• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siswa Mandiri Untuk Mengatur Belajarnya (Self-Regulate)

Dalam dokumen BELAJAR dan PEMBELAJARAN (Halaman 152-155)

MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN

1. Teori Kebutuhan Maslow

7.3.1 Siswa Mandiri Untuk Mengatur Belajarnya (Self-Regulate)

Perlu dipahami bahwa motivasi belajar merupakan interaksi antara proses internal siswa dengan dukungan belajar dari luar. Siswa menjadi bersemangat, aktif dan terlibat secara total dalam proses pembelajaran apabila mereka melihat relevansi kegiatan yang dilakukan dengan keinginan untuk berkembang. Akan tetapi kondisi ini semata tidak menjamin belajar yang efektif apabila kondisi eksternal ticlak mendukung. Balikan yang positif dari guru, fasilitas belajar yang memadai, itu semua akan memperkuat motivasi belajar siswa.

Yang perlu dilakukan adalah sejauh mungkin membantu siswa untuk mampu mengatur, menata (meregulasi) sendiri belajarnya (self-regulated learning), dan tidak sangat tergantung kepada sumber di luar dirinya. Usaha ini didasarkan pada asumsi bahwa; 1) siswa dapat memperbaiki kemampuan belajarnya sendiri melalui refleksi dan monitoring pribadi, 2) siswa mampu secara proaktif memilih, menyusun, dan bahkan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, dan bahkan 3) mampu secara aktif memilih bentuk dan materi pembelajaran yang diperlukan .

Dengan kata lain, untuk memahami motivasi belajar siswa, guru perlu menyadari perlunya memenuhi kebutuhan siswa. Guru hendaknya dapat membantu siswa terlibat dalam menentukan proses dan hasil belajar, serta memberikan kepercayaan kepada siswa untuk memilih pengetahuan yang dibutuhkan.

Apabila siswa berpendapat bahwa belajar itu menyenangkan, serta secara pribadi sangat bermakna dan relevan, ditambah lingkungan yang

mendorong siswa untuk mempunyai kendali terhadap proses dan hasil belajar maka motivasi belajar dan kecenderungan untuk mengatur sendiri proses belajar (self-regulate) akan muncul dengan sendirinya (Ridley, 1991). Dengan kata lain, siswa melihat belajar sebagai proses yang erat kaitannya dengan tujuan pribadi yang akan dapat dicapai dengan usaha sendiri. Dalam situasi ini siswa menjadi tenggelam dalam kesenangan belajar, dan termotivasi secara intrinsik.

Yang menjadi masalah adalah siswa Bering kali tidak memahami peranan berpikir dan penalarannya sendiri dalam proses pembelajaran. Di samping itu, siswa ticlak melihat materi dan tujuan pembelajaran di kelas sebagai sesuatu yang menarik atau relevan. Mereka juga tidak melihat lingkungan belajar sebagai sumber untuk melatih menjadi kompeten, mandiri dan bersosialisasi dengan orang lain (Devi & Ryan, 1991). Oleh sebab itu, guru perlu mencari cars untuk membantu siswa mengubah persepsi yang negatif terhadap sekolah dan belajar, dan membuat belajar menjadi menyenangkan. Hal ini dapat dilakukan guru dengan menghubungkan tujuan dan materi pelajaran dengan tujuan pribadi, memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam mencapai tujuan belajar, dan membuat mereka mampu membuat pilihan atau keputusan sendiri dalam proses belajar.

Dari penelitian yang dilakukan Damico dan Roth (1994) diperoleh informasi bahwa siswa yang termotivasi belajar dan senang berada di sekolah menggambarkan sekolahnya sebagai tempat belajar yang mendukung usaha siswa. Di samping itu, siswa juga merasa bahwa guru-gurunya memperlakukan mereka secara positif dan mengharapkan siswa berhasil, memberi tempat pada inisiatif dan gagasan siswa, memberikan tanggung jawab bersama dan individual dalam belajar, serta disiplin dan adil dalam menerapkan peraturan tetapi tidak bersifat otoriter. Nah, bagaimanakah kondisi sekolah kita saat ini? Sudahkah sesuai dengan harapan siswa tersebut?

Untuk mencapai kondisi sekolah yang demikian, kurikulum sekolah perlu dirancang untuk melibatkan pengalaman belajar yang

menuntut kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Seharusnya tolok ukur siswa yang cerdas bukan semata-mata pada kemampuannya untuk menjawab berbagai pertanyaan orang lain (guru atau siswa lain), tetapi juga mampu menanyakan pertanyaan yang cerdas dan penting. Dalam proses "bertanya" ini, siswa dapat diminta untuk berpikir dan menentukan sendiri tugas yang akan dilakukan, tujuan belajar yang akan dicapai, informasi yang akan dikumpulkan, serta mengumpulkan, mengorganisasikan dan menganalisis informasi, untuk selanjutnya disusun dalam suatu laporan. Untuk tugas semacam ini tidak hares menunggu sampai siswa kuliah di perguruan tinggi. Dengan lingkup topik yang sederhana, seorang siswa sekolah dasar pun sudah dapat mulai dibiasakan dengan kegiatan dan berpikir seperti itu. Siswa juga diminta untuk memonitor pengetahuan yang telah dipahaminya dari proses pembelajaran, mengevaluasi sendiri baik proses maupun hasil yang dicapai, serta mengendalikan perasaan dan persepsi negatif yang muncul dalam pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa siswa melakukan regulasi belajar dengan mengontrol proses berpikir dan bertindaknya sendiri.

7.3.2 K e r j a S a m a A n t a r s i s w a D a l a m P r o s e s Pembelajaran (Cooperative Learning)

Dalam ruang lingkup motivasi belajar, untuk mengembangkan kemamampuannya, siswa perlu mengembangkan hubungan antarpersonal yang memberikan dukungan sosial. Hubungan antarpersonal ini diperlukan agar siswa merasa terkait dan berhubungan dengan orang lain dalam suasana saling percaya, saling menghargai dan saling memmperhatikan. Di samping itu, hubungan antarpersonal ini juga memberi kesempatan kepada siswa melatih kemandirian, membuat keputusan sendiri dan berani menyatakan pendapat. Dala hubungan antarpribadi siswa juga dapat mengembangkan dan mengukur kemampuannya sendiri perdasarkan balikan dari orang lain.

pengembangan hubungan antarpersonal tersebut misalnya dengan merancang kegiatan atau penugasan sebagai kerja kelompok dengan menekankan pentingnya interaksi di antara anggotanya dan kontribusi dari setiap siswa.

Dalam proses pembelajaran guru juga dapat menggunakan berbagai bentuk pengajaran kelompok agar tidak membosankan, misalnya bentuk permainan, pertandingan antarkelompok, serta menggunakan metode inengajar yang bervariasi dan media yang tepat.

Lebih lanjut, Ornstein (1993) menegaskan bahwa dalam pembelajaran, faktor kunci yang akan mengembangkan dan memelihara motivasi siswa tidalah pengajaran yang baik serta guru yang mengusahakan pengembangan pribadi dan sosial siswa secara total. Pada tingkat yang lebih tinggi dapat disimpulkan bahwa "sekolah atau kelas harus menjadi peristiwa perjumpaan antarpribadi yang saling mengasihi dan kemitraan yang saling memekarkan persaudaraan yang menggembirakan" (Mangunwijaya, 1998). Hasil proses seperti ini bukan saja terpeliharanya motivasi belajar siswa, tetapi juga tumbuhnya kemampuan kognitif/intelektual siswa serta kepekaan sosial, serta kemampuan berkomunikasi dan memberikan kontribusi sosial.

Dalam dokumen BELAJAR dan PEMBELAJARAN (Halaman 152-155)