• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi Konflik antara PDAM Duri dan Pelanggannya

Dalam dokumen Konflik Antara Pdam Duri Dan Pelanggannya (Halaman 66-77)

BAB III SITUASI DAN SUMBER KONFLIK

3.1 Situasi Konflik antara PDAM Duri dan Pelanggannya

Konflik PDAM Duri dan pelanggan pada dasarnya adalah perlawanan. Kenapa saya katakan demikian, karena masyarakat sebetulnya sedang melampiaskan kekecewaannya yang lama, seperti kelalaian-kelalaian PDAM, serta kebijakan-kebijakan PDAM yang merugikan masyarakat. Adanya perlawanan tentunya dilatarbelakangi oleh perjuangan atas sesuatu yang dianggap sangat penting, dan melibatkan beberapa orang atau kelompok yang berkonflik. Seperti halnya pendapat dari para ahli yang menanggapi dan melihat kehadiran konflik di tengah-tengah masyarakat. Menurut Griffith dalam Ihromi (1993) sengketa/konflik merupakan proses interaksi hukum. Interaksi hukum terjadi karena adanya pelanggaran atas aturan-aturan yang telah disepakati bersama antara dua pihak yang saling terikat perjanjian seperti pada PDAM dan pelanggannya. Adanya sesuatu yang tidak diterima oleh salah satu pihak dan merupakan kebutuhan mendasar yang tidak terpenuhi sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan konflik. Seperti halnya yang disebutkan dalam Merriam-Webster Dictionary22

“Conflict is a mental struggle resulting from :

opposing needs, drives, wishes, or external or internal demands”(Konflik adalah perlawanan mental sebagai akibat dari: kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang berlawanan).

Hal ini terlihat dalam kebijakan PDAM Duri yang meningkatkan jumlah pelanggan sebanyak 100% dari kapasitas kemampuannya yang disetujui oleh PT. CPI, yaitu 4000 pelanggan, menjadi 8505 pelanggan. Meningkatnya jumlah pelanggan dalam kondisi seperti ini tentu saja mengurangi debit air yang masuk ke masing-masing rumah pelanggan, karena bertambahnya sambungan rumah baru oleh PDAM yang disisi lain tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah debit air yang masuk kepada PDAM Duri dari PT. CPI, alias tetap. Dengan begitu, pelanggan yang masuk setelah kuota 4000 akan merasa dibohongi karena yang mereka ketahui bahwa air PDAM Duri berjalan lancar dan mengapa ketika mereka masuk air PDAM sering macet. Sebaliknya kebijakan PDAM menambah pelanggan tentunya merugikan pelanggan yang termasuk dalam kuota 4000, dimana airnya sudah tidak lagi lancar seperti dulu. Inilah yang sebetulnya dilawan oleh pelanggan.

Wirawan dalam bukunya yang berjudul Konflik dan Manajemen Konflik menyebutkan bahwa konflik terjadi di antara pihak-pihak yang saling tergantung dan saling menguntungkan secara timbal balik. Maka inti dari konflik itu adalah menyangkut masalah hak (pada satu pihak) yang merupakan kewajiban (pada pihak lain) yang tidak terpenuhi hingga akhirnya merebak menjadi konflik sosial. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utamanya adalah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dari yang bersaing, maka dalam konflik ini tujuannya adalah untuk memperoleh hak-hak konsumen/pelanggan serta menuntut kewajiban pihak PDAM itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan air. Seperti itu lah konflik yang terjadi

antara PDAM Duri dan pelanggannya yang terjadi di Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Kesulitan yang dialami oleh masyarakat Duri dalam memperoleh air bersih dari PDAM mencuat menjadi sebuah konflik di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sebagian besar bergantung kepada PDAM. Di samping itu, kondisi alam yang tidak menyediakan sumber air yang baik di wilayah ini juga ikut mendorong timbulnya konflik di antara keduanya yang sama-sama mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. PDAM kesulitan untuk mencari sumber air baku untuk bisa diolah dan didistribusikan kepada pelanggannya (yang selama ini dibantu oleh PT. CPI), sementara sebagian besar pelanggan menggantungkan harapannya kepada PDAM dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Menyangkut hal ini, desas desus di media menyebutkan bahwa PDAM kesulitan memperoleh air baku karena permasalahan internalnya antara PDAM dengan pihak swasta yaitu PT. CPI yang sejak tahun 1997 telah memberikan sumber air baku untuk PDAM Duri23

Puncak dari kelangkaan air bersih yang dialami masyarakat terjadi pada bulan Juni tahun 2012 lalu, dimana pelanggan PDAM tidak memperoleh air sama sekali dari pihak PDAM Duri.

sehingga PDAM Duri tidak bisa mendistribusikan air bersih kepada pelanggannya.

24

23

Sumber :

Keteganganpun terjadi di tengah-tengahmasyarakat, sebab sesuatu yang vital tersebut tidak dapat terpenuhi dan

24

kelangkaannya telah sampai pada tahap yang merugikan menurut pelanggan. Letupan-letupan emosi pelanggan karena kinerja PDAM yang tidak memuaskan ini pun mulai muncul ke permukaan, bahkan beberapa di antaranya juga diberitakan oleh media. Seperti ekspresi pelanggan akan ketidakpuasannya terhadap PDAM yang muncul dalam beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pelanggan itu sendiri. Demonstrasi (pernyataan protes yang dikemukakan secara massal) dilakukansekumpulan pelanggan pada tanggal 4 Juni 2012. Dimana pelanggan beramai-ramai datang mengunjungi kantor PDAM untuk menyatakan ketidakpuasannya25

25

“Pelanggan Duri, Ancam segel Kantor Camat Mandau (Senin, 04 Juni 2012”) diakses pada Desember 2013.

:

“Akibat tidak jelasnya solusi dalam mengatasi hal tersebut seluruh pelanggan PDAM berencana akan melalukan aksi demo dengan menyegel kantor Camat Mandau. Karena PDAM adalah merupakan perusahaan milik pemerintah yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).Sehingga pemerintah juga harus bertanggung jawab dalam persoalan ini.”

Ekspresi pelanggan yang dimunculkan lewat aksi demonstrasi tersebut dapat dikatakan sebagai strategi dalam berkonflik. Yang artinya pihak-pihak yang terlibat konflik menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk menghasilkan keluaran konflik yang diharapkan. Dalam demo yang terjadi tanggal 4 juni 2012 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pihak pelanggan mengeluarkan ancaman berupa “penyegelan kantor camat Mandau” sebagai taktik yang dipilihnya dalam berkonflik pada saat itu. Taktik sepertiini disebut juga dengan Taktik Mengancam.

Strategi dalam berkonflik juga dilakukan oleh pihak PDAM. Taktik yang digunakan PDAM selama kasus konfliknya dengan pelanggan berlangsung, yaitu ; Taktik Mengulur Waktu, dimana PDAM menunda untuk melakukan sesuatu atau menolak untuk merespon lawan konflik dalam interaksi konflik.26

Tidak mengalirnya air PDAM memaksa masyarakat untuk mencari sumber air lain untuk dapat dikonsumsi setiap harinya. Sumber air lain tersebut harus ditebus dengan biaya yang cukup mahal, dimana 1 tangki yang berisi 1 kubik air dinilai dengan harga Rp 45.000/50.000 per m3 nya. Belum lagi tingginya permintaan akan air tangki sumur bor ini yang tidak sebanding dengan ketersediaan air yang dijajakan oleh pemilik sumur bor keliling. Mahalnya harga yang harus dibayarkan oleh pelanggan untuk memperoleh air bersih selain dari PDAM adalah hal yang paling merugikan disepanjang masalah yang pernah dialami oleh keduanya (antara PDAM dengan pelanggannya). Hal ini juga dikemukakan dengan lantang oleh seorang pelanggan pada aksi demo yang sama

Tujuan mengulur waktu adalah menenangkan diri, membuat lawan bosan, atau menunda berbuat sesuatu hingga waktu yang tepat. Hal inilah yang dilakukan oleh PDAM ketika pelanggannya datang dengan segala aksi protesnya terhadap kinerja PDAM yang tidak memuaskan, terutama dalam kemacetan air yang tidak wajar dan sangat merugikan pelanggan. PDAM Duri memilih cara ini sebab kedudukannya sebagai cabang dari PDAM Pusat Kabupaten Bengkalis tidak mempunyai wewenang dalam mengambil setiap keputusan. Untuk itu mengulur waktu dan membiarkan saja tampaknya adalah cara yang tepat.

mengenai mahalnya biaya yang dikeluarkan pelanggan akibat tidak adanya air PDAM:

“Selama air PAM mati, kami membeli air 1 – 2 tangki dalam sehari. Satu (1) tangki air berkapasitas 1000 Liter (Seribu Liter) yang kami beli itu harganya berkisar Rp.45.000,- (Empat Puluh Lima Ribu Rupiah)/ tangki sampai Rp.50.000,-(Lima Puluh Ribu Rupiah)/ tangkinya. Kami sudah sangat di rugikan selama ini, pasalnya, kami tetap membayar dengan jumlah yang besar ke kantor PDAM Duri dan kami juga membayar setiap kami membeli air dari penjual air bersih”

Strategi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih juga dihitung sebagai faktor yang mempengaruhi berjalannya konflik di antara PDAM dengan pelanggannya. Tidak banyak masyarakat yang kekurangan air bersih akhirnya menggunakan air kolam yang tidak layak pakai untuk keperluan sehari-harinya seperti mencuci dan mencuci piring. Hal ini dituturkan oleh Ibu Ros yang tinggal di Jalan Rokan, Duri lewat pengalamannya ketika krisis air melanda Duri:

“Waktu air PAM tidak mengalir, kami terpaksa menggunakan air

kanal (kanal adalah sebuah parit besar yang dialiri air sebagai pembatas antara lokasi operasi Chevron dengan daerah pemukiman penduduk) untuk mandi, mencuci baju dan memasak makanan ternak. Kalau untuk memasak kami lebih memilih untuk membeli aqua isi ulang, karena air kanal itu jorok dan tak layak konsumsi.”

Kondisi krisis air lama kelamaan memaksa masyarakat melakukan penanganan sendiri dalam mecukupkan kebutuhannya akan air. Ide-ide pengelolaan air yang tidak biasa muncul dan kemudian dipraktekkan oleh masyarakat demi mencukupi kebutuhan airnya sehari-hari. Menggunakan air yang berasal dari parit-parit besar pun dilakukan, hingga metode daur ulang limbah air mandi rumah tangga. Metode daur ulang limbah air mandi ini diterapkan oleh

beberapa keluarga yang cukup merasakan adanya kelangkaan air bersih tersebut. Ibu Sina ketika diwawancarai mengenai hal tersebut memaparkan :

“Situasi seperti ini sudah pernah kita alami sebelumnya, dulu sebelum PDAM hadir disini kita justru mandi di kolam, dulunya masih terawat, yang tersedia juga tempat penyuciannya. Akan tetapi sekarang kolam-kolam sudah tidak lagi terawat seperti dulu sehingga mengharuskan kami mengisi semua tempat penampungan air, untuk antisipasi datangnya kemarau. Dan apabila kemarau itu sudah terjadi maka biasanya saya akan memandikan anak-anak saya meskipun sudah kelas 2 smp agar penggunaan airnya lebih hemat, karena biasanya anak-anak suka sekali bermain air. Bekas mandian tersebut ditampung dalam sebuah ember yang besar, yang nantinya akan dijadikan perendaman kain kotor. Dengan begitu penggunaan air menjadi maksimal. Sekarang, setelah PAM hadir sejak tahun 1996 lalu, permasalahan akan air di wilayah ini sedikit teratasi, karena meskipun kami tidak menjadi pelanggan PAM maka kami masih tetap dapat membeli air kepada orang yang masuk PAM (pelanggan tetap PDAM) yang dihitung harganya per-jerigen. Bahkan sekarang ada yang langsung menyambungkan selang air yang kalau panjangnya mencukupi untuk disambungkan ke sumurnya (sumur banyak dijadikan sebagai bak yang sangat besar untuk tempat penampungan air).”

Hal serupa juga ditambahkan oleh Ibu Pinta yang rumahnya bersebelahan dengan Ibu Sina :

“Bekas air mandian tersebut biasanya masih bisa kami buat untuk mencuci piring, kemudian dibilas dengan air yang bersih sekali lagi, tanpa harus membuang air bilasan terakhirnya itu. Air yang sudah sangat kotor dan tidak terpakai lagi biasanya kami buat untuk menyiram halaman yang kering dan sangat ber-abu jika disapu.”

Demikian sulitnya dirasakan masyarakat dalam memperoleh air sebelum kedatangan PDAM ke Duri, kemudian hal yang serupa kembali dirasakan setelah dua bulan air PDAM tidak menyentuh rumah pelanggan dan masyarakat. Strategi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan air bersih yang cenderung memprihatinkan ini tanpa sadar telah dijadikan sebuah senjata oleh masyarakat itu

Emosi yang muncul karena keadaan yang memprihatinkan menjadi semangat tersendiri untuk melanjutkan konflik. Pada tahap inilah masuk peran media/pers sebagai sarana penyampai aspirasi masyarakat ke pihak PDAM Duri maupun pemerintah daerah, yang diharapkan mampu memberikan solusi masyarakat terhadap kebutuhannya akan air. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Pemberitaan media yang berisi konflik dapat membawa pengaruh pada dua hal, Pertama pemberitaan media justru memperluas eskalasi konflik dan kedua, dapat membantu meredakan dan menyelesaikan konflik (Sieber : 1986).27

Kemarahan pelanggan paling sering dialami oleh para pembaca meter, yang ditangani oleh Koperasi Tirta Terubuk. Banyak warga yang protes akan ketidaklancaran air ketika melihat pembaca meter singgah di rumahnya untuk Namun idealnya pers atau media seharusnya menyediakan informasi yang jujur, jernih dan seluas mungkin mengenai apa yang layak dan perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat membantu meredakan dan menyelesaikan krisis di tengah-tengah masyarakat.

Situasi memprihatinkan membuat masyarakat yang telah bergabung menjadi pelanggan PDAM merasa harus menuntut hak-hak pelanggan yang pada hakikatnya harus dipenuhi oleh PDAM. Sebab menurut pelanggan sanksi denda karena keterlambatan membayar tagihan air tidak sepantasnya diberlakukan kepada pelanggan, sebab apabila PDAM tidak memenuhi kewajibannya kepada pelanggan tidak ada sanksi yang diterima oleh PDAM.

27

Sumartono S.sos dalam “Konflik Dalam Pemberitaan Media Massa” diakses pada

membaca meteran. Pembaca meter yang disangka masyarakat berwenang menjawab keluhan masyarakat dijadikan pelampiasan kemarahan terhadap PDAM. Banyak pelanggan yang mengeluh secara baik-baik hingga pelanggan yang tak segan untuk mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar sebagai wujud kekesalannya pada PDAM. Sementara pihak pembaca meter tidak selalu

tahu menahu tentang situasi yang dialami oleh PDAM. Menurut Bang Jul yang

dulu berprofesi sebagai pembaca meter (sekarang sudah menjadi karyawan PDAM Duri), tidak semua pembaca meter itu mengerti dengan permasalahan yang terjadi antara PDAM Duri dengan masyarakat, jadi untuk menghindari kemarahan pelanggan (khususnya untuk daerah “sulit air”) para pembaca meter seringkali “diam-diam” untuk melakukan tugasnya. Tetapi untuk sebagian pembaca meter yang mengerti tentang permasalahan tersebut (salah satunya beliau), mereka akan menjelaskan bagaimana situasi yang sedang dialami oleh PDAM sehingga terjadi ketidakpuasan pelanggan seperti tidak mengalirnya air serta bengkaknya jumlah tagihan air pelanggan yang tidak sesuai dengan jumlah air yang digunakan.

Tidak ketinggalan bidang HubLa (Hubungan dan Layanan) di Kantor PDAM Duri juga sering mendapat semprotan kasar serta cacian dari pelanggan. Menanggapi hal itu Bapak Iwan Tambunan sebagai koordinator Hubla menyebutkan bahwa keluhan-keluhan yang sampai ke kantor seringkali bersifat sepihak saja. Dimana pihak yang selalu disalahkan adalah pegawai kantor, sementara yang berurusan mengenai sumber air baku adalah pusat (maksudnya PDAM Bengkalis). Beliau juga kerap menghadapi pelanggan yang kasar dan tak

segan mengumpat kata-kata yang tidak sepantasnya untuk diucapkan. Pada keadaan ini sebenarnya bukan hanya pihak PDAM saja yang harusnya bertanggung jawab, tetapi peran Pemda juga, karena PDAM adalah milik Pemerintah Daerah.

Istilah “sepihak” ini muncul karena mengingat bahwa yang memberhentikan pasokan air baku adalah PT. CPI, sehingga tidak ada air yang bisa diolah oleh PDAM. Toleransi dalam suatu hubungan menurut pemahaman penulis lewat perkataan “sepihak” harusnya dimunculkan pada dua pihak yang terikat kontrak perjanjian. Seperti antara PDAM dengan pelanggannya yang harus saling mengerti kondisi PDAM yang tidak bisa mengolah air baku, dan PT. CPI yang mengerti kondisi PDAM bahwa mereka harus mendistribusikan air untuk masyarakat yang sedang krisis akan air bersih.

Bila dilihat kembali pada kejadian sebelum terjadinya konflik antara dua pihak ini, kemungkinan untuk terjadinya sebuah konflik sebenarnya sudah ada sejak pertama kali seorang calon pelanggan mendaftarkan dirinya menjadi konsumen PDAM. Hal ini terlihat dalam isi surat perjanjian baku yang disepakati bersama sebagai salah satu syarat untuk menjadi pelanggan PDAM.28

28

Perjanjian baku/standar merupakan perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak telah ditentukan dalam surat perjanjian itu sehingga calon konsumen (pelanggan) hanya tinggal menandatangani formulir tersebut yang sebenarnya lebih banyak mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pelanggan

Pada dasarnya suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negosiasidi antara mereka (PDAM dan

Pelanggan). Namun dewasa ini ada kecenderungan bahwa banyak perjanjian dalam transaksi bisnis yang terjadi dilakukan bukan melalui suatu proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak melainkan pihak yang satu telah menyiapkan suatu syarat baku pada suatu formulir perjanjian dan pihak lain tersebut untuk melakukan negosiasi atau syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian dapat disebut perjanjian baku atau standar.29

Menurut LauraNader and Harry Todd konflik adalah tahapan dari proses bersengketa (disputing process). Menurutnya terdapat tiga tahapan dalam proses bersengketa, yaitu tahap pra-konflik, tahap konflik, dan Sengketa

Hal ini tentunya sudah menyebabkan adanya ketidakadilan dalam hubungan keduanya.

30

Situasi “keluhan, perasaan diperlakukan tidak adil’ ini mengandung suatu potensi yaitu suatu potensi untuk meletus menjadi konflik atau justru mengendor. Perasaan diperlakukan tidak adil dapat lebih memuncak dikarenakan oleh suatu konfrontasi, atau eskalasi justru terelakkan karena setara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau karena pihak kedua tidak member reaksi terhadap tantangan : Tahap

pra-konflik atau tahap keluhan, Mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh

seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilannya itu dapat bersifat nyata, atau imajinasi saja, tergantung pada persepsi dari pihak yang merasakan ketidakadilan bersangkutan. Dalam hal ini, yang penting ialah pihak itu merasakan bahwa haknya dilanggar atau dia/mereka diperlakukan dengan salah (TO. Ihromi, 1993:209).

yang diajukan. Dapat disebut bahwa cirri tahap ini adalah monadik (Nader dan Todd, 1978:14). Bila pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, serta melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya, atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya, maka keluhan semula memasuki tahap konflik. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan pendapat antara mereka. Tahap ini mempunyai cirri diadik (dua pihak berhadapan). Akhirnya tahap sengketa (dispute) dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung sebab adanya konflik itu dikemukakan secara umum.”

Mengacu kepada apa yang dikatakan Nader dan Todd mengenai sengketa, maka dapat disimpulkan bahwa yang dialami oleh PDAM dan Pelanggannya adalah Tahap bersengketa (disputing process).

Dalam dokumen Konflik Antara Pdam Duri Dan Pelanggannya (Halaman 66-77)

Dokumen terkait