• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 SKALA PRIORITAS ALTERNATIF PENERAPAN PRODUKSI BERSIH

Setelah mengkaji opsi produksi bersih dari aspek teknis, lingkungan dan ekonomi maka dapat dilakukan penentuan skala prioritas. Penentuan skala prioritas ini dilakukan dengan pemberian bobot/penilaian terhadap masing-masing opsi. Penentuan bobot yang digunakan didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti teknologi, kemampuan SDM untuk melakukannya dan kemudahan mendapatkan bahan. Bobot diberikan dengan kisaran 1 sampai 3. Penjelasan mengenai pembobotan ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kriteria pembobotan aspek teknis, lingkungan dan ekonomi

Aspek Nilai Bobot Keterangan

Teknis 3 Sangat mudah untuk diterapkan (kemudahan teknologi, SDM, dan sebagainya)

2 Relatif mudah dalam penerapannya (ada beberapa kendala)

1 Sulit untuk diterapkan (kesulitan teknologi atau memperoleh bahan) Lingkungan 3 Memberikan efek yang signifikan terhadap perbaikan lingkungan

2 Memberikan sedikit efek terhadap perbaikan lingkungan 1 Tidak ada efek terhadap perbaikan lingkungan

Ekonomi 3 Pay back periodkurang dari satu bulan 2 Pay back periodantara 1–12 bulan 1 Pay back periodlebih dari 12 bulan

Setelah menentukan nilai pembobotan seperti pada tabel diatas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan pembobotan terhadap opsi produksi bersih pada industri penyamakan kulit. Besarnya pembobotan masing-masing opsi disajikan pada Tabel 5.

Dari tabel tersebut, terlihat bahwa skala prioritas untuk penerapan produksi bersih adalah penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang, pemisahan limbah cair dari bulu dan daging, penggunaan kembali air buangan pre soaking untuk proses pre soaking pada batch selanjutnya, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan limbah daging menjadi lemak, dan yang terakhir mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL dengan pipa langsung dari molen.

Tabel 5. Pembobotan opsi penerapan produksi bersih Opsi Penerapan

Produksi Bersih

Penilaian Skala

Prioritas Teknis Lingkungan Ekonomi Total

Mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL dengan pipa langsung dari molen

3 2 - 5 5

Penggunaan kembali air buanganpre soakinguntuk prosespre soakingpadabatch selanjutnya

3 2 2 7 3

Pemisahan limbah cair dari bulu dan daging

3 2 3 8 2

Pengolahan limbah daging menjadi lemak

2 3 2 7 4

Penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang

2 3 3 8 1

Opsi penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang dan opsi pemisahan limbah cair dari bulu dan daging, memiliki total penilaian yang sama. Namun, dari sisi ekomoni, penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang memberikan keuntungan sebesar Rp 6,000,000,- per bulan sedangkan pemisahan limbah cair dari bulu dan daging memberikan keuntungan Rp 5,000,000,- per bulan, meskipun PBP-nya sama yaitu 0.1 bulan.

Apabila opsi produksi bersih dengan prioritas 1, 2, dan 3 dilaksanakan maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:

a. Total biaya investasi ketiga opsi tersebut = Rp. 2,059,500,-

b. Net savingpenggunaan kembali limbah krom per bulan = Rp 6,548,400,-

c. Keuntungan per bulan dari opsi pemisahan limbah cair dari bulu dan daging = Rp 5,803,200,- d. Penghematan air dari prosespre soaking= Rp 96,000,-

PBP= . , , ,

( , , , , , , , , )x = 0.17 bulan

Dengan penerapan ketiga opsi ini, dalam satu kalibatchproduksi dengan kapasitas 1.5 ton akan diperoleh pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan dari 16,136 L menjadi 11,596 L. Angka ini diperoleh dengan asumsi pengurangan jumlah air untukpre soakingsebesar 4,000 L dari 10,269 L menjadi 6,269 L, pengurangan limbah prosestanningsebesar 540 L dari 1,582 L menjadi 1,042 L dan limbah dari prosesliming sebesar 4,285 L (tidak mengalami pengurangan dari jumlah awal). Semua data ini diperoleh dari neraca massa.

Khusus untuk limbah proses tanning, asumsi yang digunakan adalah setiap 100 L limbah tanningakan menghasilkan 10 kg krom daur ulang. Jumlah krom daur ulang yang digunakan untuk tanning adalah 60% dari 90 kg krom yang dibutuhkan. Berarti krom daur ulang yang digunakan untuktanningsebesar 54 kg dan pengurangan limbah cairnya sebesar 540 L.

Dari pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan ini, dapat diperoleh total minimisasi limbah sebesar Rp 197,000,-. Angka ini diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: a. Total pengurangan limbahpre soaking= 4,000 L x Rp 2,000,- (harga 1 m3air menurut Prayitno,

2009) = Rp 8,000,-

b. Total pengurangan limbahtanning = 54 kg x Rp 3,500,- (harga 1 kg krom daur ulang menurut Prayitno, 2009) = Rp 189,000,-

5.7

Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kualitatif

Analisis alternatif penerapan produksi bersih secara kualitatif ini dilakukan menggunakan proses hierarki analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Struktur hierarki persoalan mengenai limbah yang diambil dari industri penyamakan kulit dapat dilihat di Lampiran 1. Setiap elemen dalam struktur hierarki yang terdiri atas faktor, aktor, tujuan dan strategi ditentukan secara mandiri. Goalyang ingin dicapai adalah meminimumkan limbah produksi kulit samak dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap persoalan tersebut adalah modal, teknologi, kebijakan industri dan dukungan pemerintah. Aktor yang berpengaruh antara lain pelaku industri, litbang/PT, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan. Tujuan yang ditetapkan adalah peningkatan pendapatan, perbaikan lingkungan dan pengoptimalan proses. Strategi yang ditawarkan antara lain mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL dengan pipa langsung dari molen, penggunaan kembali air buanganpre soakinguntuk prosespre soakingpadabatchselanjutnya, pemisahan limbah cair dari bulu dan daging, pengolahan limbah daging menjadi lemak, dan penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang.

Setiap elemen dari struktur hierarki pada Lampiran 1 dinilai berdasarkan tingkat kepentingan antara satu elemen dengan elemen yang lainnya. Penilaian tingkat kepentingan ini menggunakan metode perbandingan berpasangan (pairwase comparisons). Skala perbandingan yang digunakan dari 1 sampai 9 (Saaty, 1983 dalam Marimin dan Maghfiroh, 2010). Penentuan prioritas penerapan produksi bersih secara kualitatif ini menggunakan kuesioner ke empat orang pendapat pakar. Bentuk kuesionernya dapat dilihat di Lampiran 2. Data yang sudah diperoleh dari para pakar tersebut kemudian diolah menggunakan program Expert Choice 2000. Perolehan nilai bobot secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Marimin dan Maghfiroh (2010) menyebutkan bahwa AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Rasio konsistensi dapat terhitung secara otomatis dalam programExpert Choice2000 yang ditampilkan dalam bentuk nilai inkonsistensi. Jika dilakukan perhitungan manual, nilai rasio konsistensi diperoleh dengan membagi indeks konsistensi dengan indeks random. Indeks konsistensi diperoleh dengan rumus :

CI = dimana :

CI = indeks konsistensi

λ maksimum = nilai eigen terbesar dari matriks berordo n (n menunjukkan jumlah faktor dalam struktur hierarki)

Nilai indeks random didapat dari tabel Oarkridge (Marimin, 2004), seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Hasil AHP dikatakan sudah konsisten jika memiliki nilai rasio konsistensi maksimal 10%. Jika lebih dari 10% maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Dari pengolahan data menggunakanExpert Choice2000, diperoleh nilai inkonsistensi sebesar 0.04 (4%) yang berarti rasio konsistensinya adalah 0.06 (6%). Hal ini berarti hasil yang diperoleh dapat dikatakan sudah konsisten dan cukup akurat karena masih dalam batas rasio konsistensi 10%.

Pada programExpert Choice2000, dapat dilihat nilai bobot dari setiap elemen dalam struktur AHP. Nilai bobot untuk faktor dan strategi dapat langsung dilihat (tidak memerlukan perhitungan lebih lanjut), sedangkan nilai bobot untuk aktor dan tujuan memerlukan perhitungan lebih lanjut secara manual karena nilai bobot yang tertera bukan merupakan hasil akhir.

Dari hasil pengolahan pendapat pakar tersebut dapat diketahui bahwa dari empat faktor yang mempengaruhi upaya meminimumkan limbah kulit samak, faktor kebijakan industri merupakan faktor terpenting dengan bobot 0.368, kemudian faktor modal (0.262), teknologi (0.246), dan dukungan pemerintah (0.125). Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebijakan industri mempunyai peranan penting dalam pengaplikasian program untuk meminimumkan limbah produksi kulit samak. Sebesar apapun modal dan secanggih apapun teknologi yang dimiliki, tentu tidak akan berpengaruh terhadap upaya meminimumkan limbah produksi jika industri yang bersangkutan tidak memiliki kebijakan yang mendukung upaya tersebut. Oleh karena itu, faktor ini menjadi faktor utama yang sangat mempengaruhi upaya meminimumkan limbah.

Aktor yang berpengaruh dengan nilai bobot terbesar sampai terkecil adalah lembaga keuangan (0.293), litbang/PT (0.263), pelaku industri (0.239), dan pemerintah daerah (0.205). Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan memegang peranan penting untuk menunjang terlaksananya upaya meminimumkan limbah kulit samak yaitu dari segi pengadaan modal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dalam membantu pengadaan modal ini adalah memberikan insentif kepada industri yang bersangkutan. Kepemilikan modal saja tentu tidak akan cukup jika tidak didukung dari segi pengembangan teknologi atau informasi lain terkait upaya meminimumkan limbah tersebut. Hal ini terbukti dari posisi litbang/PT sebagai aktor penting yang kedua. Modal dan teknologi yang sudah dimiliki, tidak mungkin dapat diaplikasikan jika tidak ada komitmen langsung dari pelaku industri yang bersangkutan untuk menjalankan upaya tersebut. Maka dari itu, aktor pelaku industri menempati posisi ketiga yang berpengaruh. Sementara itu, pemerintah daerah menempati posisi keempat (terakhir) sebagai aktor yang berpengaruh karena menurut pendapat pakar, dukungan yang diberikan pemerintah daerah tidak telampau besar untuk menjalankan upaya meminimumkan limbah kulit samak.

Tujuan yang ingin dicapai dari upaya meminimumkan limbah kulit samak antara lain peningkatan pendapatan, perbaikan lingkungan, dan pengoptimalan proses. Dari ketiga tujuan tersebut, perbaikan lingkungan memiliki nilai bobot terbesar yaitu 0.368, dilanjutkan dengan peningkatan pendapatan (0.333), dan pengoptimalan proses (0.301). Dilihat dari nilai bobot yang diperoleh masing-masing tujuan, tidak ada selisih bobot yang signifikan sehingga dapat dikatakan semua tujuan tersebut saling berkorelasi. Perbaikan lingkungan menempati posisi pertama. Ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan memang menjadi fokus utama dari industri penyamakan kulit. Masalah penanganan limbah tentunya akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh industri yang bersangkutan. Jika industri itu memfokuskan pada tujuan perbaikan lingkungan maka pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk masih lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan limbah. Sebaliknya, jika industri tersebut lebih mementingkan keuntungan semata maka keadaan lingkungan disekitarnya akan terancam rusak oleh limbah yang dibuang tanpa pengolahan yang baik. Tujuan yang memperoleh bobot terkecil adalah pengoptimalan proses. Analisis mengenai hal ini yaitu jika industri sudah berkomitmen untuk melakukan upaya

meminimumkan limbah maka dapat dipastikan bahwa proses produksi yang dilaksanakan sudah optimal.

Dari pengolahan data menggunakan Expert Choice 2000 diperoleh hasil bahwa strategi penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang menempati posisi yang pertama dengan bobot 0.460. Dilanjutkan dengan strategi pengolahan limbah daging menjadi lemak (0.192), pemisahan limbah cair dari bulu dan daging (0.146), penggunaan kembali air buangan pre soaking untuk proses pre soaking pada batch selanjutnya (0.104), dan terakhir adalah strategi mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL dengan pipa langsung dari molen (0.096).

5.8 Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT (Strengths Weaknesses

Dokumen terkait