• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini yaitu terbagi dalam beberapa bab, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab ini sebagai pengantar tentang gambaran umum dari objek permasalahan yang diteliti. Isinya meliputi Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, hingga Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Perlidungan Konsumen Terhadap Perdagangan Barang Kadaluwarsa (expired) di Indonesia Dalam bab ini menguraikan tentang tinjauan umum atau landasan teori tentang perlindungan konsumen terhadap perdagangan barang kadaluwarsa, perdagangan barang serta pengelompokan jenis barang yang dapat kadaluwarsa.

Bab III Aspek Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Menjadi Korban Perdagangan Barang Kadaluwarsa (Expired) Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dalam bab ini membahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran barang kadaluwarsa, dampak dan kerugian yang timbul akibat dari menggunakan barang kadaluwarsa, dan juga pengaturan dan perlindungan hukum kepada konsumen terhadap peredaran barang kadaluwarsa berdasarkan UUPK dan hukum positif, serta pembinaan dan pengawasan perdagangan barang kadaluwarsa.

Bab IV Bentuk Penyelesaian Sengketa Antara Produsen Dengan Konsumen Yang Menjadi Korban Perdagangan Barang Kadaluwarsa (Expired)

Dalam bab ini menguraikan tentang pertanggung jawaban dan sanksi hukum yang dikenakan kepada produsen yang mengedarkan barang kadaluwarsa serta menjelaskan tentang bentuk penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen yang ditempuh dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Bab V Penutup

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah setelah dilakukan pembahasan dan saran-saran dari penulis hasil penelitian yang dilakukan.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP PERDAGANGAN BARANG KADALUWARSA DI INDONESIA

A. Pengertian, Sejarah, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Defenisi perlindungan konsumen sebenarnya telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti membicarakan tentang hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Perlindungan konsumen merupakan upaya memberi perlindungan hukum kepada konsumen atas hak-hak yang mereka miliki sebagai konsumen. Perlindungan terhadap konsumen sangat terkait dengan adanya perlindungan hukum dikarenakan perlindungan konsumen mempunyai beberapa aspek hukum yang menyangkut suatu materi untuk mendapatkan perlindungan ini bukan sekedar perlindungan fisik melainkan hak-hak konsumen yang bersifat abtrak.33 Sebagaimana kita ketahui posisi konsumen yang lemah, maka ia harus dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, adanya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen dapat memberi perlindungan (pengayoman) hukum kepada konsumen. Kedua bidang hukum tersebut merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Adapun pengertian dari hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan

33 M.Shidqon Prabowo, Perlindungan Hukum Jamaah Haji Indonesia, (Yogyakarta : Rangkang, 2010) hal. 38

masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.34

Rumusan pengertian perlindungan konsumen disebutkan di dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa perlindugan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen. Rumusan tersebut cukup memadai dimana undang-undang menjamin adanya kepastian hukum kepada konsumen. Dengan demikian, diharapkan undang-undang tersebut sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pelaku usaha yang mementingkan kepentingan sepihak saja. Kesewenangan-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam undang-undang perlindungan konsumen.35

1. Konsumen

Secara umum konsumen diartikan sebagai pemakai, pengguna atau pemanfaat barang atau jasa untuk tujuan tertentu. Didalam suatu proses distribusi konsumen merupakan akhir dari suatu proses distribusi, konsumen adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk/barang. Konsumen berasal dari

34Az Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1995) hal. 64-65

35 Ahmadi Miru, Op.cit., hal. 1

kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer yaitu (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Konsumen pada umumnya adalah sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yakni setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjual belikan lagi.

Menurut Hondius, seorang pakar masalah konsumen di Belanda mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).36 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah

“konsumen”, maka pengertian konsumen terdiri dari 3 batasan yaitu 37:

1) Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapat keuntungan.

2) Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan.

3) Konsumen akhir (ultimate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan

36 E.H Hondius, Konsumentenrecht, 1976 dalam Shidarta Op. cit., hal. 2

37 Zulham, Hukum Perlindugan Konsumen (Jakarta: Kecana, 2013) hal. 117

memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali.

Pengertian konsumen menurut pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia didalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari pengertian konsumen menurut UUPK, maka dapat dikemukakan beberapa unsur yaitu 38:

1) Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Namun istilah orang menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk bahan hukum (rechtspersoon).Oleh karena itu, istilah yang menjadi konsumen disini harus mencakup juga badan usaha yang bersifat berbadan hukum/tidak berbadan hukum ;

2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka (2) Undang-undang perlindungan konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah kata “pemakai” dalam hal ini digunakan untuk rumusan ketentuan tersebut atau menunjukkan suatu barang dan/ atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi

38 Celina Tri S Kristiyanti, Ibid., hal. 27

jual beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu harus membayar uang untuk memperoleh barang atau jasa itu. Dengan demikian, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract) ;

3) Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen ;

4) Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus bersedia di pasaran (lihatjugaketentuan pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak multak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen ;

5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditunjukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup ;

6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.

Dalam perlindungan konsumen terdapat hak-hak konsumen secara universal yang harus dilindungi dan dihormati yaitu :39 1). Hak keamanan dan keselamatan; 2). Hak atas informasi; 3). Hak untuk memilih; 4). Hak untuk didengar; 5). Hak atas lingkungan hidup.

Sementara itu, dalam Pasal 4 UUPK secara eksplisit menyebutkan bahwa ada 9 hak-hak konsumen adalah sebagai berikut :40

(1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa ;

(2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan ;

(3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ;

(4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ;

(5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut ;

(6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen ;

39Abdul Halim Barakatulah, Op. cit., hal. 3

40Shidarta Ibid. hal. 17

(7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

(8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebgaimana mestinya ;

(9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan yang menjadi kewajiban konsumen disebutkan dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diantaranya sebagai berikut :41

(1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan ;

(2) Beritikad baik dalam melalakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa ;

(3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati ;

(4) Mengikuti upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Berdasarkan hak dan kewajiban konsumen tersebut, terlihat bahwa masalah hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam hukum perlindungan konsumen.

Sementara itu, kewajiban konsumen dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/ atau kepastian hukum bagi dirinya.42

41 Shidarta, Ibid., hal. 171

42Abdul Halim Barakatulah, Ibid, hal. 25

2. Pelaku usaha

Seperti kita ketahui produsen merupakan pengusaha yang menghasilkan barang atau jasa. Pengertian produsen tersebut meliputi sebagai pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/

peredaran produk hinggasampai ke tangan konsumen.

Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen, tetapi memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu “pelaku usaha”.

Dalam pasal 1 angka (3) UUPK mengartikan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang bebentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Az. Nasution berpendapat bahwa produsen atau pelaku usaha dapat dikelompokan menjadi tiga antara lain :43

1) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau pelayanan jasa;

2) Penghasil atau pembuat barang dan/atau pelayanan jasa;

3) Penyalur barang dan/atau pelayanan jasa.

Menurut Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam pasal 3 menyebutkan bahwa pelaku usaha/produsen adalah44 :

43 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. cit., hal.63

44Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi ( Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, 2000) hal. 31

1) Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan

mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nam, merek atau suatu tanda pembedaan yang lain pada

peroduk, mejadikan dirinya sebagai produsen ;

2) Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang dalam arti produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen ;

3) Dalam hal suatu produsen tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali iamemberitahukan orang yang menderiata kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukan identitas importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan

.

Sementara itu, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyebutkan ada tiga kelompok pelaku usaha (pelaku usaha privat maupun publik) yaitu terdiri dari :45

1) Kalangan Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha. Seperti perbankan, usaha leasing tengkulak, penyedia dana dan lain sebagainya.

45 ISEI, Penjabaran Demokrasi Ekonomi, Sumbangan Pikiran Memenuhi Harapan Presiden Soeharto (Jakarta : ISEI, 1990) hal. 8

2) Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lainnya, seperti bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya. Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/ usaha berkaitan dengan pembangunan perumahan, orang/usaha berkaitan dengan jasa angkutan/perasuransian, perbankan, serta orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, narkotika, dan sebagainya.

3) Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, kedai, supermarket, hypermarket, rumah sakit, kantor pengacara dan sebagainya.

Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak, UUPK telah memberikan batasan mengenai hak dan kewajiban. Dalam menciptakan kenyamanan dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka paka pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam pasal 6, adalah sebagai berikut :46

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik ;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen ;

46 Celi Tri S Kristiyanti, Ibid., hal. 43

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya sebagai konsekuensi dari hak pelaku usaha yang telah disebutkan diatas, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal 7, adalah sebagai berikut :47

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunanaan, perbaikan dan pemeliharaan ;

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku ;

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang dperdagangkan ;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan ;

47 Ibid

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak seseuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK pelaku usaha lebih ditekankan untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, mulai dari tahap perancangan barang/tahap produksi sampai dengan tahap purna penjualan, sedangkan bagi konsumen diwajibkan hanya beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.48

2. Sejarah Perlindungan Konsumen

Seiring dengan perkembangan zaman, hukum perlindungan konsumen semakin berkembang dan cukup mendapat perhatian dari setiap negara. Hal ini dikarenakan hukum perlindungan konsumen menyangkut tentang aturan-aturan guna mensehjaterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen yang hanya mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan. Kendati demikian, kedua pihak tersebut mempunyai masing-masing hak dan kewajiban yang tidak sama. Disamping itu peran pemerintah juga sangatlah penting yakni mengatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga terciptanya sistem yang kondusif saling berkaitan satu sama lain dengan demikian tujuan mensehjaterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi masing-masing barang dan atau jasa

48 Abdul Halim Barakatullah, Ibid. hal. 39

yang dapat dikomsumsi. Dengan beraneka ragam produk yang sedemikan luasnya dan dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana dalam waktu yang cepat terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, yang pada akhirnya konsumen dihadapkan dengan berbagai jenis barang atau jasa yang ditawarkan secara variatif guna menarik perhatian konsumen.

Konsep pemasaran produk untuk pertama kalinya memfokuskan pada kualitas produk yang lebih baik yang berdasarkan pada standar internal.Kedua pada dekade enam puluhan, mengalihkan fokus pemasaran dari produk kepada pelanggan, tetapi cara pencapaian masih tetap pada laba, tetapi cara pencapaian menjadi lebih luas yaitu dengan bantuan pemasaran marketing mix yakni meliputi produk, harga, promosi dan saluran distribusi. Konsep ketiga adalah konsep strategi pemasaran yang memfokuskan ke pelanggan dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas. Disamping itu, juga terjadi perubahan tujuan pemasaran yaitu dari laba menjadi keuntungan pihak yang berkepentingan yakni orang perorangan yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan.49

Dari kondisi dan fenomena tersebut, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen. Namun, pada sisi lain fenomena tersebut mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan standar kualitas produk yang merugikan konsumen. Bertolak dari rangkaian fenomena tersebut, maka timbullah kesadaran

49 Abdul Halim Barakatullah, Ibid., hal. 11-12

konsumen untuk mendapat perlindungan hukum. Dengan timbulnya kesadaran konsumen ini melahirkan hukum perlindungan konsumen serta lahirnya gerakan-gerakan perlindungan konsumen di dunia. 50

Secara universal, perkembangan hukum perlindungan konsumen di dunia bermula dari adanya gerakan perlindungan konsumen (consumers movement), perhatian terhadap perlindungan konsumen terutama di Amerika Serikat pada tahun 1960-an – 1970-an mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen di awal abad ke-19, dimana pada Tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen untuk pertama kalinya di New York, dan menyusul pada Tahun 1898 di bentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer 's League). Organisasi ini terus berkembang pesat dan telah berkembang menjadi 64 cabang dan meliputi 20 negara bagian di tahun 1903.51

Tahun 1950-1960 muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh beberapa negara yakni Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, berdirilah International Organization of Consumer Union di Den Haag, Belanda.

Kemudian pada tahun 1993 organisasi itu pindah dan berpusat di London Inggris.

Dalam rentang dekade yang sama Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan maklumat dengan Nomor 39/248 Tahun 1955 tentang perlindungan

50 Ibid., hal. 13

51 Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal. 12-13

Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi :52

a. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Era 1960-an, sejarah gerakan perlindungan konsumen mengalami perubahan penting ditandai pada saat mantan Presiden AS, John F. Kennedy menyampaikan pidato kenegaraan berjudul "A Special Message of Protection the Consumer Interest" yang di sampaikan di hadapan Kongres Amerika Serikat dimana dikemukakan 4 (empat) hak dasar konsumen (dikenal juga sebagai consumer bill of rights) sebagai berikut :53

a. The right to safe product ;

b. The right to be Informed about product ;

c. The right to definite choises in selecting products ;

52 Abdul Halim Barakatulah, Ibid., hal. 22

53 Ibid., hal. 21

d. The right to be heard regarding consumer interests.

Kemudian pada tahun 1965 ke atas adalah masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni Amerika Latin dan Karibia berpusat

Kemudian pada tahun 1965 ke atas adalah masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni Amerika Latin dan Karibia berpusat

Dokumen terkait