• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

8. Sistematika Penulisan

Sebagai pedoman bagi penulis untuk memudahkan dalam penelitian ini maka penulis membaginya dengan beberapa bab, penulisan sebagai berikut:

13

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menggambarkan secara umum tentang pembahasan ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan judul serta metode penelitian dan sistematika penelitian yang dipakai.

BAB II : Bab ini membahas gambaran mahar dalam Hukum Islam.

Yakni pengertian mahar, dasar hukum mahar dan hikmah adanya mahar dalam pernikahan, macam – macam, bentuk - bentuk mahar dan beberapa problematika seputar mahar.

BAB III : Dalam Bab ketiga ini akan dibahas mengenai Gambaran Umum Keadaan Geografis dan Kependudukan, situasi aspek Sosial Ekonomi, Pendidikan dan Agama Masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi Mandailing Natal dan dinamika Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi Mandailing Natal

BAB IV : Hasil penelitian yang meliputi tinjauan Hukum Islam tentang pelarangan isteri membawa mahar pasca cerai talak di Desa Jambur Padang Matinggi, Mandailing Natal. Maupun mengenai faktor terhadap larangan membawa mahar isteri setelah bercerai ditinjau dari Hukum Islam (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan uatara Kabupaten.

Mandailing Natal)

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini atau bab penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap masalah pokok yang dikemukakan, selanjutnya saran-saran yaitu untuk kesempurnaan penelitian ini di masa yang akan datang.

BAB II

MAHAR DALAM HUKUM ISLAM

1. Pengertian Mahar

Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni “mahran” atau kata kerja, yakni fi’il dari

“mahara-yamhuru-mahran.” Lalu, dibekukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah di Indonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin (Saebani 2001, 260).

Dalam ilmu fikih maskawin mempunyai banyak nama, demikian juga dalam al-Quran , maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadang kala disebut dengan shadaq, nihlah, faridhah atau arjun (Hakim 2000, 72).

Sedangkan mahar secara terminologi, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada suaminya” atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi suami kepada istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dsb) (Ghozali 2008, 84).

Pengertian mahar menurut istilah, ada beberapa definisi di kalangan para ulama Fiqh, di antaranya:

1.1. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

رًٓنأ

ْٕ

لبًنا بجي يف دقع حبكُنا ىهع جٔسنا يف تهببقي عفبُي عضبنا .

Artinya: Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri ketika adanya akad nikah atau ketika hendak berhubungan badan.

(Al Sirasi tth, 304).

15

1.2. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

Artinya: Sekalian yang diperbolehkan menggantikannya boleh pula untuk di hibahkan, akan tetapi allah mengharamkan kemaluan perempuan kecuali melalui proses mahar, sesungguhnya menghibahkan perempuan tidak diperbolehkan dan ini hanya berlaku kepada nabi saw (Az zarqani tth, 6).

1.3. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٌا

Artinya: Mahar adalah sesuatu yang dibebankan terhadap suami dengan memberikan mahar terhadap isteri sebagai ganti terhadap beban isteri, dan jika suami berhubungan badan dengan isterinya, jika suami melakukan berhubungan badan dengna isteri maka ia berhak menerima maharnya (Al Ghazali 1997, 223).

1.4. Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٔ

Artinya: Hakikat dari mahar adalah di perbolehkannya suami isteri untuk saling merasakan kesenangan terhadap pasangannya, dan kebolehan itu sendiri di perbolehkan dengan memberikan mahar terhadap isterinya, seolah-olah pemberian tersebut tidak mengharapkan imbalan (Qudamah tth, 98).

Mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita dengan sebab nikah atau watha’.

Mahar itu sunnat disebutkan jumlah atau bentuk barangnya dalam akad nikah. Apa saja barang yang ada nilai (harga)nya sah untuk dijadikan mahar (Nur 1993, 81).

Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu dengan memberinya hak mahar untuk memegang urusannya sebagai bukti bahwa wanita adalah manusia juga

yang harus diakui perannya dalam kehidupan pria yang dapat juga bertindak secara hukum. Di zaman Jahiliah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, karena wanita hanya dianggap sebagai boneka atau lebih dari itu, yang menurut wali pada saat itu mereka tidak cakap hukum. Wali dengan semena-mena dapat menggunakan harta wanita yang berada dalam tanggung jawabnya dan tidak memberikan kesempatan kepada wanita itu untuk mengurus harta dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu, dengan memberikan hak mahar kepadanya (Sabiq 1981, 53).

2. Dasar Hukum Mahar dan Hikmah Adanya Mahar dalam Pernikahan

2.1. Dasar Hukum Mahar

Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri dari atas dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an dan dasar hukum dari As-Sunnah. Dilengkapi oleh pendapat ulama tentang kewajiban pembayaran mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan (Saebani 2001, 262). Seperti dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 4, Allah SWT, berfirman :









 





















Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Q.S an-Nisa ayat 4) (Depertemen Agama RI 1998).

Ayat di atas menyebutkan kata “mahar” dengan istilah “Shadaq”

yang dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan. Ayat ini 17

dijadikan dalil oleh para ulama bahwa mahar dalam pernikahan sepenuhnya menjadi hak mempelai wanita. Siapapun orangnya, termasuk orang tua sang isteri, tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengambil

Artinya: Dan barangsiapa diantara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturuna adam dan hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan buka (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun.

Maha Penyanyang (QS an-Nisa’ 25) (Depertemem Agama RI 2002, 83).

Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurohunna. Istilah tersebut makna asalnya upah, dalam kontek ayat itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, yang di samping itu harus dengan izin orang tuanya, juga harus dibayar maharnya.

Dengan demikian, dalam kontek hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dengan merdeka. Ayat tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan gender Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan sosial maupun budaya.

Firman Allah SWT :

Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata,? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat, (QS. an-Nisa ayat 20-21) (Depertemen Agama RI 1998).

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika seseorang menceraikan isterinya agar tidak mengambil atau meminta kembali apa yang telah diberikan kepada isteri, baik itu belanja selama pernikahan atau pemberian kepaada isteri maupun mahar yang telah diberikan kepada isteri. Sedangkan 19

suami telah bergaul (bercampur) seabagai suami isteri. Maka jangan meminta kembali apa yang telah diberikan kepada isteri.

Firman Allah SWT :

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. an-Nisa ayat 24) (Depertemen Agama RI 2002).

Ayat di atas juga menjelaskan agar memberikan mahar isteri seutuhnya karena itu sautu kewajiban bagi suami. Akan tetapi harus sesuai yang telah disepakati kecuali suami isteri tersebut saling ikhlas atau saling merelakan diantara suami isteri atas perjanjian mereka.

Dalam surat al-Baqarah ayat 237 disebutkan :



Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Baqarah:

ayat 237) (Depertemen Agama RI 2002).

Dari urain di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, bukan sebagai pemberian ganti rugi. Mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling cinta-mencintai antara kedua suami isteri, dengan syari’at mahar ini bahwa Islam sangat memperhatikan dan mengharga kedudukan wanita. Islam juga memberikan hak dan wewenang untuk mengurus harta wanita itu dan mengurus dirinya sendiri (Nur 1993, 83).

Adapun dalil dari hadist diantaranya adalah sabda nabi yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi dalam suatu kisah yang panjang dalam bentuk hadist muttafaq alaih:

َلوُسَر اَي

mengawininya, maka kawinkah saya dengannya. Nabi berkata:

21

“apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata: “tidak ya Rasul Allah”.

Nabi berkata: “pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata: “tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul Allah”.

Nabi berkata: “carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi (Ibnu Majaz 2013, 183) (al-Asqalany 2013, 212-213).

Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda:

نَعَو

Artinya: Dari Abdullah Amir Ibnu Rabi'ah, dari ayahnya, Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memperbolehkan nikah dengan seorang perempuan dengan (maskawin) dua buah sandal. Hadits shahih riwayat Tirmidzi, dan hal itu masih dipertentangkan (al-Asqalany 2013, 226)

Hadits-hadits di atas menunjukkan mahar kewajiban sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikan mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah meninggalkannya, karena hal ini menunjukkan kewajibannya.

Para ulama sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik dan sebagai shadaqah, yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya sesuai dengan akad nikah (Saebani 2001, 266).

Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam literature ulama

yang menempatkan sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi perkawinan, dalam artian perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan (Syarifuddin 2006, 87).

Dalam UU perkawinan memang tidak diatur tentang mahar dalam pernikahan, tetapi KHI mengatur secara panjang lebar tentang mahar, serperti dalam pasal 30, yaitu. calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Syarifuddin 2006, 98).

2.2. Hikmah Adanya Mahar Dalam Pernikahan

Hikmah diwajibkan mahar adalah bahwa perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dijalani oleh masing-masing pihak. Pemberian mahar mengandung isyarat kepada apa yang diwajibkan oleh perkawinan atas suami yaitu kewajiban memberikan nafkah dan kebutuhan lainnya dalam rumah tangga (al-Kurdi 1995, 35).

Tujuan dan hikmah mahar, merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekusaan suaminya kepada dirinya (Shomad 2012 . 287) .

2.2.1. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai.

2.2.2. Sebagia usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya.

Mahar disyariatkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluru beban materi. Istri pada umumnya

23

dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang releven suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak (Azzam. Hawwas 2014, 177-178).

Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepda istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil berikutnya (Syarifuddin 2006, 87).

Mahar dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam di antaranya :

2.2.4. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membutuhkan.

2.2.5. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.

2.2.6. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya.

2.2.7. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami dan istri (Nuruddin dan Taringan tth, 67).

Pernikahan yang dilakukan akan menimbulkan akibat hukum kehalalan hubungan seorang pria dan wanita. Sebelum hubungan itu terjadi maka mahar wajib diserahkan sebagai salah satu bukti

kesungguhan seorang suami terhadap istrinya. Pemberian mahar itulah yang menyebabkan dibolehkannya hubungan suami istri setelah akad nikah. Istri dapat menolak untuk melakukan hubungan suami istri jika maharnya belum dipenuhi oleh suami (Shaleh dan as Sadlan 1996, 22).

Sebagian bukti kesungguhan seorang laki-laki mencintai pasangannya maka hal itu dapat dibuktikan dari pengorbanannya.

Seorang suami dapat memberikan jasa atau benda sebagai mahar dalam pernikahan. Hal seperti itu dapat melembutkan hati perempuan sebab pemberiannya. Cinta dan kasih sayang akan mulai muncul ketika suami memberikan mahar dengan penuh kerelaan terhadap istrinya. Mahar yang dapat diberikan tidak boleh diambil kembali atau menggunakannya tanpa ada izin dari istri (Kamil 2007, 254) . Demikian dapat dipahami bahwa hikmah mahar adalah:

2.2.8. Mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan

2.2.9. Memberikan hak terhadap perempuan untuk menentukan dan menggunakan harta yang ia miliki.

2.2.10. Bukti kesungguhan suami dalam mencintai istrinya.

2.2.11. Kebolehan melakukan hubungan suami istri atau khalwat.

Dengan demikian amatlah jelas bahwa mahar atau maskawin adalah milik istri semata. Adapun kewenangan ayah dan wali lain terbatas dengan kedewasaan atau kemapuan pemilik harta tersebut.

3. Macam - Macam dan Bentuk - Bentuk Mahar 3.1. Macam-macam Mahar

Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar itu ada dua macam (Syarifuddin 2006, 88):

25

Pertama: Mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad disebut mahar musamma (ىًسي رٓي). Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan.

selanjutya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan. Suami wajib membayar mahar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu (Syarifuddin 2006, 88).

Kedua: Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahar mitsil (مثًنارٓي) (Syarifuddin 2006, 88).

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan) (Ghozali 2008, 92).

3.1.1. Mahar Musamma

Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah (Ghozali 2008, 92).

Mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shiqad akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu (1) mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat; (2) mahar musamma ghair mu’ajjal, yaitu mahar yang pemberiannya ditangguhkan (Saebani 2001, 276).

Ulama Fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila (Ghozali 2008, 92-93).

3.1.1.1. Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:



Artimya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S An-Nisa’: ayat 20) (Depertemen Agama RI 1998).

3.1.1.2. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib di bayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT (Ghozali 2008, 93):



Artinya: Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah 27

ayat 237).

Hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak dimiliki secara sah, maka maliki mengatakan bahwa bila belum terjadi percampuran, akadnya fasid. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah dan si istri berhak atas mahar mitsil (Mughniyah 2010, 365).

3.1.2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum ditentukan bentuknya (Saebani 2001, 277). Atau, mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya (Ghozali 2008, 93).

Maksud mahar mitsil (mahar yang sama) adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak dan seterusnya (Azzam.

Hawwas 2014, 186).

Para Ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, sebagaimana halnya jual-beli, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran ditentukan mahar mitsil (Mughniyah 2010, 365).

Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan:

Pertama: Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.

Kedua: Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.

Ketiga: Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan (Syarifuddin 2006, 89).

Demikian juga dalam pernikahan yang rusak (fasid), misalnya seorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia mencampurinya, maka wajib baginya membayar mahar mitsil pada hari percampuran. Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena tidak ada penghargaan bagi akad yang rusak. Sebagaimana sabda Nabi saw (Azzam. Hawwas 2014, 188-189).

نَعَو

Artinya: Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka

Artinya: Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka

Dokumen terkait