring dengan masalah liberalisasi ekonomi yang berdampak pada keadaan sosial budaya masyarakat.
Liberalisasi telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat transisi industrial. Masyarakat transisi industrial adalah masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang berbudaya komunal/ social tradisional ke masyarakat yang berbudaya individual modern. Keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia yang masih dalam proses perubahan sosial menuju masyarakat yang rasional dan komersial berdampak pada kurangnya pemahaman konsep hak cipta yang sebelumya belum pernah dikenal pada masyarakat tradisional. Pada keadaan masyarakat transisi industrial, tentunya hukum yang mengatur juga mengalami perubahan yaitu dari hukum tradisional menjadi hukum modern, contohnya adalah munculnya hukum yang mengatur masalah hak cipta.
Konsep hak cipta berasal dari negara Eropa dengan budaya masyarakat yang menjunjung tinggi hak individu, sedangkan masyarakat Indonesia dengan budaya timurnya lebih mengutamakan nilai sosial (komunal). Hal ini tentunya berdampak pada pemikiran bahwa munculnya perasan senang dan tersanjung jika hasil
dan dikenal publik.41
Budaya masyarakat tradisional di Indonesia tidak mengenal konsep hak cipta. Nilai budaya masyarakat Indonesia juga tidak mengenal kepemilikan individu atas karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Kepemilikan cenderung bersifat sosial/ komunal, artinya dimiliki oleh keluarga atau masyarakat hukum adatnya. Karya seni asli yang ada tidak pernah mencantumkan nama atau tanda lain sebagai tanda pengenal penciptanya.42
Hukum hak cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud adalah dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu, puisi, artikel, dan buku, dalam bentuk gambar seperti foto, logo, gambar arsitektur dan peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video pertunjukan, dan video koreografi. Pada dasarnya dengan adanya perlindungan hukum terhadap hak cipta, berarti hak dan kepentingan pencipta diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang, sehingga mereka dapat menuntut setiap orang yang melanggar hak dan kepentingannya atas karya cipta tersebut. Upaya hukum untuk menuntut para pelanggar hak cipta dapat dilakukan oleh pencipta atau organisasi yang terkait dengan ciptaan tersebut, melalui tuntutan pidana atau gugatan secara perdata. Berdasarkan uraian tentang perlindungan hukum hak cipta dapat diketahui bahwa ketentuan- ketentuan hukum yang mengatur tentang hak
41 Maryadi, Transformasi Budaya, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000 hal.
53
42 Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004 hal. 140
perlindungan hak cipta. Namun demikian meskipun ketentuan hukum telah cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap hak cipta, sebagaimana telah disebutkan masih ada saja hambatan yang sering menghadang dalam upaya penegakan hukum tersebut sehingga perlu ada solusi atau pemecahan terhadap hambatan tersebut.
Selama ini berbagai usaha untuk mensosialisasikan penghargaan atas Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) telah dilakukan secara bersama-sama oleh aparat pemerintah terkait beserta lembaga- lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya sosialisasi tersebut tampaknya belum cukup berhasil. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HKI belum dipahami secara benar di kalangan masyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan, baik oleh pemilik HKI itu sendiri maupunaparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan HKI di kalangan pemilik HKI dan aparat penegak hukum, baik itu aparat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.43
Dalam praktik pergaulan internasional, HKI telah menjadi salah satu isu penting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara-negara maju di dalam melakukan hubungan perdagangan dan atau hubungan ekonomi lainnya. Khusus dalam kaitannya dengan dengan Amerika Serikat misalnya, hingga saat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status
yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besarterhadap perlindungan HKI di Indonesia. Situasi seperti ini pun memberikan tantangan kepada Indonesia, dimana Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas HKI sehingga terciptanya persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Lebih dari itu, meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HKI-nya akan terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HKI itu sendiri diIndonesia. Mengingat hal- hal tersebut, tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat, kesadaran akan keberhargaan HKI tidak akan tercipta. Sosialisasi HKI harus dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pers karena dengan kekuatan tinta kalangan jurnalis upaya kesadaranakan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud.
Upaya sosialisasi perlu dilakukan oleh semua stake holder secara sistematis, terarah dan berkelanjutan. Selain itu target audience dari kegiatan sosialisasi tersebut harus dengan jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi, seperti diskusi ilmiah untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem hukum dan pelaksanaannya bagi aparat dan praktisi hukum, dan lain-lain. Berdasarkan praktik, belum begitu memasyarakatnya HKI menyebabkan
hak perlu melakukan langkah- langkah non-legal untuk menegaskan kepemilikan haknya, dan juga menegaskan kepada pihak-pihak lain bahwa mereka akan mengambil tindakan yang tegas terhadap segala upaya penggunaan atau pemanfaatan secara tidak sahatas haknya tersebut. Upaya perlindungan HKI di Indonesia tidak cukup dengan menyerahkan perlindungan kepada aparat atau sistem hukum yang ada, tetapi perlu langkah-langkah non-legal. Langkah itu diantaranya adalah pemberian informasi mengenai kepemilikan HKI oleh pemilik hak, survei lapangan,peringatan kepada pelanggar, dan sebagainya.44
Adapun tulisan ini dibahas mengenai penggunaan seni gambar berupa logo yang digunakan oleh Jemmy Wantono yang kemudian digugat oleh Diesel S.P.A.
Perkara didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Nomor Gugatan:
08/Pdt-Sus/Hak Cipta/2016/PN. Niaga. Jkt. Pst tanggal 4 Februari 2016. Dalam gugatannya, penggugat menyatakan bahwa gambar berupa logo “motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul “Diesel- only- the brave”. Penggugat menyatakan bahwa dirinya adalah pemilik satu- satunya yang berhak atas merek tersebut.
Penggunaan tanpa hak dan/ atau tanpa izin terhadap logo Diesel dan Variasinya dalam hal ini merupakan pelanggaran hak kekayaan intelektual, dimana tergugat mendaftarkan logo tersebut sebagai ciptannya di Indonesia.
Ketika sebuah gambar (logo) digunakan tanpa hak dan/atau tanpa izin dari Pencipta atau pemegang Hak Cipta lalu dimanfaatkan untuk tujuan komersial
yang harusnya diterapkan untuk itu. Dalam Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa:
1. Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan Pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
2. Penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak mencakup:
a. Karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau kontruksi lain;
b. Seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik;
c. Seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital;
ayat (1);
e. Penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang.
Dalam hal ini, keberadaan undang-undang tersebut di atas dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai atas masalah pembajakan terhadap karya cipta seni rupa gambar dalam hal ini berupa logo yang digugat di atas. Dapat pula dipahami, bahwa perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap hak cipta adalah untuk menstimulir atau merangsang aktivitas para pencipta agar terus mencipta dan lebih kreatif.
B. Pengaturan Tentang Merek
Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin luasnya arus globalisasi, baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang- bidang kehidupan lainnya.
Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. 45 Era perdagangan global
45
memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi merek, diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 81) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 31) selanjutnya disebut Undang Merek lama dan sebagai gantinya adalah Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 serta terakhir adalah Undang-Undang-undang Merek Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UUM 2016).46 Ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar antara UU Merek 2016 dengan UU Merek 2001. Perbedaan pertama terdapat pada penamaan dari Undang-Undang tersebut. Apabila pada UU Merek 2001 hanya disebutkan dengan Undang-Undang tentang Merek, pada UU Merek 2016 disebutkan Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Penyebutan Indikasi Geografis pada penamaan UU Merek 2016 bukanlah tanpa sebab. Apabila di dalam UU Merek 2001 Indikasi Geografis hanya dibahas sedikit sekali dan cenderung lebih banyak dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah, dalam UU Merek 2016 Indikasi Geografis diuraikan lebih jelas dan
46 UUM 2016 diundangkan pada tanggal 25 November 2016, yang menjadi latar belakang diundangkannya UUM 2016 yaitu dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, serta untuk mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, juga sebagai tindak lanjut penerapan konvensi-konvensi internasional tentang merek yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terutama tentang Indikasi Geografis
tersebut mengurai hal-hal terkait dengan pihak yang dapat memohon Indikasi Geografis (Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan tertentu dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten Kota) dan Produk yang dapat dimohonkan (Sumber daya alam, Barang kerajinan tangan dan hasil industri dari masyarakat ataupun lembaga di kawasan geografis tertentu).
Beberapa perbedaan yang menonjol dalam undang-undang ini dibandingkan dengan Undang-Undang yang lama, antara lain menyangkut pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan dinyatakan memenuhi syarat secara administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masa pengumuman tentang adanya permohonan. Dengan perubahan ini dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut disetujui atas ditolakdan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar.47 Jangka waktu pengumuman dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, lebih singkat darijangka waktu pengumuman berdasarkan Undang-Undang merek lama.
Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu penyelesaian permohonan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Berkenaan dengan hak prioritas, dalam Undang-Undang ini diatur bahwa apabilapemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kalimenimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya
menggunakan hak prioritas.
Hal lain adalah berkenaan dengan ditolaknya permohonan yang merupakankerugian bagi pemohon. Untuk itu, perlu pengaturan yang dapat membantu pemohon untuk mengetahui lebih lanjut alasan penolakan permohonannya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa permohonan akan ditolak.48 Perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa dalam undang-undang diatur juga perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor alam atau faktor manusia atau kombinasidari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.49
Selain itu juga diatur mengenai indikasi asal. Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian/ dunia usaha, penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, harus pula diatur hukum acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti juga bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya. Adanya peradilan khusus untuk masalah merk dan bidang- bidang hak atas kekayaan intelektual lain, juga dikenal di beberapa negara lain, seperti Thailand. Dalam Undang-Undang ini pun pemilik merek diberi upaya perlindungan hukum yang lain, yaitu dalam wujud penetapan sementara pengadilan untuk melindungi
48 OK. Saidin. Op. Cit, hal. 337
49 Republik Indonesia, Undang-Undang Merek 2016, Pasal 53
memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dalam Undang-Undang ini dimuat ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Melalui undang-undang ini terciptalah pengaturan merek dalam satu naskah (single text) sehingga lebih memudahkan masyarakat menggunakannya.
Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Merek substansinya tidak diubah, dituangkan kembali dalam Undang-Undang ini. Secara keseluruhan, UUM 2016 antara lain mengatur tentang50 :
a. proses permohonan pendaftaran;
b. jangka waktu pengumuman;
c. hak prioritas;
d. merek dagang dan merek jasa;
e. indikasi-geografis;
f. penyelesaian sengketa merek;
g. penetapan sementara pengadilan.
satunya undang- undang yang saat ini dijadikan pedoman bagi hukum merek dan hal- hal lain yang terkait dengan merek.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “merek” diartikan sebagai tandayang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal (cap, tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama.51 UUM 2016 menjelaskan bahwa merek yaitu tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/ atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa.52
Menurut Molengraaf, merek yaitu dipribadikan sebuah barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang- barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain. Dari pengertian ini pada mulanya merek hanya diakui untuk barang, pengakuan untuk merek jasa barulah diakui Konvensi Paris padaperubahan di Lisabon tahun 1958 mengenai merek jasa tersebut di
51 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 hal. 736
52 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 1 angka 1
tentang merek.53
Harsono Adisumarto menjelaskan bahwa merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan ditempat bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu.
Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda daya pembeda.54
Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk, tetapi bukan produk itu sendiri. Barang atau jasa dapat dibedakan berdasarkan merek yang digunakannya. Merek merupakan hak kekayaan yang bersifat immaterial sehingga tidak dapat dilihat secara nyata. Menurut Muhammad Ahkam Subrotodan Suprapedi merek mencakup nama dan logo perusahaan, nama dan simbol dari produk tertentu dari perusahaan dan slogan perusahaan.55
Merek harus memiliki daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing), artinya memiliki kekuatan untuk membedakan barang atau jasa produk suatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Agar mempunyai daya
53 Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003 hal. 164
54 OK. Saidin. Op. Cit, hal. 345
55
barang atau jasa yang bersangkutan.56
Pada hakikatnya suatu merek digunakan oleh produsen atau pemilik merek untuk melindungi produknya, baik berupa jasa atau barang dagang lainnya. Jadi, suatu merek memiliki fungsi sebagai berikut:57
a. fungsi pembeda, yakni membedakan produk satu perusahaan dengan produk perusahaan lain;
b. fungsi jaminan reputasi, yakni selain sebagai tanda asal usul produk, juga secara pribadi menghubungkan reputasi produk bermerek tersebut denganprodusennya sekaligus memberi jaminan kualitas akan produk tersebut;
c. fungsi promosi, yakni merek juga digunakan sebagai sarana memperkenalkan produk baru dan mempertahankan reputasi produk lama yang diperdagangkan sekaligus untuk menguasai pasar;
d. fungsi rangsangan investasi dan pertumbuhan industri, yakni merek dapat menunjang pertumbuhan industri melalui penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri dalam menghadapi mekanisme pasar bebas.
56 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung:
PT. Citra Aditya bakti, 2007 hal. 130
57 Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2005 hal. 11
disimpulkan bahwa merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang- barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh seseorang atau kelompok orang dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
C. Pengaturan Hak Cipta Logo yang Digunakan Sebagai Merek
Merek atau juga biasa dikenal dengan istilah brand adalah penanda identitas dari sebuah produk barang atau jasa yang ada dalam perdagangan.
Namun tidak hanya sebagai identitas semata, merek juga berperan penting mewakili reputasi tidak hanya produknya, namun juga penghasil dari produk barang/jasa yang dimaksud. Tak heran jika branding menjadi bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan pemasaran suatu produk/ jasa.
Hak Merek adalah bentuk perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, sesuai dengan kelas dan jenis barang/jasa untuk mana merek tersebut terdaftar.
Suatu merek yang dapat didaftar harus memiliki daya pembeda dan dipergunakan dalam perdagangan barang/jasa, dan dapat berupa:58
a. gambar, seperti lukisan burung garuda pada logo Garuda Indonesia atau gambar kelinci pada logo Dua Kelinci;
b. kata, seperti Google, Toyota, atau Mandiri;
d. frasa, seperti Sinar Jaya atau Air Mancur;
e. kalimat, seperti Building for a Better Future atau Terus Terang Philip Terang Terus;
f. huruf, seperti huruf "F" pada logo Facebook atau huruf "K" pada logo Circle-K;
g. huruf-huruf, seperti IBM atau DKNY;
h. angka, seperti angka "7" pada logo Seven Eleven atau angka "3" pada logo provider GSM Three;
i. angka-angka, seperti merek rokok 555 atau merek wewangian 4711;
j. susunan warna, seperti pada logo Pepsi atau Pertamina;
k. bentuk 3 (tiga) dimensi;
l. suara;
m. hologram;
n. kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Dalam putusan ini, logo yang digugat yaitu Diesel- only- the brave yang telah lebih dulu digunakan oleh penggugat sebagai merek produknya berupa produk parfum. Kemudian oleh Tergugat di Indonesia mempergunakan logo tersebut sebagai merek di bidang fashion. Maka kemudian timbul perdebatan apakah logo dapat dilindungi atau tidak.
Adanya perlindungan hukum terhadap hak cipta yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta merupakan wujud dari pembangunan di bidang hukum dimana dimaksudkan juga untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Perubahan dan pembaharuan peraturan
perundang-rangka perlindungan terhadap hak cipta, ternyata belum mencapai hasil yang diharapkan. Dalam realitanya, pelanggaran hak cipta masih terus berlangsung bahkan dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari- hari. Dampak dari pelanggaran tersebut antara lain :
1. Merusak tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum, dan
1. Merusak tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum, dan