BAB II. SOSOK GURU AGAMA YANG PROFESIONAL DAN
B. Guru Agama Yang Berspiritualitas Kristiani
4. Sosok Guru Agama Yang Berspiritualitas Kristiani
Pada sub bab ini penulis akan membahas sosok guru agama yang
berspiritualitas Kristiani. Sub bab sebelumnya telah menguraikan tentang guru,
guru agama Katolik serta spiritualitas Kristiani. Selain menjadi pendidik iman di
sekolah yang mengimani Kristus, guru agama Katolik juga haruslah mempunyai
spiritualitas Kristiani yang mendalam.
Guru agama Katolik juga dapat berkarya di tengah masyarakat, yaitu
sebagai pewarta dan saksi Kristus. Khususnya dalam bidang pendidikan di
sekolah, yakni mewartakan Kerajaan Allah melalui pengajaran di sekolah.
Sebagai orang Kristiani, guru agama Katolik mempercayakan dan menyerahkan
hidupnya pada penyelenggaraan Allah. Selain itu guru agama Katolik juga belajar
dari Sang Guru sejati yaitu Yesus Kristus sendiri. Dalam kehidupan-Nya, Yesus
selalu menyerahkan seluruh hidup-Nya pada penyelenggaraan Bapa, berpegang
teguh pada kehendak Bapa-Nya. Demikian juga dengan guru agama Katolik,
perlulah menyerahkan hidup dan selalu berpegang pada ajaran kasih Yesus dan
mengasihi Bapa. Hidup bersatu dengan Bapa dan Yesus menjadi tujuan orang
kristiani dan juga tinggal di dalam Dia. Spiritualitas Yesus sendiri menjadi sebuah
spiritualitas guru Kristiani. Mintara (2014: 22) mengatakan:
Sebagai orang Kristiani, menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan sungguh merupakan panggilan Tuhan sendiri. Panggilan menjadi guru
adalah panggilan hati. Panggilan menjadi guru adalah panggilan dari Sang Guru Sejati.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa menjadi seorang pengajar bukan
semata-mata sebagai sebuah profesi, karena dibutuhkan passion atau hasrat
didalamnya serta sebuah panggilan dan skill. Seorang pengajar harus mencintai
pekerjaan mengajar, bahan yang diajar dan siapa yang diajar. Tiga elemen ini
harus bersinergi untuk menghasilkan seorang pengajar dan murid yang
berkualitas.
Spiritualitas Kristiani mempunyai wujud yang khas yaitu pelayanan tanpa
mengharapkan balas jasa. Mengapa pelayanan? Karena dengan pelayanan itu,
guru agama Katolik juga ikut menghayati pelayanan Yesus sendiri. Pelayanan
sepenuh hati Yesus kepada bangsa-Nya pada waktu itu dapat menjadi contoh yang
baik bagi guru agama Katolik yaitu melayani dengan sepenuh hati. Mintara (2010:
36) mengatakan bahwa “Memberikan diri sepenuh hati dan menyelami hati anak- anak kita kiranya merupakan modal utama untuk memahami mereka secara utuh”. Sebagai simbol dari pelayanan itu kita harus menjadi terang dan garam dunia.
Mintara (2010: 73) mengatakan “Menjadi garam dan terang dunia berarti menjadi model dan contoh pelaku keutamaan Kristiani”.
Guru juga haruslah mempunyai sikap pelayanan dengan tulus dan juga
memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Melayani dengan rendah
hati dan tulus menjadikan seorang guru dicintai oleh murid-muridnya, selain
memberikan teladan yang baik, guru juga mengajarkan keutamaan dan pelajaran
mengajarkan praktek secara langsung memberikan teladan dan pelayanan kepada
orang-orang disekitarnya. Mau belajar terus menerus merupakan tugas dari guru,
Profesi guru adalah sebuah panggilan hidup, jika tidak mempunyai
panggilan sebagai seorang guru mungkin ada kesulitan ketika menjalaninya. Guru
juga mampu menghayati sikap-sikap yang mencerminkan seorang guru Kristiani.
Heryatno (2008: 91) mengatakan “…..panggilan-Nya kita tanggapi antara lain dengan meneguhkan, mengasihi, menyemangati, memperhatikan, mendampingi,
dan membantu peserta didik yang dipercayakan kepada pengabdian kita.” Dari sini kita dapat melihat bahwa guru agama Katolik haruslah mempunyai
spiritualitas dan juga integritas sehingga mampu mewujudkan pelayanannya
dengan sepenuh hati. Mengapa sepenuh hati, karena dengan sepenuh hati itu
seorang guru dapat menanggapi peserta didik (siswa) dengan baik pula atau
memandang baik peserta didik (siswa). Mintara (2010: 88) mengatakan “Yang paling penting dibutuhkan dalam mengajar bukanlah kata-kata, melainkan teladan
hidup. Yang dibutuhkan adalah integritas dan jati diri Anda sebagai pribadi yang
berprofesi guru”.
Selain itu guru juga menjadi pemimpin, bukan pemimpin dalam arti
harafiah tetapi berani menjadi pemimpin bagi dirinya dan juga bagi peserta
didiknya. Mintara (2009: 5) mengatakan bahwa “Seorang pemimpin mesti memiliki kedalaman hidup. Ia mesti seorang pribadi yang mengakar kuat. Ia tidak
mudah bengkok dan tahan uji. Seorang pemimpin mesti siap sedia menjalankan
hidup. Maksudnya adalah menghayati jalan panggilannya sebagai guru agama,
dan tidak meninggalkan hidup doa dan pelayanannya.
Kedalaman hidup dapat diartikan juga mampu melihat kembali atau
berefleksi baik dirinya, kegiatannya, dan juga pelayanannya kepada para siswa.
Doa dan pelayanan dapat menjadikan semangat dalam panggilan sebagai guru.
Mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mudah terpengaruh apalagi pengaruh
yang jelek, serta siap menjalankan tugasnya, guru agama Katolik perlulah
mempunyai sikap siap sedia. Apabila ditunjuk atau ditugaskan dimanapun, guru
agama Katolik siap sedia untuk menanggapi panggilannya sebagai guru.
Kepekaan menjadi sikap yang mesti dimiliki oleh guru agama Katolik
yaitu bagaimana dapat melihat keadaan konkret yang dialami oleh siswa.
Misalnya ketika ada siswa yang lesu ketika mengikuti pelajaran agama, guru
mendatangi dan bertanya ada masalah apa. Ketika Yesus memperingatkan Yudas
dan juga ketika Yesus menegur Petrus yang kurang percaya pada-Nya, Yesus
dengan tegas mengingatkan bahwa yang bekerja dalam dirinya (Petrus) bukan roh
baik tapi roh jahat (Yoh 13:36-38). Dalam hal ini Yakob Papo (1990: 36)
mengatakan:
Seorang guru agama, baik pada tempat kerjanya di tengah-tengah anak didik dan juga dalam lingkungan masyarakat harus selalu menyadari dan membarui motivasi tugasnya bahwa ia adalah guru iman yang terpanggil untuk mewartakan Kristus.
Guru agama Katolik memiliki tempat di tengah masyarakat, karena dengan
mengembangkan potensinya. Guru dapat menunjukkan bahwa dirinya mampu dan
berani mewartakan Yesus di tengah masyarakat, membawa damai dan juga