• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Penelitian

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 23-0)

BAB I. PENDAHULUAN

B. Tujuan Penelitian

Menghasilkan sediaan nanokrim KAD yang memiliki stabilitas fisik yang baik dengan kombinasi surfaktan Tween 80 dan kosurfaktan propilen glikol menggunakan mixer.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kojic Acid Dipalmitate (KAD)

Gambar 1. Struktur KAD (Balaguer, Salvador, and Chisvert, 2008)

Kojic Acid Dipalmitate (KAD) (C38H66O6) (gambar 1) merupakan senyawa sintetik derivat kojic acid (KA), yang memiliki sifat lebih stabil bila dibandingkan dengan KA. KA memiliki sifat mudah teroksidasi karena pengaruh cahaya dan panas. KAD berupa serbuk berwarna putih dengan berat molekul 618,9 g/mol. Titik lebur KAD yaitu 93°C - 97°C. KAD bersifat lipofil dan stabil terhadap panas serta cahaya dalam rentang pH yang luas, yaitu 4-9. Konsentrasi KAD yang direkomendasikan untuk sediaan perawatan kulit, yaitu 0,5-3% (Spec-Chem, 2013).

KAD memiliki fungsi sebagai antioksidan dengan dua mekanisme antioksidan yaitu sebagai free radical scavenger dan agen pengkelat besi. Gonςalez et al. (2015) melakukan uji in vitro untuk mengetahui aktivitas antioksidan KAD sebagai free radical scavenger pada KAD bebas, KAD dalam emulsi W/O/W, dan emulsi W/O/W tanpa KAD. Aktivitas antioksidan diukur menggunakan metode Blois, yaitu DPPH, sebagai radikal bebas, akan berkurang konsentrasinya karena adanya antioksidan. Hasil dari penelitian tersebut yaitu KAD dalam emulsi W/O/W memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar daripada KAD bebas. Pustaka lain

menyebutkan bahwa KAD yang terpenetrasi ke dalam lapisan epidermis kulit akan terhidrolisis menjadi KA dengan adanya enzim esterase yang terdapat di sel kulit.

Senyawa tersebut berperan sebagai antioksidan dengan mengkelat ion besi (Gonςalez et al., 2013).

Kojic Acid (KA) bebas di dalam kulit yang merupakan hasil hidrolisis dari KAD, juga berperan sebagai agen depigmentasi. Mekanisme depigmentasi KA yaitu dengan cara mengkelat ion tembaga pada sisi aktif enzim tirosinase. Enzim tersebut berperan dalam melanogenesis. Pengkelatan sisi aktif enzim tirosinase mengakibatkan terhambatnya proses melanogenesis. Melanogenesis merupakan proses biosintesis untuk membentuk melanin. Melanin merupakan pigmen yang memberi warna kulit. Melanin terbentuk di dalam suatu organel yang disebut melanosom dengan bantuan enzim tirosinase. Melanosom yang merupakan tempat terjadinya melanogenesis disekresikan oleh sel melanosit yang terdapat pada lapisan basal (Dayan, 2008; Chang, 2012; Gonςalez et al., 2015).

B. Nanokrim

Krim merupakan sediaan semisolid yang mengandung satu atau lebih obat yang terlarut atau terdispersi dalam emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A) atau basis emulsi mudah tercuci air (Allen, Popovich, and Ansel, 2005). Nanoemulsi merupakan dispersi koloidal yang transparan, yang terbentuk dari dispersi suatu fase cair ke dalam fase cair lainnya sehingga membentuk droplet dengan rentang ukuran 20-500 nm (Al-Edresi and Baie, 2009). Oleh karena itu, nanokrim dapat diartikan sebagai sediaan semisolid yang terbentuk dari dispersi suatu fase cair ke dalam fase cair lainnya dengan rentang droplet 20-500 nm.

Secara umum, krim dibedakan menjadi dua jenis, yaitu krim hidrofobik dan krim hidrofilik. Krim hidrofobik memiliki sistem emulsi air dalam minyak (A/M), sementara krim hidrofilik memiliki sistem emulsi minyak dalam air (M/A) (gambar 2) (WHO, 2015). Sistem emulsi A/M terdiri dari fase air sebagai fase internal dan fase minyak sebagai fase eksternal. Sebaliknya emulsi M/A terdiri dari fase minyak sebagai fase internal dan fase air sebagai fase eksternal. Fase internal merupakan fase yang terdispersi dan fase eksternal merupakan medium pendispersi (Allen, Popovich, and Ansel, 2011). Jenis emulsi ditentukan oleh nilai Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) surfaktan dan atau kosurfaktan yang terdapat di dalam sistem. Jenis emulsi M/A memiliki HLB 8 – 18, sedangkan jenis emulsi A/M memiliki HLB 3 – 6 (Tadros, 2013).

Gambar 2. Sistem emulsi kedua jenis krim: (a) emulsi M/A untuk krim hidrofilik;

(b) emulsi A/M untuk krim hidrofobik (Schramm, 2005)

Sama seperti halnya nanoemulsi, surfaktan dan atau kosurfaktan merupakan komponen terpenting dalam pembuatan nanokrim. Kedua komponen ini berfungsi untuk menstabilkan nanoemulsi, yang tidak stabil secara termodinamika, dengan cara menurunkan tegangan antarmuka di dalam sistem yang terbentuk karena adanya dua cairan yang tidak saling campur. Selain menurunkan tegangan

a b

Hitam = minyak Abu-abu = air

antarmuka sehingga emulsi mudah terbentuk, surfaktan juga berfungsi sebagai lapisan proteksi untuk menjaga agar emulisi tidak pecah (Schramm, 2005).

Surfaktan merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik (gambar 3). Mekanisme surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka yaitu adsorpsi dan agregasi. Adsorpsi diartikan sebagai perpindahan molekul surfaktan pada wilayah antarmuka dua material yang tidak saling campur (hidrofilik dan hidrofobik) sehingga meminimalkan kontak antar kedua material tersebut. Proses adsorpsi ini menghasilkan perubahan sifat pada wilayah antarmuka.

Agregasi diartikan sebagai pembentukan agregat (misel) dari surfaktan sehingga membatasi kontak antara kedua material yang tidak saling campur. Bentuk-bentuk dari misel tergantung pada konsentrasi surfaktan (gambar 4)(Farn, 2006).

Gambar 3. Struktur sederhana dari surfaktan (Farn, 2006)

Gambar 4. Tipe konfigurasi misel (Farn, 2006)

Penggunaan surfaktan yang dikombinasikan dengan kosurfaktan akan lebih menguntungkan. Kosurfaktan merupakan alkohol rantai pendek hingga panjang (C3 – C8). Kombinasi surfaktan dan kosurfaktan akan memperbanyak pembentukan misel dan meningkatkkan fluiditas antarmuka. Selain itu, kosurfaktan

meningkatkan mobilitas dari rantai hidrokarbon yang memungkinkan penetrasi fase minyak yang lebih besar ke dalam wilayah lipofilik. Kosurfaktan dapat meningkatkan ketercampuran fase air dan fase minyak dengan cara partisi ke dua fase tersebut (Azeem, Rizwan, Ahmad, Iqbal, Khar, Aqil, and Talegaonkar, 2009;

Yadav, Singh, and Poddar, 2012).

C. Stabilitas Fisik Nanokrim

Nanokrim dengan basis emulsi dapat mengalami ketidakstabilan fisik, seperti flokulasi, koalesen, creaming, dan Ostwald ripening (gambar 5). Fenomena ketidakstabilan tersebut dapat terjadi karena faktor lingkungan dan penyimpanan dalam waktu yang lama (Tadros, 2013).

Gambar 5. Skema fenomena ketidakstabilan nanoemulsi (Tadros, 2013)

Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase emulsi berdasarkan perbedaan bobot jenis antara fase internal dan fase eksternal. Jika bobot jenis fase internal lebih tinggi dari bobot jenis fase eksternal, maka akan terjadi sedimentasi.

Sebaliknya, jika bobot jenis fase internal lebih rendah dari bobot jenis fase eksternal, maka akan terjadi creaming. Fenomena ketidakstabilan ini bersifat

reversible, artinya fase internal akan terdispersi kembali ke fase eksternal jika dilakukan pengocokan. Kecepatan creaming dan sedimentasi dapat dijelaskan menggunakan Hukum Stokes (Koroleva and Yurtove, 2012; Ali, Alam, Alam, Anwer, and Safhi, 2013). Berikut merupakan rumus hukum Stokes.

v =

2 𝑟

2 (ρ− ρ0) g 9 𝜂

Di mana v merupakan kecepatan creaming dan sedimentasi, r merupakan jari-jari droplet, ρ merupakan bobot jenis droplet, ρo merupakan bobot jenis medium, g merupakan gaya gravitasi, dan η merupakan viskositas. Dari rumus di atas dapat dijelaskan bahwa creaming dapat dicegah dengan mengecilkan ukuran partikel fase internal, meningkatkan viskositas, dan mengecilkan perbedaan bobot jenis antara fase internal dan fase eksternal (Ali et al., 2013).

Flokulasi merupakan peristiwa penggabungan droplet fase internal yang bersifat reversible karena ikatan antar droplet yang lemah. Flokulasi dapat dicegah dengan menggunakan surfaktan non-ionik sehingga droplet-droplet fase internal dapat saling tolak menolak dengan adanya gaya van der Waals. Gaya van der Waals antar droplet dipengaruhi oleh diameter droplet itu sendiri. Diameter droplet kecil, memiliki gaya tolak menolak antar droplet fase internal yang kecil. Meningkatnya konsentrasi surfaktan pada sistem mengakibatnya meningkatnya ketebalan lapisan yang mengelilingi maka halangan sterik yang dihasilkan menjadi lebih besar dan emulsi menjadi lebih stabil (Ali et al., 2013).

Flokulasi dapat memicu terjadinya koalesen yang sifatnya irreversible.

Koalesen merupakan proses penggabungan dua droplet atau lebih menjadi satu

droplet yang lebih besar. Fenomena ketidakstabilan ini dapat dicegah dengan adanya halangan sterik (Ali et al., 2013).

Ostwald ripening merupakan suatu fenomena ketidakstabilan fisik dalam nanoemulsi, di mana terjadi pertumbuhan ukuran droplet dari waktu ke waktu.

Ostwald ripening disebabkan karena besarnya kelarutan droplet di dalam minyak sehingga dapat berdifusi melewati fase eksternal. Minyak rantai panjang memiliki viskositas yang tinggi, dapat mencegah Ostwald ripening pada nanoemulsi. Akan tetapi, pembentukan nanoemulsi menggunakan minyak rantai panjang akan lebih sulit terjadi. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi surfaktan dan kosurfaktan yang dapat saling berinteraksi secara sinergis dalam menurunkan tegangan permukaan (Wooster et al., 2008).

D. Metode Pembuatan Nanokrim

Pembuatan nanoemulsi dapat dilakukan dengan menggunakan energi rendah (metode kondensasi) maupun energi tinggi (metode dispersi). Metode dispersi meliputi pengadukan dengan kecepatan tinggi, emulsifikasi ultrasonik, dan homegenisasi bertekanan tinggi, emulsifikasi microfluidies, dan emulsifikasi membran. Sementara itu, metode kondensasi terdiri dari phase inversion temperature (PIT), emulsion inversion point (EIP), dan emulsifikasi spontan non-equilibrium (Al-Edresi and Baie, 2009; Koroleva and Yurtove, 2012).

1. Metode emulsifikasi energi tinggi (metode dispersi)

Nanoemulsi yang dibuat dengan menggunakan metode dispersi akan menghasilkan droplet fase internal yang masuk dalam rentang ukuran nanoemulsi. Hal ini disebabkan karena adanya energi yang sangat tinggi dalam

pembuatannya. Akan tetapi, ukuran droplet dapat meningkat karena ketidaksesuaian jumlah surfaktan dalam sistem tersebut. Surfaktan tersebut tidak dapat teradsorpsi secara sempurna pada permukaan droplet oleh seluruh droplet yang terdispersi, akibatnya terjadi koalesen pada sistem dan rata-rata ukuran droplet meningkat (Koroleva and Yurtove, 2012).

Gambar 6. Macam-macam metode emulsifikasi energi tinggi (metode dispersi):

(a) sistem rotor-stator, (b) homogenisasi energi tinggi, (c) emulsifikasi ultrasonik, dan (d) dispersi membran (Schultz, Wagner, Urban, and Ulrich, 2004)

a. Sistem rotor-stator

Metode pengadukan dengan kecepatan tinggi (sistem rotor-stator) dapat dilakukan dengan berbagai alat seperti mixer, colloid mills, dan Silverson flow mixer. Peningkatan intensitas pengadukan dapat memperkecil ukuran droplet secara signifikan, hanya saja ukuran droplet tersebut hanya berkisar 200-300 nm. Rotor dengan kecepatan tinggi akan menghasilkan penghalusan tingkat tinggi di dalam kepala rotor dan memaksa komponen emulsi terhisap ke dalam sistem rotor stator tersebut.

Adanya gaya sentrifugal pada sistem ini, mengakibatkan emulsi terlempar ke sekeliling rotor dan terjadi dispersi yang intens pada ruang antara rotor

dan dinding dalam stator (Koroleva and Yurtove, 2012). Sistem rotor-stator dapat dioperasikan secara diskontinu dan kontinu. Mixer dioperasikan secara diskontinu karena mixer hanya dapat memproduksi nanoemulsi dalam skala bets. Colloid mills dan Silverson flow mixer dioperasikan secara kontinu (Schultz et al., 2004; Al-Edresi and Baie, 2009).

b. Homogenisasi energi tinggi

Sistem emulsi yang memiliki viskositas rendah hingga sedang dapat dibuat menggunakan metode homogenisasi tekanan tinggi. Metode ini dapat dioperasikan secara kontinu. Di bawah kondisi tekanan tinggi, sistem akan dipengaruhi oleh gaya geser, turbulen, dan kavitasi. Ukuran droplet pada emulsi ditentukan oleh aliran cairan yang tergantung oleh alat, viskositas cairan, dan tekanan dari homogenizer. Jika sistem mengandung jumlah surfaktan yang sesuai, maka metode ini dapat menghasilkan ukuran droplet 50-350 nm (Koroleva and Yurtove, 2012).

c. Ultrasonik

Pembentukan nanoemulsi dengan menggunakan ultrasonik terjadi karena kavitasi, yaitu hilangnya gelembung dan pelepasan energi secara lokal. Energi yang dihasilkan berasal dari sonotrodes (sonicator probes).

Sonotrodes tersebut akan kontak dengan cairan dan memberi getaran pada cairan tersebut sehingga terjadi kavitasi. Kavitasi adalah pembentukan dan penghilangan rongga uap pada cairan yang mengalir. Penghilangan rongga tersebut mengakibatkan gelombang kejut yang meradiasi cairan sehingga memecah droplet yang terdispersi (Setya, Talegaonkar, and Razdan, 2014).

Peningkatan kekuatan ultrasonik sampai pada batas tertentu menghasilkan ukuran droplet yang lebih kecil. Peningkatan kekuatan melampaui batas tersebut tidak akan menghasilkan perubahan droplet yang signifikan. Akan tetapi penggunaan sonikasi energi tinggi dapat memicu terjadinya dekomposisi suhu dari air menjadi radikal H dan OH yang akan menyebabkan terjadinya dekomposisi molekul surfaktan dan terkumpul pada permukaan kavitasi gelembung. Selain itu emulsifikasi ultrasonik yang dapat digunakan dalam skala kecil (Koroleva and Yurtove, 2012).

d. Microfluidizer

Emulsifikasi pada microfluidizer terjadi melalui tumbukan antara dua aliran cairan yang tidak saling campur dari microchannel yang berlawanan. Kedua aliran cairan tersebut didorong oleh suatu pompa yang bertekanan tinggi hingga 150 MPa. Tekanan tersebut memaksa cairan masuk ke dalam microchannel dan pada area tertentu terjadi tumbukan dan timbul gaya gesek besar sehingga menghasilkan emulsi yang sangat kecil.

Selain karena gaya gesek dan tekanan, emulsifikasi pada microfluidizer juga disebabkan oleh kavitasi. Ukuran droplet yang dihasilkan tergantung pada sifat kedua cairan, aliran cairan, geometri channel, dan sifat dari permukaan channel. Ukuran droplet akan semakin kecil jika menurunkan kecepatan aliran dan viskositas fase eksternal dan meningkatkan kecepatan aliran dari fase internal (Koroleva and Yurtove, 2012; Setya et al., 2014).

e. Emulsifikasi membran

Pada metode membran, droplet fase internal terbentuk dengan adanya ekstrusi cairan melalui pori-pori atau microchannel pada membran.

Metode ini memiliki beberapa jenis desain emulsifikasi, yaitu emulsifikasi satu langkah, emulsifikasi dengan pre-emulsifikasi, dan emulsifikasi dengan pre-emulsifikasi dan inversion phase (gambar 7). Emulsifikasi membran dengan pre-emulsifikasi akan menghasilkan ukuran droplet yang lebih kecil. Metode membran memiliki kekurangan yaitu produktivitas moderat karena kecepatan ekstrusi fase internal harus cukup rendah untuk mencegah pembentukan jet flowing secara terus menerus (Koroleva and Yurtove, 2012).

Gambar 7. Beberapa desain emulsifikasi membran: (a) emulsifikasi satu langkah, (b) dengan pre-emulsifikasi (tanpa phase inversion), (c) dengan pre –

emulsifikasi dan phase inversion (Koroleva and Yurtove, 2012).

2. Metode emulsifikasi energi rendah (metode kondensasi)

Metode kondensasi didasarkan pada perubahan fase dalam emulsi yang terjadi karena perubahan komposisi atau suhu dalam sistem. Perubahan fase akan terjadi pada suhu tertentu, sistem akan mencapai suatu titik di mana kurvatur surfaktan monolayer bernilai nol dan tegangan antarmuka rendah. Perubahan jarak kurvatur juga dapat terjadi karena perubahan komposisi pada sistem,

sebagai contoh, saat fase air atau konsentrasi komponen lain berubah (Koroleva and Yurtove, 2012).

Metode PIT dan EIP termasuk dalam metode kondensasi. Perubahan fase pada metode PIT tergantung pada suhu, sedangkan pada EIP, perubahan fase terjadi karena perubahan komposisi air (Solè, Maestro, González, Solans, and Gutiérrez, 2006). Pengaturan suhu pada metode PIT bertujuan untuk mengubah sifat dari surfaktan. Molekul polyoxyethylene yang merupakan surfaktan non-ionik bersifat hidrofilik dalam suhu rendah karena adanya hidrasi dari gugus polar dan akan bersifat hidrofobik dalam suhu tinggi karena adanya dehidrasi pada gugus polar tersebut (Koroleva and Yurtove, 2012). Pada metode EIP, perubahan komposisi air merupakan titik kritis perubahan fase dari A/M menjadi M/A. Metode EIP dilakukan dengan menambahkan air pada campuran surfaktan dan minyak yang telah membentuk lameral. Air ini akan meningkatkan hidrasi dari gugus polar surfaktan sehingga meningkatkan pembentukan kurvatur secara spontan dan merusak lameral minyak sehingga minyak berubah menjadi droplet berukuran kecil. Selain itu, ukuran droplet juga dipengaruhi oleh komposisi air. Semakin besar komposisi air yang ditambahkan, maka akan terbentuk droplet yang semakin kecil. Hal ini disebabkan karena droplet air akan bergabung dengan droplet air lainnya dan membentuk fase eksternal (Al-Edresi and Baie, 2009).

E. Rheologi

Rheologi mempelajari aliran, yang menunjukkan viskositas dari cairan atau semisolid, dan deformasi dari serbuk. Viskositas menunjukkan resistensi cairan

untuk mengalir. Semakin besar viskositas, semakin besar pula resistensi cairan tersebut. Rheologi suatu bahan dibedakan menjadi dua, yaitu tipe Newtonian dan non-Newtonian. Kedua tipe ini dibedakan oleh sifat alir dari bahan. Tipe Newtonian (gambar 8) memiliki viskositas yang konstan dengan peningkatan shear rate.

Sementara itu, tipe non-Newtonian memiliki viskositas yang berubah dengan peningkatan shear rate. Tipe non-Newtonian dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu plastis, pseudoplastis, dan dilatan (gambar 8). Contoh bahan yang memiliki tipe alir non-Newtonian yaitu larutan koloidal, emulsi, suspensi cair, dan ointments.

Rheologi memiliki arti penting dalam pembuatan sediaan, yaitu menentukan proses pencampuran, kemasan, stabilitas fisik, dan ketersediaan hayati secara biologis (Allen et al., 2011; Sinko and Singh, 2011).

Gambar 8. Kurva tipe sifat alir: (a) Newtonian, (b) Plastis, (c) Pseudoplastis, (d) Dilatan (Allen et al., 2011)

1. Tipe Newtonian

Tipe Newtonian digambarkan dengan rumus sebagai berikut.

(b) (d) (a) (c)

A = 𝜂 𝑑𝑣 𝑑𝑟

di mana F´/A merupakan gaya yang bekerja pada cairan susunan lapisan cairan, dv/dr atau share rate merupakan perbedaan kecepatan dv antara dua lapisan cairan yang dipisahkan oleh jarak dr, dan 𝜂 merupakan koefisien viskositas atau viskositas. Dari hubungan di atas, dapat diturunkan suatu hubungan sebagai berikut.

𝜂 = 𝐹 𝐺

di mana F (shearing stress) = F´/A dan G (shear rate) = dv/dr (Allen et al., 2011; Sinko et al., 2011).

Berdasarkan rumus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar viskositas larutan, maka semakin besar shearing stress yang diperlukan untuk menghasilkan shear rate tertentu (Allen et al., 2011).

2. Tipe non-Newtonian a. Plastis

Material yang memiliki sifat alir plastis disebut juga Bingham bodies. Pada sifat alir plastis, cairan tidak akan mengalir sebelum shearing strees melampaui yield value tertentu. Sifat alir plastis dihubungkan dengan fenomena flokulasi pada suspensi. Adanya yield value merupakan akibat dari kontak antara partikel yang berdekatan karena interaksi van der Waals, sehingga diperlukan suatu gaya untuk dapat memecah interaksi tersebut agar cairan dapat mengalir. Oleh karena itu, semakin besar flokulasi, semakin besar yield value yang harus dilampaui (Sinko and Singh, 2011).

b. Pseudoplastis

Sifat alir pseudoplastis dimiliki oleh larutan polimer, seperti sodium alginate dan methylcellulose. Yield value tidak ada pada tipe aliran ini. Viskositas pseudoplastik akan menurun dengan meningkatnya shear rate. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya shear rate, rantai polimer akan tersusun menjadi suatu rantai panjang yang lurus sehingga menurunkan resistensi sistem. Selain itu, pelarut yang berhubungan dengan molekul terdispersi mungkin akan dilepaskan, sehingga menurunkan konsentrasi dan ukuran dari molekul terdispesi (Sinko and Singh, 2011).

c. Dilatan

Sifat alir dilatan berlawanan dari sifat alir pseudoplastis. Semakin besar shear rate, maka viskositas dilatan akan semakin besar. Maka dari itu, sifat alir dilatan disebut juga shear-thickening system. Pada keadaan diam, partikel dalam larutan akan dikelilingi dengan volume interpartikel (void) yang kecil. Jumlah pembawa cukup untuk mengisi void tersebut dan memungkinkan pergerakan partikel pada shear rate yang rendah. Akan tetapi, jika shear stress ditingkatkan maka bulk pada sistem akan membesar (dilatasi). Partikel akan bergerak secara cepat dan memperbesar void.

Akibatnya, pembawa dengan jumlah yang tetap tidak cukup untuk mengisi void antar partikel yang melebar. Maka dari itu, viskositas sistem akan meningkat (Sinko and Singh, 2011).

F. Evaluasi Fisik Nanokrim 1. Organoleptis

Evaluasi fisik terhadap oganoleptis sediaan sangat penting karena akan berkaitan langsung dengan penerimaan pasien atau konsumen. Evaluasi organoleptis bersifat subjektif karena hanya menggunakan panca indera. Warna, bau, tekstur, dan fenomena creaming (pemisahan fase emulsi) merupakan hal-hal yang perlu diamati dalam evaluasi organoleptis sediaan krim (Joshi and Barhate, 2011; Ali, Akhtar, and Khan, 2013).

2. Homogenitas

Pengujian homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui tercampurnya bahan-bahan sediaan krim. Homogenitas suatu sediaan ditandai dengan fase internal yang terdistribusi merata dalam fase eksternal. Suatu sediaan krim yang homogen akan mudah digunakan dan terdistribusi merata saat penggunaan di kulit (Putra and Setyawan, 2013).

3. pH

pH sediaan dapat diukur menggunakan pH meter yang sederhana atau pH meter jenis probe. pH sediaan topikal harus mendekati pH kulit, yaitu pH netral. Apabila terlalu basa atau terlalu asam, maka akan terjadi iritasi pada kulit (Dash, Singh, and Tolman, 2014). pH permukaan kulit sekitar 4 - 6 dan pH bagian dalam kulit sekitar 7,4 (Serup, Jemec, and Grove, 2006).

4. Tipe krim

Evaluasi terhadap tipe krim dilakukan untuk memastikan bahwa krim yang dibuat sesuai dengan yang diharapkan (Putra and Setyawan, 2013). Metode

penentuan tipe emulsi yaitu dengan uji pengenceran fase, uji kelarutan pewarna, dan uji konduktivitas. Prinsip dari uji pengenceran fase yaitu emulsi hanya dapat diencerkan oleh larutan yang menjadi fase eksternalnya. Uji kelarutan pewarna dilakukan dengan menggunakan pewarna dengan sifat tertentu (hidrofilik atau hidrofobik). Jika warna tersebar merata pada emulsi, maka pewarna tersebut larut pada fase eksternalnya. Uji konduktivitas didasarkan pada sifat air yang dapat menghantarkan listrik dan sifat minyak tidak dapat menghantarkan listrik (Florence and Siepmann, 2010).

5. Ukuran droplet

Ukuran droplet merupakan parameter terpenting dalam menentukan jenis emulsi, apakah makroemulsi, mikroemulsi, atau nanoemulsi. Ukuran droplet dapat diukur dengan berbagai metode. Salah satu metode terbaru yaitu laser light scattering analyzer. Metode ini didasarkan pada interaksi bahan dan cahaya. Pada makroemulsi, sudut difraksi meningkat ketika ukuran droplet semakin kecil (Nielloud and Marti-Mestres, 2000).

6. Viskositas

Viskositas berpengaruh pada absorpsi perkutan dari obat. Viskositas yang semakin tinggi akan memiliki laju difusi obat yang rendah. Evaluasi terhadap parameter rheologi tidak hanya penting untuk melihat laju difusi obat tetapi juga mengevaluasi konsistensi dari sediaan, yang memiliki efek signifikan pada daya sebar dan durasi aksi sediaan tersebut. Viskositas sediaan semisolid dipengaruhi oleh struktur fisik dari produk, teknik sampling, suhu sampel saat pengujian, serta ukuran dan bentuk wadah. Suhu paling berpengaruh pada

viskositas sediaan. Suhu yang tinggi akan menurunkan viskositas suatu sediaan semisolid (Dash et al., 2014).

7. Daya sebar

Daya sebar menunjukan luas area penyebaran sediaan ketika sediaan tersebut diaplikasikan pada kulit (Ravindra and Muslim 2013). Daya sebar merupakan salah satu sifat fisik yang penting dalam efektivitas sediaan pada target obat, ekstrusi sediaan dari kemasan, kemudahan saat diaplikasikan, dan memenuhi keinginan konsumen (Dash et al., 2014). Daya sebar suatu sediaan dipengaruhi oleh viskositas sediaan. Semakin tinggi viskositas suatu sediaan, maka semakin rendah daya sebar sediaan tersebut (Garg, Aggrawal, Garg, and Singla, 2002).

Daya sebar juga digunakan dalam menentukan jenis krim berdasarkan konsistensinya. Krim sebanyak satu gram diletakkan pada suatu kaca dan diberi beban 125 gram pada bagian atas. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter sediaan setelah satu menit. Apabila diameter krim ≤ 50 mm disebut semistiff cream, sedangkan jika diameter krim > 50 mm tetapi < 70 mm disebut semifluid cream (Garg et al., 2002).

8. Daya lekat

Daya lekat suatu krim berhubungan dengan lamanya kontak antara krim dengan kulit. Selain itu, daya lekat juga berkaitan dengan kenyamanan pasien saat menggunakan krim tersebut. Krim yang baik akan dapat menjamin waktu kontak sediaan dengan kulit yang efektif sehingga tujuan penggunaan tercapai, namun tidak terlalu lengket saat digunakan. Daya lekat juga mempengaruhi

efektivitas kerja dari zat aktif di lokasi pemberian krim. Semakin lama krim melekat pada kulit maka diharapkan semakin efektif dalam memberikan efek terapetik karena semakin banyak zat aktif yang dilepaskan dari basis dan

efektivitas kerja dari zat aktif di lokasi pemberian krim. Semakin lama krim melekat pada kulit maka diharapkan semakin efektif dalam memberikan efek terapetik karena semakin banyak zat aktif yang dilepaskan dari basis dan

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 23-0)

Dokumen terkait