• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spiritual

2.1.1. Kebutuhan Spiritualitas

Highfield dan Cason (1983 dalam McSherry, 2006) menggunakan pendekatan kebutuhan spiritual dalam penelitian deskriptif mereka menyelidiki kesadaran perawat bedah tentang kebutuhan spiritual. Para peneliti mengidentifikasi empat kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan makna dan tujuan dalam hidup, kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta, kebutuhan akan harapan dan kebutuhan akan kreativitas.

Stallwood dan Stool dalam McSherry (2006) menyatakan bahwa spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Setiap faktor diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dinamis pribadi seseorang dengan Tuhan atau sebagaimana didefenisikan oleh individu itu dan keluar dari hubungan itu untuk mengalami pengampunan, cinta, harapan, kepercayaan, makna dan tujuan dalam hidup. Kebutuhan spiritual tidak murni terkait dengan agama atau kepercayan terhadap Tuhan tetapi filosofi semantik terhadap kehidupan atau mencari makna dan tujuan.

Frankl (1987; Travelbee, 1966 dalam McSherry, 2006) menyatakan

bahwa kebutuhan spiritual dipandang sebagai persyaratan paling dalam pada diri sendiri. Jika seseorang mampu mengidentifikasi dan memenuhi

persyaratan, maka ia dapat berfungsi secara harmonis, mencari makna, nilai, tujuan dan harapan dalam hidup bahkan saat hidup mungkin akan terancam. Burnard (1988 dalam McSherry, 2006) seorang individu dapat menyatakan kebutuhan untuk hubungan yang harmonis setelah mengalami gangguan pernikahan. Secara psikologis berorientasi untuk melihat kebutuhan psikologis, ketika pada kenyataannya orang tersebut adalah menyatakan keinginan untuk mengeksplorasi isu-isu yang mendasar, unik dan keberadaan mereka berada di tengah. Secara alami spiritual berasal dari dimensi psikososial, demikian juga, itu akan membuat kesalahpahaman yang serius dan kesalahan untuk menyimpulkan bahwa seorang ateis atau agnostik tidak memiliki kebutuhan rohani karena mereka tidak mempunyai kepercayaan pada Tuhan.

Narayanasamy dan Owens (2001) menyatakan bahwa adanya kebutuhan spiritual lainnya dengan menerapkan konsep langsung ke keperawatan dan perawatan kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejumlah perawat mengidentifikasi pasien dari ekspresi perasaan emosional dan mencari makna dan tujuan. Dari hasil wawancara yang diperoleh, ketakutan merupakan faktor utama yang menyebabkan rasa tegang, nyeri dan emosional. Para pasien takut akan kematian dan mereka tidak ingin suaminya mengetahui akan ketakutannya. Mereka membutuhkan bimbingan, mencari makna dan tujuan untuk mengatasi emosinya.

Yong et al (2008) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual terdiri dari lima yaitu arti dan tujuan, harapan, mencintai dan hubungan yang

harmonis, hubungan dengan Tuhan dan menerima kematian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kebutuhan harapan untuk kesembuhan, memiliki ketenangan dengan diri dan kehidupan serta merasakan kedamaian dan memiliki hubungan telah terbukti menjadi alat yang efektif untuk mengatasi penyakit. Makna dan tujuan hidup merupakan komponen utama dari spiritualitas karena ketika seseorang tidak dapat menemukan makna dan tujuan hidup selama masa-masa sulit, mereka mungkin mengalami depresi dan kebutuhan spiritual merupakan intervensi yang penting dalam mengatasinya. Mencintai dan hubungan yang harmonis dengan orang lain merupakan kebutuhan manusia secara universal karena menunjukkan bahwa mereka selalu harus ada dengan keluarga agar pasien menjadi lebih kuat. Menerimaan kematian termasuk kebutuhan untuk mengatasi tanggung jawab hidup dan mempersiapkan kematian

Galek et al (2005) menyatakan bahwa kebutuhan spiritual terdiri dari enam yaitu kebutuhan akan mencintai, harapan, arti dan tujuan, moral dan etik, apresiasi keindahan dan kematian. Shelly dan Fish (1988 dalam McSherry, 2006) mengidentifikasi tiga kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan makna dan tujuan, kebutuhan akan cinta dan keterkaitan dan kebutuhan untuk pengampunan.

yang tujuannya mengatasi kekhawatiran setelah kematian.

Colliton (1981 dalam McSherry, 2006) menekankan bahwa kebutuhan spiritual adalah kebutuhan yang menyentuh inti dari seseorang yang menjadi tempat pencarian makna pribadi. Ini adalah peran para

profesional perawatan kesehatan untuk membantu individu dalam memahami dan menemukan makna di saat terjadinya krisis seperti penerimaan diagnosis terminal, kehilangan orang yang dicintai atau berpartisipasi dengan kehidupan dengan cacat permanen.

2.1.2. Komponen Kebutuhan Spiritualitas a. Arti dan tujuan

Kita semua memiliki keinginan dan kebutuhan untuk mengidentifikasi beberapa makna dalam hidup kita dan keberadaan yang akan membantu dalam menghasilkan motivasi atau tujuan, yang akan menyebabkan rasa pemenuhan. Pencarian ini dilakukan dalam masa sehat maupun sakit (McSherry, 2006). Kebutuhan untuk menemukan arti dan tujuan merupakan dimensi penting diseluruh literarur. Beberapa penulis menekankan bahwa penyakit fisik sering bertindak sebagai pemicu. Satu yang terpenting adalah sebuah perjalanan batin untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan hidup dan mati serta untuk mengatur ulang prioritas berhubungan dengan fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Narayanasamy menyatakan bahwa penyakit juga dapat sebagai satu tantangan yang sudah ada pada sistem personal. Kebutuhan untuk memahami eksistensi manusia, dengan melihat adanya arti, dapat menemukan kedamaian, tidak peduli seberapa parah penyakitnya (Galek et al, 2005).

b. Kebutuhan akan cinta dan hubungan yang harmonis

Tanpa keintiman dan kenyamanan yang diperoleh dengan orang lain misalnya pasangan, rekan atau teman dekat, kita bisa merasa terisolasi,

sendirian dan kehilangan sentuhan, keamanan dan cinta. Kebutuhan akan hubungan yang harmonis penting yang berasal dari kontak pribadi dan keterlibatan dengan orang – orang. Namun, kasih sayang yang sama dihasilkan atau dialami melalui kontak dekat dengan penciptanya. Pengamantan telah dilakukan dan hasil yang diperoleh bahwa hubungan tidak akan selalu harmonis dan individu dapat tumbuh dan belajar dari semua pengalaman (McSherry, 2006).

Mencintai, memiliki dan menghormati merupakan kategori yang terbesar. Banyak pasien menyatakan bahwa pentingnya seorang ustad atau pendeta dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Dari hasil survey yang diperoleh kebutuhan spiritual pasien yaitu agar dapat diterima setiap orang, kasih sayang dan kebaikan, dapat merasakan hubungan dengan dunia, persahabatan dan menghargai fungsi tubuh (Galek et al, 2005).

c. Kebutuhan untuk pengampunan

Pada saat hidup akan terjadi hal yang mengganggu dan akan terjadi konflik. Namun, kemarahan dan rasa bersalah yang belum terselesaikan dapat menyebabkan hilangnya fisik, psikologis, sosial dan kesejahteraan spiritual. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan, ada kebutuhan untuk mencoba dan menyelesaikan konflik dalam kehidupan dan pada waktu memaafkan (McSherry, 2006).

Mickley dan Cowles (2001 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa pengampunan (forgiveness) mendapatkan perhatian meningkat dari para profesinal pelayanan kesehatan. Bagi banyak klien, sakit atau kecacatan

berkaitan dengan rasa malu dan rasa bersalah. Masalah kesehatan diinterpretasi sebagai hukuman atas dosa dimasa lalu seperti melakukan hubungan sek sebelum menikah adalah penyebab dari kanker payudara yang di alaminya. Klien yang sedang menghadapi kematian dapat mencari atau meminta pengampunan dari yang lain termasuk dari Tuhan. dalam penelitiannya menganjurkan pada perawat yang mempunyai peran penting, agar membantu klien dengan memahami proses pengampunan ini dan memenuhi kebutuhan spiritualitas klien melalui pengampunan ini.

d. Kebutuhan untuk sumber harapan dan kekuatan

Spiritualitas sering disebut sebagai sumber kekuatan batin dan keyakinan harapan. Keyakinan seseorang, nilai-nilai dan sikap akankah membawa harapan pada orang, masa depan atau dari perspektif agama, seperti hidup yang kekal yang memungkinkan individu untuk menimba kekuatan dari komitmen dan keyakinan mereka (McSherry, 2006).

Galek et al (2005) menyatakan bahwa kekuatan harapan dan rasa syukur dapat memupuk dan memberi semangat pasien. Meskipun harapan itu dikonseptualisasikan dalam berbagai cara. Peneliti menekankan kapasitas harapan dapat berhubungan dengan kemungkinan dan realita dari luar diri. Dari hasil survey didapatkan bahwa kebutuhan akan harapan dapat memberikan kedamaian dan kepuasan, menjaga agar pandangan tetap positif, bersyukur atau berterima kasih.

Stephenson (1991 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa harapan adalah inti dalam kehidupan dan merupakan dimensi esensial bagi

keberhasilan dalam menghadapi dan mengatasi keadaan sakit dan kematian. Harapan sebagai suatu proses antisipasi yang melibatkan interaksi pemikiran, tindakan, perasaan dan relasi, yang arahkan pada masa datang untuk pemenuhan akan kepribadian yang penuh makna. Jika tidak mempunyai harapan dan tidak ada yang memberikan harapan tersebut, maka sakit yang dialami, dirasakan seperti bekembang memburuk lebih cepat.

e. Kreativitas

Kreativitas merupakan kemampuan seseorang berfikir dan bertingkah laku. Kreativitas digunakan seseorang untuk mengekspresikan sifat dasarnya melalui suatu bentuk atau medium sehingga menghasilkan rasa puas baginya. Kemampuan untuk menemukan makna, ekspresi dan nilai dalam aspek kehidupan seperti sastra, seni, musik dan kegiatan lainnya yag berasal dari sifat kreatif individu, menyediakan ekspresi dan makna serta sarana komunikasi. Kreativitas dapat berbentuk inspirasi, mengangkat emosi seseorang dan perasaan untuk keindahan hadir dalam bentuk kreasi (McSherry, 2006).

f. Kepercayaan

Individu terisolasi dan diabaikan ketika kehilangan kepercayaan. Dipercaya dapat berbentuk diterapkan pada teman-teman masing-masing keluarga atau masyarakat dunia pada umumnya. Kepercayaan adalah prasyarat untuk membangun persahabatan dan hubungan terapeutik. Dengan mengadopsi pendekatan ini, itu akan muncul bahwa kepercayaan adalah penting untuk eksistensi dan komunikasi. Dipercaya menyebabkan rasa nilai,

harga diri dan penerimaan oleh orang lain. Kemampuan untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai-nilai dalam kehidupan adalah kebutuhan mendasar untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai- nilai. Kebutuhan ini dipupuk dalam masyarakat modern. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan keyakinan pribadi dan nilai-nilai dapat menyebabkan frustasi dan akhrinya permusuhan (McSherry, 2006).

Taylor (1997 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan hal yang sangat penting ditanamkan dalam diri. Dengan adanya kepercayaan menyadarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang ada baik alam semesta maupun isinya adalah bersumber dari Tuhan. Seseorang yang tidak memiliki kepercayaan akan merasa ragu dana bimbang. Orang yang percaya akan memiliki kepasrahan dalam dirinya sehingga orang tersebut memiliki kepastian dalam hidupnya.

g. Mempertahankan praktek-praktek kesejahteraan spiritual

Seperti kemajuan hidup kita, praktik kesejahteraan spiritual tertentu dapat dikembangkan dan dibentuk. Praktek ini dapat berasal dari dalam kerangka agama seperti kebutuhan untuk doa sehari-hari atau menghadiri kebaktian gereja, masjid atau kuil. Namun seseorang individu mungkin telah tumbuh secara rohani melalui perjalanan waktu di daerah pedalaman atau dengan mengambil keterlibatan dalam olahraga. Selam periode sakit atau rawat inap, akan ada kebutuhan untuk memastikan praktek tersebut terus bila memungkinkan (McSherry, 2006).

h. Keyakinan atau keimanan

Fowler (1981 dalam Kozier et al, 2004) menyatakan bahwa keimanan adalah kepercayaan atau komitmen kepada sesuatu atau seseorang. Keimanan dapat ada baik pada orang yang beragama maupun orang yang tidak beragama. Keimanan memberikan makna hidup, memberikan kekuatan pada saat individu mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Untuk klien yang sedang sakit, keimanan terhadap Tuhan, Allah, atau lainnya dalam diri klien sendiri, dalam setiap anggota tim kesehatan, atau pada keduanya, dapat memberikan kekuatan dan harapan.

2.1.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Craven et al (1996 dalam Yani, 2008) menyatakan bahwa faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah: a. Pertimbangan tahap perkembangan

Berdasarkan hasil penelitian Craven et al (1996) terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak.

b. Keluarga

Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritualitas anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Olah karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan

kehidupan di dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya. c. Latar belakang etnik dan budaya

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama dan termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apa pun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual adalah hal unik bagi tiap individu.

d. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut.

e. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisik dan emosional.

f. Terpisah dari ikatan spiritual

Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri secara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya. g. Isu moral terkait dengan terapi

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesarannya walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama.

h. Asuhan keperawatan yang sesuai

Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan spiritual pasien bukan menjadi tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama.

2.1.4. Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien

Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan klien termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Dalam memenuhi kebutuhan spiritual tersebut perawat memperhatikan tahap perkembangannya, sehingga asuhan yang diberikan dapat terpenuhi sebagaimana mestinya (Hamid, 2008).

Layanan bimbingan spiritual bagi pasien semakin diakui memiliki peran dan manfaat yang efektif bagi penyembuhan. Bahkan di tangan para perawat Rumah sakit yang profesional, perawatan spiritual khususnya bimbingan spiritual memberikan kontribusi bagi proses penyembuhan pasien. Dari proses komunikasi yang dibangun oleh para perawat rumah sakit yang profesional, para pasien bisa memulihkan kondisi psikologisnya. Pendekatan terapi keagamaan khusunya pemenuhan kebutuhan spiritual dalam bidang kedokteran bukan untuk tujuan mengubah keyakinan pasien terhadap agamanya melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penderitaan penyakit atau gangguan pada kesehatannya (Sholeh, 2005).

Terapi keagamaan yang diberikan berupa bimbingan tentang konsep sehat sakit dari sudut pandang agama, bimbingan untuk berdzikir dan berdoa. Dengan beragama yang benar, hidup menjadi lebih ikhlas atau pasrah terhadap segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan, sehingga akan terjadi

keseimbangan. Semua protektor yang ada di dalam tubuh manusia bekerja dengan ketaatan beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pandai bersyukur sehingga tercipta suatu keseimbangan dari neurotransmiter yang ada di dalam otak (Hawari, 2007).

Memfasilitasi kebutuhan pasien terhadap pelaksanaan keagamaan, perawat perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai kebutuhan spiritual pasien. Misalnya mengetahui masalah-masalah atau kendala pasien dalam melaksanakan ibadah kemudian berusaha membantu mencari solusi atas masalah-masalah atau kendala yang dihadapi pasien. Seorang perawat disarankan untuk tidak langsung memberikan bantuan pada pasien tanpa mengkaji kebutuhan spiritual pasien terlebih dahulu. Kemudian perawat dapat memberikan pilihan pada pasien dalam melakukan peribadatan untuk memberikan kemandirian pada pasien dalam mengambil keputusan. Misalnya dengan menawarkan bantuan atau pasien ingin melakukan peribadatan secara personal atau memberikan privasi untuk berdoa. Selanjutnya perawat memfasilitasi pasien untuk melakukan pilihannya (Sholeh, 2005).

Pada pasien dalam keadaan terminal, perawat memfasilitasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien, misalnya menanyakan siapa-siapa yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien dan didiskusikan dengan keluarganya (teman-teman dekat atau anggota keluarga lain). Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan-kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan atau membantu klien untuk

membersihkan diri dan merapikan diri. Meminta saudara atau teman- temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi klien apabila klien mampu membacanya (Hamid, 2008).

Bantuan memenuhi kebutuhan spiritual misalnya dengan menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana klien selanjutnya menjelang kematian. Menanyakan kepada klien untuk mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Disini tokoh agama dapat menuntun pasien untuk mencapai ketenangan sehingga dapat mencapai good death dan perawat membantu dan mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya (Sholeh, 2005).

McSherry (2004) menyatakan bahwa tidak semua pasien akan hadir dengan kebutuhan rohani atau mengangkat semua permasalahan yang eksistensial atau spiritual sebagai akibat dari penyakit mereka. Olah karena itu, kita dapat membuat asumsi dalam perawatan kesehatan bahwa semua pasien atau pengguna jasa akan hadir dengan kebutuhan rohani, atau bahwa mereka akan ingin membahas hal-hal yang bersifat spiritual dengan profesional perawatan kesehatan serta pentingnya memiliki beberapa mekanisme untuk memastikan kebutuhan rohani pasien akan ditangani secara efektif dan bertemu praktek keperawatan kesehatan.

Narayanasamy (2004) menyatakan bahwa perawat dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual

pasien mereka, karena berbagai alasan. Salah satunya disebabkan banyak perawat tidak memahami secara utuh apa yang dimaksud dengan spiritualitas.

Dokumen terkait