Berdasarkan bahan utamanya, mi digolongkan menjadi dua yaitu mi terigu dan mi non terigu. Mi pati tergolong dalam mi non terigu. Berbeda dengan mi terigu yang memiliki gluten sebagai pembentuk tekstur mi, struktur mi pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi. Sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang dihasilkan. Berbeda dengan mi terigu yang dibuat dengan metode sheeting, pembuatan mi pati kebanyakan menggunakan metode ekstrusi.
Hingga saat ini, menurut Kim et al., (1996) karakteristik mi pati terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas mi pati adalah mi pati yang dibuat dari pati kacang hijau. Galvez and Resurreccion (1992) seperti dikutip olehKim et al., (1996) melaporkan kualitas mi pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar dan cooking loss kecil. Pati kacang hijau menghasilkan mi pati dengan kualitas terbaik karena sifat patinya yang tinggi kandungan amilosa, keterbatasan pengembangan granula, pasta pati stabil selama pemanasan dan pengadukan, dan memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi.
Jenis mi pati yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah mi dari sagu. Mi jenis ini banyak dikembangkan di daerah bogor dan Sukabumi. Masyarakat mengenal mi ini dengan nama ”Mi gleser” atau Mi srodot” karena teksturnya yang licin. Pembuatan mi gleser diawali dengan pembuatan ”lem sagu” sebagai pengikat. Lem sagu dibuat dengan memasak kurang lebih 1/3 bagian pati dalam air mendidih (pati:air = 1:2). Lem sagu dicampur dengan sisa pati kering. Adonan diaduk hingga licin dan dapat dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi sagu akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih sampai mengapung dan direndam dalam air dingin yang mengalir, kemudian ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi tidak saling melengket, mi dilumuri minyak sayur (Taufiq, 2005)
I. MI JAGUNG
Mi jagung adalah mi yang dibuat dengan bahan utama hasil olahan
jagung (tepung atau pati). Beberapa penelitian sebelumnya mengembangkan mi instan berbahan dasar tepung jagung dan pati jagung dengan penambahan protein jagung (Corn Gluten Meal) dan penambahan gluten terigu. Metode yang digunakan menyerupai pembuatan mi terigu, yakni menggunakan metode sheeting dengan beberapa modifikasi.
Pembuatan mi jagung instan berbahan dasar tepung jagung dikembangkan oleh Juniawati (2003). Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mie jagung instan terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi.
Pada pembuatan mi jagung, suspensi tepung jagung dengan air pada saat pengukusan mengalami proses gelatinisasi. Gelatinisasi menyebabkan pengembangan granula pati. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Setelah pengukusan dihasilkan massa adonan yang kohesif dan cukup elastis ketika diuleni (Juniawati, 2003).
Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama. Adonan yang telah dikukus mengalami pemasakan yang tidak merata dimana bagian dalamnya sangat sedikit menerima panas sehingga tingkat kemasakan ataupun tingkat gelatinisasinya paling rendah. Untuk meratakan kadar air dan tingkat gelatinisasi diperlukan pengulian. Dalam hal ini, air merupakan faktor yang menentukan konsistensi adonan setelah pemasakan (Juniawati, 2003).
Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan
tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung dengan air 1:1 (Juniawati, 2003).
Mi hasil pengukusan pertama tidak dapat langsung dikeringkan karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua. Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga sulit dicetak (Juniawati, 2003).
Mi hasil pengukusan pertama apabila langsung dikeringkan maka ketika dimasak akan hancur. Hal ini disebabkan apabila proses gelatinisasi belum cukup maka pati tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat pengikat tidak dapat mengikat secara sempurna partikel-partikel yang ada dalam bahan sehingga ketika dimasak dalam air akan larut. Proses pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003)..
Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003).
Faktor kritikal yang menjadi variabel bebas adalah volume air yang ditambahkan dan waktu pengukusan pertama. Berdasarkan hasil optimasi, maka hasil volume air dan waktu pengukusan yang optimum pada pengolahan mie jagung instan adalah 50 ml selama 15 menit dengan tingkat gelatinisasi yang dihasilkan adalah 80.77%. Waktu pengukusan kedua adalah
30 menit. Hasilnya diperoleh waktu masak mi jagung instan selama 7 menit (Juniawati, 2003).
Waktu masak mi jagung instan selama 7 menit belum memenuhi persyaratan SNI bagi mi instan yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan adalah 4 menit. Oleh karena itu dibutuhkan bahan tambahan yang dapat menghasilkan waktu masak selama 4 menit. Bahan tambahan yang digunakan yaitu baking powder sebanyak 0.3% (Juniawati, 2003).
Mi jagung instan memiliki daya serap air (DSA) 91.97% dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) 8.47%. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung instan adalah kadar air 11.67%, kadar abu 1.20%, kadar protein 6.16%, kadar lemak 2.27%, karbohidrat 78.69%, pati 65.92%. Nilai energi yang terkandung dalam mi jagung instan adalah 360 kkal/100 gram. Tingginya kadar karbohidrat dan energi yang terkandung pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan alternatif pilihan produk pangan pokok. Kandungan serat pada mi jagung instan adalah 6.80%. Apabila mi jagung instan disajikan sebanyak 100 gram maka kebutuhan serat yang dipenuhi dari mi jagung instan adalah 23-27% per hari (Juniawati, 2003).
Budiyah (2004) melakukan riset mengenai mi jagung instan yang terbuat dari pati jagung dan protein jagung (corn gluten meal). Dalam proses pembuatan mi jagung tersebut, Budiyah (2004) melakukan penyesuaian pada desain proses pembuatan mi jagung instan dari metode Juniawati (2003). Penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena bahan baku yang digunakan berbeda dan terdapat banyak kesulitan untuk melakukan scale up pembuatan mi jagung instan dengan metode yang digunakan Juniawati (2003) antara lain adalah derajat gelatinisasi pati yang tidak konsisten.
Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan memisahkan adonan menjadi dua bagian. Adonan pertama adalah pati dan CGM yang dicampur air, kemudian dikukus hingga mengalami gelatinisasi sempurna. Sedangkan, adonan kedua adalah pati yang dicampur dengan bahan tambahan lainnya tanpa mengalami proses gelatinisasi. Selanjutnya adonan yang tergelatinisasi dan adonan yang tidak tergelatinisasi dicampur dengan varimixer sampai
adonan menjadi homogen. Proses ini bertujuan untuk membentuk adonan yang baik, memiliki cukup kadar air, dan matriks pati yang belum tergelatinisasi serta bahan-bahan lain terikat ke dalam matriks pati yang telah tergelatinisasi sehingga memudahkan pembentukan adonan yang kalis.
Mi jagung yang dikembangkan Budiyah (2004) memiliki daya serap air 74.31%, kehilangan akibat pemasakan 20.10%, kekuatan tekstur 18 gf, dengan waktu rehidrasi 4 menit. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung instan tersebut adalah kadar air 7.47%, kadar abu 1.44%, kadar protein kasar 3.32%, kadar karbohidrat 81.91%, dengan nilai energi 379 kkal.
Fadlillah (2005) menyatakan bahwa metode yang dikembangkan oleh Budiyah (2004) akan menyulitkan bagi industri sebab industri harus menambah feeder ekstra dan mengatur ulang aliran proses pada peralatannya. Hal tersebut akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dibutuhkan desain proses dimana proses pengukusan pertama dapat dilakukan pada seluruh bagian adonan. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan penting pada pengukusan pertama adalah kecukupan tingkat gelatinisasi, sehingga dapat terbentuk adonan yang kalis, elastis, kohesif, dan mudah dicetak menjadi mi.
Fadlillah (2005) telah melakukan penelitian pengukusan seluruh bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Pengukusan
seluruh bagian adonan pada suhu 70oC selama empat menit belum
menghasilkan adonan yang kuat dan elastis. Pengukusan seluruh adonan pada suhu 70oC selama tujuh menit sudah menghasilkan adonan yang lebih baik. Namun, adonan belum terlalu elastis, kasar dan masih patah. Pengukusan selama 10 menit pada suhu 70oC menghasilkan adonan yang lebih kuat, namun karena gelanitisasi hanya terjadi sebagian, maka adonan yang dihasilkan masih kasar. Sedangkan, pada pengukusan selama 13 menit, adonan yang dihasilkan lebih licin dan halus tetapi lengket di mesin mi.
Untuk mempermudah pembuatan adonan yang kalis dan meningkatkan elastisitas mi, dilakukan penambahan protein gluten terigu (Fadlillah, 2005). Penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan dengan penambahan corn gluten meal (CGM), dengan total penambahan
10% dari adonan. Penambahan protein gluten terigu kurang dari 5%, tidak terlalu berpengaruh terhadap karakteristik adonan dan elastisitas mi jagung instan. Penambahan gluten terigu di atas 5%, akan meningkatkan kekerasan mi jagung instan. Pada perbandingan protein gluten terigu instan dengan CGM 5:5, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 15,57 Kgf. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3, diperoleh nilai kekerasan sebesar 46,33 Kgf. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 53,33 Kgf.
Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan bahwa selain meningkatkan kekerasan, penambahan protein gluten terigu juga meningkatkan elatisitas mi jagung instan. Pada penambahan protein gluten terigu:CGM sebesar 5:5, diperoleh nilai elongasi mi jagung instan sebesar 124,41%. Nilai elongasi meningkat menjadi 130,32%, pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, nilai elongasi mi jagung instan meningkat menjadi 150,63%. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, mi jagung instan sudah dapat dimasak seperti cara memasak mi terigu instan. Penambahan protein gluten terigu juga akan mempersingkat waktu pengukusan pertama, dan menghasilkan adonan yang lebih kalis, halus, dan lembut.
Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan Syed Zakiuddin. Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut :
1. Jagung dibuat menjadi grit
2. Grit jagung direndam dalam larutan sulfur dioksida 3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung 4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh 5. Tepung ditambah garam dan air
7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan yang homogen
8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk untaian mi
9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan (Sowbhagya et al., 2000)
Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite, dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama
kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang
ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian diekstrusi. Mi hasil ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit.
Perendaman dalam larutan sulfur dioksida diketahui dapat menyebabkan matriks protein mengalami pembengkakan gradual dan akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Sowbhagya et
al., 2000). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan
daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan produk.
Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit,
cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, elastic recovery 12.1-12.5%,
dan kandungan amilosa 30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan belum memenuhi standar waktu pemasakan yang hanya 4 menit, selain itu proses pembuatan mi seperti di atas membutuhkan waktu yang lama karena harus melalui tahapan pembuatan tepung terlebih dahulu.
III. METODOLOGI PENELITIAN