BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Analisis Tokoh, Penokohan, Latar, dan Tema
4.2.1 Analisis Tokoh dan Penokohan
4.2.1.1 Sroedji
Sroedji adalah anak kedua pasangan Hasan dan Amni. Banyak orang
mengatakan bahwa Sroedji bukan orang pribumi asli. Dalam menggambarkan
pernyataan tersebut, pengarang menggunakan teknik ekspositori. Berikut kutipan
yang mendukung pernyataan tersebut.
(1) Bocah lelaki itu, Mochammad Sroedji. Hidung yang tinggi dan membuat wajahnya terlihat tampan dibandingkan anak-anak kampong lainnya. Bentuk hidung inilah yang membuat dia sering disangka peranakan Arab. Atau kulitnya yang putih bersih membuat dia dikira memiliki keturunan Cina. Padahal semuanya
tidak benar. Sroedji, begitu dia biasa dipanggil, meskipun bukan asli Jawa tapi orang pribumi berdarah Madura. Ketampanan Sroedji diperoleh dari ibunya, Amni, wanita jelita pada masanya (Devita, 2014:6).
Sroedji adalah seorang ayah dengan 4 orang anak. Anak pertama bernama
Cuk, Pom, Tuti, dan Puji. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang
menggunakan teknik ekspositori. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa
Sroedji adalah seorang ayah dengan menggunakan teknik ekspositori.
(2) Ia akui, keraguannya masih membayangi keputusannya meninggalkan rumah. Apalagi anak pertamanya, Sucahyo yang
biasa dipanggil “Cuk”, baru berusia tiga tahun (Devita, 2014 : 43). (3) Sroedji memberi nama Supomo untuk anak keduanya. Tak lupa ia
sematkan namanya sendiri di belakang. Jadilah anak itu bernama Supomo Sroedji (Devita, 2014 : 44).
(4) Selalu ada Sroedji saat kelahiran Cuk, Pom, dan Tuti. Sroedji dengan sabar dan setia mendampingi Rukmini (Devita, 2014 : 135). (5) Puji Rejeki hadir ke dunia tanpa kehadiran Sroedji (Devita, 2014 :
131).
Pekerjaan Sroedji sebelum menjadi tentara adalah mantri malaria. Ia selalu
berkeliling ke pelosok desa untuk membantu orang yang terkena penyakit. Dalam
menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang menggunakan teknik ekspositori.
Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji juga berprofesi sebagai mantri
malaria dengan menggunakan teknik ekspositori.
(6) Siang itu, seperti biasa Rumah Sakit Kreongan ramai orang yang membawa keluhan bermacam penyakit yang diderita. Sroedji
tampak di sana, setia melayani para pasien. Sebagai seorang mantri malaria, Sroedji, biasanya berkeliling ke pelosok-pelosok desa (Devita, 2014 : 43).
(7) Setelah menjalani kesibukkan sesiangan, saat mencatat stok obat benak Sroedji kembali dipenuhi pikiran tentang pertemuannya dengan kawan-kawan sesame eks Hizbul Wathan (Devita, 2014 : 44).
Sroedji mempunyai cita-cita untuk memerdekakan negaranya. Cara yang
bisa ditempuh Sroedji untuk mencapai cita-citanya adalah menjadi tentara. Hal itu
ia lakukan, mulai menjadi anggota PETA sampai komandan Brigade
Damarwulan. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang
menggunakan teknik ekspositori. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa
Sroedji seorang prajurit dengan menggunakan teknik ekspositori.
(8) Kini Sroedji resmi menyandang pangkat chuudancho (Devita, 2014 : 59).
(9) Tanggal 5 Oktober 1945 BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dimana Sroedji menjabat menjadi Komandan Batalion Sroedji Resimen IV/TKR Divisi Untung Suropati (Devita, 2014 : 73).
(10) Mayor Sroedji bersama pasukan Batalion Alap-Alap berencana melancarkan serangan balasan terhadap konvoi Belanda yang akan menyeberangi kali Brantas (Devita, 2014 : 81).
(11) Di sebuah gubuk yang tersembunyi di rerimbunan perkebunan tebu Jagalan, dua petinggi Lumajang bertemu, Sastrodikoro yang mewakili pimpinan pemerintahan dan Sroedji dari unsur pimpinan tentara republik yang pada tanggl 5 Mei 1947 telah berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Devita, 2014 : 99). (12) Kala itu, Sroedji menjabat komandan Resimen Infantri 29 Menak
Koncar, lantas diangkat menjadi Komandan Resimen 40 yang membawahi pasukan sekaresidenan Besuki asal Jember, Klakah,
Bondowoso, Banyuwangi, dan Lumajang (Devita, 2014 : 138 – 139).
(13) Sroedji menjadi komandan Satuan Gabungan Angkatan perang dalam penumpasan ekor PKI di Blitar (Devita, 2014 : 147).
(14) Menghadapi blitzkrieg Belanda, sebagai komandan Brigade Damarwulan Sroedji mendapat mandate memimpin pasukan republik untuk melakukan wingate action, gerakan penyusupan (Devita, 2014 : 152).
(15) Beberapa kali Belanda mengembuskan kabar bahwa Komandan Brigade Damarwulan, Letkol. Sroedji, tertangkap atau terbunuh (Devita, 2014 : 215).
Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji seorang prajurit dengan
menggunakan teknik dramatik.
(16) “Aku mendapat pangkat chuudancho, kapten Bu, menjadi komandan kompi 4 di bawah Daidanchoo Suwito. Tugasku membentuk Daidan I di Karesidenan Besuki, khususnya di Kencong, Jember.” (Devita, 2014 : 64).
(17) “Ah…andai saja suamiku bukan tentara. Andai dia benar-benar
hanya pedagang,” keluh Rukmini lagi dalam batin (Devita, 2014 :
138).
Tokoh Sroedji dalam novel ini memiliki tekad yang kuat untuk bersekolah.
Sroedji tidak ingin sekedar sekolah di Ongko Loro. Dia bahkan ingin bersekolah di HIS (Hollands Indische School). Sekolah untuk para priyayi dan golongan Eropa. Setamatnya sekolah di HIS, Sroedji meneruskan sekolahnya di
Ambactsleergang, sekolah kejuruan bidang pertukangan. Sroedji bercita-cita menjadi tentara. Ia ingin membebaskan tanah airnya dari penjajah. Dalam
Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji sosok yang mempunyai tekad
besar untuk bersekolah dengan menggunakan teknik dramatik.
(18) “Ya, aku akan sekolah! Akan kugapai impianku, jadi tentara,” seru Sroedji dalam hati (Devita, 2014:10).
(19) “Aku akan sekolah lagi!” Kalimat tersebut terus diteriakkan dalam hati Sroedji di tengah kesibukan membantu ayahnya mengatur tempat yang nyaman dan menyusun barang-barang bawaan (Devita, 2014:18).
Sroedji termasuk sosok laki-laki yang pandai. Sroedji selalu menyelesaikan
sekolahnya. Sroedji juga pandai dalam memainkan alat musik ukulele. Tidak
hanya itu, dalam mengatur siasat pertempuran melawan penjajah, Sroedji juga
pandai. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang menggunakan
teknik ekspositori dan dramatik. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji
sosok yang pandai dengan menggunakan teknik ekspositori.
(20) Kecerdasan Sroedji yang di atas rata-rata membuat dia lolos tes dan diterima di HIS (Devita, 2014:12).
(21) Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan.
Satu…dua…tiga…jari-jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu (Devita, 2014:1).
(22) Rukmini duduk di deretan depan para penonton orkes keroncong di Kreongan Jember. Wajahnya memerah ketika pria tampan yang memerik ukulele melagukan “Als de orchideen bloeien” yang kemudian diulangi dalam bahasa Indonesia (Devita, 2014:19). (23) Sroedji yang sedang bersantai sembari memetik ukulele
kesayangannya menoleh. “Buat warga kita?” tanyanya menanggapi
(24) Strategi pengadangan konvoi Inggris sudah disiapkan. Bom-bom sudah terpasang dan siap diledakkan. Pasukan garda depan sudah menggenggam tekidanto dan stengun, sedangkan bagian penjagaan sudah siap dengan brengun (Devita, 2014:82).
Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji sosok yang pandai dengan
menggunakan teknik dramatik.
(25) “Sekolah itu secukupnya saja. Toh dia sudah lulus dari HIS, sementara kebanyakan temannya sama sekali tidak merasakan
pendidikan.” (Devita, 2014:16).
(26) “Sepertinya bukan tanpa alasan Jepang memilih nama Pembela
Tanah Air,” batin Sroedji. Otaknya yang cerdas segera dapat
membaca maksud Jepang (Devita, 2014:44).
Sroedji juga seorang yang penyayang. Kasih sayang dan perhatiannya selalu
ia curahkan disela-sela kesibukkannya memimpin pertempuran. Istri dan anak-
anaknya sangat senang dengan sosok Sroedji. Dalam menggambarkan pernyataan
tersebut, pengarang menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan yang
menjelaskan bahwa Sroedji sosok yang penyayang dengan menggunakan teknik
dramatik.
(27) Tapi Sroedji menimpali dengan sabar, “Tidak apa-apa
Bu…mungkin Cuk kangen aku,” sambil meneruskan makan dan
membelai kepala Cuk (Devita, 2014:63).
(28) “Biar saja Bu, Cuk Cuma ingin cari perhatian dariku. Biarkan. Aku
senang melihat anakku aktif dan sehat,” sela Sroedji (Devita,
Sroedji suka memuji orang lain, baik keluarganya maupun anak buahnya.
Meskipun ia seorang tentara, Sroedji tidak sombong. Dalam menggambarkan
pernyataan tersebut, pengarang menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan
yang menjelaskan bahwa Sroedji sosok yang rendah hati dengan menggunakan
teknik dramatik.
(29) “Wah…labu siamnya serasa daging Bu. Uenak tenan. Sungguh.
Aku sudah kangen masakanmu Bu…Masakanmu selalu enak dan pas bumbunya,” Sroedji memandang mesra seraya mengusap
lengan Rukmini lembut. Untuk meyakinkan istrinya, Sroedji menambah nasi dan makan dengan lahap (Devita, 2014 : 64).
(30) “Selamat ulang tahun ya, Bu…Kamu pasti terlihat cantik kalau
pakai kebaya ini,” kata Sroedji lembut (Devita, 2014 : 105).
(31) “Benar kan apa kataku? Kamu cantik sekali pakai kebaya ini,” puji Sroedji tulus (Devita, 2014 : 105).
(32) “Hebat-hebat…meski tegang, sama sekali tidak tampak wajah
takut,” gumam Sroedji dalam hati, puas sekaligus bangga (Devita,
2014 : 79).
(33) “Pasukanku terbukti patut dibanggakan,” batin Sroedji sembari memandang anak buahnya dengan bangga (Devita, 2014 : 82).
Sebagai seorang tentara, semangat tinggi untuk berjuang mengusir penjajah
sangatlah diperlukan. Hal ini sangat melekat pada diri Sroedji. Ia tidak pernah
surut semangatnya untuk mengusir penjajah meski harus menjalani latihan fisik
yang sangat keras. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang
menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji
(34) “Cara mereka melatih memang sadis, bahkan di luar batas
kemanusiaan kita. Tapi mereka benar.” Setelah diam sejenak, Sroedji melanjutkan, “Bagaimana bisa mempertahankan negara
dari serangan musuh yang ingin kembali menjajah, kalau kita
lemah?” (Devita, 2014 : 57).
(35) “Perang terbesar bukanlah melawan musuh, Mur. Perang paling besar adalah perang melawan diri kita sendiri. Kita harus punya satu tekad baja. Kita harus kalahkan dulu diri kita, baru bisa mengalahkan musuh.” (Devita, 2014 : 57).
(36) “Kita adalah prajurit Mur,…kita tidak boleh kehilangan semangat juang. Seorang prajurit yang kehilangan semangat juang ibarat
mayat yang sedang mengusung keranda kematiannya sendiri.”
(Devita, 2014 : 57).
Sroedji adalah sosok yang bijaksana. Ia mampu memilah-milah situasi dan
mampu menjembatani suatu permasalahan. Banyak orang yang segan kepadanya.
Pembawaannya yang tenang menambah aura kebijaksanaannya semakin
terpancar. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut, pengarang menggunakan
teknik dramatik. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji seorang yang
bijaksana dengan menggunakan teknik dramatik.
(37) “Musuh sudah menyerah. Jangan kalian membunuh tanpa alasan. Jangan menebar maut secara keji. Kita berperang untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia. Kita bukan
pembunuh,” pesan Sroedji tak bosan-bosan. Pesan yang selalu berulang-ulang membuat anak buahnya semakin segan dan kagum terhadap kemuliaan hati sang komandan (Devita, 2014 : 207). (38) “Sudah…sudah. Letnan Ngadiyo, tolong sarungkan pistolmu. Kita
ini sedang berjuang, bergerilya melawan Belanda. Jangan terjebak
perseteruan tak keruan yang malah akan merugikan kita sendiri,”
(39) “Letnan Sugeng benar, wanita dan anak-anak memang akan memperlambat gerakan kita. Tapi, Letnan Ngadiyo juga benar. Kita tidak bisa meninggalkan keluarga tanpa ada yang melindungi. Baiknya kita ambil jalan tengah. Wanita dan anak-anak bisa ikut. Bagaimana agar mereka tak menjadi beban? Kita akan bahas hal
itu.”(Devita, 2014 : 158).
Segagah-gagahnya seorang tentara, mereka tetaplah manusia. Tugas berat
nan mulia yang mereka emban tidak akan berbuah tanpa pertolongan Sang
Pemilik Kehidupan. Sroedji adalah seorang tentara yang selalu mengikutsertakan
bantuan Tuhan untuk menyelesaikan segala tugasnya. Dalam menggambarkan
pernyataan tersebut, pengarang menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan
yang menjelaskan bahwa Sroedji taat beribadah dengan menggunakan teknik
dramatik.
(40) Dalam hatinya terpanjat doa,”Ya Allah Tuhan penyeru sekalian alam, berikanlah jalan dan kemudahan bagi kami dalam
mengemban tugas berat ini.” (Devita, 2014 : 162).
(41) “Ya Allah…semoga besok, saat perang sesungguhnya, mereka
akan ingat semua yang diajarkannya,” harap Sroedji (Devita, 2014 : 79).
Tentara adalah profesi yang membutuhkan rasa kecintaan terhadap tanah air.
Hal ini dibutuhkan agar dalam berjuang, seorang tentara atau prajurit benar-benar
dilakukannya secara sungguh-sungguh. Begitu pula dengan Sroedji, kecintaannya
terhadap tanah air membuatnya semakin semangat untuk bisa menjadi seorang
teknik dramatik. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Sroedji cinta akan
tanah airnya dengan menggunakan teknik dramatik.
(42) “Kita hidup di tanah Jawa, Bu…Anak kita harus diajari bicara bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari, bukan bahasa
penjajah, dan bukan juga bahasa Madura…” (Devita, 2014 : 35).
(43) “Inilah saat yang tepat untukku menyumbangkan tenaga dan
pikiran demi membela tumpah darahku,” bisik hati Sroedji (Devita,
2014 : 46).
(44) “Sekarang Bu…sekarang saatnya aku membaktikan diri, membela
tumpah darah,” kata Sroedji berapi-api (Devita, 2014 : 47).
Bukan saja cinta tanah air yang diperlukan untuk menjadi prajurit.
Keberanian juga diperlukan, agar dalam menghadapi penjajah benar-benar
maksimal. Sroedji termasuk sosok yang berani. Dalam menggambarkan
pernyataan tersebut, pengarang menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan
yang menjelaskan bahwa Sroedji cinta akan tanah airnya dengan menggunakan
teknik dramatik.
(45) “Saya dukung perjuangan rakyat Surabaya mempertahankan kota!
Kami, TKR, Jember, siap ikut bertempur!” seru Sroedji (Devita,
2014 : 76).
(46) “Mereka pikir, semudah itu masuk Sidoarjo? Tak akan kami
biarkan mereka seenaknya menembus pertahanan pejuang!” batin
Sroedji penuh tekad (Devita, 2014 : 82).
Menjadi seorang prajurit bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan pula
Sroedji, ia rela meninggalkan keluarganya bahkan rela kehilangan nyawanya demi
mengusir penjajah dari tanah airnya. Dalam menggambarkan pernyataan tersebut,
pengarang menggunakan teknik dramatik. Berikut kutipan yang menjelaskan
bahwa Sroedji rela berkorban dengan menggunakan teknik dramatik.
(47) Melihat Murjani sudah tenang Sreodji berbisik, “Mur, kita memang menderita secara fisik dan mental di sini. Tapi itu belum seberapa dibandingkan penderitaan bangsa Indonesia selama ratusan tahun Mur. Kita semua di sini punya semangat yang sama, semangat
menjadi tentara yang kuat, untuk kemerdekaan Indonesia.” (Devita,
2014 : 57).
(48) “Cara mereka melatih memang sadis, bahkan di luar batas
kemanusiaan kita. Tapi mereka benar.” (Devita, 2014 : 57).
Sroedji adalah tokoh utama dalam novel Sang Patriot karya Irma Devita. Hal ini disebabkan, cerita yang disajikan menceritakan perjuangan Sroedji.
Kutipan (1) menjelaskan bagaimana ciri-ciri fisik Sroedji. Ia memiliki hidung
yang tinggi, wajah tampan, dan berkulit bersih. Banyak juga yang mengatakan
bahwa Sroedji keturunan Arab dan Cina, tetapi sebenarnya Sroedji anak pribumi
asli. Kutipan (2) menjelaskan bahwa Sroedji ayah dari Sucahyo, Soepomo
Sroedji, Tuti, dan Puji Rejeki.
Sroedji berprofesi sebagai mantri malaria. Setiap hari ia berkeliling
kampong untuk menolong orang-orang yang sakit. Hal ini ia lakukan dengan
senang hati. Kutipan (6) dan (7) merupakan bukti bahwa Sroedji seorang mantri
malaria. Sroedji mempunyai niat besar untuk mengusir penjajah dari tanah airnya.
(8) sampai kutipan (17) menceritakan karir Sroedji hingga bisa menjadi
Komandan Brigade. Sifat-sifat Sroedji terdapat pada kutipan (18) sampai kutipan
(48). Sifat-sifat Sroedji antara lain mempunyai tekad yang besar untuk sekolah,
pandai, sosok yang penyayang, rendah hati atau suka memuji orang, mempunyai
semangat tinggi, bijaksana, taat beribadah, cinta tanah air, berani, dan rela
berkorban.
Tokoh tambahan yang akan dianalisis adalah Rukmini, Hasan, Amni,
Tajib, Maryam, Murjani, Soebandi, Titiwardoyo, Abdul Syukur, Rustamaji,
Sersan Sakri, dan Sersan Paimin. Berikut pemaparan tentang tokoh dan
penokohan tokoh tambahan.