• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan Tesis

Agar data-data dan uraian dalam penelitian tersaji secara sistematis, maka tesis ini di tulis dengan susunan sebagai berikut:

Bab I : Penulis menjelaskan mengenai gambaran secara umum tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian.

Bab II : Penulis menguraikan tentang landasan teori yang di gunakan dalam penyusunan tesis ini, antara lain:

definisi topik, pengertian topik tunggal, pengertian topik sambung loncat, jenis-jenis topik serta teori-teori lainnya yang dapat menguatkan dalam penyusunan kerangka berpikir.

Bab III : Menjelaskan tentang metode yang digunakan penulis dalam penulisan tesis ini. Adapun metode yang digunakan adalah tentang pendekatan struktural, teknik Penelitian, Instrumen Penelitian serta Teknik Pencatatan Data.

Bab IV : Merupakan Inti tesis, didalamnya akan dibahas mengenai adanya topik tunggal dan topik sambung loncat, serta analisisnya yang terdapat dalam novel MIDAH Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer.

Bab V : Merupakan akhir dari penulisan Tesis ini yang berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya.

Daftar Pustaka Lampiran

Daftar Riwayat Hidup Penulis

20

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

Pada bab ini akan diuraikan teori-teori dan pendapat dari para ahli sebagai landasan penelitian, terutama yang berhubungan dengan pengertian mengenai topik, topik tunggal dan topik sambung loncat. Pengertian mengenai novel serta unsur-unsur yang terkandung di dalam novel.

A. Landasan Teori 1. Topik

a. Pengertian Topik

Topik berasal dari bahasa Yunani “topoi” yang berarti tempat, dalam tulis menulis berarti pokok pembicaraan atau sesuatu yang menjadi landasan penulisan suatu artikel.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, topik itu sendiri memiliki pengertian sebagai:

(i) Pokok pembicaraan dalam diskusi, ceramah, karangan dan sebagainya: bahan diskusi

(ii) Hal yang menarik perhatian umum pada waktu akhir-akhir ini:

sebagai bahan pembicaraan.

Menurut Antoen M. Moeliono (Via Mulyana, 2005:39-40) menjelaskan bahwa wujud topik bisa berbentuk frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan.

Topik adalah proposisi utama dari paragraf, biasanya diartikan sebagai “aboutness” suatu satuan wacana (Renkema, 2004:90).

Maksudnya, topik merepresentasikan bagian inti suatu wacana secara umum.

Topik menurut Givon (dalam Baryadi 2002:54) disebutkan sebagai pusat perhatian (centre of attention) dalam wacana.

b. Pengertian Topik Tunggal

Topik Tunggal adalah bahan perbincangan yang dipakai oleh penutur kepada lawan bicaranya dengan hanya mengangkat satu pokok dialog atau satu masalah yang diperbincangkan.

Satu topik yang dibagi dan dibicarakan oleh dua atau banyak pembicara disebut sebagai ‘topik tunggal’, yaitu dialog yang hanya membicarakan satu topik. (Mulyana, 2005: 41).

Umumnya pada topik tunggal pasangan bicara hanya mengikuti alur si pembicara saja. Berikut ini adalah salah satu contoh dialog topik tunggal :

Ade: Saya ke Parangtritis, kemarin.

Joko: Ramai, ya?

Ade: luar biasa. Enggak seperti biasanya. Orang berjubel di pantai. Tapi setelah agak sore, sepi. Semua pulang.

Joko : Emang kenapa?

Ade : Hujan!

Topik pembicaraan pada contoh percakapan di atas adalah ‘pergi ke Parangtritis’. Percakapan di atas berbicara tentang satu topik karena diantara Ade dan Joko yang melakukan percakapan itu, Joko hanya mengikuti pembicaraan Ade sebagai lawan bicaranya.

c. Pengertian Topik Sambung Loncat

Topik Sambung Loncat adalah komunikasi yang dilakukan antara penutur dan lawan bicara dengan tidak hanya mengetengahkan satu pokok masalah saja, akan tetapi memperbincangkan juga masalah yang lain.

Topik Sambung Loncat adalah lebih dari satu topik yang dibagi dan dibicarakan oleh dua atau banyak pembicara (Mulyana, 2005: 41).

Umumnya pada topik sambung loncat pasangan bicara tidak hanya mengikuti alur si pembicara saja melainkan pada masing-masing pembicara tersebut bisa menceritakan ke pembicaraan yang lebih luas lagi. Berikut ini adalah salah satu contoh dialog topik sambung loncat : Ade : Kemarin saya ke Parangtritis. Indah tapi panas!

Joko : Saya juga pergi. Tapi ke Pangandaran.

Ade : Parangtritis ramai sekali.

Joko : Pangandaran, apalagi. Luar biasa. Penuh orang!

Topik pembicaraan pada contoh percakapan di atas adalah

‘rekreasi’. Namun, masing masing pembicara saling berbagi cerita dan pengalamannya sendiri-sendiri. Joko mengimbangi cerita Ade dengan

cara menceritakan kisah bandingan. Hal ini yang menyebabkan percakapan mereka tetap berjalan lancar dan koheren (Mulyana, 2005:41).

2. Jenis-Jenis Topik

Istilah topik wacana (selanjutnya disebut topik) sering dikacaukan dengan konsep topik dalam tata kalimat. Pada pembahasan ini, keduanya dibedakan secara tegas, dalam tata kalimat topik mempunyai kaitan dengan struktur kalimat secara fungsional. Bahkan topik merupakan suatu deskripsi struktur kalimat. Selain itu dalam konteks wacana topik merupakan suatu ide atau hal yang dibicarakan dan dikembangkan sehingga membentuk sebuah wacana.

Menurut Brown dan Yule (1996:65), untuk menganalisis topik wacana diperlukan setidak-tidaknya satu penggal wacana. Didalam peristiwa percakapan itu, peserta berusaha mengembangkan topiknya masing-masing. Contohnya: (Nina dan Rama sedang belajar menggambar)

Nina : “Dik Lama (RAMA) nggak punya mobin (MOBIL) ya!”

Rama : “Punya, punya sepeda moton (MOTOR) (sambil tertawa)”

Rama : “Ini (sambil menunjukkan gambar) punyaku bagus.”

Pada contoh diatas tampak bahwa kedua peserta percakapan itu mempunyai topik yang berbeda. Keduanya terlibat dalam suatu peristiwa percakapan, tetapi keduanya mempunyai topik yang berbeda. Pada penggalan percakapan di atas, topik yang dibicarakan oleh pembicara

pertama adalah mobil sedangkan pembicara kedua membicarakan sepeda motor. Dengan demikian, jelas bahwa topik yang dibicarakan dalam percakapan dapat lebih dari satu topik meskipun dalam sebuah peristiwa percakapan. Percakapan seperti pada contoh diatas, tidak terhindarkan karena tiap pembicara sudah ada keinginan menyampaikan topik yang merupakan sesuatu yang telah dialaminya, yang dianggap menarik untuk disampaikan kepada orang lain (Samsuri dalam Rani, 2006 : 145-146).

Topik berbeda dengan judul dan tema. Judul mengacu pada suatu nama atau identitas sebuah wacana. Judul sebuah wacana kadang-kadang tidak mencerminkan isi yang terkandung dalam wacana tersebut.

Topik dapat menjadi bagian dari tema dan juga bagian dari judul, namun perbedaan tema dan topik tidak dapat dijelaskan secara tegas.

Keduanya dapat berimpitan dan tidak mempunyai batas.

a. Topik wacana percakapan

Pemilihan topik yang dikembangkan dalam percakapan dipengaruhi oleh norma atau budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Selain ditentukan oleh norma atau budaya, topik percakapan yang dipilih juga ditentukan oleh faktor situasional. Situasi yang terjadi di sekitar terjadinya percakapan itu mempunyai peranan penting dalam pemilihan topik. Oleh karena itu, seorang analis harus memperhatikan hal-hal disekitar peristiwa percakapan (konteks) dan koteks (Brown dan Yule dalam Rani, 2006 : 147)

Berdasarkan acuan yang dirujuknya, topik percakapan dibedakan atas:

1) Topik lama dan baru

a) Dalam percakapan para penutur biasanya memperhatikan masalah urutan lama-baru tersebut.

b) Dalam percakapan sehari-hari, berdasarkan penelitian Keenan dan Schieffelin (dalam Rani, 2006:149), pendengar menuntut agar pembicara dalam percakapan menggunakan pola urutan topik lama-baru. Hal itu sangat penting untuk membentuk praduga (presupposition).

c) Untuk mengetahui apakah pendengar telah memahami atau belum, pembicara dapat mengetahuinya dengan berbagai macam cara, misalnya dengan melihat tanggapan pendengar (contohnya sebagai tanda belum dapat memahami pendengar mengucapkan uh, tidak, atau menggelengkan kepala). Biasanya untuk memancing tanggapan yang positif dari pendengar, sebelum memulai percakapan, seorang pembicara dapat menggunakan pertanyaan sebagai penanda pancingan, seperti pertanyaan:

“Apakah kau ingat?” dan sebagainya (Keenan dan Schieffelin dalam Rani, 2006:149).

2) Topik nyata

Topik nyata merupakan topik yang referensinya seperti yang dirujuk dengan kata-kata yang digunakan dalam ujaran (Rani, 2006:149). Topik nyata itu seperti contoh berikut ini:

Ayah : “Bapak pergi dulu.”

Anak : “Rani suka dipangku.”

Ayah : “Sebentar saja. Bapak segera pulang.”

Anak : “Sekarang musim gelang yang ada namanya.”

Ayah : “Biar Bapak yang beli.”

Anak : “Rani bisa nulis Pak.”

Ayah : “Bagus, tapi bapak saja yang beli.”

Contoh diatas merupakan pertukaran yang membicarakan topik yang dibicarakan yaitu gelang yang ada namanya.

Berdasarkan referensi, topik nyata itu dibedakan menjadi : a) Topik yang referensinya ditunjuk

Topik ini membicarakan tentang hal-hal yang ditunjuk dan merupakan bahan atau topik pembicaraan yang menarik, contoh:

Konteks : Guru TK yang menunjukkan gambar pemandangan alam kepada siswanya.

Guru : “Ini gambar apa, anak-anak?”

Siswa : “Pohon!”

Guru : “Siapa yang membuat?”

Siswa : “Gusti Allah.”

Topik yang dibicarakan pada penggalan percakapan diatas adalah gambar pohon. Topik itu referensinya berupa barang / hal yang ditunjuk dengan jari.

b) Topik yang referensinya dipegang

Pada saat melakukan percakapan, hal-hal yang dipegang sering diangkat menjadi pokok pembicaraan dalam percakapan.

Contohnya:

Al : “Pak, Al mengantar surat dulu ya?”

El : “Kemana pak?”

Al : “Ke Pusat, ke FS, terus ke fakultas lain.”

El : “Sekarang?”

Al : “Sekarang ke Pusat dulu terus setelah itu kembali ke kantor lagi.”

Pada percakapan itu topiknya adalah surat yang akan diantarkan oleh Pak Al. Dengan demikian, topik yang mereka percakapkan mempunyai referensi yang dipegang.

c) Topik yang referensinya dilihat, tetapi tidak ditunjuk dan tidak dipegang.

Benda-benda yang dilihat sering diangkat menjadi pokok pembicaraan. Hal-hal yang dilihat pada umumnya dapat menarik untuk dipercakapkan. Contohnya:

Konteks : Seseorang menawarkan barang baru kepada temannya.

Duta : “Ada antioksidan jenis baru yang efektif, Pak Fahri.”

Fahri : “Kita mungkin tidak bisa bayar, lagi krisis.”

Duta : “Lah, soal pembayaran kan bisa dirundingkan.”

Fahri : “Bukan begitu, lah wong RS ini tidak punya uang.”

Referensi topik yang dibicarakan pada contoh diatas adalah antioksidan jenis baru yang diketahui oleh Duta yang coba ditawarkan kepada Fahri.

d) Topik yang referensinya didengar

Hal-hal yang didengar juga merupakan bahan pokok pembicaraan yang menarik, contoh:

Konteks : Mendengar bunyi Tokek pada malam hari waktu menjelang tidur.

Anak : “Itu suara apa, Bu?”

Ibu : “Itu tokek. Cepat tidur!”

Anak : “Nggigit nggak, Bu?”

Ibu : “Ndak.”

Topik yang dibicarakan adalah tokek yang suaranya terdengar sampai ke dalam kamar. Dengan demikian, topik yang dibicarakan itu bermula dari suara tokek yang didengar.

e) Topik yang referensinya berupa kegiatan atau tindakan.

Kegiatan yang hendak, sedang, dan telah dilakukan dapat diangkat menjadi topik pembicaraan. Contohnya:

Konteks : Maria dan Asiya memetik gitar.

Maria : “Kamu saja yang nyanyi!”

Asiya : (menyanyi lagu Ayat-ayat Cinta) “Sudah, sekarang ayo kamu nyanyi.”

Maria : “Emoh.”

Pada contoh diatas merupakan topik yang berupa tindakan yaitu menyanyi.

Penjelasan-penjelasan diatas merupakan referensi yang nyata. Selain itu juga dibedakan referensi atau topik yang tak nyata, yaitu:

(1) Topik imajinasi

Topik ini merupakan topik pembicaraan sebagai hasil rekaan sehingga seolah-olah menjadi benar-benar ada. Topik tersebut pada dasarnya merupakan hasil peniruan dari kenyataan yang telah diketahui atau dialami.

Contoh:

Konteks : Anak-anak bermain kereta api mainan.

Diva : “Semuanya minggir! Nanti ketabrak loh!”

Rama : “Minggir! Minggir! Situ ada hitam-hitam loh!”

Yang dibicarakan pada contoh diatas yaitu naik kereta api-kereta apian. Topik yang dibicarakan itu hanya merupakan hasil pengolahan imajinatif, sehingga seolah-olah mereka naik kereta api sungguhan.

(2) Topik tidak berkelanjutan

Topik ini merupakan topik yang dibicarakan dalam 2 (dua) ujaran. Contoh:

Konteks : Seorang anak yang sedang meminta-minta kepada seorang ibu.

Anak : “Bu, nyuwun paring!” (sambil menjulurkan tangannya) Ibu : “Kecil-kecil sudah minta-minta. Prei dulu, sedang ada tamu.”

Dalam contoh tersebut, pertukaran hanya berlangsung dalam satu alih tutur. Namun topik dalam contoh diatas hanya bisa dibicarakan dalam 2 (dua) ujaran, dengan demikian topik yang dibicarakan diatas tergolong topik tidak berkelanjutan.

(3) Topik berkelanjutan

Topik ini merupakan topik yang cukup banyak dikemukakan dalam percakapan sehari-hari. Topik berkelanjutan itu dikembalikan lebih dari 2 (dua) ujaran.

Contoh 1 :

Konteks : Melihat gambar Candi Prambanan di kalender.

Nita : “Ini dimana?”

Nurul : “Candi Prambanan.”

Nita : “Papanya pernah ke sini, dulu Mbak Ni kecil pernah ke sini.”

Nurul : “Ini Candi kecil.” (sambil menunjuk gambar) Nita : “Ini Candi besar.” (menunjuk candi yang besar) Nurul : “Candi Borobudur mana?”

Nita : “Disobek Om Ivan.”

Dari contoh diatas mempunyai topik yang berkaitan erat.

Pertukaran itu mengandung pokok pembicaraan yang berkenaan dengan candi. Meskipun mempunyai topik yang berbeda namun kedua pertukaran itu terikat oleh satu pokok pembicaraan yang umum. Sehingga topik tersebut disebut topik wacana bergabungan (incorporating discourse topik).

Contoh 2:

Adik : “Kakak nanti malam tidur dimana?”

Kakak : (diam tidak menanggapi)

Adik : “Di hotel ya? Aku sudah besar ya kak? Bisa tidur sendiri.kok.”

Kakak : “Kan hanya semalam saja kakak tidur di hotel.”

Topiknya hanya satu yaitu tidur di hotel, tetapi dibicarakan dalam beberapa ujaran.

3. Pengertian Alur

Alur atau plot adalah kerangka dasar yang amat penting karena alur mengatur bagaimana tindakan pada cerita harus bertalian satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai suatu hubungan dengan peristiwa yang lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu, semuanya terkait dalam suatu kesatuan.

“Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita (Siswanto, Wahyudi. 2008:159. Pengantar Teori Sastra).

Untuk itu alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola kejadian. Namun suatu kejadian ada karena ada sebabnya dan kejadian tersebut dijabarkan melalui alur.

Berdasarkan paparan diatas, alur terdiri atas empat bagian atau tahapan yaitu eksposisi, rumitan, klimaks, dan penyelesaian. Parlindungan pardede dan Supeno (2004: 58) menjelaskan fungsi masing-masing tahapan tersebut sebagai berikut:

“The exposition or the beginning of the story, introduces characters and their interrelationship to their environment.

Although they maybe involved in actions and events with which reader is unfamiliar, the situation quickly develops into a hint or promise of conflict. Once the conflict begins to develop, the largest section of the story begins: the complication. The complication continues until it reaches the climax, i.e. the point of greatest emotional impact, at which the outcome of the conflict is determined. Soon after the climax, the resolution (finan proportion of the story) present the solution to the problem raised, answer the questions possed and resolves the conflict”.

a. Tahapan - Tahapan alur

Nurgiantoro (2002: 149-151) membedakan tahapan alur menjadi lima bagian: (1) Tahap Eksposisi atau tahap situasi awal, tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. (2) Tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik, masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap-tahap awalnya muncul konflik dan konflik itu sendiri

akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik pada tahap berikutnya. (3) Rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang kadar intensinya. Peristiwa-peristiwa yang dramatis menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. (4) Climax atau klimaks, konflik atau pertentangan yang terjadi diakui atau ditimpahkan kepada para tokoh cerita sehingga mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. (5) Denoument atau tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan konflik yang lain, sub-sub konflik atau konflik-konflik tambahan, jika ada diberi jalan keluar untuk kemudian sampai pada akhir cerita.

Alur atau plot bukanlah suatu keadaan yang datar tetapi berkembang, dari gelombang tenang semakin lama semakin besar dan akhirnya kembali menjadi gelombang kecil. Aminudin (1987: 84) membagi tahapan-tahapan peristiwa atas beberapa tahapan: (1) Exposition yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita. (2) Inciting force yakni ketika timbul kekuatan kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku. (3) Rising action yakni situasi panas pelaku-

pelaku dalam cerita yang mulai berkonflik. (4) Crisis yaitu situasi panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya. (5) Climax yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar nasibnya masing-masing. (6) Falling action yakni kadar konflik sudah menurun sehingga ketengangan-ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju pada conclusion atau penyelesaian cerita.

b. Jenis-Jenis Alur

Semi (1988: 44) berpendapat bahwa pada umumnya alur cerita rekaan terdiri dari (a) Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dikejutkan dengan kondisi berikutnya. (b) Alur tengah, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks perisitiwa. (c) Alur tertutup, yaitu kondisi sebelumnya mulai menampakkan pemecahan.

Jika urutan kronologis yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa sebelumnya maka terjadilah apa yang disebut dengan sorot balik. Hal ini dikemukakan oleh Nurgiantoro (2002: 153) dimana menurutnya ada beberapa kriteria urutan waktu dimana alur atau plot dapat dibedakan dalam beberapa kategori yaitu: (1) Alur atau plot lurus (progresif). Sebuah alur dikatakan progresif jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti dengan peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (pengenalan pemunculan konflik), tahap pertengahan (konflik meningkat, klimaks dan

akhir penyelesaian). (2) Alur atau plot sorot balik (flash back) dimana urutan-urutan kejadian dikisahkan dalam fiksi yang beralur regresif, tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan bisa diawali dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal dikisahkan.

4. Tokoh dan Penokohan a. Tokoh Utama

Tokoh yang memegang peran utama disebut tokoh utama atau protagonis. Berdasarkan intensitas peranannya dalam mengembangkan suatu cerita, tokoh terbagi atas dua jenis yaitu tokoh utama (mayor) dan tokoh bawahan (minor). Tokoh utama selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita, bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisah tersebut serta merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh protagonis juga merupakan tokoh yang menimbulkan serta terlibat dalam konflik-konflik pada sebuah cerita. “Tokoh protagonis merupakan pengejewantahan nilai-nilai atau norma-norma ideal, serta menampilkan suatu pandangan, keyakinan serta harapan pembaca” (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2002:178). Adapun tokoh yang berlawanan dengan tokoh protagonis adalah tokoh lawan atau antagonis.

Berbeda dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis hampir selalu mewakili pihak yang jahat, sehingga seringkali tidak menarik simpati para pembaca. Tokoh ini memegang peranan penting didalam cerita karena

perannya berlawanan dengan tokoh utama. Menurut Nurgiyantoro (2002:

176-177) “Tokoh sentral atau tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah novel. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, termasuk konflik sehingga tokoh tersebut mempengaruhi perkembangan plot”.

Tokoh utama merupakan bagian atau unsur artistik sebuah karya sastra. Untuk mengenal karakter tokoh utama kita harus mengamati hubungannya dengan cerita tersebut secara keseluruhan dan fungsi tokoh tersebut didalam cerita dengan pedoman tersebut kita dapat lebih memahami peran tokoh utama dengan identitas yang jelas. Seperti yang dinyatakan Nurgiyantoro (2002: 167) “Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian dan keinginan-keinginan pengarang”.

Penokohan adalah penyajian watak tokoh atau cara yang dipakai oleh pengarang dalam menyampaikan tokoh. Penokohan dalam bahasa inggris disebut character, yang mencakup dua pengertian yang berbeda yaitu tokoh dan perwatakan. Menurut Nurgiyantoro (2003: 165)

“Perwatakan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Pelukisan tersebut meliputi gambaran fisik dan nonfisik”.

b. Tokoh Bawahan

Menurut Sayuti (2000: 74) tokoh tambahan atau tokoh bawahan adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali (peripheral character), tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral.

Ada kalanya tokoh bawahan muncul dalam suatu peristiwa, namun tidak dalam peristiwa yang lain. Meskipun demikian, kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Biasanya tokoh ini berfungsi untuk menonjolkan tokoh utamanya. Berdasarkan keterkaitannya dalam cerita tokoh bawahannya, ada yang pro dengan tokoh sentral dan ada juga tokoh bawahan yang kontra dengan tokoh sentral.

5. Hakikat Karya Sastra

Karya sastra adalah sarana dalam menyampaikan ide dan gagasan kreatif yang mengisahkan tentang kehidupan manusia. Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan,

kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20).

Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media untuk 1. Esei 2. Kritik 3. Biografi 4. Otobiografi 5. Sejarah 6. Memoar 7. Catatan Harian 8. Surat-surat 1. Epik 2. Lirik 3. Dramatik 1.

Novel 2. Cerita pendek 3. Novelet 1. Komedi 2. Tragedi 3. Melodrama 4.

Tragikomedi. Menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk

Tragikomedi. Menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk

Dokumen terkait