• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Serjana Hukum Pada Jurusan Hukum Keluarga/Al-Ahwal Al-syakhsiyyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Serjana Hukum Pada Jurusan Hukum Keluarga/Al-Ahwal Al-syakhsiyyah"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PADANG MATINGGI KECAMATAN PANYABUNGAN UTARA KABUPATEN MANDAILING NATAL

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih Gelar Serjana Hukum

Pada Jurusan Hukum Keluarga/Al-Ahwal Al-syakhsiyyah

Oleh:

MUHAMMAD HASAN BP. 312.257

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG

1438 H / 2017 M

(2)

KATA PERSEMBAHAN

































 









Artinya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana (Q.S. Lukman. 27).

Tiada ucapan yang layak sebagai pujian selain kepada Allah SWT yang telah memberkati dan memberikan nikmat yang tak terhingga kepada saya dalam menyelesaikan skripsi sebagai awal dari perjuangan ini dan solawat kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan contoh sebuah perjuangan kepada saya sebagai jalan kepada Allah SWT.

Alhamdulillahirrobil alamin

Usai sudah untuk awal memulai perjuangan mencapai suatu cita-cita, begitu banyak rintangan seperti golambang laut buat seorang pelaut, itu semua mengajarkan saya untuk menikmati indahnya pulau. Namun itu bukan untuk menikmati hasil tapi bekal untuk sebuah perjuangan yang akan dimulai.

Setuluh hati ibu dan searif rengkulan ayah dalam setiap langkah anandamu ini engkau tidak pernah lupa

(3)

sepatah doa’ yang engkau ridhoi anakmu ini untuk mencapai harapan yang membuat engkau tersenyum saat anakmu ini bahagia.

Kini atas sebait doa’mu anandamu ini telah menyelesaikan studi serjana

Dengan setulus hati selembut sutre dan keridhoanmu ya Allah aku persembahkan karya tulis ini kepada kedua orang yang aku cintai yaitu ibunda Nurhayani dan Ayahanda awaluddin.

Walapun dengan persembahan yang sederhana ini tidak mungkin bisa membalas setetes keringatmu orang yang aku banggakan, tapi satu yang terpenting engkaulah orang yang aku muliakan setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Jika Allah memberi izin kepadaku bersujud selain dirinya maka enkaulah ibu dan ayah aku bersujud sebanyak setelah Allah. Itulah sebagai bukti diri ini sangat memuliakanmu.

Buat teman2, sahabat2ku; Kalim, Rajawali, Umar, Zainuddin, Nasyir, Mardianis terimakasih sudah membuatku tertawa saat dunia ini terasa gelap semoga kita semua sukses dan adinda agun agar cepat menyusul, terkhusus buat jurusan al-ahwal al- syakhsiyyah angkatan 12 sebagai teman seperjuangan.

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Naskah skripsi dengan judul Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau dari Hukum Islam di Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal yang disusun oleh Muhammad Hasan NIM. 312257 Jurusan Hukum Keluarga/Al-Ahwal Al-syakhsiyyah Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang telah memenuhi persyaratan ilmiah dan diperbaiki sebagaimana kritikan dan saran dari Tim Penguji Sidang Munaqasyah.

Disahkan di : Padang

Tanggal : 31 Agustus 2017 Tim Penguji Sidang Munaqasyah Dr. Yusnita Eva, S.Ag, M.Hum NIP 197504032002122001

Penguji I _____________________________________

Zulfan, SHI.,MH

NIP 19791019 200710 1 002

Penguji II _____________________________________

Dra. Gusnida, M. Ag NIP 19530814 19850 3 2001

Penguji III/Pembimbing I _____________________________________

Yecki Bus, M.Ag

NIP 19780701 20060 4 1003

Penguji IV/Pembimbing II _____________________________________

Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang

Dr. H. Muchlis Bahar, Lc., M.Ag NIP. 19590127 199203 1 001

i

(5)

Skripsi dengan judul “Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau dari Hukum Islam di Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal” yang disusun oleh Muhammad Hasan, Nim: 312257, mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah, UIN Imam Bonjol Padang, dinyatakan telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidang Munaqasyah.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Padang, 14 Agustus 2017

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Gusnida, M. Ag Yecki Bus, M.Ag

NIP. 19530814 19850 3 2001 NIP.19780701 20060 4 1003

ii

(6)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa sejauh yang diketahui, dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi. Dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, melainkan yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar kepustakaan.

Padang, 24 Agustus 2017 Yang Membuat Pernyataan,

MUHAMMAD HASAN

iii

(7)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Muhammad Hasan NIM : 312.257

Jurusan : Hukum Keluarga/Al-Ahwal Al-syakhsiyyah

Judul Skripsi : Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau dari Hukum Islam di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal Dengan ini menyatakan persetujuan publikasi karya ilmiah untuk kepentingan akademis pada Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

Padang, 24 Agustus 2017

Yang Membuat Pernyataaan,

MUHAMMAD HASAN

iv

(8)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau dari Hukum Islam (di Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal)” disusun oleh Muhammad Hasan NIM. 312257 pada jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

Dilatarbelakangi oleh larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai yang sudah dilakukan beberapa orang masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal, ialah seorang istri setelah pernikahan mahar yang telah diberikan oleh suaminya digunakan untuk pembeli perabotan rumah tangga, seperti tempat tidur dan lemari. Setelah bercerai maka dalam kebiasaan di Desa Jambur Padang Matinggi si isteri ini harus pergi dari rumah suami dan dia tidak boleh membawa tempat tidur dan lemari yang telah dibeli dengan menggunakan uang maharnya sewaktu baru menikah. Adapun rumusan masalah penulis yaitu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap larangan isteri membawa mahar setelah bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal.

Untuk menjawab persoalan di atas, penulis menggunakan jenis penelitian Field research (penelitian lapangan) dengan teknik wawancara terhadap pihak-pihak terkait yang berhubungan langsung dengan masalah yang penulis bahas. Selanjutnya Untuk menjawab rumusan pertanyaan, data di analisis dengan teknik deskriptif kualitatif maksudnya penulis mengumpulkan data di lapangan kemudian data tersebut disusun menurut subjek pembahasan, setelah itu di analisis dengan melihat dalil- dalil dari syariat Islam. Dari hasil penilitan dapat disimpulkan haram hukumnya suami dan orangtua dari suami melarang isteri yang telah diceraikan membawa mahar ke tempat yang diinginkan oleh isteri, baik isteri yang disebabkan diceraikan karena lari dari rumah atau isteri tidak perawan lagi atau karena larangan orangtua suami. Akan tetapi halal hukumnya suami melarang isteri membawa mahar bila sudah ada perjanjian suami isteri dengan suka rela bahwa mahar itu akan menjadi harta bersama semua ini berdasarkan kepada surat an-Nisa ayat 4.

v

(9)

This thesis entitled "Prohibition against Wife Takes Mahar After Divorce Judging from Islamic Law (in the Village of Jambur Padang Matinggi, Sub District of Panyabungan Utara, Regency of Mandailing Natal)" prepared by Muhammad Hasan NIM. 312257 at the Department of Family Law Faculty of Sharia UIN Imam Bonjol Padang. Backed by the ban on wives carrying dowries after the divorce has been done some people of the village of Jambur Padang Matinggi, District Panyabungan Utara, Mandailing Natal Regency, is a wife after the wedding dowries that have been given by her husband used for household furniture buyers, such as beds and cabinets. After divorce then in the habit of the village of Jambur Padang Matinggi this wife must go from the husband's house and he should not bring the bed and cabinets that have been purchased by using his new money when newly married. The formulation of the writer's problem is how the view of Islamic law against the prohibition of the wife brought the dowry after divorce in the village of Jambur Padang Matinggi Sub Panyabungan Utara, Mandailing Natal District. To answer the above problems, the authors use the type of research Field research (field research) with interview techniques to the relevant parties that deal directly with the problems that the author discussed. Furthermore, to answer the question formulation, the data in the analysis with qualitative descriptive technique means the authors collect data in the field then the data is organized according to the subject of discussion, after that in the analysis by looking at the arguments of Islamic Shari'a. From the results of the conviction can be concluded haram law husbands and parents from husbands prohibit divorced wife brings the dowry to the place desired by the wife, either the wife caused by divorce because run from home or wife is not a virgin anymore or because of the ban of the husband's parents. But lawfully, husbands forbid wives to bring dowries when there is a husband and wife agreement willingly that the dowry will be a joint treasure of all this is based on the letter an-Nisa verse 4.

vi

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah….puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau Dari Hukum Islam” Di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal. Shalawat dan salam penulis do’akan kepada Allah SWT semoga selalu dicurahkan kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW yang telah mengangkat harkat dan martabat umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Skripsi ini bisa terselesaikan berkat dorongan dan semangat serta bantuan berbagai pihak dengan penuh perhatian dan kasih sayang membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada:

1. Teristimewa buat kedua orang tua tercinta, Ayahanda Awaluddin dan Ibunda Nurhayani yang telah mencurahkan kasih sayang, motivasi, materi, serta untaian do’a agar penulis sukses dalam meraih cita-cita serta kakanda Zuraidah, Nusirwan dan kakanda Maryam dan saudara/i saya Lisda, Nuruddin, Nikmah, M. Idiris, Sahdad, Mahyuddin, Alwi dan tak lepas juga keponakanku Baburahmad serta semua keluarga besarku yang selalu berdo’ dan berusaha keras memberikan dorongan baik moril maupun materil serta pengorbanan yang begitu besar kepada penulis tanpa kenal lelah demi mewujudkan harapan untuk keberhasilan penulis.

Mudah-mudahan do’a dan harapannya selalu mengiringi langkah penulis, sehingga penulis mampu menghadapi tantangan dan rintangan untuk meraih masa depan yang lebih baik dan cemerlang.

2. Bapak Rektor UIN Imam Bonjol Padang serta Wakil Rektor, Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang yang telah memberikan fasilitas belajar sehingga memiliki keilmuan intelektual.

3. Pak Zulfan, SHI., MH, selaku ketua Jurusan Ahwal al Syakhshyyah, Pak Toni Markos M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Ahwal al Syakhshyyah, dan Ibu Dr. Hamda Sulfinadia, SH,.MH. selaku Penasehat Akademik (PA).

4. Ibu Dra. Gusnida, M. Ag dan Yecky Bus, M.Ag, selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktunya

vii

(11)

5. Ibu Dr. Yusnita Eva, S.Ag, M.Hum dan Zulfan, SHI.,MH, selaku penguji I dan penguji II dalam sidang munaqasyah yang telah memberikan masukan serta saran bagi penyempurnaan skripsi ini

6. Bapak/Ibu Dosen dan Asisten Dosen dilingkungan Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai sekarang.

7. Pimpinan dan Karyawan/ti Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) dan Pustaka Fakultas Syari,ah yang telah memberikan fasilitas berupa buku-buku sebagai bahan skripsi.

8. Yang Tersayang Kawan-kawan sejawat seperjuangan di Fakultas Syari’ah khususnya kepada sahabat-sahabatku keluarga besar Al- ahwal asy-syakhsiyyah angkatan 12 yang namanya tak dapat disebutkan satu-persatu, namun akan selalu terkenang dalam hati dan ingatan, serta kepada kawan-kawan, adek-adek dan para kakanda-kakanda semuanya yang juga telah banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga kita semua dapat mencapai cita-cita dan selalu mendapat ridha-NYA.

Akhirnya setangkai do’a penulis mohonkan untuk semua pihak yang telah berpartisipasi baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Baik secara materil ataupun immaterial, semoga Allah SWT memberikan bantuan yang setimpal atas partisipasi bantuan dan kerja samanya, serta menjadi amal shaleh hendaknya, semoga karya ilmiah ini memberikan hikmah dan manfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis sendiri. Amin ya Rabb.

Padang, Agustus 2017 Penulis

Muhammad Hasan 312.257

viii

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PENGESAHAN PENGUJI ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah ... 5

3. Pertanyaan penelitian ... 6

4. Signifikasi Penelitian ... 6

5. Kerangka Teori ... 7

6. Telaah pustaka ... 9

7. Metode Penelitian ... 11

8. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II MAHAR DALAM HUKUM ISLAM 1. Pengertian Mahar ... 15

2. Dasar Hukum Mahar dan Hikmah Adanya Mahar Dalam Pernikahan ... 17

3. Macam-macam dan Bentuk-bentuk Mahar ... 25

4. Beberapa Problematika Seputar Mahar ... 38

BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBUR PADANG MATINGGI MANDAILING NATAL 1. Keadaan Geografis dan Kependundukan Desa Jambur Padang Matinggi, Kab Mandailing Natal ... 43

2. Situasi Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi, Kab. Mandailing Natal ... 45

ix

(13)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PELARANGAN ISTRI MEMBAWA MAHAR PASCA CERAI TALAK DI DESA JAMBUR PADANG MATINGGI KAB. MANDAILING NATAL.

1. Faktor-faktor Terhadap Larangan Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi, Kab Mandailing Natal ... 63 2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Larangan Isteri

Membawa Mahar Setelah Bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi, Kab. Mandailing Natal ... 73 3. Analisis ... 77 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah.

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang patut dalam mewujudkan perkawinan.

Firman Allh SWT:



























































Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu, (QS. An-Nisa’; 1) (Depertemen Agama RI 1998).

Tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak dijumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor psikologis, biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan, kecendurungan dan lain sebagainya.

1

(15)

Agama Islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut.

Agama Islam membuka suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat di atasi lagi Jalan keluar, dari itu dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui talak, khuluk dan sebaginya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat (Nur 1993, 130).

Dalam hal itu setelah perceraian maka terjadilah masalah dalam rumah tangga tersebut mengenai pembagian harta, baik itu harta bawaan atau harta bersama, seperti halnya yang telah terjadi di Desa Jambur Padang Matingngi, Kecamatan. Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal, setelah perceraian si isteri tidak dibolehkan membawa mahar yang menjadi milik pribadinya. Sewaktu pernikahan dahulu suami memberikan mahar dalam bentuk uang. Isteri menggunakan uang tersebut untuk pembeli peralatan rumah tangga yaitu tempat tidur, lemari dan televise.

Setelah terjadi perceraian si suami dan keluarga suami tidak mengizinkan isteri membawa tempat tidur, lemari dan televise ke tempat yang diinginkan isteri. Mahar si isteri wajib ditinggalkan di rumah suami kecuali yang biasa dipakainya sehari-hari.

Dalam Hukum Islam setelah terjadi perceraian maka harta yang diperoleh suami isteri selama menikah dibagi sama rata karena itu harta bersama dan harta yang dibawa masing-masing dari suami dan si isteri sebelum nikah akan di bawa oleh masing-masing suami isteri karena itu harta bawaan, sedangkan mahar itu adalah menjadi milik pribadi isteri.

Yang terjadi di Desa Jambur Padang Matinggi Mandailing Natal seorang isteri setelah pernikahan mahar yang telah diberikan oleh suaminya digunakan untuk pembeli perabotan rumah tangga, seperti tempat tidur dan lemari. Setelah bercerai maka dalam kebiasaan di Desa Jambur Padang Matinggi si isteri ini harus pergi dari rumah suami dan dia tidak

(16)

boleh membawa tempat tidur dan lemari yang telah dibelikan dengan menggunakan maharnya sewaktu baru menikah.

Sementara dalam Hukum Islam mahar yang telah diberikan kepada isteri tidak boleh diambil kembali, walaupun hanya sebagian apabila si istri telah di dukhul. Firman Allah SWT :





























































Artinya : dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

(Q.S. an-Nisa ayat 20-21) (Depertemen Agama 1998).

Pendapat ulama tentang pemberian mahar terhadap isteri adalah sebagai berikut:

1.1. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

رًٓنأ

ْٕ

لبًنا بجي يف دقع حبكُنا ىهع جٔسنا يف

تهببقي عفبُي عضبنا .

Artinya: Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri ketika adanya akad nikah atau ketika hendak berhubungan badan (Al Sirasi tth, 304).

1.2. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

3

(17)

ٌا مك بي زٕجي

ّندبنا ضٕعنأ

زٕجي

ّخبْ

ٍكن الله ورح عضب ءبسُنا

لاا رًٓنبب

ٌأ

تبًْٕٕنا لا

محح

ِريغن ص . و

.

Artinya: Sekalian yang diperbolehkan menggantikannya boleh pula untuk dihibahkan, akan tetapi Allah mengharamkan kemaluan perempuan kecuali melalui proses mahar, sesungguhnya menghibahkan perempuan tidak diperbolehkan dan ini hanya berlaku kepada Nabi SAW (Azarqani tth, 6).

1.3. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٌا فهكي جٔسنا

ىيهسح قادصنا ىنإ

لدع فهكحٔ

ةأرًنا

ٍيكًخنا اذإف

بٓئطٔ

ثرخأ قادصنا

Artinya: Mahar adalah sesuatu yang dibebankan terhadap suami dengan memberikan mahar terhadap isteri sebagai ganti terhadap beban isteri, dan jika suami berhubungan badan dengan isterinya, jika suami melakukan berhubungan badan dengan isteri maka ia berhak menerima maharnya (Al Ghazali 1997, 223) .

1.4. Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٔ قدصنا ىف

بْبُعي

ٌلأ مك دحٔ

ٍي

ٍيجٔسنا عخًخسي

بصب

ّبح

معجٔ

قدصنا ةأرًهن

َّأكف تيطع ريغب

ضٕع

Artinya: Hakikat dari mahar adalah diperbolehkannya suami isteri untuk saling merasakan kesenangan terhadap pasangannya, dan kebolehan itu sendiri diperbolehkan dengan memberikan mahar terhadap isterinya, seolah-olah pemberian tersebut tidak mengharapkan imbalan (Qudamah tth, 98).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah diatur tentang mahar adalah menjadi harta hak milik peribadi, seperti yang terdapat KHI pada pasal 32 yaitu: Mahar yang diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya (UU RI NO 1tahun 1974, 331).

Seperti wawancara penulis dengan ibu Lenni S.pd yang menikah dengan bapak Sahrul di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan.

(18)

Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal, mengatakan setelah bercerai suaminya tidak membolehkan membawa maharnya dan keluarga suaminya juga melarang sampai menggertaknya supanya tidak membawa maharnya itu pulang ke rumah keluarga isteri, sedangkan harta itu adalah hak miliknya (Lenni 2016).

Sedangkan dalam kasus lain penulis juga melakukan wawancara dengan bapak Umarhadi di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan.

Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal, dia juga mengatakan tidak membolehkan mantan isterinya membawa harta sedikitpun dari rumahnya sekalipun itu harta yang dibeli dengan uang mahar isterinya (Marhadi 2016).

Berhubungan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk mengetahui lebih mendetail apa sebenarnya alasan masyarakat mengatakan bahwa sorang isteri tidak boleh membawa maharnya setelah bercerai sedangkan mahar itu adalah hak pribadi istri sepenuhnya, dan harta milik pribadi adalah kuasa sendiri tanpa ada hak kuasa siapapun sekalipun itu suaminya. Permasalahan ini akan penulis teliti lebih lanjut dalam sebuah skripsi dengan judul “Larangan Terhadap Isteri Membawa Mahar Setelah Bercerai Ditinjau dari Hukum Islam (di Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal).”

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap larangan isteri membawa mahar setelah bercerai (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan Utara Kabupaten.

Mandailing Natal).

5

(19)

3. Pertanyaan Penelitian.

3.1. Apa faktor penyebab larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan.

Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal ?

3.2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap larangan isteri membawa mahar setelah bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal ?

4. Signifikasi Penilitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

4.1. Untuk mengetahui faktor penyebab larangan isteri membawa mahar setelah bercerai (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan.

Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal).

4.2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap larangan isteri membawa mahar setelah bercerai (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan Utara Kabupaten. Mandailing Natal)

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

4.3. Untuk menambah wawasan penulis khususnya mahasiswa serta masyarakat pada umumnya, mengenai larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai ditinjau dari hukum Islam (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan Utara Kabupaten.

Mandailing Natal).

4.4. Untuk menambah literature bagi perpustakaan UIN Imam Bonjol Padang, khususnya Syariah.

4.5. Untuk melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar serjana Hukum (S.H) pada fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang.

5. Kerangka Teori

(20)

Akad perkawinan sebagaimana akad-akad yang lainny, tumbuh darinya berbagai hak dan kewajiban yang saling memberikan respons, yang harus dipenuhi oleh masing-masing suami dan Isteri. Maksudnya perempuan memeliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh orang laki- laki, sebagimana orang laki-laki juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh orang perempuan. Dasar hak-hak dan kewajiban ini adalah tradisi yang bersandarkan kepada fitrah masing-masing orang laki-laki dan perempuan (az-Zuhaili 2011, 230)

Islam sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita denga memberi hak diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa pun walau sangat dekat dengannya (Tihami. Sahrani 2013, 37).

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan) (Ghozali 2008, 92).

5.1. Mahar Musamma

Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah (Ghozali 2008, 92).

Mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shiqad akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu (1) mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat; (2) mahar musamma ghair mu’ajjal, yaitu mahar yang pemberiannya ditangguhkan (Saebani 2001, 276).

5.2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akad nikah jumlah mahar belum ditentukan bentuknya (Saebani 2001, 277). Atau, mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum 7

(21)

dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya (Ghozali 2008, 93).

Maksud mahar mitsil (mahar yang sama) adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak dan seterusnya (Azzam.

Hawwas 2014, 186).

Para Ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad, sebagaimana halnya jual-beli, tetapi merupakan suatu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar, dan bila terjadi percampuran ditentukan mahar mitsil (Mughniyah 2010, 365).

Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan:

5.2.1. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.

5.2.2. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.

5.2.3. Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan (Syarifuddin 2006, 89).

Mahar disyariatkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluru beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya

(22)

yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang releven suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak (Azzam. Hawwas 2014, 177-178).

6. Telaah Pustaka.

Penulis dalam skripsi ini melakukan studi kepustakaan dengan cara meneliti dan menela’ah karya ilmiah yang telah ditulis sebelumnya.

Sejauh pengamatan penulis, belum ada penulisan karya ilmiah yang membahas tentang larangan terhadap istri membawa mahar setelah bercerai.

Adapun skripsi yang membahas masalah mahar adalah:

6.1. Upiak Rizki Ramona, Bp 307.352, dengan judul “Penuntutan Pengambalian Seluruh Mahar disaat Suami Men-thalaq Disebabkan Istri Tidak Mau Diajak Dukhul Ditinjau dari Hukum Islam (studi kasus di Desa Sindang Marga Kecamatan Bayur Lancir Kabupaten Musi Banyuasin Selatan. Adapun rumusan masalah penelitian tersebut adalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengembalian seluruh mahar disaat suami men-thalaq disebabkan isteri tidak mau di-dukhul. ?

kesimpulan dari penelitian tersebut adalah. Haram hukumnya suami menuntut pengembalian seluruh mahar kepada isteri dengan alasan isteri tidak mau di-dukhul, suami hanya boleh menuntut setengah dari yang telah diberikan. Apabila terjadi perpisahan antara suami isteri sebelum bersenggama, baik berpisah tersebut disebabkan adanya thalak 9

(23)

atau pasakh dari pihak suami, seperti fasakh karena ila’, lian atau suami murtad, isteri hanya memperoleh mahar setengah dari apa yang telah disebutkan oleh suami dalam akad nikah. Semua wanita yang dithalak dengan alasan apapun berhak untuk mendapatkan pemberian (mut’ah).

Allah menjadikan mut’ah atas semua wanita yang di-thalaq jika ada orang yang berkata “sesungguhnya Allah telah menyebutkan kekhususan wanita yang di-thalaq dan belum bercampur atau dukhul.

Penelitian yang penulis lakukan ini tentu tidak sama dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, karena penelitian tersebut mengkaji tentang penuntutan pengambalian seluruh mahar disaat suami men-thalaq disebabkan istri tidak mau diajak dukhul ditinjau dari hukum Islam. Sedangkan penelitian yang penulis teliti adalah larangan isteri membawa mahar setelah bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi Kec. Panyabungan Utara Kab. Mandailing natal.

6.2. Hendika Suriadi Bp, 309.296, dengan judul “Problematika Mahar di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Adapun rumusan masalah penelitian tersebut adalah 1). Bagaimana ketentuan mahar dalam pelaksanaan perkawinan di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil?, 2). Apa paktor menjadi penyebab tingginya nominal mahar di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil?, 3). Bagaimana dampak nominal mahar yang tinggi terhadap masyarakat di Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil?.

kesimpulan dari penelitian tersebut adalah. Bahwa penentuan mahar di Kecamatan Singkil yang sangat menentukan adalah atas kehendak pihak mempelai wanita, bukan merupan menurut adat serta tidak sesui dengan yang dianjurkan dalam syari’at Islam. Bahwa bentuk dan nominal mahar untuk perkawinan dalam kebiasaan masyarakat Singkil adalah seperangkat alat shalat, uang tunai yang mencapai jutaaan rupiah dan emas dengan ukuran mayam.

(24)

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, karena di sini penulis mengkaji tentang larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai ditinjau dari hukum Islam (di desa Jambur Padang Matinggi Kec. Panyabungan Utara Kab. Mandailing Natal)

7. Metode penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah sebuah langkah-langkah dalam rangka melakukan penelitian secara aktual di lapangan. Metode penelitian adalah prosedur dan gambaran bagaimana peneliti melakukan penelitian di lapangan.

7.1. Jenis Penelitian

Untuk mendapatkan data dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Penelitian lapangan (field research) dan kepustakaan (file research). Penelitian lapangan (field research) dengan teknik wawancara terhadap pihak-pihak terkait yang berhubungan langsung dengan masalah yang penulis bahas (Bungin 2007, 65-66). Sedangkan penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni membaca buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. tetapi Sebelum turun ke lapangan penulis terlebih dahulu membuat instrument daftar pertanyaan kepada sumber data kemudian penulis terjun langsung ke lapangan menemui pemuka Adat dan pemuka Agama maupun masyarakat di Desa Jambur Padang Matinggi Kabupaten Mandailing Natal.

7.2. Sumber Data

Sumber data yang penulis teliti adalah kebiasaan yang telah terjadi larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai yang sudah terjadi sejak jaman nenek moyang di Desa Jambur Padang Matinggi,

11

(25)

Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal. Selanjutnya objek penelitian yang di dapatkan melalui wawancara di Desa Jambur Padang Matinggi, Kecamatan Panyabungan Utara, Kabupaten Mandailing Natal. Dalam penelitian penulis lakukan adalah wawancara langsung kepada tokoh adat, tokoh agama dan pihak-pihak yang telah melakukan larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Biasanya instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum empiris terdiri dari: wawancara langsung dan mendalam, penggunaan kuisioner dan observasi atau survey lapangan (Nasution 2008, 166). maka penulis menggunakan pengumpulan data secara wawancara (interview) kepada masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi. Dari keseluruhan populasi yang peneliti lakukan untuk memudahkan penulis dalam penelitian ini ynag telah melakukan larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai sejak tahun 2010 sampai 2016. Sedangkan orang yang diwawancarai dalam penelitian ini yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penulis sebanyak 9 (sembilan) orang yang telah melakukan larangan terhadap isteri membawa mahar setelah bercerai di Desa Jambur Padang Matinggi semua pihak tersebut dijadikan sampel dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan dokument yaitu Suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalaui data tertulis yang sesuai dengan permasalahan.

7.4. Teknik Analisis Data.

Teknik analisis data merupakan langkah riil yang sangat dibutuhkan di dalam penelitian sehubungan dengan ada referensi yang sesuai dengan obyek penelitian. Dalam penyusunan skripsi ini akan dilakukan langkah-langkah dalam teknik analisis data sebagai berikut:

7.4.1. Editing.

Pemeriksaan kembali data yang telah dikumpulkan sesuai

(26)

dengan yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam pengelolah data yang pertama adalah meneliti kembali catatan para pencari data itu untuk mengetahui apakah catatan-catatan itu cukup baik dan dapat segara disiapkan untuk keperluan proses berikutnya. Langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah dengan menjelaskan maksud dari hasil penelitian seperti hasil wawancara berupa sebuah pembahasan agar lebih mudah dipahami oleh pembaca.

7.4.2. Klasifikasi Data.

Klasifikasi data adalah mengelompokkan data berdasarkan aspek masalah yang sedang dibahas. Mengingat pertimbangan bahwa seyogianya pengumpul data mengetahui terlebih dahulu kategori-kategori jawaban apa yang ada untuk mengklasifikasikan ragam jawaban kedalam sturuktur klasifikasi, langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menyusun dan mengelompokkan data yang sesuai dengan objek permasalahan yang sedang penulis teliti.

7.5. Analisis Data.

Pada bagian ini penulis menganalisis data secara mendalam dan teliti. Melalui analisis deskriptif, disatu sisi akan didapatkan informasi yang bersifat kuantitif dan relatif cermat mengenai persebaran frekuensi data, selanjutnya penulis akan mengolah data-data yang di peroleh, kemudian menghubungkan data yang satu dengan yang lainnya, selanjutnya penulis memberikan kesimpulan dari data yang telah diperoleh tersebut kemudian disusun dalam bentuk karya ilmiah.

8. Sistematika Penulisan

Sebagai pedoman bagi penulis untuk memudahkan dalam penelitian ini maka penulis membaginya dengan beberapa bab, penulisan sebagai berikut:

13

(27)

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menggambarkan secara umum tentang pembahasan ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan judul serta metode penelitian dan sistematika penelitian yang dipakai.

BAB II : Bab ini membahas gambaran mahar dalam Hukum Islam.

Yakni pengertian mahar, dasar hukum mahar dan hikmah adanya mahar dalam pernikahan, macam – macam, bentuk - bentuk mahar dan beberapa problematika seputar mahar.

BAB III : Dalam Bab ketiga ini akan dibahas mengenai Gambaran Umum Keadaan Geografis dan Kependudukan, situasi aspek Sosial Ekonomi, Pendidikan dan Agama Masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi Mandailing Natal dan dinamika Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Jambur Padang Matinggi Mandailing Natal

BAB IV : Hasil penelitian yang meliputi tinjauan Hukum Islam tentang pelarangan isteri membawa mahar pasca cerai talak di Desa Jambur Padang Matinggi, Mandailing Natal. Maupun mengenai faktor terhadap larangan membawa mahar isteri setelah bercerai ditinjau dari Hukum Islam (di Desa Jambur Padang Matinggi Kecamatan. Panyabungan uatara Kabupaten.

Mandailing Natal)

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini atau bab penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap masalah pokok yang dikemukakan, selanjutnya saran-saran yaitu untuk kesempurnaan penelitian ini di masa yang akan datang.

(28)

BAB II

MAHAR DALAM HUKUM ISLAM

1. Pengertian Mahar

Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni “mahran” atau kata kerja, yakni fi’il dari

“mahara-yamhuru-mahran.” Lalu, dibekukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr, dan kini sudah di Indonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan maskawin (Saebani 2001, 260).

Dalam ilmu fikih maskawin mempunyai banyak nama, demikian juga dalam al-Quran , maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadang kala disebut dengan shadaq, nihlah, faridhah atau arjun (Hakim 2000, 72).

Sedangkan mahar secara terminologi, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada suaminya” atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi suami kepada istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dsb) (Ghozali 2008, 84).

Pengertian mahar menurut istilah, ada beberapa definisi di kalangan para ulama Fiqh, di antaranya:

1.1. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

رًٓنأ

ْٕ

لبًنا بجي يف دقع حبكُنا ىهع جٔسنا يف تهببقي عفبُي عضبنا .

Artinya: Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri ketika adanya akad nikah atau ketika hendak berhubungan badan.

(Al Sirasi tth, 304).

15

(29)

1.2. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٌا مك بي زٕجي

ّندبنا ضٕعنأ

تخبْ زٕجي

ٍكن الله ورح عضب ءبسُنا لاا رًٓنبب

ٌأ

تبًْٕٕنا لا

محح

ِريغن ص . و .

Artinya: Sekalian yang diperbolehkan menggantikannya boleh pula untuk di hibahkan, akan tetapi allah mengharamkan kemaluan perempuan kecuali melalui proses mahar, sesungguhnya menghibahkan perempuan tidak diperbolehkan dan ini hanya berlaku kepada nabi saw (Az zarqani tth, 6).

1.3. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٌا فهكي جٔسنا ىيهسح

قادصنا ىنإ

لدع فهكحٔ

ةأرًنا

ٍيكًخنا اذإف

بٓئطٔ

ثرخأ

قادصنا

Artinya: Mahar adalah sesuatu yang dibebankan terhadap suami dengan memberikan mahar terhadap isteri sebagai ganti terhadap beban isteri, dan jika suami berhubungan badan dengan isterinya, jika suami melakukan berhubungan badan dengna isteri maka ia berhak menerima maharnya (Al Ghazali 1997, 223).

1.4. Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah:

ٔ قدصنا ىف

بْبُعي

ٌلأ مك دحٔ

ٍي

ٍيجٔسنا عخًخسي

بصب

ّبح معجٔ

قدصنا ةأرًهن

َّأكف تيطع ريغب

ضٕع .

Artinya: Hakikat dari mahar adalah di perbolehkannya suami isteri untuk saling merasakan kesenangan terhadap pasangannya, dan kebolehan itu sendiri di perbolehkan dengan memberikan mahar terhadap isterinya, seolah-olah pemberian tersebut tidak mengharapkan imbalan (Qudamah tth, 98).

Mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita dengan sebab nikah atau watha’.

Mahar itu sunnat disebutkan jumlah atau bentuk barangnya dalam akad nikah. Apa saja barang yang ada nilai (harga)nya sah untuk dijadikan mahar (Nur 1993, 81).

Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu dengan memberinya hak mahar untuk memegang urusannya sebagai bukti bahwa wanita adalah manusia juga

(30)

yang harus diakui perannya dalam kehidupan pria yang dapat juga bertindak secara hukum. Di zaman Jahiliah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, karena wanita hanya dianggap sebagai boneka atau lebih dari itu, yang menurut wali pada saat itu mereka tidak cakap hukum. Wali dengan semena-mena dapat menggunakan harta wanita yang berada dalam tanggung jawabnya dan tidak memberikan kesempatan kepada wanita itu untuk mengurus harta dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu, dengan memberikan hak mahar kepadanya (Sabiq 1981, 53).

2. Dasar Hukum Mahar dan Hikmah Adanya Mahar dalam Pernikahan

2.1. Dasar Hukum Mahar

Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri dari atas dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an dan dasar hukum dari As- Sunnah. Dilengkapi oleh pendapat ulama tentang kewajiban pembayaran mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan (Saebani 2001, 262). Seperti dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 4, Allah SWT, berfirman :









 





















Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Q.S an-Nisa ayat 4) (Depertemen Agama RI 1998).

Ayat di atas menyebutkan kata “mahar” dengan istilah “Shadaq”

yang dimaknakan sebagai pemberian yang penuh keikhlasan. Ayat ini 17

(31)

dijadikan dalil oleh para ulama bahwa mahar dalam pernikahan sepenuhnya menjadi hak mempelai wanita. Siapapun orangnya, termasuk orang tua sang isteri, tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengambil maharnya (Saebani 2001, 263). Dalam surat an-Nisa’ ayat 25, Allah SWT berfirman sebagai berikut:























































































































Artinya: Dan barangsiapa diantara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturuna adam dan hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan buka (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun.

Maha Penyanyang (QS an-Nisa’ 25) (Depertemem Agama RI 2002, 83).

(32)

Dalam ayat di atas digunakan istilah ajrun atau ujurohunna. Istilah tersebut makna asalnya upah, dalam kontek ayat itu bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak dinikahi, yang di samping itu harus dengan izin orang tuanya, juga harus dibayar maharnya.

Dengan demikian, dalam kontek hak atas mahar, tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dengan merdeka. Ayat tersebut dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan gender Islam telah melakukannya secara adil, terutama dalam upaya membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan sosial maupun budaya.

Firman Allah SWT :





























































Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata,? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat, (QS. an-Nisa ayat 20-21) (Depertemen Agama RI 1998).

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika seseorang menceraikan isterinya agar tidak mengambil atau meminta kembali apa yang telah diberikan kepada isteri, baik itu belanja selama pernikahan atau pemberian kepaada isteri maupun mahar yang telah diberikan kepada isteri. Sedangkan 19

(33)

suami telah bergaul (bercampur) seabagai suami isteri. Maka jangan meminta kembali apa yang telah diberikan kepada isteri.

Firman Allah SWT :























































































Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. an-Nisa ayat 24) (Depertemen Agama RI 2002).

Ayat di atas juga menjelaskan agar memberikan mahar isteri seutuhnya karena itu sautu kewajiban bagi suami. Akan tetapi harus sesuai yang telah disepakati kecuali suami isteri tersebut saling ikhlas atau saling merelakan diantara suami isteri atas perjanjian mereka.

Dalam surat al-Baqarah ayat 237 disebutkan :

(34)









































































Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Baqarah:

ayat 237) (Depertemen Agama RI 2002).

Dari urain di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, bukan sebagai pemberian ganti rugi. Mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling cinta-mencintai antara kedua suami isteri, dengan syari’at mahar ini bahwa Islam sangat memperhatikan dan mengharga kedudukan wanita. Islam juga memberikan hak dan wewenang untuk mengurus harta wanita itu dan mengurus dirinya sendiri (Nur 1993, 83).

Adapun dalil dari hadist diantaranya adalah sabda nabi yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi dalam suatu kisah yang panjang dalam bentuk hadist muttafaq alaih:

َلوُسَر اَي ِوَّللَا نِإ ! مَل نُكَي َكَل اَهِب ٌةَجاَح اَهيِن جِّوَزَ ف َلاَق .

لَهَ ف : َكد نِع نِم ٍء يَش َلاَقَ ف ?

:

َل ِوَّللَاَو , َلوُسَر اَي

ِوَّللَا َلاَقَ ف . بَى ذِا :

ىَلِإ َكِل ىَأ رُظ ناَف ,

لَى ُدِجَت اًئ يَش َبَىَذَف ? َّمُث ,

َعَجَر َلاَقَ ف ? َل : ِوَّللَاَو , َلوُسَر اَي

،ِوَّللَا ُت دَجَو اَم

اًئ يَش َلاَقَ ف . ُلوُسَر ِوَّللَا ىلص للها ويلع

رُظ نا ملسو وَلَو اًمَتاَخ نِم

،ٍديِدَح

Artinya: Ya rasul Allah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkah saya dengannya. Nabi berkata:

21

(35)

“apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata: “tidak ya Rasul Allah”.

Nabi berkata: “pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata: “tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul Allah”.

Nabi berkata: “carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi (Ibnu Majaz 2013, 183) (al-Asqalany 2013, 212-213).

Dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda:

نَعَو ِد بَع ِوَّللَا ِن ب ِرِماَع ِن ب َةَعيِبَر نَع , ِويِبَأ ( َّنَأ َّيِبَّنلَا ىلص للها ويلع َزاَجَأ ملسو

َحاَكِن ٍةَأَر مِا

ىَلَع ِن يَل عَ ن ُوَجَر خَأ . يِذِم رِّ تلَا ُوَحَّحَصَو

َفِلوُخَو , َكِلَذ يِف

Artinya: Dari Abdullah Amir Ibnu Rabi'ah, dari ayahnya, Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memperbolehkan nikah dengan seorang perempuan dengan (maskawin) dua buah sandal. Hadits shahih riwayat Tirmidzi, dan hal itu masih dipertentangkan (al-Asqalany 2013, 226)

Hadits-hadits di atas menunjukkan mahar kewajiban sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikan mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah meninggalkannya, karena hal ini menunjukkan kewajibannya.

Para ulama sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik dan sebagai shadaqah, yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya sesuai dengan akad nikah (Saebani 2001, 266).

Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam literature ulama

(36)

yang menempatkan sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi perkawinan, dalam artian perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan (Syarifuddin 2006, 87).

Dalam UU perkawinan memang tidak diatur tentang mahar dalam pernikahan, tetapi KHI mengatur secara panjang lebar tentang mahar, serperti dalam pasal 30, yaitu. calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Syarifuddin 2006, 98).

2.2. Hikmah Adanya Mahar Dalam Pernikahan

Hikmah diwajibkan mahar adalah bahwa perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dijalani oleh masing- masing pihak. Pemberian mahar mengandung isyarat kepada apa yang diwajibkan oleh perkawinan atas suami yaitu kewajiban memberikan nafkah dan kebutuhan lainnya dalam rumah tangga (al-Kurdi 1995, 35).

Tujuan dan hikmah mahar, merupakan jalan yang menjadikan isteri berhati senang dan ridha menerima kekusaan suaminya kepada dirinya (Shomad 2012 . 287) .

2.2.1. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai.

2.2.2. Sebagia usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya.

Mahar disyariatkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluru beban materi. Istri pada umumnya

23

(37)

dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang releven suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak (Azzam. Hawwas 2014, 177-178).

Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang suami kepda istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil berikutnya (Syarifuddin 2006, 87).

Mahar dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam di antaranya :

2.2.4. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya saling membutuhkan.

2.2.5. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.

2.2.6. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya.

2.2.7. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami dan istri (Nuruddin dan Taringan tth, 67).

Pernikahan yang dilakukan akan menimbulkan akibat hukum kehalalan hubungan seorang pria dan wanita. Sebelum hubungan itu terjadi maka mahar wajib diserahkan sebagai salah satu bukti

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi RNA yang diperoleh dengan penambahan sodium asetat dan etanol absolut serta disimpan pada suhu -20 0 C adalah 402 ng/µl untuk RNA bunga kakao, 1.200 ng/µl untuk RNA

UJIAN SEKOLAH/MADRASAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN

Data-data yang telah didapat tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai hidrodinamik koefisien yang terdiri atas drag coefficient dan lift coefficient .Dari hasil

Sebagai seorang religius sejati Ibn Miskawaih meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya diciptakan Tuhan dalam dua unsur yaitu unsur jasad dan jiwa jasad manusia akan hancur

Para konsorsium yang merupakan gabungan perusahaan akan bertanggung jawab terhadap proses pembangunan proyek (meliputi desain, biaya dan konstruksi), memelihara

Harga grosir jenis beras IR di PIBC naik disebabkan meningkatnya permintaan di wilayah Jabodetabek dan tingginya permintaan dari para pedagang antar pulau sedangkan kenaikan harga

Danau Poso Blok G3A No.4 Sawojajar, Telp.. Gatot