• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi dan Kondisi Lesbian secara Nasional

BAB II KONTEKS PENELITIAN

2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Internasional dan Nasional

2.2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Nasional

Laporan Forum LGBTIQ Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia sekarang menjadi LGBTI bukan perkara mudah karena harus berhadapan dengan berbagai macam stigma, diskriminasi, penolakan, kekerasan dan penyiksaan dari keluarga, masyarakat, agama dan negara. Berbagai tindakan pelanggaran HAM yang terjadi pada LGBTIQ di Indonesia yang terus ada di berbagai tempat juga berhasil didokumentasikan, seperti berikut ini : pemaksaan merubah penampilan (gender expression), diusir dari tempat tinggal, dipaksa menikah, dipukul, disiksa, terpaksa dan atau dipaksa berhenti dari sekolah, dikeluarkan dari tempat kerja dan berbagai bentuk diskriminasi, pelecehan seksual dan kekerasan lainnya. Itu juga sebabnya kenapa banyak orang LGBTIQ yang tertutup dengan status orientasi seksualnya karena takut dengan berbagai isu kekerasan yang akan dihadapi, belum lagi bila harus kehilangan pekerjaan. Bila pun mengalami kekerasan mereka tidak akan melaporkan kasus-kasusnya karena merasa percuma dan kuatir akan mengalami kekerasan yang lain.

Bahkan pada Maret 2010 ketika berlangsung kongres ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association) yang dilakukan di Surabaya dan mendapatkan penyerangan dari kelompok yang mengatasnamakan

agama, pemerintah malah tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan pada orang-orang LGBTIQ, dalam hal ini kepolisian pada waktu itu. Kegiatan tersebut pun dengan terpaksa tidak bisa dilaksanakan. Tempat berlangsungnya acara diserbu, peserta pun mendapatkan kekerasan dan ancaman yang menimbulkan trauma pada sebagian orang.

Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang-orang homofobia dan transfobia, pelanggaran terhadap hak berekspresi, hak berkumpul dan berserikat serta diskriminasi yang terus menerus terjadi pada orang-orang LGBTI. Bagi Forum LGBTIQ Indonesia sendiri, tindakan pelanggaran HAM ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dan keluarga, namun aparat pemerintah cenderung mengabaikan kewajibannya (by omission) untuk melindungi HAM setiap orang. Jadi seolah-olah HAM tidak bisa ditegakkan pada orang-orang LGBTI dengan berbagai alasan seperti norma, adat

istiadat, agama, dan “bukan budayaIndonesia”.

Perubahan sosial dan perkembangan demokrasi di Indonesia, juga memberikan ruang bagi orang-orang dan organisasi LGBTI untuk mulai membicarakan dan menyuarakan hak-hak mereka. Beberapa organisasi seperti Arus Pelangi, GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institute, Our Voice, Kipas, Perwakos dan lainnya sudah mulai membicarakan hak-hak LGBTI dan mulai melakukan advokasi ke berbagai pihak yang terkait langsung dengan persoalan yang mereka alami dan hadapi.

Orang-orang LGBT di Indonesia juga sudah cukup lama berorganisasi. Semua berawal dari tahun 1960-an. Waria adalah kelompok pertama yang membentuk

organisasi, yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang berdiri pada tahun 1968 di Jakarta yang difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu, kemudian diikuti oleh organisasi gay melalui Lambda Indonesia pada tahun 1980- an.

Pada Juni 2013 lalu, penulis hadir sebagai salah satu peserta dalam sebuah Dialog Nasional Komunitas LGBTI Indonesia di Nusa Dua, Bali. Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Forum LGBTIQ Indonesia tersebut, Agustine (Direktur Ardhanary Institute) dalam presentasinya menyebutkan bahwa Sapho merupakan organisasi lesbian pertama di Indonesia yang berdiri pada 1984. Berdirinya Sapho diprakarsai oleh Lambda Indonesia. Selanjutnya lahirlah organisasi PERLESIN pada masa kurun waktu yang bersamaan.70 Selanjutnya jelas Agustine, pada 1993 lahir pula Chandra Kirana, yang membangun jaringan kerja lesbian se-Nusantara. Pada 21 April 1997, lahir organisasi lesbian yang dinamai Harley di Makasar, Sulawesi Selatan, di bawah naungan GAYa Celebes. Harley – singkatan dari Hanter/ Hunter dan Lines. Di Pontianak, Kalimantan Barat, sekelompok lesbian mendirikan persatuan sepak bola khusus perempuan tomboy, Gest Boy pada tahun 1998, lalu berganti nama menjadi Ganesha dan selanjutnya berganti nama lagi menjadi Pertopan (Persatuan Tomboy Pontianak).

Sayangnya organisasi lesbian sempat vakum beberapa lama, dan pada Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama setelah rejim Orde Baru tahun 1999, untuk pertama kalinya kelompok perempuan secara terbuka memperhatikan persoalan-persoalan lesbian. Pada saat itu juga KPI menunjukkan perhatiannya

70

secara serius dengan membentuk sektor 15 yang secara khusus memberikan perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LBT (Lesbian, Bisexual and Transgender).

Perkembangan organisasi lesbian setelah itu semakin pesat. Lanjut Agustine, pada tahun 2000 lahir Swara Srikandi, organisasi lesbian yang bekerja menggunakan media cyber sebagai alat gerakan. Institute Pelangi Perempuan lahir pada tahun 2005, yang menjadi pusat kegiatan dan informasi bagi kelompok lesbian muda di Indonesia . Lalu ada lagi Lembayung Institute yang bekerja melakukan pendampingan hukum bagi para lesbian, Arus Pelangi (2006) yang walaupun bukan organisasi khusus LBT namun melakukan advokasi hak-hak LGBT, Ardhanary Institute (2007) yang menjadi pusat kajian, penerbitan dan advokasi bagi kaum LBT dan pada tahun 2009 dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan –khususnya perempuan LBT- mengembangkan sebuah crisis center untuk korban kekerasan LBT yang disebut LBT Crisis Center. Selain berbentuk organisasi, Agustine juga menambahkan bahwa pada tahun 2008 hingga 2012 bermunculan pula komunitas-komunitas lesbian yang membentuk kelompok baik di Jakarta maupun wilayah lainnya. Sedangkan di dunia cyber, muncul pula group-group lesbian yang salah satunya beranggotakan hingga 7000 members. Sekarang ini, jumlah group yang ada di dunia cyber berjumlah 80 dengan nama-nama senada seperti Belokers, Dunia Koleb, Butchi- Femme Community, Linez Community dan lain-lain.

Di Sumatera Barat lahir organisasi LBT bernama Perempuan Serumpun (2008) dan Tunas Pelangi 2011. Di Surabaya lahir organisasi lesbian bernama

Dipayoni (2009). Di DI Yogyakarta kelompok lesbian bergabung dengan organisasi LGBT bernama PLU Satu Hati dan sebagian lagi bergabung di organisasi lesbian. Tahun 2010 lahir Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS) di Sulawesi Selatan, Talita Kum Solo, Rumah Kita di Medan, L’World Indonesia, LWI Bali. Tahun 2011-2012 lahir Gamacca Makasar , Atapku Aceh (sekarang berganti nama menjadi Learning Together), Gendhis LBT Lampung. Dan pada 2012 lahir pula Perempuan Mandiri di Palembang, Komunitas Perempuan Sehati atau KOPI Kediri, Klik Samarinda, The Big Family L-Community (TBF L-C) di Jambi dan Cangkang Queer di Medan (2012). Selain itu menguat juga komunitas- komunitas LBT yang belum berbentuk organisasi di berbagai daerah lainnya seperti Manado, Banten, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.

Saat ini pun jumlah organisasi lesbian tersebut kian bertambah di Jakarta dan di berbagai daerah, antara lain Pelangi Mahardhika di Jakarta yang diinisiasi oleh Perempuan Mahardhika Jakarta dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan lain sebagainya.

Visi Gerakan LBT Indonesia pada periode 1980-2000 menurut Agustine yaitu: • Perjuangan menjadi individu yang percaya diri, membentuk komunitas

bagi lesbian dan mengupayakan penerimaan positif masyarakat.

• Pemberdayaan ekonomi karena kebanyakan LBT miskin secara ekonomi mengingat 90% dari mereka lari dari rumah karena kekerasan berbasis SOGI yg dialami.

• Sifat kegiatan umumnya bersifat tertutup dan hanya untuk kalangan lesbian sendiri.

Sementara itu, Visi Gerakan LBT pada periode tahun 2000-2012 disebutkan sebagai berikut :

• Setelah reformasi, bersamaan dengan menguatnya gerakan HAM dan perempuan, gerakan LBT semakin nampak di ruang publik.

• Gerakan LBT pada periode ini menekankan pada strategi politik ‘come out’ dan advocacy, antara lain dengan pendeklarasian organisasi atau kelompok lesbian di hadapan publik dan kemunculan individu-individu lesbian yang cukup sering di berbagai media massa cetak maupun elektronik untuk mengkampanyekan hak-hak mereka.

Agustine juga menyinggung beberapa hal yang menjadi hambatan gerakan/organisasi lesbian selama ini, antara lain sebagai berikut :

• Komunitas LBT : persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar, perselingkuhan dan lain-lain

• Fundamentalisme • Media massa

• Homophobia dan Transphobia • Masyarakat

• Negara

Dalam pertemuan nasional Forum LGBTIQ Indonesia yang saya hadiri pada 1-3 April 2014 yang lalu, persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar dan perselingkuhan sangat ditekankan menjadi persoalan yang sangat mewarnai organisasi atau komunitas lesbian di berbagai wilayah, baik nasional maupun daerah provinsi.

2.3SITUASI DAN KONDISI LESBIAN DI KOTA MEDAN

Dokumen terkait