KONSEP DIRI LESBIAN
(SEBUAH ETNOGRAFI MENGENAI LESBIAN DI KOTA
MEDAN)
SKRIPSI
OLEH :
FEBRY EVA LOVINA SK
NIM : 080905020
ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PERNYATAAN ORIGINALITAS
KONSEP DIRI LESBIAN
(Sebuah Etnografi Mengenai Lesbian di Kota Medan)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
ABSTRAK
Febry Eva Lovina Sembiring, 2014. Judul : Konsep Diri Lesbian (Sebuah Etnografi Mengenai Lesbian di Kota Medan).
Lesbian adalah suatu istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan baik secara seks maupun jender. Isu seksualitas perempuan, khususnya lesbian, selama ini masih terpinggirkan baik dalam bidang akademik maupun politik. Hal ini dilakukan berlandaskan oleh agama, budaya, norma sosial, konsensus masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang tidak memperhitungkan dan mendengar suara perempuan. Peminggiran tersebut juga disebabkan oleh akses informasi didominasi oleh peneliti laki-laki, dimana mereka sendiri enggan atau bahkan tidak mampu untuk menggali informasi atas praktek-praktek seksual yang dilakukan oleh perempuan, serta sikap ketidakpedulian mereka terhadap keragaman seksual. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa lesbian merupakan pihak yang mengalami diskriminasi berlapis, maka penelitian ini sangat mendesak untuk dilakukan melalui metode keilmuan antropologi.
Penulis juga menemukan bahwa pada abad ke-6 SM, terdapat catatan sejarah mengenai penyair wanita Sappho, yang mengepalai sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos. Nama pulau inilah yang kemudian pada zaman sekarang digunakan untuk menyebut homoseks perempuan. Ini merupakan satu-satunya catatan sejarah mengenai praktek lesbian yang berhasil didokumentasikan dalam kajian-kajian sejarah seksualitas perempuan. Perkembangan serta dinamika pergerakan lesbian baik di internasional, nasional hingga lokal pun disuguhkan secara lengkap oleh penulis dalam penelitian ini. Selain itu, penulis juga menyuguhkan kompleksitas kehidupan lesbian, mulai dari masalah-masalah yang kerap mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari hingga strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Di Kota Medan, penulis menemukan beberapa istilah yang digunakan oleh informan untuk mendefenisikan dirinya terkait seksualitasnya, yaitu lesbian, lines dan belok atau koleb. Lines dan belok/koleb adalah istilah yang digunakan informan untuk menyamarkan istilah lesbian, yang dinilai lebih beresiko jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah-istilah yang muncul dan kemudian mereka gunakan untuk mendefenisikan diri mereka merupakan subjektivitas yang tidak muncul begitu saja. Subjektivitas ini muncul akibat sistem patriarki yang sudah sejak lama melekat dalam budaya masyarakat Indonesia pada khususnya, yang kemudian mendorong semakin kuatnya heteroseksisme dan homophobia, bahkan di kalangan lesbian itu sendiri. Oleh karena itu, dunia lesbian adalah sebuah dunia yang kerumitannya sangatlah kompleks.
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini saya persembahkan dengan perasaan haru dan bangga untuk
orangtua, kakak-kakak dan abang saya. Terima kasih untuk banyak cinta dan
kesabaran kalian menunggu selesainya pengerjaan skripsi ini. Banyak ide dan
waktu yang kita pertentangkan sejak saat pertama proses pengerjaan skripsi ini
dimulai. Tapi jika sekarang skripsi ini ada di hadapan kita, itu semua karena saya
ingin kalian tahu bahwa keinginan untuk membahagiakan kalian tidak pernah
lepas dari daftar prioritas yang saya lekatkan dalam hidup saya.
Menjalani keseharian sebagai pegiat isu LGBTIQ yang lebih dulu saya
lakoni, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat isu ini sebagai tema
skripsi saya, tentunya memberikan cara berpikir baru bagi saya dan teman-teman
LGBTIQ. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk
Bapak Dr. Fikarwin Zuska yang telah bersedia, tidak hanya sebagai pembimbing
skripsi saya, akan tetapi juga menjadi teman diskusi saya untuk mengkaji lebih
dalam isu seksualitas.
Kadang-kadang, banyak hal yang kita bicarakan diluar dari fokus
penelitian ini. Namun semuanya sangatlah berguna untuk menambah variasi
perspektif dalam melihat berbagai hal, terutama untuk isu seksualitas. Terima
kasih karena telah membuat saya semakin mencintai antropologi sebagai ilmu
yang membebaskan. Semoga selesainya skripsi ini tidak lantas membuat diskusi
Akhirnya, dan yang paling penting, saya ucapkan terima kasih untuk
seluruh informan saya. Tanpa kalian, tak ada yang bisa saya tuliskan di dalam
skripsi ini.
Untuk semua lesbian di Kota Medan dan dimanapun berada, saya
mengutip pernyataan Boelstorff, “Dan kepada semua orang Indonesia yang gay,
lesbian dan waria, di mana anda berada, anda tidak sendiri. Anda berkuasa, kreatif
dan berprestasi. Anda pantas mendapat hak dan kesempatan sama dengan orang
lain. Anda betul-betul orang Indonesia asli.”
Medan, 16 April 2014
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Email : planetvenus29@gmail.com
Febry Eva Lovina Sembiring Kembaren, dilahirkan di
Cingkes, sebuah desa di Kabupaten Simalungun pada 29
Januari 1990. Bungsu dari empat bersaudara. Pada usia 13
tahun, untuk pertama kalinya berangkat ke kota dan harus
tinggal sendirian untuk menempuh pendidikan lanjutan.
Karakter si bungsu manja yang dibawa dari rumah tak serta merta menjadikan
saya tidak punya impian yang besar. Sejak kecil bercita-cita kelak akan menjadi
seorang pengajar di perguruan tinggi. Untuk itu, ekspektasi terbesar saat ini
adalah menempuh pendidikan lanjutan S2 bahkan S3. Benci terhadap segala
bentuk penindasan terhadap manusia. Kelak suatu saat nanti, ilmu dan
pengalaman ini akan berguna untuk menghapuskan penindasan di berbagai tempat
maupun bentuk.
Sejak tahun 2013 menjabat sebagai Koordinator Umum Cangkang Queer dan
Sekretaris Perempuan Mahardhika Komite Kota Medan. Selain itu, sejak Maret
2014 yang lalu juga mulai menjabat sebagai Koordinator Wilayah
Sumatera-Kalimantan di dalam struktur kepengurusan Forum LGBTIQ Indonesia
2014-2015.
Pendidikan dan pengalaman belajar yang diperoleh semasa kuliah antara lain :
Pelatihan Pluralisme Angkatan III oleh Aliansi Sumut Bersatu. Berastagi.
2011
Pelatihan Penanganan Kasus Perempuan Korban Kekerasan oleh Aliansi
Sumut Bersatu. Sibolangit. 2012
Pelatihan Mekanisme HAM Perempuan di ASEAN diselenggarakan oleh
Yayasan Kalyanamitra. Medan. 2012
Teleconfrence Dialog Kebangsaan dan Diskusi Publik “Menghadapi
Tantangan Kebangkitan Bangsa Indonesia Era Reformasi : Belajar dari
Pengalaman Perempuan Merawat Kebhinnekaan”. Medan. 2011.
Diskusi Publik “Toleransi dan Hak Transjender adalah Hak Warga
Negara”. Aliansi Sumut Bersatu. Medan. 2011.
Training of Trainer (TOT) Pengorganisasian LBT oleh Ardhanary
Institute. Jakarta. 2013.
Sekolah Feminis Lanjutan Perempuan Mahardhika. Bogor. 2013.
LGBTIQ National Dialog III Forum LGBTIQ Indonesia. Bali. 2013
Pendidikan Ekonomi-Politik Perempuan Mahardhika. Medan. 2013
LGBTIQ National Dialogue IV Forum LGBTIQ Indonesia. Bogor. 2014
Peer Educator and Peer Counselor (PEPC) Camp diselenggarakan oleh
KATA PENGANTAR
Tidak pernah habisnya perbincangan mengenai seksualitas adalah alasan yang
melatarbelakangi penulis mengangkat isu ini di kajian akademik. Tidak banyak
yang tahu bahwa seksualitas merupakan aspek kehidupan yang menyeluruh
mencakup seks, jender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan (pleasure),
keintiman dan reproduksi. Disanalah peran dunia akademis untuk mengkaji
sekaligus memperkenalkan konsep tersebut kepada publik. Dengan demikian,
kajian seksualitas diharapkan menjadi eksis di ranah akademis, khususnya
antropologi, sama hal nya dan sama pentingnya seperti kajian-kajian lain seperti
jender, lingkungan, politik, budaya korporasi, hukum dan lain sebagainya.
Saya memfokuskan penelitian ini pada konsep diri lesbian karena hal ini
merupakan salah satu kajian seksualitas yang penting dikaji dari perspektif
antropologi. Seperti kata Oscar Lewis, walaupun kita mempunyai banyak
informasi tentang geografi, sejarah, ekonomi, politik dan bahkan adat kebiasaan
dari sebuah lokasi penelitian beserta orang-orang di dalamnya, tapi kita sangat
sedikit mengetahui tentang psikologi mereka, bagaimana mereka berpikir dan
merasakan, apa yang mereka cemaskan, perdebatkan, harapkan, atau mereka
sukai. Oleh karena itulah, posisi penulis dalam penelitian ini, sama seperti yang
dikatakan Lewis : pelajar dan pelapor.
Budaya-budaya Nusantara sesungguhnya kaya akan fenomena pelembagaan
(institusionalisasi, pemranataan) homoseksualitas. Namun, fenomena serupa
khususnya mengenai relasi seks perempuan sesama jenis pada masa lalu hingga
saat ini dilakukan berlandaskan agama, budaya, norma sosial, konsensus
masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang tidak memperhitungkan
dan mendengar suara perempuan. Bahkan, seksualitas secara umum dan relasi
seksual sesama perempuan di negara-negara non Barat selama ini kurang
mendapatkan perhatian dari para antropolog dan kalangan ilmu sosial lainnya.
Muncul belakangan daripada gerakan waria dan gay, gerakan lesbian baru
mulai massif sejak tahun 2000. Empat belas tahun sudah kiprah gerakan lesbian di
Indonesia, namun persoalan demi persoalan masih saja menjadi bayang-bayang
suram yang tidak kunjung lepas dari kompleksitas kehidupan lesbian khususnya di
Indonesia.
Di dalam tulisan ini, penulis menunjukkan kepada pembaca bahwa lesbian
kerap mengalami berbagai diskriminasi, stigma, penolakan hingga kekerasan, baik
kekerasan yang dilakukan oleh diri sendiri, keluarga, agama bahkan negara lewat
peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap LGBTIQ secara
umum dan lesbian secara khusus. Selanjutnya penulis juga membongkar beberapa
strategi yang dilakukan oleh informan dalam mengatasi masalah-masalah yang
mereka hadapi seperti menutupi identitas, keluar dari rumah, nongkrong, main
tunggal dan berorganisasi.
Ada beberapa istilah yang ditemukan oleh penulis ketika membongkar
pemahaman informan mengenai dirinya yang terkait dengan seksualitasnya.
masing memiliki makna yang berbeda-beda bagi informan. Perbedaan makna dan
konsep yang mereka defenisikan terhadap diri mereka sendiri juga berpengaruh
terhadap agenda perjuangan yang mereka rancang dalam kehidupan sehari-hari
maupun masa depan mereka. Ada yang menganggap perjuangan sebagai lesbian
adalah perjuangan untuk diri sendiri, adapula yang menganggap perjuangan itu
harus dilakukan secara kolektif.
Menjadi lesbian juga harus berhadapan dengan nilai-nilai heteronormatif yang
entah harus dituruti ataupun harus dilawan, menentukan pilihan tersebut bukanlah
perkara yang mudah dijalani. Pada akhirnya, hanya satu hal saja yang diinginkan
oleh lesbian : sebuah dunia yang lebih ramah terhadap siapapun, termasuk lesbian.
Medan, 16 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 28
1.5 Metode Penelitian ... 29
BAB II KONTEKS PENELITIAN 2.1 Seksualitas Lesbian Ditinjau secara Historis ... 35
2.1.1 Sejarah Homoseksual dari Masa ke Masa ... 35
a. Homoseksualitas Sebelum Abad 19 ... 35
b. Homoseksualitas setelah abad 19 ... 41
2.1.2 Catatan Sejarah Seksualitas Lesbian yang Minim ... 45
2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Internasional dan Nasional 47 2.2.1 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Internasional ... 47
2.2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Nasional ... 49
2.3 Situasi dan Kondisi Lesbian di Kota Medan ... 55
2.3.1 Kota Medan secara Geografis dan Demografis ... 55
2.3.2 Kota Medan : Pluralisme atau Pluralitas? ... 56
2.3.3 Lesbian di Kota Medan ... 57
BAB III LESBIAN DI KOTA MEDAN 3.1 Munculnya Komunitas Lesbian di Kota Medan ... 59
3.1.1 Dari Sentul-Kantil hingga Butch-Femm ... 59
3.1.2 Tongkrongan Lesbian di Kota Medan ... 62
3.2 Masalah-masalah Lesbian... 66
3.2.1 Stigma, Diskriminasi hingga Penolakan ... 66
3.2.2 Kekerasan oleh Diri Sendiri ... 67
3.2.3 Kekerasan oleh Keluarga ... 68
3.2.4 Kekerasan oleh Agama... 70
3.2.5 Kekerasan oleh Negara ... 71
3.3 Berbagai Strategi Pemecahan Masalah pada Lesbian ... 76
3.3.1 Menutupi Identitas ... 76
3.3.2 Keluar dari Rumah ... 78
3.3.3 Nongkrong ... 79
3.3.4 Main Tunggal ... 79
BAB IV KONSEP DIRI LESBIAN
4.1 Lesbi, Lines Belok/Koleb dan Lesbian ... 82
4.1.1 Lesbi ... 82
4.1.2 Lines ... 83
4.1.3 Belok/koleb ... 83
4.1.4 Lesbian ... 85
4.2 Agenda Perjuangan yang Berbeda ... 88
4.2.1 Berjuang untuk diri sendiri ... 88
4.2.2 Berjuang secara kolektif ... 90
4.3 Nilai ... 93
4.3.1 Kekerasan terhadap Lesbian, suatu Kewajaran ataukah harus dilawan? ... 93
4.3.2 Mendambakan sebuah “pernikahan” ... 95
4.3.3 Relasi butchi dan femm ... 97
4.4 Lesbian dan Penafsiran Agama ... 98
4.5 Lesbian dan Seks Aman (Safe Sex) ... 99
4.6 Cita-cita Lesbian : Sebuah Dunia yang Lebih Ramah ... 100
KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN
ABSTRAK
Febry Eva Lovina Sembiring, 2014. Judul : Konsep Diri Lesbian (Sebuah Etnografi Mengenai Lesbian di Kota Medan).
Lesbian adalah suatu istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan baik secara seks maupun jender. Isu seksualitas perempuan, khususnya lesbian, selama ini masih terpinggirkan baik dalam bidang akademik maupun politik. Hal ini dilakukan berlandaskan oleh agama, budaya, norma sosial, konsensus masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang tidak memperhitungkan dan mendengar suara perempuan. Peminggiran tersebut juga disebabkan oleh akses informasi didominasi oleh peneliti laki-laki, dimana mereka sendiri enggan atau bahkan tidak mampu untuk menggali informasi atas praktek-praktek seksual yang dilakukan oleh perempuan, serta sikap ketidakpedulian mereka terhadap keragaman seksual. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa lesbian merupakan pihak yang mengalami diskriminasi berlapis, maka penelitian ini sangat mendesak untuk dilakukan melalui metode keilmuan antropologi.
Penulis juga menemukan bahwa pada abad ke-6 SM, terdapat catatan sejarah mengenai penyair wanita Sappho, yang mengepalai sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos. Nama pulau inilah yang kemudian pada zaman sekarang digunakan untuk menyebut homoseks perempuan. Ini merupakan satu-satunya catatan sejarah mengenai praktek lesbian yang berhasil didokumentasikan dalam kajian-kajian sejarah seksualitas perempuan. Perkembangan serta dinamika pergerakan lesbian baik di internasional, nasional hingga lokal pun disuguhkan secara lengkap oleh penulis dalam penelitian ini. Selain itu, penulis juga menyuguhkan kompleksitas kehidupan lesbian, mulai dari masalah-masalah yang kerap mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari hingga strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Di Kota Medan, penulis menemukan beberapa istilah yang digunakan oleh informan untuk mendefenisikan dirinya terkait seksualitasnya, yaitu lesbian, lines dan belok atau koleb. Lines dan belok/koleb adalah istilah yang digunakan informan untuk menyamarkan istilah lesbian, yang dinilai lebih beresiko jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah-istilah yang muncul dan kemudian mereka gunakan untuk mendefenisikan diri mereka merupakan subjektivitas yang tidak muncul begitu saja. Subjektivitas ini muncul akibat sistem patriarki yang sudah sejak lama melekat dalam budaya masyarakat Indonesia pada khususnya, yang kemudian mendorong semakin kuatnya heteroseksisme dan homophobia, bahkan di kalangan lesbian itu sendiri. Oleh karena itu, dunia lesbian adalah sebuah dunia yang kerumitannya sangatlah kompleks.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Penelitian ini adalah penelitian mengenai konsep diri lesbian1 di Kota Medan. Penelitian ini dilatarbelakangi karena isu seksualitas perempuan, khususnya
lesbian, masih terpinggirkan baik dalam bidang akademik maupun politik. Alasan
tersebut lebih dijelaskan di bawah ini.
1. Dalam sebuah peluncuran buku mengenai seksualitas lesbian, Komnas
Perempuan menyebutkan soal masih terpinggirkannya isu seksualitas
perempuan, khususnya mengenai relasi seks perempuan sesama jenis.
Peminggiran ini dilakukan berlandaskan agama, budaya, norma sosial,
konsensus masyarakat atau kelaziman masyarakat patriarkal yang tidak
memperhitungkan dan mendengar suara perempuan.2 Mohamad Guntur Romli, seorang aktivis muslim pun menyebutkan hal yang sedemikian
rupa (Romli, dalam Sri Agustine dan Evi Lina Sutrisno (eds.), 2013 : 104)
1
Lesbian dalam tulisan ini diartikan oleh penulis sesuai dengan yang sering digunakan oleh informan yang mendefenisikan dirinya sebagai lesbian dalam penelitian ini, yaitu suatu istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan baik secara seks maupun jender. Istilah ini berbeda dengan kata lesbi dan belok, istilah lain yang juga sering digunakan oleh informan. Penjelasan kedua istilah tersebut dapat dibaca lebih lanjut dalam laporan penelitian ini, yang didefenisikan oleh penulis sesuai dengan makna yang diberikan oleh informan. Di Kota Medan, penulis menemukan beberapa istilah yang digunakan oleh informan untuk mendefenisikan dirinya terkait seksualitasnya, yaitu lesbian, lines dan belok atau koleb.
Lines dan belok/koleb adalah istilah yang digunakan informan untuk menyamarkan istilah lesbian, yang dinilai lebih beresiko jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan lebih lanjut dipaparkan penulis pada bab 4.
2
2. Selama ini ada bias terhadap penelitian mengenai seksualitas. Seksualitas
secara umum dan relasi seksual sesama perempuan di negara-negara non
Barat selama ini kurang mendapatkan perhatian dari para antropolog dan
kalangan ilmu sosial lainnya. Blackwood3 menjelaskan, hal ini terjadi karena akses informasi didominasi oleh peneliti laki-laki, dimana mereka
sendiri enggan atau bahkan tidak mampu untuk menggali informasi atas
praktek-praktek seksual yang dilakukan oleh perempuan, serta sikap
ketidakpedulian mereka terhadap keragaman seksual.
3. Alasan berikutnya yang membuat penelitian ini mendesak untuk dilakukan
adalah fakta bahwa lesbian merupakan pihak yang mengalami diskriminasi
berlapis. Pertama, ia mengalami diskriminasi sebagai perempuan oleh
sistem patriarki dan ideologi heteroseksismenya ; kedua, mengalami
diskriminasi atas preferensi seksual yang berbeda dari heteroseksual. Ratri
M.4 menjelaskan hal ini sebagai berikut :
“Apa yang menjadi kegundahan kaum perempuan pada umumnya, sesungguhnya juga menjadi kegundahan kaum lesbian. Di luar perbedaan orientasinya, lesbian adalah kaum perempuan yang memiliki kompleksitas yang sama kompleknya dengan kaum perempuan pada umumnya. Sehingga persoalan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi pada kelompok perempuan secara langsung berdampak kepada kelompok lesbian. Di samping itu sebagai kelompok seksual minoritas, lesbian pun mengalami persoalan yang berbeda dengan kelompok perempuan hetero, terutama adanya hambatan dalam masalah mendapatkan hak-hak sipil dan politiknya. Pembahasan tentang hak sipil dan politik pada kelompok lesbian ini, tentu saja diluar konteks bahwa masih ada sekelompok lesbian di Indonesia, yang memiliki persoalan dalam dirinya yang belum selesai. Misalnya belum tuntasnya proses pencarian jati diri atas orientasi seksualnya, terutama pada kalangan kelompok lesbian muda.
3 Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood, “Gambaran Lesbianisme : Tantangan Kebisuan
dalam Studi Seksualitas”, Hasrat Perempuan : Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia, eds. Prof. DR. Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood (Jakarta : Ardhanary Institute bekerjasama dengan HIVOS, 2009), hal.5.
4Ratri M., “Lesbian dan Hak
Sehingga memang tetap diperlukan upaya lebih mendalam dan tersinkronisasi antara para aktivis di kelompok perempuan, kelompok lesbian dan juga kelompok pejuang HAM untuk terus saling berkoordinasi dan bekerjasama agar
terjadi keselarasan hidup di masa depan.”
Selain ketiga alasan di atas, penulis menyadari suatu hal yang selama ini
terkesampingkan, yaitu seperti kata Lewis (terj. Rochmulyati Hamzah, 1988 : 3)
mengenai psikologi masyarakat yang diteliti. Menurut Lewis, walaupun kita
mempunyai banyak informasi tentang geografi, sejarah, ekonomi, politik dan
bahkan adat kebiasaan dari sebuah lokasi penelitian beserta orang-orang di
dalamnya, tapi kita sangat sedikit mengetahui tentang psikologi mereka,
bagaimana mereka berpikir dan merasakan, apa yang mereka cemaskan,
perdebatkan, harapkan, atau mereka sukai. Oleh karena itulah, posisi penulis
dalam penelitian ini, sama seperti yang dikatakan Lewis : pelajar dan pelapor.
Seperti yang dikatakan Lewis, maka penulis merasa sangat perlu melakukan suatu
kajian antropologi psikologi yang mendalam tentang konsep diri pada lesbian.
Kendatipun isu seksualitas lesbian masih relatif jarang diangkat di dalam
bidang akademik maupun publik, media justru gencar memberitakan kasus-kasus
yang kerap melibatkan lesbian atau LGBTI5. Tidak jarang pemberitaan tersebut menjadi merugikan bagi LGBTI itu sendiri. Berikut ini beberapa pemberitaan
media tentang LGBTI yang dirangkum oleh penulis.
Sumatera Utara
5
Sepasang lesbian diarak warga setelah tertangkap saat berhubungan
seks dengan kondisi bugil (http://www.posmetro-medan.com)
Pemalsuan identitas yang dilakukan oleh seorang perempuan yang
menjalin relasi sesama jenis yang menikah secara adat Toba
(http://www.seputar-indonesia.com,
http://www.hariansumutpos.com)
Seorang siswi SMK bernama Rahma di Kota Tebing Tinggi, Sumatera
Utara melarikan diri dari rumah bersama komunitas lesbi
(http://jakarta.okezone.com)
Elli, seorang perempuan yang kepalanya ditikami oleh pasangan
sejenisnya karena tidak terima hubungan mereka putus
(http://www.harianorbit.com)
Lesbian PSK di Kawasan Aksara (http://www.hariansumutpos.com)
Ella, lesbi yang menjual pasangan perempuannya
(http://www.merdeka.com)
Chen Mei Li, menyilet wajah Henny Chandra di Kampus IBBI karena
takut cinta lama pacarnya akan bersemi kembali
(http://www.metrosiantar.com)
Selain kasus-kasus tersebut di atas, ada banyak lagi pemberitaan media terkait
LGBTI. Berikut ini beberapa yang direkam oleh penulis :
Ryan dan pembunuhan berantai (wartakota.co.id, okezone.com,
surya.co.id, tribunnews.com, tvonenews.tv. )
Mujianto, seorang warga Nganjuk yang menewaskan lima korban dari 23
korban yang diracun (http://www.tempo.co)
Sumbangsih media yang menyuguhkan berita-berita sensasional seperti di atas
serta informasi yang tidak berimbang tentang isu seksualitas justru memperkuat
sifat homophobia6 pada masyarakat. Linda Sudiono7 menjelaskan hal tersebut seperti di bawah ini :
“Berkat lembaga pengukuh hegemoni—yang dahulu perannya diambil oleh lembaga-lembaga agama serta lembaga-lembaga kebudayaan, namun saat ini didominasi oleh media massa—konstruksi menjadi begitu kuat bercokol dalam kesadaran setiap individu masyarakat. Hal ini merupakan bentuk dari represifitas kesadaran dimana setiap individu
secara “tidak bebas” dipaksa untuk menerima dan meyakini stigma dalam bentuk manifestasi mekanisme “aparatus ideologis” (Althusser) yang menjadi modal loyalitas
kepada kelas yang mendominasi.”
Alison J. Murray8 merujuk pada Oetomo (1993) dan Gayatri (1995), juga berpendapat bahwa media memiliki peran yang sangat penting dalam
mempengaruhi opini publik untuk membangun ideologi heteroseksisme karena
mereka terus-menerus menggambarkan perilaku seksual di luar pernikahan
sebagai perilaku yang menyimpang dan sakit. Murray juga menambahkan bahwa
artikel-artikel tersebut diperkuat lagi oleh para psikolog. Berita-berita lesbian
secara positif menurut Murray sangat jarang diangkat. Berita yang diangkat
6
Homophobia adalah ketakutan atau kebencian yang berlebihan dan tidak beralasan terhadap orang-orang homoseksual dan transgender. Sikap homophobia ini tentu saja menjadi diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ.
7Linda Sudiono, “Melawan Hegemoni Heteroseksisme”, Buletin Mahardhika,
Maret 2011, hal. 7.
8
Alison J. Murray, “Biarkan Mereka Mereguk Kesenangan : Lesbian Kelas dan Jakarta”,
biasanya adalah seputar lesbian bunuh diri, lesbian yang dipaksa ke psikiater agar
sembuh, pemalsuan identitas dan lain-lain.
Sikap homophobia juga bisa dilihat dari penolakan terhadap Dede Oetomo
dan Yulianus Rettoblaus, yang karena memiliki preferensi seksual dan identitas
gender yang berbeda, mereka dianggap tidak normal dan tidak pantas duduk
sebagai Komisioner Komnas HAM di negara ini. Penolakan tersebut dilakukan
dengan tidak menitikberatkan kepada kualitas dan integritas mereka, apakah
memenuhi syarat atau tidak sebagai pemimpin. Sikap homophobia yang ditujukan
kepada kedua kandidat ini pada saat itu dapat dilihat dari sebuah petisi yang
ditujukan kepada Prof. Jimly Ash-Shiddiqy, Tim Seleksi KOMISI III DPR RI,
Kantor Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Berikut deskripsi petisi yang
akhirnya ditandatangani oleh 240 orang pada saat itu.
“Dede Oetomo (DO) adalah penggiat kampanye legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Bisex,
diselenggarakan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pada tahun 201010. Selain itu, kejadian yang sama menyusul ketika kegiatan tahunan Q-Film Festival
pada September 2010 sedang berlangsung. Ancaman, pembubaran dan intimidasi
9
http://www.change.org/id/petisi/tolak-dede-oetomo-sebagai-calon-komisioner-komnas-ham
Dede Oetomo dan Mami Yuli adalah aktivis pegiat HAM LGBT.
10
terhadap kegiatan ini dilakukan oleh ormas FPI. Pada saat itu, pihak
penyelenggara dan peserta kegiatan sangat menyesalkan aparat yang melakukan
pembiaran atas aksi ormas tersebut. Padahal, aksi tersebut menyebabkan
warganegara kehilangan haknya untuk berkumpul dan memperoleh informasi
serta hak untuk memperjuangkan hak seperti pada UUD 1945 Pasal 28c ayat 2.
Pembubaran paksa juga dilakukan oleh polisi pada 4 Mei 2012 ketika Komunitas
Salihara menggelar diskusi dengan mendatangkan Irshad Manji dari Kanada.
Pembubaran ini katanya dilakukan karena warga sekitar keberatan dan tidak ada
ijin diskusi11.
Homophobia bercokol begitu kuatnya di Indonesia karena hingga saat ini
homoseksual masih sering dilabeli sebagai penyimpangan atau penyakit yang bisa
disembuhkan. Padahal sejak 17 Mei 1992 World Health Organization (WHO)
sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar klasifikasi penyakit. Sebelumnya,
pada 1981 WHO juga sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar penyakit jiwa.
Selanjutnya, Indonesia sendiri pada tahun 1993 dalam Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III pada F66 1993 Depkes RI sudah
mengeluarkan homoseksual dan biseksual dari daftar penyakit. Homoseksual dan
biseksual dianggap sebagai suatu keragaman seksualitas masing-masing12. Namun seperti yang dijelaskan oleh penulis di atas, media sangat berperan penting untuk
melanggengkan kekuasaan homophobia. Gambaran bahwa lesbian adalah
penyakit juga menciptakan stigma yang kuat dan homophobia yang
11
http://salihara.org/community/2012/05/05/kronologi-pembubaran-paksa-diskusi-irshad-manji
12
Veryanto Sitohang, Jenny Solin, Aliansi Sumut Bersatu : Lahir untuk Merawat Pluralisme
diinternalisasikan oleh lesbian itu sendiri13. Banyak lesbian akhirnya dapat mengangga dirinya sakit.
Dunia internasional sendiri memberikan sikap dan respon yang
berbeda-beda terkait seksualitas LGBTI. Saat ini, beberapa negara yang sudah mengakui
perkawinan sesama jenis di antaranya yaitu Belgia, Denmark, Spanyol, Afrika
Selatan, Argentina, Swedia dan lainnya. Sementara itu, masih terdapat 80 negara,
termasuk Indonesia, yang Undang-undangnya masih mendiskriminasi kaum
homoseksual. Tujuh diantaranya masih memberikan hukuman mati terhadap
mereka14.
Tingginya angka diskriminasi terhadap LGBTI memunculkan berbagai
gerakan kemanusiaan yang secara khusus memperjuangkan hak asasi manusia
LGBTI, secara internasional, nasional hingga ke skala lokal. Dunia internasional
sudah memulai gerakan ini sejak tahun 180015. Indonesia kemudian menyusul pada tahun 196916 dan berkembang pesat hingga saat ini. Hasil wawancara sementara yang dikumpulkan oleh penulis juga menunjukkan bahwa gerakan
tersebut juga ada di Kota Medan. Beberapa organisasi LGBTI di Kota Medan
yang tercatat oleh penulis yaitu Rumah Kita, Cangkang Queer, Pelangi Hati,
Primas (Pria Medan Sehati), Koos Medan dan Sempurna Community. Rumah
Kita dan Cangkang Queer adalah dua organisasi yang selama ini relatif lebih
banyak melibatkan lesbian dalam kegiatan-kegiatannya, khususnya lesbian muda.
13
Alison J. Murray, Op.,Cit.hal.61
14 Vivi Widyawati, “Sejarah Gerakan Pembebasan Homoseksual”, Buletin Mahardhika,
Maret 2011, hal. 13.
15
Ibid., hal. 14.
Meskipun demikian, penelitian ini tidak memfokuskan kajiannya pada
gerakan atau organisasi lesbian seperti di atas. Kendatipun penulis memaparkan
tentang kondisi gerakan lesbian di Medan pada saat ini, namun penulis lebih
memfokuskan penelitian ini kepada kognitif informan (lesbian) tersebut. Hal ini
dilakukan agar penelitian ini dapat membongkar pemahaman informan tentang
bagaimana mereka melihat dirinya sebagai perempuan yang memiliki hasrat
terhadap perempuan. Maka seperti yang sudah dilakukan oleh Boellstorf
sebelumnya pada komunitas gay di Surabaya, Bali dan Makassar, melalui
penelitian ini kita juga diharapkan mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana subyektivitas-subyektivitas yang dialami oleh
informan dalam penelitian ini.
1.2Tinjauan Pustaka
Ada beberapa konsepsi awal yang harus dipahami bersama sebelum
mengkaji lebih dalam mengenai persoalan-persoalan homoseksualitas, khususnya
lesbian. Ini dimaksudkan agar pembahasan bisa lebih terarah dan fokus. Konsepsi
pertama yang harus dipahami yaitu perbedaan antara seks dan jender. Seks
didefenisikan oleh Raharjo (1996 : 259) sebagai berikut ini :
Konsepsi seks sangat berbeda dengan jender. Di sinilah sering kali letak
kesalahpahaman orang-orang mengenai kedua konsepsi tersebut. Jender kerap
dimaknai sama dengan seks. Seperti yang diungkapkan oleh Yulius17 :
“Bagi sebagian orang yang belum mendalami jender, biasanya jender diartikan sebagai “jenis kelamin biologis”, yang terdiri dari lelaki (penis) dan perempuan (vagina).
Diasumsikan bahwa makhluk yang berpenis dan bernama lelaki harus bertindak maskulin. Sebaliknya, yang bervagina haruslah bertindak feminin. Pemahaman seperti inilah yang patut dipertanyakan, terutama berkenaan dengan konstruksi feminin dan
maskulin yang dibedakan dan dilekatkan pada kedua belah pihak.”
Menurut Hillary Lips18 dalam bukunya Sex and Gender : An Introduction (2008 : 5), “Jenis kelamin (seks) mengacu pada kondisi biologis, sedangkan
jender adalah atribut nonfisiologis yang merupakan konstruksi dan harapan
kultural terhadap maskulinitas dan feminitas.” Mengacu kepada perbedaan kedua
konsepsi tersebut, Yulius menyimpulkan bahwa seharusnya sudah jelas bahwa
seks bersifat alami atau terberi, sedangkan jender merupakan konstruksi budaya
yang diinternalisasi oleh manusia lewat proses belajar dan identifikasi dengan
struktur masyarakat. Jender juga bisa didefenisikan sebagai keragaman ciri, sifat,
peran dan identitas berdasarkan kualitas maskulinitas dan femininitas, yang
dikonstruksi secara sosial kepada perempuan, laki-laki dan lainnya, bisa
dipertukarkan/dipersilangkan19.
17
Hendri Yulius, “Mengartikan Kembali Kata Jender”,Majalah Bhinneka, Agustus, 2012, hal. 21.
18
Hillary Lips, Sex and Gender : An Introduction, McGraw-Hill, 2008, hal. 5 seperti dikutip oleh Hendri Yulius, “Mengartikan Kembali Kata Jender”, Majalah Bhinneka, Agustus, 2012, hal. 22.
19Lili Sugianto, “Gender and Sexual Diversity”, (Makalah disampaikan dalam Training of Trainer
Selain seks dan jender, ada beberapa komponen seksualitas20 lain yang juga perlu dipaparkan oleh penulis, yaitu :
1. Orientasi seksual : kepada jenis kelamin/ jender mana seseorang
tertarik.
2. Identitas seksual : bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya
sehubungan dengan orientasi/ perilaku seksual mereka.
3. Identitas jender : bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya
sebagai laki-laki atau perempuan.
4. Gender ekspresi : bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya,
maskulin atau feminin.
Dalam sebuah diskusi bersama para informan di Cangkang Queer (Ika,
Eva, Tiwi dan lain-lain), hal yang perlu ditekankan mengenai orientasi seksual
yaitu bahwa orientasi seksual itu bisa secara seksual ataupun emosional dan bisa
saja dipilih, apakah tertarik secara seksual mapun jender. Pemilihan identitas
seksual didasarkan kepada orientasi seksual tersebut, dan itu dipilih secara bebas
dan merdeka. Ini penting karena seringkali ditemui kebingungan dalam
memahami orientasi seksual dan identitas jender. “Dengan memahami hal
tersebut, maka hendaknya semua orang paham bahwa pemilihan orientasi seksual
itu tidak bisa dipaksakan, meskipun ada kemungkinan untuk berubah-ubah, sama
juga halnya dengan identitas seksual.” (Hasil wawancara dengan Ika (30 tahun)).
20
Lips juga menerangkan bagaimana seorang manusia mempelajari dan
menghayati peran jendernya yang dikonstruksikan menjadi “berbeda” itu, yakni
sebagai berikut21 :
1. Psikoanalisis yang digagas oleh Sigmund Freud melihat bahwa
anak-anak mempelajari perbedaan peran jender dari orangtuanya.
2. Perspektif sosio-kultural melihat bahwa struktur sosial dan
masyarakatlah yang membuat dan mempertahankan perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan.
3. Perspektif biososial menyatakan bahwa kebudayaan kita dibangun atas
dasar perbedaan fisik antara lelaki dan perempuan, serta menempatkan
mereka dalam sosialisasi terhadap pembedaan kerja yang efisien dalam
suatu kondisi lingkungan tertentu, sehingga kedua jenis kelamin
mereponsnya dengan mengikuti konstruksi yang ada.
4. Teori perkembangan kognitif (cognitive developmental)
memperlihatkan bahwa seiring anak berkembang dewasa, mereka mulai
mengenal kategori jender dan menempatkan dirinya pada kategori yang
ada, beserta semua ekspektasi yang ada.
5. Teori pembelajaran sosial (social learning) melihat bahwa proses
modeling, imitasi dan pemaksaan (reinforcement) adalah proses untuk
membuat seseorang menghayati peran jendernya.
21
Berdasarkan teori-teori tersebut, Yulius semakin menegaskan bahwa
jender merupakan konstruksi kultural-sosial ; tidak alamiah. Dijelaskannya
kemudian, “Keadaan biologis yang berbeda antara perempuan dan laki-laki
kemudian dijadikan landasan untuk membuat konstruksi peran jender yang
berbeda antara keduanya. Menarik juga pemikiran Rosemarie Tong dalam
Feminist Thought (2010: 72) yang dijadikan landasan berpikir Yulius mengenai
fisiologi perempuan dan laki-laki yang digunakan oleh masyarakat patriarkal
sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku ‘maskulin’
dan ‘feminin’ yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan
perempuan.
Lebih lanjut jelas Yulius :
“Perbedaan ini menjadikan kedua jenis kelamin tersebut berada dalam struktur hierarkis yang tidak sederajat dan setara, yakni lelaki (aktif dan publik), sedangkan perempuan (pasif dan domestik). Nilai dan konstruksi perilaku aktif dan publik yang dikuasai oleh lelaki membuatnya lebih mudah mendapatkan akses sumberdaya yang tersedia di ranah publik. Lelaki mendapat jalan yang lebih mudah dalam menjadi pemimpin politik atau mengenyam pendidikan lebih tinggi dan berkarir. Sementara, perempuan yang dianggap cocok dengan pekerjaan domestik atau rumah tangga terpaksa terkungkung dalam rumah. Bila ingin merebut karir yang prestisius, perempuan biasanya tetap diikat dengan tanggungjawabnya untuk mengurus keluarga, anak dan suami. Lebih jauh lagi, maskulinitas dan feminitas ditempatkan dalam skala yang berbeda. Maskulinitas diposisikan lebih tinggi daripada feminitas. Itulah kenapa lelaki yang berperilaku feminin akan langsung mendapat sanksi sosial dengan sebutan banci, sedangkan perempuan yang tomboy tidak mengalami hinaan seperti ini. Maskulinitas adalah sesuatu yang agung. Lelaki yang tidak maskulin hanya memalukan kaum Adam22”
Setelah memaparkan penjelasan-penjelasan terkait apa yang membedakan
seks dan jender di atas, maka penulis harus juga menjelaskan keterkaitan antara
konsep-konsep tersebut dengan apa yang dibahas dalam penelitian ini.
Pemikiran-pemikiran Yulius sangat membantu untuk menjelaskan keterkaitan ini.
22
Polarisasi jender yang muncul akibat konstruksi jender menurut Yulius
sangat berperan operasinya dalam menciptakan logika heteronormativitas. Jelas
Yulius, “…logika heteronormativitas menyebutkan bahwa hubungan seksual yang
paling benar dan alami adalah hubungan seksual antar lawan jenis, hubungan
seksual di luar itu dianggap menyimpang dan tidak alami23”. Logika ini dianut oleh sebagian besar masyarakat patriarkal, bahwa laki-laki (maskulin) dan
perempuan (feminin) adalah yang benar-benar cocok dan saling melengkapi.
Maka jika ada hubungan di luar itu, masyarakat akan menganggapnya
menyimpang. Dalam istilah yang lain, Sudiono menyebut logika ini sebagai
heteroseksisme24.
Langkah tersebut tidak berhenti pada logika heteronormativitas saja,
melainkan berlanjut pada hukum prokreasi, dimana hubungan seksual manusia
hanya dianggap wajar selama berorientasi pada prokreasi atau mendapatkan
keturunan. Menurut Yulius, logika prokreasi ini sudah ada sejak lama, misalnya
secara historis di Amerika Utara, ide prokreasi adalah yang terlegitimasi untuk
kegiatan seksual. Selain itu, Yulius juga menyebut doktrin agama Katholik yang
juga mengharuskan hubungan seksual berorientasi keturunan25. Sedangkan seksualitas yang bersikap non-prokreasi atau yang disebut sebagai rekreasi,
dianggap sebagai dosa dan mencemari alam. Kemudian, logika prokreasi ini
23
Hendri Yulius, Loc.Cit., hal 24.
24
Heteroseksisme adalah sebuah ideologi yang menyangkal, mencemarkan dan memberikan stigma terhadap bentuk-bentuk hubungan non-heteroseksual baik itu di dalam perilaku, identitas, hubungan dan masyarakat. Heteroseksisme menyebabkan diskriminasi atau prasangka berbasiskan orientasi seksual untuk melawan homoseksual. Dikutip dari Kamus Feminis Buletin Mahardhika
Edisi Maret 2011 hal.2.
25
dilanjutkan dengan diktum patriarki yang menempatkan perempuan sebagai
pemelihara (domestik) dan laki-laki sebagai pencari nafkah (publik).
Yulius mencoba menggambarkan keterkaitan-keterkaitan ini dengan
sebuah skema seperti di bawah ini :
KONSTRUKSI
Bagi Yulius, dilihat dari proses-proses yang terjadi seperti pada skema
tersebut, maka jelaslah bahwa jender bukanlah sesuatu yang alami. Lebih lanjut
jelasnya, “Dan konstruksi jender ternyata melahirkan berbagai turunan lainnya,
seperti heteronormativitas dan diktum prokreasi. Tentu saja, semuanya hanyalah
lanjutan dari konstruksi kultural-sosial yang ada. Bukan sesuatu yang alamiah.”
Jika logika heteronormativitas atau yang disebut Sudiono sebagai
heteroseksisme ditelusuri lebih mengakar, ini justru lebih menarik lagi karena
untuk melanggengkan heteroseksisme, yakni kapitalisme. Sudiono dalam
artikelnya menyebutkan26 :
“Heteroseksisme berangkat dari heteroseksualitas yang sangat erat kaitannya dengan institusi patriarki, yang kita kenal sebagai keluarga, seperti sekarang ini. Keluarga, sebagai institusi sosial dalam bentuknya yang sekarang ini, adalah produk sejarah yang pembentukannya didasarkan pada kebutuhan untuk meningkatkan hasil produksi melalui reproduksi tenaga kerja, dan mewariskan alat, hasil-hasil produksi, serta gagasan ke generasi selanjutnya. Fungsi-fungsi keluarga tersebut tidak ditemui dalam masyarakat pra kelas atau pra peradaban (masyarakat komunal), yang ada hanyalah pertalian klan dimana peran perempuan di dalam produksi makanan untuk komunitas begitu penting. Di dalam institusi keluarga masyarakat beradab peran perempuan direduksi hanya sebagai tenaga reproduktif (domestik) untuk menjamin kelangsungan generasi. Hal ini tercermin dari
istilah ‘keluarga’ dari bahasa Latin bermakna ‘budak rumah tangga’. Oleh karena itulah institusi pariarkal ini dari asal usulnya sudah mengandung makna menindas karena mengakibatkan hilangnya kuasa perempuan atas proses produksi, beriringan dengan munculnya kepemilikan (kelas) terhadap alat dan hasil produksi di dalam masyarakat. Hegemoni heteroseksualitas pun ditanamkan sebagai ideologi demi mempertahankan kelangsungan produksi kelas pemilik.”
Dari penjelasan tersebut di atas, Sudiono menyimpulkan bahwa hegemoni
heteroseksualitas ini ditanamkan sebagai ideologi demi mempertahankan
kelangsungan produksi kelas pemilik modal. Menurutnya, hegemoni
heteroseksisme yang dahulu perannya diambil oleh lembaga-lembaga agama serta
lembaga kebudayaan, namun saat ini didominasi oleh media massa, sehingga
konstruksi menjadi begitu kuat bercokol dalam kesadaran setiap individu
masyarakat.
Tulisan Sudiono yang mencoba mengaitkan antara identitas homoseksual
dengan kapitalisme justru merupakan hal yang sangat menarik dikaji. Tidak
banyak kajian-kajian homoseksualitas (di Indonesia) yang dianalisis berdasarkan
analisis kelas seperti yang dilakukannya. Mengutip pernyataan John d’Emilio,
seorang sejarawan Marxis dari Amerika Serikat, Sudiono menerangkan bahwa :
26
“Kemunculan dan pertumbuhan kota (perkotaan) yang disebabkan oleh Revolusi Industri (cikal bakal kapitalisme modern) telah menghantarkan manusia pada perkembangan peradaban tertinggi sepanjang sejarah, karena menghancurkan ikatan sosial lama, termasuk norma-norma seksual yang berlaku dalam masyarakat. Peningkatan populasi kota akibat urbanisasi memungkinkan setiap orang memperluas pergaulan, bertemu dengan semakin banyak orang, yang pada akhirnya melahirkan subkultur baru dalam masyarakat perkotaan, dan homoseksual sebagai konsep adalah salah satu bentuk subkultur baru. Penciptaan subkultur homoseksual ini tidak terjadi pada masyarakat pedesaan karena faktor ekonomis, dimana pengukuhan heteroseksual dilakukan untuk mereproduksi dan meregenerasi tenaga kerja agar berproduksi dan berfungsi menanggung orang tua di masa tua. Sebaliknya bagi masyarakat perkotaan, keluarga besar dianggap sebagai beban yang akan berdampak pada kemiskinan.”
Jamie Gough dan Mike Mcnair27 juga sepakat bahwa kemunculan kelompok-kelompok manusia yang diidentifikasi sebagai gay khusus berlaku pada
masyarakat kapitalis. Perlu dicatat bahwa apa yang dimaksudkan homoseksual
atau “gay” oleh Emilio, Gough dan Mcnair merujuk kepada identitasnya yang
dikonstruksi oleh masyarakat, bukan aktivitas atau hasrat seksualnya, seperti
dijelaskan di bawah ini :
“Kemunculan kelompok-kelompok manusia yang diidentifikasi sebagai ‘gay’ khusus
berlaku pada masyarakat kapitalis. Aktivitas seksual ‘gay’ di masa lalu dianggap sebagai
potensi universal, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada individu tertentu (khusus).
Pengertian kita saat ini terhadap ‘seorang homoseksual’ baru dikenal pada masa kapitalis -merkantilis di London pada abad 18. Namun di Eropa, pada abad pertengahan atau
Yunani Kuno, pengertian ‘seorang homoseksual’ (seperti sekarang ini) tidak akan dimengerti. …Maka kita dapat saksikan bahwa baik praktek homoseksualitas, maupun
represi terhadapnya, sangat berbeda di antara tipe-tipe masyarakat yang (juga) berbeda. Ideologi ini berkembang dalam pembagian binary gender division yakni (yang disebut) perempuan dengan feminitas dominan dan laki-laki dengan maskulinitas dominan. Pembagian ini berusaha membentuk suatu pandangan sosial mengenai apa yang sebaiknya dan apa yang tidak seharusnya, dengan menegasikan dan mengkriminalkan segala sesuatu yang berada di luar pembagian tersebut. Secara sederhana, binary gender division ingin melakukan pembagian “sewajarnya” dalam masyarakat, seperti Lelaki -Perempuan dan Maskulin-Feminin, untuk mengukuhkan norma seksual hetero, di luar itu adalah tidak alamiah dan melanggar norma. Dalam hal ini homoseksual telah melanggar gender secara binari dan dianggap sebagai suatu aib serta pelanggaran terhadap norma yang telah menjadi konsensus di masyarakat. Konstruksi semacam inilah, yang dalam tahap perkembangannya hingga saat ini, melegitimasi terjadinya kekerasan atas dasar
“penyelamatan moral”. Negara, sebagai instrumen utama penjaga kapital serta
keberlangsungan kehidupan kelas-kelas pemilik modal, sepanjang tahap peradaban
27
Jamie Gough dan Mike Mcnair, Gay Liberation in the Eighties, Pluto Press Limited seperti
masyarakat berkelas telah menjadi institusi yang andil dalam pengukuhan kekerasan terhadap hubungan sesama jenis dan homoseksualitas28.”
Hingga saat ini, perdebatan-perdebatan mengenai pertanyaan seputar akar
penyebab seseorang menjadi homoseksual atau lesbian belum berakhir dengan
sebuah jawaban yang pasti. Sebagian aktivis LGBTI mengambil kesimpulan
bahwa menjadi gay atau lesbian adalah anugerah atau kealamiahan sejak lahir29. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, seorang Kepala Program Kajian Wanita
Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia misalnya, yang
menyoroti isu ini dari sudut pandang biologis dan psikologis berkata demikian :
“LGBTIQ tidak selamanya dianggap sebagai penyimpangan sosial karena ada aspek biologis yang campur tangan di sana. Ada orang-orang tertentu yang terlahir tidak dengan seksualitas normatif seperti yang dibayangkan harus dengan jenis kelamin yang beda. Sekarang, di dalam masyarakat yang menganggap penting heteroseksual, untuk apa seseorang menjadi lesbian kalau norma yang ada di masyarakat adalah heteroseksual? Dia pasti ingin menjadi heteroseksual karena mudah diterima. Mereka nggak dicap macam-macam sama masyarakat kalau mereka heteroseksual.”30
Selain itu, menurut Elizabeth Kristi, sesuai dengan teori Kinsey yang
didukung oleh teori Psikoanalis, menyatakan bahwa sebenarnya manusia itu
terlahir biseksual.
“Bayi yang lahir, objek pertama mereka adalah ibunya sendiri. Manusia itu ada aspek biseksualnya secara umum, namun kemudian karena seksualitas salah satu fungsinya untuk reproduksi, maka yang lebih dikuatkan secara umum adalah heteroseksualnya. Selanjutnya, yang berperan adalah faktor lingkungan dan cara pandang individu terhadap seksualitas dan orientasi seksualnya.”31
Namun ada juga pandangan yang menganggap bahwa seksualitas manusia
tidaklah alamiah. Sudiono sendiri menganggap asumsi ini kurang tepat karena
Dikutip dari sumber http://gomat.tumblr.com/post/25082471743/lgbtiq-keberagaman-seksual-dalam-praduga-dan-stigma.
31
cenderung menyamakan hubungan seksual sesama jenis dengan identitas
homoseksual itu sendiri. Hal ini menurutnya merupakan kekeliruan, karena
prasangka ‘anti-homoseksual’ atau ‘homophobia’ adalah fenomena dan konsep
baru yang tidak terjadi dalam pengertian dan level yang sama di masa lalu.
“Perilaku seksual hanyalah mencerminkan norma seksual yang banyak berubah sepanjang sejarah. Republik Belanda pada abad ke 18 memberlakukan pelarangan
terhadap “sodomi” karena dianggap dosa oleh ajaran agama tertentu pada saat itu.
Sodomi tidak serta merta merupakan representasi dari homoseksual, sehingga pelarangan terhadap tindakan sodomi bukanlah pelarangan terhadap homeseksual. Sebab pengertian sodomi pada masa itu adalah seluruh kegiatan seksual yang non reproduktif, tak hanya terhadap kegiatan seksual antar sesama pria. Identifikasi orientasi seksual sebagai homoseksual adalah kategori sosial yang muncul kemudian. Pada dasarnya manusia memiliki kapasitas untuk menikmati seksualitasnya, apapun bentuk-bentuk hubungan seksualnya. Namun demikian kapasitas ini tidak bisa berkembang begitu saja di dalam relasi kekuasaan yang menindas kemampuan seksualitas dan menganalisasinya hanya pada kegiatan reproduktif semata. Sejarah membuktikan bahwa hubungan sesama jenis telah ada sejak ribuan tahun lalu. Namun hubungan tersebut baru berwujud konsep
identitas “Homoseksual” pada akhir abad ke 19, di era kemunculan dan perkembangan
awal kapitalisme. Lahirnya konsep homoseksual sebagai identitas ini kemudian malah melahirkan kecaman akibat hegemoni heteroseksualitas, yang sengaja direproduksi terus menerus untuk mempertahankan sistem. Sebagai contoh, pada masyarakat Yunani kuno, hubungan intim antara pria tua dan pria remaja diartikan sebagai bentuk tertinggi dari cinta. Suatu masyarakat kesukuan pada masa tertentu, mengakui laki-laki atau perempuan yang mengambil peran jender (perempuan berperilaku feminin dan laki-laki cendrung maskulin) dari jenis kelamin yang berlawanan. Pada masyarakat tersebut, praktek homoseksual diakui tidak sebagai kategori manusia yang harus ditoleransi atau dimaklumi, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang selalu eksis sehingga menjadi keniscayaan.32”
Boelstorff juga memaparkan riset-riset antropologi mengenai perkawinan
gay pada tahun 2000-an di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa
perkawinan monogami heteroseksual bukanlah satu-satunya bentuk perkawinan di
seluruh dunia33. Para ahli antropologi juga menunjukkan bahwa perilaku homoseks diterima dan disucikan pada berbagai budaya, termasuk di Indonesia34.
Bahkan di komunitas yang dikenal mempunyai tradisi agama Islam yang kuat
seperti Minangkabau (komunitas transgender), Makasar (calalai dan calabai serta
bissu sebagai pemandu ritual di Kerajaan Bugis kuno atau kini di komunitas adat)
atau di Ponorogo (tradisi gendak/gemblak dari para warok/penari reog) ini
diterima sebagai sesuatu yang normal/natural bahkan dalam konteks bissu di
Makasar, mereka mendapat tempat yang tinggi dan suci.35 Atau lihat saja penelitian C.Snouck Hurgronje36 mengenai erotisme dalam puisi-puisi tari Sadati Aceh dan penari laki-laki Sadati yang sering disuruh melayani hasrat laki-laki
Aceh, serta banyak praktek nusantara lainnya yang sudah ada sejak dulu.
Selain itu, thesis Iskandar Zulkarnaen yang berjudul Perilaku
Homoseksual di Pondok Pesantren juga menunjukkan kepada kita bahwa praktek
homoseksual juga terjadi di pondok-pondok pesantren, baik yang dilakukan secara
terbuka maupun secara tertutup37.
Selain pendapat-pendapat di atas, tentu masih banyak pendapat-pendapat
yang menganggap homoseksual sebagai suatu penyakit dan ketidaknormalan
seperti berikut ini :
“Meski banyak usaha baik secara filosofi, atau mengatasnamakan HAM bahkan mencari jawab dari perkembangan manusia guna membuktikan bahwa homoseksualitas itu merupakan suatu hal yang manusiawi atau wajar, pada akhirnya tetap saja kesemua itu
35 Nursyahbani Katjasungkana, “Upaya Menghormati Perbedaan dan Merayakan Keberagaman
Seksualitas Manusia”, Hasrat Perempuan : Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia, eds. Prof. DR. Saskia E. Wieringa, DR. Evelyn Blackwood (Jakarta : Ardhanary Institute bekerjasama dengan HIVOS, 2009), hal. xiv.
36
Dede Oetomo, Loc.Cit., hal.15
37 Iskandar Zulkarnaen, “Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren”, (Tesis, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2006) seperti dikutip oleh Soe Tjen Marching,
membantah realita seksualitas manusia. Bahwa manusia ada dan bertahan hingga sekarang adalah karena heteroseksual. Hendaknya kita sadari bahwa memasukkan homoseksualitas sebagai bentuk kewajaran seks manusia sama saja mempersiapkan manusia ke arah kemusnahan. Tidak ada lagi yang melahirkan keturunan manusia! Jika perkembangan etik mengenai homoseks ini seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin kejadian yang telah Allah gambarkan pada masyarakat Nabi Luth akan muncul kembali. Ketidakjelasan standar normal-abnormal sekarang ini, tidak menutup kemungkinan kaum homoseksual akan balik menuduh kaum heteroseksual sebagai melakukan perbuatan abnormal, begitulah kejadian jaman Luth.38”
Hubungan seks normal seperti yang diungkapkan oleh DR Herbert Fens
Terheim, “Anda melakukannya karena anda ingin melakukannya, baik untuk
kepuasan diri atau untuk menyenangkan partner anda” dikritik oleh B. Badri dan
dianggapnya tidak menyinggung aspek-aspek kehidupan beragama, spiritual atau
kehidupan transendental manusia39. Akhirnya ia pun berkesimpulan bahwa pendekatan gender (membedakan lelaki dan perempuan secara sosio-kultural)
menentukan segi kejiwaan anak kelak ketika dewasa. Ia mengambil contoh sikap
kelakilakian atau kewanitawanitaan, yang melahirkan waria yang menurutnya
banyak disebabkan oleh pendidikan anak yang melupakan segi gender. “Anak
lelaki dibiarkan berkembang di tengah pola perkembangan anak perempuan, dari
mainan, pakaian dan kebiasaan lainnya. Hasilnya, ia menjadi waria. Pada
akhirnya, lesbianisme dan gay lebih dominan ditentukan oleh faktor lingkungan.
Penyembuhan kembali abnormalitas ini berpulang pada keinginan orang
tersebut.”
Hingga saat ini, salah satu hambatan terbesar dalam advokasi hak-hak
homoseksual adalah keberadaan tafsir homophobia terhadap ayat-ayat dalam
38
Sa’abah Marzuki Umar. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam ( Jogjakarta : UII Press Jogjakarta, 2001), hal.129
39
Alquran yang bercerita mengenai hubungan seksual sesama jenis40. Tafsir homophobia menyebabkan “Umat Islam menyandarkan legitimasi teologisnya
untuk menghukum dan memperlakukan secara diskriminatif mereka yang terlibat
dalam pengalaman hubungan sesama jenis”.41
Ini sama halnya dengan kelompok Kristen konservatif yang menganggap
homoseksual adalah dosa dan melawan kehendak Allah. Pendeta Ester42 memaparkan beberapa ayat Alkitab yang dijadikan dasar penolakan mereka yaitu
cerita Sodom dan Gomora dalam Kejadian 18:20-21; 19:1-29 ; perintah Musa
dalam Kitab Imamat 18:22 ; 20:13-14 ; dan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat
Korintus ( I Korintus 1:10) dan suratnya kepada Jemaat di Roma (Roma 1:26-27).
Dalam tulisan tersebut, Ester juga memaparkan bagaimana kelompok Kristen
liberal mulai menggunakan cara baru dalam memahami Alkitab untuk
menginterpretasi ulang kitab-kitab tersebut. Salah satu hasil dari interpretasi
tersebut mengatakan bahwa dosa orang-orang Sodom bukanlah homoseksual,
melainkan mengabaikan orang miskin dan mempraktekkan penyembahan berhala.
Selain akibat tafsir homophobia, perdebatan-perdebatan mengenai
seksualitas manusia memang tidak bisa dilepaskan dari kontestasi politik. Seperti
kata Foucault43 :
40Farid Muttaqin, “Homoseksual dalam Islam”, Majalah Bhinneka
Edisi 05. Hal. 29.
41
Ibid.
42
Ester Mariani Ga, “Lesbian dalam Penafsiran Agama”, Jurnal perempuan, Edisi 58. Hal.33
43 Michel Foucault, seperti yang dikutip oleh Arif Saifudin Yudistira, “Menarik Benang Merah
“Dalam setiap masyarakat, tubuh senantiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi objek kuasa, baik di dalam anatomi metafisik, pun dalam arti teknik politis. Teknologi politis terhadap tubuh akhirnya sampai pada perhatian terhadap tubuh yang tadinya harus disiksa-sampai pada tubuh yang harus dilatih
agar disiplin.”
Kebijakan-kebijakan politik pun akhirnya mau tidak mau membawa relasi
seks, tubuh dan kuasa44. Contohnya seperti penempatan lokalisasi pekerja seks, kebijakan kondom gratis, kolam renang syariah, hadirnya perda syariah, sampai
kepada UU tentang Pornografi. Perda homophobia belakangan juga hadir dengan
secara langsung menyebut homoseksual dan lesbian di dalam pasal-pasalnya.
Dalam bahasa yang berbeda, Nursyahbani mengatakan bahwa seksualitas
manusia, khususnya seksualitas perempuan, juga selalu merupakan ajang
perebutan antara negara dan masyarakat melalui penafsiran/ajaran agama dan
pembentukan norma sosial lainnya45.
“Pada pokoknya perebutan itu adalah upaya untuk menguasai dan mengontrol mereka yang dianggap abnormal dan tak lazim itu agar tak menyimpang dari norma yang baku, tak boleh berbeda dari apa yang dianggap alamiah dan karenanya mereka tak punya ruang
untuk hidup dan tumbuh seperti kelompok manusia lainnya.”
Di Indonesia sendiri, Saskia Wieringa46, seorang antropolog dari Amsterdam telah menulis mengenai hasrat dan relasi perempuan sejenis dengan
judul “Globalisasi, Cinta, Kedekatan dan Pembungkaman di Kelas Pekerja
Komunitas Butch/Femme di Jakarta” (2005). Wieringa memaparkan bahwa sejak
awal demokrasi 1998, relasi hubungan seksual sejenis juga semakin terbuka.
44
Arif Saifudin Yudistira, “Menarik Benang Merah Seks dan Politik”, Majalah Bhinneka Edisi 05. Hal.09.
45
Nursyahbani Katjasungkana, Loc.Cit., hal.xviii.
46 Saskia Wieringa, “Globalisasi, Cinta, Kedekatan dan Pembungkaman di Kelas Pekerja
“Akan tetapi keterbukaan ini berada di dalam tingkat komunitas dan bukan pada
tingkat nasional yang justru menguatkan kembali moralitas tradisional, yang
gencar diusung oleh Islam fundamentalis.”
Berdasarkan penelitiannya, Wieringa mengatakan bahwa etika lesbian
adalah etika resistensi dan “self creation” (pembentukan diri sendiri).
“Etika lesbian tidak berangkat dari suatu set peraturan mana yang benar dan mana yang salah atau berangkat dari suatu kewajiban atau tindakan utilitarian atau deontologis. Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.47”
Keberadaan komunitas lesbian dan fungsinya bagi lesbian itu sendiri
dijelaskan oleh Arivia48 seperti berikut ini :
“Lesbian ada dalam lingkup komunitas. Cara berada seperti ini memungkinkan untuk menciptakan nilai-nilai baru ; karena lingkup komunitasnya dianggap “lain”, ingin mencari pemahaman baru tentang resistensi mereka. Menurut Audre Lorde, komunitas lesbian bukan komunitas yang dibentuk karena merasa diancam atau ingin memenangkan nilai-nilai lesbianisme, akan tetapi lebih kepada komunitas yang ingin memahami diri sendiri, sebagai sumber pengetahuan agar dapat survive menjadi seorang lesbian. Jadi, komunitas lesbian adalah tempat referensi, dimana terus diproduksi makna-makna baru, makna lesbian, makna yang dibentuk dan disepakati bersama oleh komunitas tersebut.”
Pembahasan mengenai keluhan-keluhan atau struggle yang dialami oleh
lesbian sendiri jarang diangkat karena dianggap tidak lebih menarik dibandingkan
isu esensialisme tentang identitas dan konflik diri seorang lesbian (kenapa
menjadi lesbian, apa penyebabnya dan sejak kapan). Menurut Agustine49, upaya penggalian sejarah gerakan lesbian itu sendiri masih sangat minim meskipun ada
beberapa akademisi yang melakukannya. Selain itu menurutnya, ada pula
47
Ibid., hal.14.
48Gadis Arivia, “Etika Lesbian”, Jurnal perempuan
Edisi 58. Hal. 15.
49RR. Sri Agustine, “Rahasia Sunyi : Gerakan Lesbian di Indonesia”, Jurnal Perempuan
anggapan beberapa aktivis perempuan yang merasa bahwa lesbianisme
merupakan isu yang sensitif yang dapat menghancurkan perjuangan perempuan.
Sementara untuk strategi pergerakan memberdayakan lesbian muda,
Kamelia Manaf50 merasa perlu bentuk dan strategi gerakan yang berbeda dan dekat dengan anak muda agar efektif. Ini disebabkan karena anak muda adalah
komponen penting dan dapat ikut membangun gerakan. Di Asia sendiri,
permasalahan paling berat yang dihadapi oleh kelompok lesbian yaitu
fundamentalisme serta gerakan yang tersentralisasi di daerah urban dan belum
menyentuh suburban. Indonesia misalnya, gerakan tersentralisasi hanya di Jakarta.
Berbicara mengenai psikologi lesbian, tentunya konsep diri lesbian adalah
salah satu kajian yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Edwi Arief Sosiawan,
SIP, Msi mengatakan bahwa masalah-masalah rumit yang dialami manusia,
seringkali dan bahkan hampir semua sebenarnya berasal dari dalam diri.
Lanjutnya, mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar
dari problem konsep diri. Beliau menjelaskan konsep diri sebagai berikut ini :
“Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Definisi yang lebih rinci lagi adalah sebagai berikut :
a. Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri sifat ) yang dimiliki (Brehm & Kassin, 1993).
b. Atau juga diartikan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dimilki individu tentang karakteristik dan ciri-ciri pribadinya (Worchel, 2000).
c. Definisi lain menyebutkan bahwa Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri. Hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri.”51
50 Kamilia Manaf, “Lesbian Muda Bagian Penting dari Perjuangan Demokrasi”, Jurnal Perempuan, Edisi 58. Hal. 134.
51
Defenisi dari ilmu psikologi ini digunakan oleh penulis sebagai acuan
untuk membongkar konsep diri yang ada pada lesbian di Kota Medan, terkait
bagaimana mereka berpikir dan merasakan, apa yang mereka cemaskan,
perdebatkan, harapkan, atau mereka sukai, seperti yang dikatakan oleh Lewis.
Amilda, seorang dosen Antropologi Budaya Fakultas Ushuluddin IAIN Raden
Fatah Palembang mengatakan bahwa untuk memahami karakter manusia sebagai
individu, antropologi mengadopsi teori dan metode yang dimiliki oleh psikologi,
yang kemudian disesuaikan dengan teori dan metode yang digunakan dalam
antropologi. Itu juga lah yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini.
Di Universitas Sumatera Utara sendiri, pun belum banyak mahasiswa
maupun akademisi yang cukup tertarik untuk mengkaji seksualitas lesbian secara
khusus. Hal ini terlihat dari betapa minimnya referensi yang ada di repository
USU mengenai lesbian. Topik-topik seksualitas yang dibahas lebih banyak pada
kalangan gay. Beberapa di antaranya yaitu : Gambaran Kesepian pada Gay di kota
Medan52, Kecemburuan dalam Berpacaran Pada Gay Dewasa Dini53, Intimacy Dalam Pacaran Pada Gay54, dan GAY : Kekerasan Seksual Sesama Pasangan di Kota Medan (Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota
Medan)55. Sementara itu, ada pun beberapa penelitian mahasiswa USU tentang lesbian, tapi jarang dilakukan dengan metode antropologi yang orientasinya
52
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23222
53
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22185
54
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/25142
55