BAB II KAJIAN TEORI
K. Solusi Bullying
Menurut A.M. Fatwa, yang dimuat dalam Koran Tempo, Kamis, 10 Mei 2007, dapat dilihat dalam web reformasihukum.com, solusi bullying :
Karena itu, bullying harus segera dihentikan, pengawasan diketatkan, dan pelaku bullying di mana pun harus mendapat sanksi yang tegas dan memadai sesuai dengan perbuatannya, agar menjadi pelajaran bagi dirinya dan mencegah orang lain melakukan bullying. Di samping itu, tayangan di televisi yang berbau kekerasan, brutalitas, atau sadisme harus dihentikan.
Untuk mewujudkan sikap dan tindak demokratis serta terjaminnya hak-hak asasi manusia pada masa kini dan masa depan, terutama generasi penerus bangsa, harus ada upaya yang sungguh-sungguh terutama dari lingkungan keluarga dan lingkungan lembaga pendidikan. Keluarga merupakan lembaga yang utama dan pertama tempat seorang anak mendapatkan pendidikan dan penanaman nilai- nilai yang membentuk watak, sikap hidup, kepribadian, etika, dan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan nilai luhur bangsa.
Karena itu, orang tua harus back to family (kembali ke keluarga) untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada pendidikan anaknya dengan banyak berkomunikasi di lingkungan keluarga. Bukan lamanya berkomunikasi kepada anak. Yang penting adalah kualitas komunikasi dan perhatian serta empati kepada anak. Jangan sampai ada "kekosongan jiwa" dan anak tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual karena kebutuhan psikologis/sosiologis dan spiritualnya tidak terpenuhi di rumah.
Di lingkungan lembaga pendidikan, harus ada paradigma baru cara mendidik. Semua yang terkait di lembaga pendidikan, terutama para guru, harus dapat memberikan pencerahan dan menampilkan "roh pendidikan", yaitu sikap kasih sayang (affection), keikhlasan ( since-rity), kekeluargaan (family atmosphere), keagamaan (spirituality), dan kejujuran (honesty).
Di samping itu, perlu kiranya menengok kembali dan melaksanakan nilai-nilai yang diajarkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu kepedulian pada anak didik, menokohkan, membimbing, memotivasi, dan memberi contoh teladan yang baik. Tugas para pendidik tak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga harus menyiapkan anak didik agar siap menjadi manusia yang berkarakter kuat, bermoral, berdisiplin, mampu bertanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
commit to user
dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh semua komunitas pendidikan, antara lain Undang-Undang Dasar 1945 khususnya menyangkut pendidikan dan hak-hak asasi manusia, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional khususnya menyangkut arah dan tujuan pendidikan, agar para pendidik dapat mengarahkan aktivitasnya dalam mendidik untuk mencapai tujuan tersebut.
Para pendidik harus memahami paradigma baru mendidik dan mengasuh anak, misalnya bagaimana mendisiplinkan anak didik, yang pada saat ini sudah berubah dari cara-cara lama. Pendidikan yang berkualitas akan mewujudkan generasi penerus bangsa yang berkualitas, berkarakter kuat, santun, ramah, dan beradab (http://www.reformasihukum. org).
Menurut Neni Utami Adiningsih, seorang pemerhati pendidikan/Kepala Madrasah Diniyah Awaliyah Raudlatul Jannah Bandung :
Untuk menghentikan terulangnya kasus bullying di kalangan guru, semua pihak harus membenahi diri. Di kalangan guru, hendaknya jangan ada lagi sikap arogan, yang menganggap diri paling hebat, paling pintar, paling benar.
Guru juga harus menghapus anggapan bahwa kekerasan (apapun bentuknya) boleh saja dilakukan untuk memberi nilai pendidikan kepada siswa. Ini adalah anggapan yang sangat keliru. Sayangnya hingga saat ini anggapan ini masih tumbuh subur. Simak saja komentar Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, ketika menanggapi tingginya data bullying oleh guru versi KPAI. Menurutnya, guru hanya menegakkan kedisiplinan dan tidak berniat melukai siswa. Maksudnya, guru bisa menghukum siswa selama bernilai pendidikan dan tidak menimbulkan akibat serius bagi murid (Seputar Indonesia, 16/9/2008).
Orang tua, hendaknya proaktif memantau aktivitas anaknya selama di sekolah. Jagalah komunikasi yang baik, sehingga anak tidak enggan untuk menceritakan segala yang dialaminya, termasuk yang terkait dengan bullying. Bila mengetahui adanya kasus bullying, segera melaporkannya ke instansi pendidikan terkait ataupun ke polisi. Untuk para penegak hukum, hendaknya bersungguh-sungguh mengusut kasus-kasus bullying (Neni Utami, http://www.pelita.or. id).
Berikut adalah beberapa cara harus diterapkan untuk mencegah Bullying : 1. Lingkungan Rumah :
a. Menyayangi keluarga dengan tulus dan mampu menunjukkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan,
commit to user
sehingga keluarga, terutama anak-anak, akan yakin akan kasih sayang yang didapatnya dari orang tua (keluarga), sehingga kemudian dapat menjadi bekal awal yang baik yang kemudian menjadi kepribadiannya, serta diterapkan pada orang lain.
b. Meluangkan waktu dan memberi perhatian untuk keluarga.
c. Mengajarkan anak-anak untuk dapat terbuka (berpendapat, menghargai/mem-beri/menerima usul/kritik/saran, mengutarkan perasaan) dalam keluarga. d. Ajarkan empati sosial sejak dini.
e. Adanya teguran halus pada anak jika melakukan kekerasan. f. Jadilah orang tua tempat curhat yang menyenangkan. g. Ikut mendampingi anak, ketika menonton tayangan televisi. h. Orang tua harus menjadi contoh tauladan bagi anak.
i. Buatlah aktivitas menyenangkan saat dirumah. j. Ajari anak mempertahankan dan melindungi diri. k. Cepat tanggap ketika anak terlibat kekerasan.
l. Melaporkan pada instansi terkait ketika anak menjadi korban bullying. m. Mengedepankan penyelesaian kekeluargaan jika terjadi bullying. 2. Lingkungan Sekolah
a. Mengawasi perilaku siswa selama di sekolah. b. Civitas sekolah harus bersikap proaktif.
c. Mengaktifkan guru BP atau menyediakan konselor yang memberi bimbingan. d. Guru harus bersikap sebagai pendengar yang baik bagi murid.
e. Mengenali temperamen dan karakter masing - masing siswa. f. Mengadakan evaluasi kondisi sekolah setiap kurun waktu tertentu. g. Menciptakan kebersamaan sosial diantara civitas sekolah.
commit to user
h. Guru menjadi social support
i. Menyediakan pelatihan guru tentang cara mengintervensi bullying. j. Mempunyai mekanisme penyelesaian masalah kasus bullying.
k. Menyelenggarakan seminar / konferensi komunitas (ortu, guru dan siswa) l. Berikan sanksi mendidik jika anak melakukan kesalahan.
(http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/news.indosiar.com/)
m. Komite sekolah atau dewan pengawas harus berperan aktif memantau indikasi kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah. Organisasi-organisasi bentukan sekolah bukan hanya sekadar pelengkap atau perhiasan sekolah. Organisasi itu harus berperan aktif menciptakan demokrasi di sekolah.
n. Demikian juga media televisi, dapat berperan dalam mengurangi aksi-aksi
bullying, melalui tayangan yang menanamkan nilai-nilai keluhuran budi
pekerti dan menonjolkan aspek pendidikan bangsa. Untuk itu Komisi Penyiaran Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta asosiasi televisi swasta harus mengawasi konten produk-produk hiburannya (Media Indonesia, halaman 7, http://ypha.or.id).
o. Kegiatan ekstrakurikuler, sebab kegiatan ekskul ini memiliki potensi yang cukup baik untuk menyalurkan emosi-emosi dan bakat siswa, efektif untuk menyalurkan energi siswa yang berlebihan, serta memiliki peran penting menghilangkan sikap kekerasan yang dilakukan siswa senior khususnya, pasalnya dalam ekskul, siswa senior difungsikan sebagai pembimbing atau mentor bagi siswa yang baru, serta menanamkan sikap tanggungjawab dan kerjasama dengan anggota ekskul lainnya (riocool92 under, http://antonikeren. wordpress.com).
commit to user
Menurut M. Fauzi, dewasa ini kita patut prihatin terhadap maraknya tindakan
bullying karena sebagian orang menganggap hal itu sebagai sesuatu hal yang wajar.
Padahal, kalau kita diam saja, seolah-olah telah melegalkan tradisi kekerasan, khususnya di sekolah-sekolah. Sebab itu pemerintah (Depdiknas) seharusnya memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas. Misalnya, bagaimana sekolah-sekolah melakukan pendekatan solusi untuk mencegah/mengatasi tindakan bullying, baik kepada setiap pelaku, para korban atau pihak-pihak yang mengetahuinya. Guru-guru perlu dibekali dengan keterampilan berkomunikasi untuk mencegah/ menyelesaikan kasus bullying. Mereka dapat menghadirkan semua pihak yang terkait dengan tindak an bullying. Hal ini memerlukan dua strategi :
1. Strategi umum dengan menciptakan kultur sekolah yang sehat. Kultur sekolah sebagai pola nilai-nilai, norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah dilaksanakan oleh warga sekolah secara bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun murid sebagai dasar dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menciptakan situasi yang saling menghargai, menyenangkan, menyejukkan, mengasyikan dan mencerdaskan.
2. Strategi khusus dengan mengidentifikasi faktor internal maupun eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan bullying di lingkungan sekolah, mengaktifkan semua komponen secara proporsional sesuai perannya dalam menanggulangi perilaku bullying. Tidak kurang pentingnya adalah menyusun program aksi penanggulangan bullying berdasarkan analisis secara menyeluruh, melakukan evaluasi, serta pemantauan secara periodik dan berkelanjutan.
commit to user
Upaya mencegah bullying di sekolah, harus dimulai dengan membentuk budaya sekolah yang beratmosfer ”belajar tanpa rasa takut” melalui pendidikan karakter, menciptakan kebijakan pencegahan bullying di masing-masing sekolah dengan meli-batkan siswa, menciptakan sekolah model penerap sistem anti-bullying, serta membangun kesadaran tentang bullying dan pencegahannya kepada stakeholders
sampai ke tingkat rumah tangga dan RT/RW. ”Learning Without Fear” diharapkan menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran anak terhadap masalah yang dihadapi, sekaligus membantu mereka menganalisis dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mengekspresikan masalah tersebut (Maria Hartiningsih, http://kesehatan.kompas.com).
Sesungguhnya bullying dapat dieliminasi dengan keinginan yang besar dan kerjasama yang baik antara pemerhati dan LSM anak, pemerintah, orangtua, guru dan masyarakat luas. UU perlindungan anak sendiri, awal keluarnya bukan hanya karena perlu diratifikasi tetapi memang timbulnya berbagai masalah yang perlu diatur. Child
Protection ini harus dimengerti oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Diperlukan kepekaan untuk melihat, misalkan jika kita merasa disekolah anak-anak kita tidak mencuat masalah bullying, bukan berarti seratus persen aman. Sekolah harus memastikannya dengan membuat buat pertanyaan tertutup kepada anak dan harus dibangun trust (kepercayaan) bahwa anak tersebut akan dilindungi jika berkata benar. Guru BP harus menjadi orang yang nyaman diajak bicara. Jangan cuma mengedepankan jaga image. Anak perlu direspon mentalnya. Sikap bersahabat perlu dibangun agar anak mau terbuka, harus menggunakan metode dan strategi agar anak punya ruang dalam mengekspresikan dirinya karena mereka umumnya energik (Riri Wijaya, http://www.dradio1034fm.or.id).
commit to user
Kompas, Rabu, 23 Juli 2008, solusi untuk mengatasi kasus bullying :
1. Kita harus menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002 tentang prinsip perlindungan anak, yaitu the best interest for children (kepentingan terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan manajemen sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi dengan sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru terhadap siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke mana dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah. 2. Orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada sekolah
karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga dewasa. Karena itu, pengawasan seperti apa anak-anak diperlakukan oleh sekolah harus tetap diketahui orangtuanya.
3. Birokrasi pendidikan harus lebih intens memantau budaya sekolah dan karakter para guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman secara pisik dan psikis selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru di masa kini bukan hanya berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih menyangkut aspek stabilitas mental, kapasitas intelektual, dan profesionalitas.
(Hadi Supeno, http://www.kpai. go.id/Sekolah Bukan Tempat Aman Bagi Anak) Lagi menurut Hadi Supeno, dalam SOLO POS, 23 Juli 2007, dengan judul : “Menyelamatkan Anak: Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli”, dapat dilihat dalam web KPAI, sejumlah langkah konkret masih perlu segera dilakukan :
commit to user
sosialisasi berkelanjutan tentang ketentuan perundang-undangan yang berlaku, utamanya pengetahuan tentang hak-hak anak yang harus diperoleh.
2. Mendorong aparat hukum untuk melakukan langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian segala bentuk eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak utamanya menyakut pelibatan anak dalam perdagangan narkoba, trafficking, pelacuran anak, serta tindakan sejenisnya.
3. Menciptakan model pendidikan alternatif bagi anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum terintegrasi dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan.
4. Menjadikan perlindungan anak sebagai sebuah gerakan, yang melibatkan seluruh unsur dan potensi masyarakat baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan internasional. (Hadi Supeno, http://www.kpai. go.id/Menyelamatkan Anak: Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli)
Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam sebuah rencana aksi, yang dipimpin langsung oleh pemerintah melalui instansi terkait maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berdasarkan UU No23/2002 ditugaskan untuk mengawal penyelenggaraan perlindungan anak Indonesia. Mengingat berat dan mendesaknya persoalan, kiranya rencana aksi itu sebuah keniscayaan yang tak bisa ditunda lagi pelaksanaannya dan tanpa diskusi.
Sementara itu, guru adalah agen pelaksana semua kebijakan sekolah dan langsung berhadapan dengan siswa. Guru dapat menyediakan diri sebagai konselor yang memberi bimbingan, tidak hanya dilimpahkan kepada guru BP. Guru juga dapat menjadi social support. Sekolah sebagai lembaga harus menyediakan pelatihan
commit to user
kepada para guru tentang cara intervensi bullying, menyediakan perangkat CCTV (bila perlu); Closed Circuit Television (CCTV) : kamera video yang mampu untuk digunakan untuk memancarkan sinyal ke suatu tempat tertentu (www.wikipedia.org/cctv); untuk memonitor semua sudut sekolah, termasuk kantin.
Sekolah juga harus mempunyai mekanisme penyelesaian kasus bullying, seperti menyelenggarakan semacam konferensi komunitas, membuat bentuk penalti nonfisik atau sanksi seperti menarik hak-hak atau fasilitas istimewa yang diperoleh siswa umumnya atau skorsing dan pemecatan. Kurikulum sekolah harus lebih berorientasi prososial karena, menurut Rigby (2002), perilaku bullying umumnya kurangnya kerja sama dan kesetiakawanan di antara siswa.
Apabila sekolah mempunyai website, harus menyediakan tempat pengaduan dan dialog antara siswa dan sekolah serta antarsekolah dan orangtua siswa, yang secara bebas dapat mengekspresikan apa yang mereka alami.
Departemen Pendidikan Nasional sudah harus mempunyai kebijakan tentang
bullying, di sekolah. AS dan Australia merupakan negara yang telah memerhatikan
masalah ini secara serius. Mereka mempunyai Washington States PTA’s Guide to
Implementation of the Anti-Bullying Bill 2002 dan Anti Bullying Guidelines for School
and Educational Setting Policy.
Mungkin Indonesia menganggap bullying belum menjadi masalah sosial. Penanganan kejahatan di sekolah menjadi subyek hukum kriminal biasa. Artinya, penanganannya disamakan dengan kriminal umumnya. Jika tindakan kriminal fisik sudah menjadi kenyataan kekerasan, aparat baru turun tangan.
Kita harus memerhatikan apa yang dikatakan R Douglas Greer dalam "The Education
Crisis" (Mattaini, et al, Finding Solution to Social Problem, 2002), "Kita harus
commit to user
mengatasi masalah di sekolah kita, apa yang diharapkan untuk komunitas lebih luas?" (Junifrius Gultom, www.kompas.com/kompas-cetak/0711/17/opini/ 3988130.htm).