• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilitas Fisik

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 28-0)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Stabilitas Fisik

Nanokrim dengan basis emulsi dapat mengalami ketidakstabilan fisik, seperti flokulasi, koalesen, creaming, dan Ostwald ripening (gambar 5). Fenomena ketidakstabilan tersebut dapat terjadi karena faktor lingkungan dan penyimpanan dalam waktu yang lama (Tadros, 2013).

Gambar 5. Skema fenomena ketidakstabilan nanoemulsi (Tadros, 2013)

Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase emulsi berdasarkan perbedaan bobot jenis antara fase internal dan fase eksternal. Jika bobot jenis fase internal lebih tinggi dari bobot jenis fase eksternal, maka akan terjadi sedimentasi.

Sebaliknya, jika bobot jenis fase internal lebih rendah dari bobot jenis fase eksternal, maka akan terjadi creaming. Fenomena ketidakstabilan ini bersifat

reversible, artinya fase internal akan terdispersi kembali ke fase eksternal jika dilakukan pengocokan. Kecepatan creaming dan sedimentasi dapat dijelaskan menggunakan Hukum Stokes (Koroleva and Yurtove, 2012; Ali, Alam, Alam, Anwer, and Safhi, 2013). Berikut merupakan rumus hukum Stokes.

v =

2 ๐‘Ÿ

2 (ฯโˆ’ ฯ0) g 9 ๐œ‚

Di mana v merupakan kecepatan creaming dan sedimentasi, r merupakan jari-jari droplet, ฯ merupakan bobot jenis droplet, ฯo merupakan bobot jenis medium, g merupakan gaya gravitasi, dan ฮท merupakan viskositas. Dari rumus di atas dapat dijelaskan bahwa creaming dapat dicegah dengan mengecilkan ukuran partikel fase internal, meningkatkan viskositas, dan mengecilkan perbedaan bobot jenis antara fase internal dan fase eksternal (Ali et al., 2013).

Flokulasi merupakan peristiwa penggabungan droplet fase internal yang bersifat reversible karena ikatan antar droplet yang lemah. Flokulasi dapat dicegah dengan menggunakan surfaktan non-ionik sehingga droplet-droplet fase internal dapat saling tolak menolak dengan adanya gaya van der Waals. Gaya van der Waals antar droplet dipengaruhi oleh diameter droplet itu sendiri. Diameter droplet kecil, memiliki gaya tolak menolak antar droplet fase internal yang kecil. Meningkatnya konsentrasi surfaktan pada sistem mengakibatnya meningkatnya ketebalan lapisan yang mengelilingi maka halangan sterik yang dihasilkan menjadi lebih besar dan emulsi menjadi lebih stabil (Ali et al., 2013).

Flokulasi dapat memicu terjadinya koalesen yang sifatnya irreversible.

Koalesen merupakan proses penggabungan dua droplet atau lebih menjadi satu

droplet yang lebih besar. Fenomena ketidakstabilan ini dapat dicegah dengan adanya halangan sterik (Ali et al., 2013).

Ostwald ripening merupakan suatu fenomena ketidakstabilan fisik dalam nanoemulsi, di mana terjadi pertumbuhan ukuran droplet dari waktu ke waktu.

Ostwald ripening disebabkan karena besarnya kelarutan droplet di dalam minyak sehingga dapat berdifusi melewati fase eksternal. Minyak rantai panjang memiliki viskositas yang tinggi, dapat mencegah Ostwald ripening pada nanoemulsi. Akan tetapi, pembentukan nanoemulsi menggunakan minyak rantai panjang akan lebih sulit terjadi. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi surfaktan dan kosurfaktan yang dapat saling berinteraksi secara sinergis dalam menurunkan tegangan permukaan (Wooster et al., 2008).

D. Metode Pembuatan Nanokrim

Pembuatan nanoemulsi dapat dilakukan dengan menggunakan energi rendah (metode kondensasi) maupun energi tinggi (metode dispersi). Metode dispersi meliputi pengadukan dengan kecepatan tinggi, emulsifikasi ultrasonik, dan homegenisasi bertekanan tinggi, emulsifikasi microfluidies, dan emulsifikasi membran. Sementara itu, metode kondensasi terdiri dari phase inversion temperature (PIT), emulsion inversion point (EIP), dan emulsifikasi spontan non-equilibrium (Al-Edresi and Baie, 2009; Koroleva and Yurtove, 2012).

1. Metode emulsifikasi energi tinggi (metode dispersi)

Nanoemulsi yang dibuat dengan menggunakan metode dispersi akan menghasilkan droplet fase internal yang masuk dalam rentang ukuran nanoemulsi. Hal ini disebabkan karena adanya energi yang sangat tinggi dalam

pembuatannya. Akan tetapi, ukuran droplet dapat meningkat karena ketidaksesuaian jumlah surfaktan dalam sistem tersebut. Surfaktan tersebut tidak dapat teradsorpsi secara sempurna pada permukaan droplet oleh seluruh droplet yang terdispersi, akibatnya terjadi koalesen pada sistem dan rata-rata ukuran droplet meningkat (Koroleva and Yurtove, 2012).

Gambar 6. Macam-macam metode emulsifikasi energi tinggi (metode dispersi):

(a) sistem rotor-stator, (b) homogenisasi energi tinggi, (c) emulsifikasi ultrasonik, dan (d) dispersi membran (Schultz, Wagner, Urban, and Ulrich, 2004)

a. Sistem rotor-stator

Metode pengadukan dengan kecepatan tinggi (sistem rotor-stator) dapat dilakukan dengan berbagai alat seperti mixer, colloid mills, dan Silverson flow mixer. Peningkatan intensitas pengadukan dapat memperkecil ukuran droplet secara signifikan, hanya saja ukuran droplet tersebut hanya berkisar 200-300 nm. Rotor dengan kecepatan tinggi akan menghasilkan penghalusan tingkat tinggi di dalam kepala rotor dan memaksa komponen emulsi terhisap ke dalam sistem rotor stator tersebut.

Adanya gaya sentrifugal pada sistem ini, mengakibatkan emulsi terlempar ke sekeliling rotor dan terjadi dispersi yang intens pada ruang antara rotor

dan dinding dalam stator (Koroleva and Yurtove, 2012). Sistem rotor-stator dapat dioperasikan secara diskontinu dan kontinu. Mixer dioperasikan secara diskontinu karena mixer hanya dapat memproduksi nanoemulsi dalam skala bets. Colloid mills dan Silverson flow mixer dioperasikan secara kontinu (Schultz et al., 2004; Al-Edresi and Baie, 2009).

b. Homogenisasi energi tinggi

Sistem emulsi yang memiliki viskositas rendah hingga sedang dapat dibuat menggunakan metode homogenisasi tekanan tinggi. Metode ini dapat dioperasikan secara kontinu. Di bawah kondisi tekanan tinggi, sistem akan dipengaruhi oleh gaya geser, turbulen, dan kavitasi. Ukuran droplet pada emulsi ditentukan oleh aliran cairan yang tergantung oleh alat, viskositas cairan, dan tekanan dari homogenizer. Jika sistem mengandung jumlah surfaktan yang sesuai, maka metode ini dapat menghasilkan ukuran droplet 50-350 nm (Koroleva and Yurtove, 2012).

c. Ultrasonik

Pembentukan nanoemulsi dengan menggunakan ultrasonik terjadi karena kavitasi, yaitu hilangnya gelembung dan pelepasan energi secara lokal. Energi yang dihasilkan berasal dari sonotrodes (sonicator probes).

Sonotrodes tersebut akan kontak dengan cairan dan memberi getaran pada cairan tersebut sehingga terjadi kavitasi. Kavitasi adalah pembentukan dan penghilangan rongga uap pada cairan yang mengalir. Penghilangan rongga tersebut mengakibatkan gelombang kejut yang meradiasi cairan sehingga memecah droplet yang terdispersi (Setya, Talegaonkar, and Razdan, 2014).

Peningkatan kekuatan ultrasonik sampai pada batas tertentu menghasilkan ukuran droplet yang lebih kecil. Peningkatan kekuatan melampaui batas tersebut tidak akan menghasilkan perubahan droplet yang signifikan. Akan tetapi penggunaan sonikasi energi tinggi dapat memicu terjadinya dekomposisi suhu dari air menjadi radikal Hโ— dan โ—OH yang akan menyebabkan terjadinya dekomposisi molekul surfaktan dan terkumpul pada permukaan kavitasi gelembung. Selain itu emulsifikasi ultrasonik yang dapat digunakan dalam skala kecil (Koroleva and Yurtove, 2012).

d. Microfluidizer

Emulsifikasi pada microfluidizer terjadi melalui tumbukan antara dua aliran cairan yang tidak saling campur dari microchannel yang berlawanan. Kedua aliran cairan tersebut didorong oleh suatu pompa yang bertekanan tinggi hingga 150 MPa. Tekanan tersebut memaksa cairan masuk ke dalam microchannel dan pada area tertentu terjadi tumbukan dan timbul gaya gesek besar sehingga menghasilkan emulsi yang sangat kecil.

Selain karena gaya gesek dan tekanan, emulsifikasi pada microfluidizer juga disebabkan oleh kavitasi. Ukuran droplet yang dihasilkan tergantung pada sifat kedua cairan, aliran cairan, geometri channel, dan sifat dari permukaan channel. Ukuran droplet akan semakin kecil jika menurunkan kecepatan aliran dan viskositas fase eksternal dan meningkatkan kecepatan aliran dari fase internal (Koroleva and Yurtove, 2012; Setya et al., 2014).

e. Emulsifikasi membran

Pada metode membran, droplet fase internal terbentuk dengan adanya ekstrusi cairan melalui pori-pori atau microchannel pada membran.

Metode ini memiliki beberapa jenis desain emulsifikasi, yaitu emulsifikasi satu langkah, emulsifikasi dengan pre-emulsifikasi, dan emulsifikasi dengan pre-emulsifikasi dan inversion phase (gambar 7). Emulsifikasi membran dengan pre-emulsifikasi akan menghasilkan ukuran droplet yang lebih kecil. Metode membran memiliki kekurangan yaitu produktivitas moderat karena kecepatan ekstrusi fase internal harus cukup rendah untuk mencegah pembentukan jet flowing secara terus menerus (Koroleva and Yurtove, 2012).

Gambar 7. Beberapa desain emulsifikasi membran: (a) emulsifikasi satu langkah, (b) dengan pre-emulsifikasi (tanpa phase inversion), (c) dengan pre โ€“

emulsifikasi dan phase inversion (Koroleva and Yurtove, 2012).

2. Metode emulsifikasi energi rendah (metode kondensasi)

Metode kondensasi didasarkan pada perubahan fase dalam emulsi yang terjadi karena perubahan komposisi atau suhu dalam sistem. Perubahan fase akan terjadi pada suhu tertentu, sistem akan mencapai suatu titik di mana kurvatur surfaktan monolayer bernilai nol dan tegangan antarmuka rendah. Perubahan jarak kurvatur juga dapat terjadi karena perubahan komposisi pada sistem,

sebagai contoh, saat fase air atau konsentrasi komponen lain berubah (Koroleva and Yurtove, 2012).

Metode PIT dan EIP termasuk dalam metode kondensasi. Perubahan fase pada metode PIT tergantung pada suhu, sedangkan pada EIP, perubahan fase terjadi karena perubahan komposisi air (Solรจ, Maestro, Gonzรกlez, Solans, and Gutiรฉrrez, 2006). Pengaturan suhu pada metode PIT bertujuan untuk mengubah sifat dari surfaktan. Molekul polyoxyethylene yang merupakan surfaktan non-ionik bersifat hidrofilik dalam suhu rendah karena adanya hidrasi dari gugus polar dan akan bersifat hidrofobik dalam suhu tinggi karena adanya dehidrasi pada gugus polar tersebut (Koroleva and Yurtove, 2012). Pada metode EIP, perubahan komposisi air merupakan titik kritis perubahan fase dari A/M menjadi M/A. Metode EIP dilakukan dengan menambahkan air pada campuran surfaktan dan minyak yang telah membentuk lameral. Air ini akan meningkatkan hidrasi dari gugus polar surfaktan sehingga meningkatkan pembentukan kurvatur secara spontan dan merusak lameral minyak sehingga minyak berubah menjadi droplet berukuran kecil. Selain itu, ukuran droplet juga dipengaruhi oleh komposisi air. Semakin besar komposisi air yang ditambahkan, maka akan terbentuk droplet yang semakin kecil. Hal ini disebabkan karena droplet air akan bergabung dengan droplet air lainnya dan membentuk fase eksternal (Al-Edresi and Baie, 2009).

E. Rheologi

Rheologi mempelajari aliran, yang menunjukkan viskositas dari cairan atau semisolid, dan deformasi dari serbuk. Viskositas menunjukkan resistensi cairan

untuk mengalir. Semakin besar viskositas, semakin besar pula resistensi cairan tersebut. Rheologi suatu bahan dibedakan menjadi dua, yaitu tipe Newtonian dan non-Newtonian. Kedua tipe ini dibedakan oleh sifat alir dari bahan. Tipe Newtonian (gambar 8) memiliki viskositas yang konstan dengan peningkatan shear rate.

Sementara itu, tipe non-Newtonian memiliki viskositas yang berubah dengan peningkatan shear rate. Tipe non-Newtonian dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu plastis, pseudoplastis, dan dilatan (gambar 8). Contoh bahan yang memiliki tipe alir non-Newtonian yaitu larutan koloidal, emulsi, suspensi cair, dan ointments.

Rheologi memiliki arti penting dalam pembuatan sediaan, yaitu menentukan proses pencampuran, kemasan, stabilitas fisik, dan ketersediaan hayati secara biologis (Allen et al., 2011; Sinko and Singh, 2011).

Gambar 8. Kurva tipe sifat alir: (a) Newtonian, (b) Plastis, (c) Pseudoplastis, (d) Dilatan (Allen et al., 2011)

1. Tipe Newtonian

Tipe Newtonian digambarkan dengan rumus sebagai berikut.

(b) (d) (a) (c)

Fยด

A = ๐œ‚ ๐‘‘๐‘ฃ ๐‘‘๐‘Ÿ

di mana Fยด/A merupakan gaya yang bekerja pada cairan susunan lapisan cairan, dv/dr atau share rate merupakan perbedaan kecepatan dv antara dua lapisan cairan yang dipisahkan oleh jarak dr, dan ๐œ‚ merupakan koefisien viskositas atau viskositas. Dari hubungan di atas, dapat diturunkan suatu hubungan sebagai berikut.

๐œ‚ = ๐น ๐บ

di mana F (shearing stress) = Fยด/A dan G (shear rate) = dv/dr (Allen et al., 2011; Sinko et al., 2011).

Berdasarkan rumus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar viskositas larutan, maka semakin besar shearing stress yang diperlukan untuk menghasilkan shear rate tertentu (Allen et al., 2011).

2. Tipe non-Newtonian a. Plastis

Material yang memiliki sifat alir plastis disebut juga Bingham bodies. Pada sifat alir plastis, cairan tidak akan mengalir sebelum shearing strees melampaui yield value tertentu. Sifat alir plastis dihubungkan dengan fenomena flokulasi pada suspensi. Adanya yield value merupakan akibat dari kontak antara partikel yang berdekatan karena interaksi van der Waals, sehingga diperlukan suatu gaya untuk dapat memecah interaksi tersebut agar cairan dapat mengalir. Oleh karena itu, semakin besar flokulasi, semakin besar yield value yang harus dilampaui (Sinko and Singh, 2011).

b. Pseudoplastis

Sifat alir pseudoplastis dimiliki oleh larutan polimer, seperti sodium alginate dan methylcellulose. Yield value tidak ada pada tipe aliran ini. Viskositas pseudoplastik akan menurun dengan meningkatnya shear rate. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya shear rate, rantai polimer akan tersusun menjadi suatu rantai panjang yang lurus sehingga menurunkan resistensi sistem. Selain itu, pelarut yang berhubungan dengan molekul terdispersi mungkin akan dilepaskan, sehingga menurunkan konsentrasi dan ukuran dari molekul terdispesi (Sinko and Singh, 2011).

c. Dilatan

Sifat alir dilatan berlawanan dari sifat alir pseudoplastis. Semakin besar shear rate, maka viskositas dilatan akan semakin besar. Maka dari itu, sifat alir dilatan disebut juga shear-thickening system. Pada keadaan diam, partikel dalam larutan akan dikelilingi dengan volume interpartikel (void) yang kecil. Jumlah pembawa cukup untuk mengisi void tersebut dan memungkinkan pergerakan partikel pada shear rate yang rendah. Akan tetapi, jika shear stress ditingkatkan maka bulk pada sistem akan membesar (dilatasi). Partikel akan bergerak secara cepat dan memperbesar void.

Akibatnya, pembawa dengan jumlah yang tetap tidak cukup untuk mengisi void antar partikel yang melebar. Maka dari itu, viskositas sistem akan meningkat (Sinko and Singh, 2011).

F. Evaluasi Fisik Nanokrim 1. Organoleptis

Evaluasi fisik terhadap oganoleptis sediaan sangat penting karena akan berkaitan langsung dengan penerimaan pasien atau konsumen. Evaluasi organoleptis bersifat subjektif karena hanya menggunakan panca indera. Warna, bau, tekstur, dan fenomena creaming (pemisahan fase emulsi) merupakan hal-hal yang perlu diamati dalam evaluasi organoleptis sediaan krim (Joshi and Barhate, 2011; Ali, Akhtar, and Khan, 2013).

2. Homogenitas

Pengujian homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui tercampurnya bahan-bahan sediaan krim. Homogenitas suatu sediaan ditandai dengan fase internal yang terdistribusi merata dalam fase eksternal. Suatu sediaan krim yang homogen akan mudah digunakan dan terdistribusi merata saat penggunaan di kulit (Putra and Setyawan, 2013).

3. pH

pH sediaan dapat diukur menggunakan pH meter yang sederhana atau pH meter jenis probe. pH sediaan topikal harus mendekati pH kulit, yaitu pH netral. Apabila terlalu basa atau terlalu asam, maka akan terjadi iritasi pada kulit (Dash, Singh, and Tolman, 2014). pH permukaan kulit sekitar 4 - 6 dan pH bagian dalam kulit sekitar 7,4 (Serup, Jemec, and Grove, 2006).

4. Tipe krim

Evaluasi terhadap tipe krim dilakukan untuk memastikan bahwa krim yang dibuat sesuai dengan yang diharapkan (Putra and Setyawan, 2013). Metode

penentuan tipe emulsi yaitu dengan uji pengenceran fase, uji kelarutan pewarna, dan uji konduktivitas. Prinsip dari uji pengenceran fase yaitu emulsi hanya dapat diencerkan oleh larutan yang menjadi fase eksternalnya. Uji kelarutan pewarna dilakukan dengan menggunakan pewarna dengan sifat tertentu (hidrofilik atau hidrofobik). Jika warna tersebar merata pada emulsi, maka pewarna tersebut larut pada fase eksternalnya. Uji konduktivitas didasarkan pada sifat air yang dapat menghantarkan listrik dan sifat minyak tidak dapat menghantarkan listrik (Florence and Siepmann, 2010).

5. Ukuran droplet

Ukuran droplet merupakan parameter terpenting dalam menentukan jenis emulsi, apakah makroemulsi, mikroemulsi, atau nanoemulsi. Ukuran droplet dapat diukur dengan berbagai metode. Salah satu metode terbaru yaitu laser light scattering analyzer. Metode ini didasarkan pada interaksi bahan dan cahaya. Pada makroemulsi, sudut difraksi meningkat ketika ukuran droplet semakin kecil (Nielloud and Marti-Mestres, 2000).

6. Viskositas

Viskositas berpengaruh pada absorpsi perkutan dari obat. Viskositas yang semakin tinggi akan memiliki laju difusi obat yang rendah. Evaluasi terhadap parameter rheologi tidak hanya penting untuk melihat laju difusi obat tetapi juga mengevaluasi konsistensi dari sediaan, yang memiliki efek signifikan pada daya sebar dan durasi aksi sediaan tersebut. Viskositas sediaan semisolid dipengaruhi oleh struktur fisik dari produk, teknik sampling, suhu sampel saat pengujian, serta ukuran dan bentuk wadah. Suhu paling berpengaruh pada

viskositas sediaan. Suhu yang tinggi akan menurunkan viskositas suatu sediaan semisolid (Dash et al., 2014).

7. Daya sebar

Daya sebar menunjukan luas area penyebaran sediaan ketika sediaan tersebut diaplikasikan pada kulit (Ravindra and Muslim 2013). Daya sebar merupakan salah satu sifat fisik yang penting dalam efektivitas sediaan pada target obat, ekstrusi sediaan dari kemasan, kemudahan saat diaplikasikan, dan memenuhi keinginan konsumen (Dash et al., 2014). Daya sebar suatu sediaan dipengaruhi oleh viskositas sediaan. Semakin tinggi viskositas suatu sediaan, maka semakin rendah daya sebar sediaan tersebut (Garg, Aggrawal, Garg, and Singla, 2002).

Daya sebar juga digunakan dalam menentukan jenis krim berdasarkan konsistensinya. Krim sebanyak satu gram diletakkan pada suatu kaca dan diberi beban 125 gram pada bagian atas. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter sediaan setelah satu menit. Apabila diameter krim โ‰ค 50 mm disebut semistiff cream, sedangkan jika diameter krim > 50 mm tetapi < 70 mm disebut semifluid cream (Garg et al., 2002).

8. Daya lekat

Daya lekat suatu krim berhubungan dengan lamanya kontak antara krim dengan kulit. Selain itu, daya lekat juga berkaitan dengan kenyamanan pasien saat menggunakan krim tersebut. Krim yang baik akan dapat menjamin waktu kontak sediaan dengan kulit yang efektif sehingga tujuan penggunaan tercapai, namun tidak terlalu lengket saat digunakan. Daya lekat juga mempengaruhi

efektivitas kerja dari zat aktif di lokasi pemberian krim. Semakin lama krim melekat pada kulit maka diharapkan semakin efektif dalam memberikan efek terapetik karena semakin banyak zat aktif yang dilepaskan dari basis dan terabsorpsi melalui kulit. Viskositas berpengaruh terhadap daya lekat sediaan.

Semakin tinggi viskositas sediaan, maka semakin besar daya lekatnya atau semakin lama waktu lekatnya (Swastika, Mufrod, and Purwanto, 2013).

9. Rasio pemisahan fase

Rasio pemisahan fase merupakan salah satu parameter stabilitas fisik krim emulsi. Pengukuran rasio pemisahan fase dilakukan dengan membandingkan volume fase emulsi yang terpisah terhadap volume total emulsi.

Berikut merupakan rumus untuk menentukan rasio pemisahan fase (Putra and Setyawan, 2013).

Rasio pemisahan fase (F) = ๐‘ฃ๐‘œ๐‘™๐‘ข๐‘š๐‘’ ๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘™๐‘ ๐‘– ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘›๐‘” ๐‘š๐‘’๐‘š๐‘–๐‘ ๐‘Žโ„Ž ๐‘ฃ๐‘œ๐‘™๐‘ข๐‘š๐‘’ ๐‘ก๐‘œ๐‘ก๐‘Ž๐‘™ ๐‘’๐‘š๐‘ข๐‘™๐‘ ๐‘–

Suatu emulsi dikatakan stabil bila rasio volume pemisahan fase sama dengan satu. Jika rasio pemisahan fase mendekati satu, dapat dikatakan bahwa emulsi semakin stabil. Kecepatan pemisahan fase berbanding terbalik dengan viskositas sediaan. Semakin tinggi viskositas krim, maka semakin lambat kecepatan pemisahan fase dan krim akan semakin stabil (Putra and Setyawan, 2013).

G. Pemerian Eksipien 1. Tween 80

Gambar 9. Struktur Tween 80 (Rowe et al., 2009)

Tween 80 (C64H124O26) (gambar 9) merupakan surfaktan non-ionik dengan berat molekul 1.310 g/mol. Pada suhu 25ยฐC, Tween 80 berupa cairan minyak berwarna kuning. Tween 80 bersifat hidrofilik dengan nilai HLB sebesar 15. Viskositas dari Tween 80 yaitu 425 mPa s. Tegangan permukaan dari Tween 80 pada suhu 20ยฐC yaitu 422,5 mN/m. Tween 80 larut dalam etanol dan air, serta tidak larut dalam mineral oil dan vegetable oil. Rentang konsentrasi Tween 80 yang digunakan sebagai emulsifier yang dikombinasikan dengan emulsifier hidrofilik yaitu 1-10%. Tween 80 juga digunakan sebagai agen solubilisasi dengan rentang konsentrasi 1%-15% dan wetting agent dengan rentang konsentrasi 0,1% - 3% (Rowe et al., 2009).

2. Propilen glikol

Gambar 10. Struktur propilen glikol (Rowe et al., 2009)

Propilen glikol (C3H8O2) (gambar 10) dengan berat molekul 76,09 g/mol, memiliki titik didih 188ยฐC. Propilen glikol memiliki viskositas 58,1 mPa.s dan bobot jenis 1,038 g/cm3 pada suhu 20ยฐC. Tegangan permukaan propilen glikol pada suhu 25ยฐC yaitu 40,1 mN/m. HLB dari propilen glikol yaitu 11,6. Rentang konsentrasi propilen glikol yang dibutuhkan sebagai kosurfaktan yaitu 5-80%. Selain sebagai kosurfaktan, propilen glikol juga digunakan sebagai humektan sediaan topikal dengan konsentrasi sekitar 15% dan preservatif sediaan larutan dan semisolid dengan konsentrasi 15% - 30% (Rowe et al., 2009).

3. Virgin Coconut Oil (VCO)

VCO sebagian besar terdiri dari trigliserida rantai medium, dengan komposisi terbesar yaitu lauric acid. Selain lauric acid, terdapat myristic acid, palmitic acid, oleic acid, caprylic acid, capric acid, straric acid, linoleic acid, dan caproic acid. VCO tidak berwarna, tidak terdapat sedimen, tidak berbau tengik, dan memiliki rasa yang khas. Berat jenis relatif dari VCO yaitu 0,915-0,920 (APCC, 2009).

4. Akuades

Akuades biasa digunakan sebagai pembawa dan pelarut dalam sediaan farmasetik dan produk obat selain obat parentral. Titik didih akuades yaitu 100ยฐC. Akuades memiliki tegangan permukaan 71,97 mN/m dan viskositas 0,89 mPa.s pada suhu 25ยฐC (Rowe et al., 2009).

H. Landasan Teori

KAD merupakan senyawa sintetik turunan KA yang bersifat lipofil dan stabil terhadap panas dan cahaya, serta stabil dalam rentang pH yang luas, yaitu 4-9. Sifatnya yang lipofil memungkinkan KAD diformulasikan dalam bentuk sediaan emulsi, yang terdiri dari fase air dan fase minyak. Penelitian sebelumnya telah memformulasikan KAD dalam bentuk nanokrim M/A dengan emulsifier Emulium Kappaยฎ dan kosurfaktan propilen glikol. Pembuatan nanokrim KAD tersebut menggunakan metode kondensasi, yaitu Emulsion Inversion Phase (EIP) (Al-Edresi and Baie, 2009).

Selain metode kondensasi, nanokrim yang merupakan nanoemulsi semisolid, memiliki metode pembuatan lain yaitu metode dispersi. Salah satu jenis metode dispersi adalah metode emulsifikasi dengan pengadukan kecepatan tinggi.

Pembuatan nanokrim piroxicam yang dilakukan oleh Abdulkarim et al. (2010) menggunakan mixer yang termasuk dalam sistem rotor stator atau metode emulsifikasi dengan pengadukan kecepatan tinggi. Mixer memiliki rotor yang dapat memutar dengan kecepatan tinggi dan mengakibatkan penghalusan droplet tingkat tinggi. Penghalusan droplet tingkat tinggi tersebut terjadi karena adanya gaya sentripetal yang menyebabkan emulsi terhisap ke dalam rotor dan terlempar ke ruang antara rotor dan dinding dalam stator sehingga terjadi emulsifikasi yang intens. Mekanisme mixer yang seperti ini dapat memperkecil ukuran nanokrim piroxicam hingga 132 nm (Abdulkarim et al., 2010; Koroleva and Yurtove, 2012).

Pembentukan nanokrim juga dipengaruhi oleh jenis serta komposisi surfaktan dan atau kosurfaktan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan

kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan propilen glikol. Tween 80 telah digunakan dalam formulasi nanokrim piroxicam, sedangkan propilen glikol sebagai kosurfaktan dalam formulasi nanokrim KAD. Surfaktan dan kosurfaktan ini akan mempengaruhi stabilitas fisik nanokrim (Al-Edresi and Baie, 2009; Abdulkarim et al., 2010; Koroleva and Yurtove, 2012). Parameter stabilitas fisik nanokrim yang dapat dilihat, antara lain organoleptis, homogenitas, pH, ukuran droplet, tipe krim, viskositas, daya lekat, dan daya sebar.

I. Hipotesis Penelitian

Sediaan nanokrim KAD yang memiliki stabilitas fisik yang baik dapat dihasilkan dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan propilen glikol menggunakan metode mixer.

30 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian tentang metode pembuatan nanokrim KAD merupakan penelitian pra eksperimental.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas pada penelitian ini adalah metode pembuatan nanokrim menggunakan mixer.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah hasil sifat fisik dan stabilitas fisik nanokrim KAD, meliputi organoleptis,

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah hasil sifat fisik dan stabilitas fisik nanokrim KAD, meliputi organoleptis,

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 28-0)

Dokumen terkait