• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdapat 5 (lima) bab yang setiap bab nya memiliki bagian sub- babnya tersendiri, yang saling berkaitan datu dengan yang lainnya. Adapun bentuk dari sistematika penulisan skripsi ini adalah :

Bab I tentang pendahuluan. Pada bab ini akan membahas pengantar untuk dapat memberikan penjelasan secara singkat tentang ruang lingkup dari penulisan karya ilmiah ini meliputi latar belakang permasalahan, keaslian penulisan karya ilmiah, tujuan dari penulisan, manfaat dari penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta pengumpulan data yang dilakuakan dalam mengerjakan penulisan karya ilmiah ini.

Bab II membahas tentang sejarah dan perkembangan Corporate Social Responsibility, dasar hukum Corporate Social Responsibility, Ruang lingkup Corporate Social Responsibility serta membahas tentang konsep yang digunakan dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility dan Manfaat dari Corporate Social Responsibility.

Bab III membahas tentang sejarah dan Perkembangan Penanaman modal, dasar hukum kegiatan Penanaman modal, bentuk kerjasama Penananaman modal serta lebih khususnya membahas tentang Joint Venture Company.

Bab IV membahas tentang Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pengelolaan perusahaan kerjasama Patungan PMA dan PMDN (Joint Venture Company) studi tentang CSR pada PT.Toyota Astra Motor dimana membahas tentang faktor yang mempengaruhi penerapan Corporate Social Responsibility, konsekuensi hukum bagi joint venture company , serta bagaimana pelaksanaan Corporate Social Responsibility dalam Pengelolaan Joint Venture company (Studi pada PT.Toyota Astra Motor)

Bab V membahas dari bab-bab sebelumnya sehingga akan ditemukan suatu penarikan akan suatu kesimpulan serta garis-garis besar dan juga pemahaman atas pemaparan materi dari karya ilmiah ini. Saran dari penulis kiranya penulisan karya ilmiah ini dapat memberikan sebuah masukan yang positif terhadap Pelaksanaan Corporate Social Responsibility oleh Perusahaan- Perusahaan Kerjasama Patungan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

A. Sejarah Perkembangan Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility yang marak diimplementasikan banyak perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir begitu saja.30

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan menjalani beberapa tahap yang dipengaruhi oleh sepak terjang para pelaku usaha dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Konsep tersebut juga mendapat pengaruh dari perkembangan ideologi dan tatanan kehidupan bangsa dan antarbangsa. Segala hal tersebut ikut memberikan kontribusi hingga tiba pada suatu saat dimana para pelaku usaha menyadari perlunya aksi bersama masyarakat setempat demi kepentingan semua pihak.31

Gema CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat di mana secara global, masyarakat dunia telah pulih Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkatit dengan

30 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik: Fascho Publishing, 2007), hlm. 3.

31 Matias Siagian dan Agus Suriadi, CSR Pespektif Pekerjaan Sosial (Medan: FISIP USU PRESS, 2010), hlm. 6.

pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.32

Ada dua jenis skandal tentang korporasi pada zaman itu melawan masyarakat yang cukup menggemparkan dan pada akhirnya semakin memperkuat ketidakpercayaan masyarakat pada korporasi diantaranya adalah yang terungkap dalam kasus Holocaust dan Agent Orange.

Keadaan ini pula yang kemudian melahirkan undang-undang tentang boikot di Amerika Serikat, yang memberikan hak kepada masyarakat luas untuk memboikot penggunaan produk tertentu yang dihasilkan oleh produsen tertentu, manakala diketahui bahwa produsen atau manufaktur tersebut telah melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.33

Redanya perang antarnegara melahirkan kesempatan bagi masyarakat dan negara untuk berbenah diri. Jika selama perang pertahanan dan keamanan menjadi pusat perhatian dan ikhtiar, maka pada masa tenangn dan damai berbagai negara mulai mengalihkan perhatian, ikhtiar dan prioritas ke arah mengakhiri penderitaan dan kesengsaraan berkepanjangan yang melanda masyarakat yang selama ini bukan dianggap sebagai masalah berarti, justru dianggap sebagai masalah serius dan harus dicari solusinya.34.

32Yusuf Wibisono, Op. Cit., hlm. 3-4.

33 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op.cit ., hlm 12.

34 Matias Siagian dan Agus Suradi, Op.cit., hlm 9.

Kesadaran atas tanggung jawab sosial perusahaan meningkat juga ketika Howard R.Bowen menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman. Bowen mengemukakan bahwa perusahaan dalam praktek ekonominya tidak boleh berjalan sendiri, melainkan harus menyelaraskan praktek ekonominya dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat setempat dimana perusahaan itu berada. Pengakuan masyarakat banyak terhadap asas-asas tanggung jawab sosial yang dikemukakannya menjadikan ia dikelompokkan oleh banyak tokoh sebagai bapak tanggung jawab sosial.35

Pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam “The Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow tahun 1966.

Pandangan Thurow pun tak kalah tajamnya. Menurutnya, kapitalisme tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang disebut sustainable society. Thurow memang agak pesimis bahwa konsep itu bisa diimplementasikan. Namun demikian, perilaku karitatif sudah banyak digelar oleh korporasi.36

Kaith Davis, pakar sosiologi perusahaan selanjutnya tampil dengan buku berjudul Iron Law of Social Responsibility, yang mengembangkan pemikiran Bowen. Dalam konsepnya, Davis mengemukakan bahwa penekanan pada tanggung jawab sosial perusahaan memiliki hubungan

35 Ibid, hlm 10.

36 Yusuf Wibisono, Op.cit, hlm 5.

positif dengan ukuran perusahaan. Kajian ilmiah yang dilakukannya antara lain menyimpulkan, bahwa semakin besar suatu perusahaan maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus ditunaikannya pada masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa ukuran perusahaan senantiasa sebanding dengan ukuran sumber daya alam yang digunakan dalam praktek bisnis perusahaan itu.37

Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku yang hingga kini terus diperbaharui itu merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara disisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya kearah Community Development. Intinya kegiatan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang kearah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja sama, memberikan keterampilan, pembukaan akses pasar, dan sebagainya. Dasar 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil Society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek CD. CD menjadi suatu aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.38

Pada saat itu berkembang pemikiran dan upaya menjadikan program pengembangan masyarakat sebagai aktivitas ekonomi yang bersifat lintas bagian. Dengan demikian perusahaan harus mengembangkan aktivitas ekonomi yang menguntungkan secara ekonomi sekaligus mengandung makna dan sifat sosial. Pemikiran ini berupaya menepis anggapan yang selama ini melekat pada benak pelaku usaha,

37 Matias Siagian dan Agus Suradi, Op.cit., hlm 11.

38 Yusuf Wibisono, Op.cit, hlm 6.

bahwa aktivitas yang menguntungkan secara ekonomi senantiasa bersebrangan dengan aktivitas sosial.39

Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KKT Bumi (Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan besar dalam konteks CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P”

(profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “ Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang di release pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain , maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan Cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut menjaga kelestarian lingkungan (planet).40

Gaung tanggung jawab sosial perusahaan makin menggema setelah diselenggarakannya pertemuan puncak yang melibatkan hampir semua negara membahas berbagai hal berkenaan dengan pembangunan berkesinambungan (World Summit on Sustainable Development). Dalam pertemuan tersebut ditegaskan bahwa pembangunan yang berkesinambungan memerlukan kerja sama yang melibatkan berbagai pihak. Perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas ekonomi tanpa memperhatikan dan memberi manfaat bagi pemeliharaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat, serta kepentingan umat manusia secara keseluruhan.41

Sejarah kehadiran tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia dipengaruhi perkembangan yang berlangsung di negara-negara lain.

39 Matias Siagian dan Agus Suradi, Op.cit., hlm 16.

40 Yusuf Wibisono, Op.cit, hlm 6.

41 Matias Siagian dan Agus Suradi, Op.cit., hlm 17.

Perkembangan ini didukung oleh sikap politik ekonomi pemerintah Indonesia yang semakin membuka diri terhadap penanaman modal asing.

Dengan demikian, sejarah kehadiran tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan erat dengan perilaku sosial para penanam modal internasional atau perusahaan-perusahaan multi nasional yang melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia.42

Penilaian atas implemantasi tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia pun terus berkembang. Dimana pada akhirnya tanggung jawab sosial perusahaan itu ditempatkan pada ranah yuridis dalam bentuk peraturan perundang-undangan43.

Secara umum Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain merupakan cara perusahaan mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada komunitas.44

Selain itu makna Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab

42 Ibid, hlm 24.

43 Ibid, hlm 26-27.

44 Bambang Rudito dan Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, (Bandung : Rekayasa Sains Bandung, 2007), hlm 207.

sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.45

B. Dasar Hukum Corporate Social Responsibility

Di Indonesia isu CSR terus bergulir seiring dengan munculnya berbagai tuntutan, tekanan, dan resistensi baik dari masyarakat lokal maupun LSM/NGO terhadap aktivitas dunia usaha. Akar dari tuntutan itu sendiri tidak terlepas dari :

a. Dampak industrialisasi terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan;

b. Proses demokratisasi;

c. Perkembangan dunia Informasi dan Teknologi (IT) ; d. Tantangan globalisasi dan tuntutan pasar bebas; dan e. Budaya perusahaan (corporate culture).

Menyikapi hal tersebut, pembuat undang-undang (legislatif dan eksekutif) mengakomodir tuntutan itu dengan mengambil sikap yang tidak populis di kalangan dunia usaha, yaitu dengan kebijakan menormakan CSR yang semula didasari atas etika bisnis yang sarat dengan nilai-nilai moral, dijadikan sebagai norma hukum yang dituangkan ke dalam produk peraturan perundang-undangan. Kebijakan seperti ini disebut sebagai transformatif nilai.46

1. Corporate Social Responsibility dalam Undang-Undang Penanaman Modal

45 Hendrik Budi Untung, Op.cit, 2008, hlm 1.

46 Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandatory, (Jakarta : Rajawali Press, 2012), hlm 123.

Dilihat dari substansi Undang-Undang Penanaman Modal terdapat beberapa pasal yang esensial berkaitan dengan CSR yang terlihat dari :

a. Pasal 3 ayat (1) UUPM mengenai asas Penanaman modal, menegaskan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas :

1. Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

2. Keterbukaan, yaitu asas terbuka atas masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

3. Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa segala kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, yaitu asas perlakuan pelayanan nondiskriminatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal luar negeri maupun antara penanam modal luar negeri maupun antara penanam modal dari negara asing lainnya

5. Kebersamaan, yaitu asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

6. Efisiensi berkeadilan, yaitu asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

7. Berkelanjutan, yaitu asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa datang.

8. Berwawasan lingkungan, yaitu penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

9. Kemandirian, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup daripada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

10. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasioan, yaitu asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah, dalam kesatuan ekonomi nasional.47

b. Pasal 3 ayat (2) UUPM mengenai tujuan penyelenggaraan penanaman modal dapat dilihat pada, yaitu :

47 Ibid, hlm 140-141.

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

2. Menciptakan lapangan kerja;

3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;

6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.48

c. Berkaitan dengan ketenagakerjaan menegaskan bahwa sebagai berikut : 1. Pasal 10 ayat (1) UUPM menegaskan

“Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia”49 2. Pasal 10 ayat (3) UUPM menegaskan

“Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.50

3. Pasal 10 ayat (4) menegaskan

“Perusahaan penanaman modal yang memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.51

d. Berkaitan dengan kewajiban penanaman modal, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 15 UUPM sebagai berikut bahwa setiap penanam modal berkewajiban :

a) Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;

b) Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

c) Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanamn Modal;

d) Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

e) Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.52

Dengan ditegaskan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai kewajiban penanam modal, maka pasal 15 UUPM telah meletakkan

48 Republik Indonesia, Undang-Undang 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI. Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 3 ayat (2).

49 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI.

Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 10 ayat (1).

50 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI.

Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 10 ayat (3).

51 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI.

Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 10 ayat (4).

52 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI.

Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 15.

landasan yuridis perubahan paradigma sifat CSR dari voluntary menjadi mandator. Apalagi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 UUPM. Perubahan paradigma ini diperkuat dalam penjelasan umum UUPM yang menyatakan bahwa “tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptkana hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya

2. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara ;

4. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;

5. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan

6. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.54

Tanggung jawab penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPM lebih mengarah pada prinsip CSR, sehingga perusahaan yang tidak menerapkan prinsip CSR dalam aktivitasnya tetap dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UUPM.55

f. Pasal 17 UUPM menegaskan bahwa :

Setiap penanam modal yang bergerak di bidang usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan diwajibkan untuk mengalokasikan sebagaian dananya untuk pemulihan lokasi usahanya sehingga memenuhi standar lingkungan hidup yang pelaksananya diatur sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.56

g. Pasal 34 berkaitan dengan sanksi mengaskan sebagai berikut :

53 Bursya Azheri, Op.cit, hlm 143.

54 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 16.

55 Busyra Azheri, Op.cit, hlm 143.

56 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 17.

1. Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa :

a) Peringatan tertulis;

b) Pembatasan kegiatan usaha;

c) Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal;

atau

d) Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.57 2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.58

3. Selain dikenal sanski administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.59

Dari beberapa ketentuan CSR yang diatur dalam UUPM menunjukkkan bahwa CSR telah ditegaskan sebagai suatu keharusan (mandatory) dalam makna liability bagi investor. Bagi investor yang tidak menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya dikenakan sanksi bersifat administratif maupun sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.60

2. Corporate Social Responsibility dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas

Di banyak negara, kegiatan CSR merupakan kegiatan yang sudah lazim dilakukan oleh suatu perusahaan. Kegiatan ini tidak diatur dalam ketentuan tersendiri, tetapi esensinya tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Disamping itu, faktor pendukung utama penerapan CSR adalah adanya kesadaran dari perusahaan itu sendiri, meskipun motifnya sebagai upaya untuk menjaga hubungan baiknya dengan stakeholders. Sedangkan di Indonesia, kegiatan CSR baru marak dilakukan pada beberapa tahun belakangan, Dalam UU PT dinyatakan

57 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 34 ayat (1).

58 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 34 ayat (2).

59 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.67, Tambahan Lembaran Negara No.4724, Pasal 34 ayat (3).

60 Busyra Azhari, Op.cit, hlm 145.

secara eksplisit bahwa CSR merupakan suatu kewajiban bagi perseoran.

Dengan adanya pengaturan seperti ini, berarti telah terjadi suatu “revolusi”

terhadap prinsip tanggung jawab dalam konsep CSR, dari bersifat sukarela (voluntary) berubah menjadi keharusan (mandatory) dalam makna legal responsibility.61

CSR yang dimaksud dalam UUPT dapat dilihat pada pasal 1 angka 3 UUPT menegaskan :“tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untu berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.62

Selain itu rumusan mengenai CSR diatur juga dalam pasal 74 UUPT yang terdiri dari empat ayat sebagai berikut :

a. Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa

“perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan63

b. Pasal 74 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa

“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.”64

c. Pasal 74 ayat (3) UUPT juga menegaskan bahwa :

“perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.65

d. Pasal 74 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa

61 Ibid, hlm 145-146.

62 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.106, Tambahan Lembaran Negara No.4746, Pasal 1 angka 3.

63 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.106 Tambahan Lembaran Negara No.4746, Pasal 74 ayat (1).

64 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.106 Tambahan Lembaran Negara No.4746, Pasal 74 ayat (2).

65 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Lembaran Negara RI Tahun 2007 No.106 Tambahan Lembaran Negara No.4746, Pasal 74 ayat (3).

“ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.66

C. Ruang Lingkup Corporate Social Responsibility

Broadway dan Vogel menyatakan ada tiga dimensi yang harus diperhatikan , sehubungan dengan ruang lingkup CSR yaitu:

a. Corporate philanthrophy adalah usaha-usaha amal yang dilakukan oleh suatu perusahaan, di mana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan normal perusahaan.

Usaha-usaha amal ini dapat berupa tanggapan langsung perusahaan atas permintaan dari luar perusahaan atau juga berupa pembentukan suatu badan tertentu, seperti yayasan untuk mengelola usaha amal

Usaha-usaha amal ini dapat berupa tanggapan langsung perusahaan atas permintaan dari luar perusahaan atau juga berupa pembentukan suatu badan tertentu, seperti yayasan untuk mengelola usaha amal

Dokumen terkait