• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAH PUSTAKA

B. Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, tujuan pelayanan farmasi adalah :

1. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia

2. menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi

3. melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat 4. menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku

5. melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan

6. mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda. Tugas pokok pelayanan farmasi adalah :

1. melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal

2. menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi

3. melaksanakan KIE

4. memberikan pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi

5. melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku 6. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi 7. mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi

8. memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium rumah sakit.

Dalam prakteknya fungsi pelayanan farmasi di rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Pengelolaan Perbekalan farmasi, meliputi :

a. memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit b. merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal

c. mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku

d. memproduksi perbekalan farmasi untuk memenui kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit

e. menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku

f. menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian

g. mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit

2. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan, meliputi : a. mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien

b. mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan

c. mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan

d. memantau efektivitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan e. memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga

f. memberi konseling kepada pasien/keluarga g. melakukan pencampuran obat suntik h. melakukan penyiapan nutrisi parenteral i. melakukan penanganan obat kanker

j. melakukan penentuan kadar obat dalam darah k. melakukan pencatatan setiap kegiatan

l. melaporkan setiap kegiatan.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 administrasi dan pengelolaan pelayanan di rumah sakit memerlukan adanya komunikasi yang tetap dengan dokter dan paramedis serta selalu berpartisipasi dalam rapat yang membahas masalah perawatan atau rapat antar bagian atau konferensi dengan pihak lain yang mempunyai relevansi dengan farmasi. Kepala instalasi farmasi juga harus terlibat langsung dalam perumusan segala keputusan yang berhubungan dengan pelayanan farmasi dan penggunaan obat.

Oleh karena itu dalam pengelolaan pelayanan farmasi di rumah sakit perlu dibentuk Panitia Farmasi dan Terapi. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan farmasis wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan dari Panitia Farmasi dan Terapi adalah menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya; dan

melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan.

Ruang lingkup Panitia Farmasi dan Terapi sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 yaitu : 1. mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya, pemilihan obat

untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara subyektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama 2. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak

produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis

3. menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus

4. membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional

5. melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji

medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus-menerus penggunaan obat secara rasional

6. mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat

7. menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat.

Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi adalah:

1. memberikan rekomendasi pada Pimpinan Rumah Sakit untuk mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional

2. mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah sakit, pedoman penggunaan antiboitik dan lain-lain

3. melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait

4. melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut.

Dalam hal ini peran Farmasis dalam Panitia Farmasi dan Terapi diantaranya adalah:

1. menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain

2. membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia Farmasi dan Terapi

3. melaksanakan pendidikan dan pelatihan 4. melaksanakan pengkajian penggunaan obat.

Pada kebijakan dan prosedur pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus mencantumkan hal-hal berikut, diantaranya: layanan perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap, rawat jalan, karyawan dan pasien tidak mampu; pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, pembuatan/produksi, penyimpanan, pendistribusian dan penyerahan; pencatatan pelaporan dan pengarsipan mengenai pemakaian obat dan efek samping obat bagi pasien rawat

inap, rawat jalan serta pencatatan penggunaan obat yang salah dan atau dikeluhkan pasien; pemberian konseling atau informasi oleh apoteker kepada pasien maupun keluarga pasien dalam hal penggunaan dan penyimpanan obat serta berbagai aspek pengetahuan tentang obat demi meningkatkan derajat kepatuhan dalam penggunaan obat; pemantauan terapi obat (PTO) dan pengkajian penggunaaan obat.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, kebijakan dan prosedur pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi:

1. pengelolaan perbekalan farmasi

Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.

Tujuan dari pengelolaan perbekalan farmasi adalah untuk mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efisien; menerapkan farmako ekonomi dalam pelayanan; meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi; mewujudkan Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna; serta melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.

2. pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan a. pengkajian resep

Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi persyaratan administrasi (nama, umur, jenis kelamin dan berat badan; nama, nomor ijin, paraf dokter; tanggal resep, ruangan/unit asal resep), persyaratan

farmasis (bentuk dan kekuatan sediaan; dosis dan jumlah obat; stabilitas dan ketersediaan; aturan, cara dan teknik pengunaan), dan persyaratan klinik (ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; duplikasi pengobatan; alergi, interaksi dan efek samping obat kontraindikasi; efek aditif)

b. dispensing

Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi.

Tujuan dari dispensing adalah untuk mendapatkan dosis yang tepat dan aman; menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral atau emperal; menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu, menurunkan total biaya obat.

c. pemantauan dan pelaporan efek samping obat

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.

Tujuannya adalah untuk menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang; menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah dikenali sekali, yang baru saja ditemukan; mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya efek samping obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya efek samping obat.

d. pelayanan informasi obat

Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh farmasis untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, farmasis, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Tujuan pelayanan informasi obat adalah menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit; menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat, terutama bagi Panitia/Komite Farmasi dan Terapi; meningkatkan profesionalisme farmasis; menunjang terapi obat yang rasional.

e. konseling

Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.

Tujuan dari konseling ini adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan obat-obat lain.

f. pemantauan kadar obat dalam darah

Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.

Tujuan pemantauan kadar obat dalam darah adalah mengetahui kadar obat dalam darah, memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.

g. ronde/visite pasien

Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Tujuan visite pasien adalah untuk pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien, bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.

h. pengkajian penggunaan obat

Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.

Tujuan pengkajian penggunaan obat adalah mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter tertentu, membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang lain, penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik, menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.

C. Pelayanan Farmasi Klinik

Praktik kefarmasian di rumah sakit mengalami pergeseran secara bertahap. Pergeseran tersebut meliputi paradigma teknis yang menekankan pada produk obat dan peracikan, berubah menjadi pendekatan yang lebih berorientasi kepada

pelayanan pasien dan penanganan penyakit secara komprehensif. Salah satu kebijakan pelayanan kesehatan menyangkut kebijakan penggunaan obat yang rasional yaitu: tepat kualitas, tepat indikasi, tepat dosis, tepat penderita, dan tepat harga. Termasuk juga komunikasi dan informasi terhadap pasien tentang penggunaan obat yang efektif dan efisien dan hubungan dokter pembuat resep dan apotik/depo yang menyerahkan obat. Menjawab tantangan ini profesi farmasi dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus bekerja keras untuk meningkatkan profesionalisme. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang terhadap pelayanan kefarmasian yang bermutu (Yusmainita, 2002a).

Pelayanan farmasi rumah sakit saat ini terdiri atas pelayanan teknik dan non-klinik dan pelayanan farmasi klinik (Clinical Pharmacy).

1. Pelayanan Teknik dan Non-klinik

Pelayanan teknik dan non-klinik yaitu meliputi pembuatan (manufacturing) kontrol kualitas peracikan untuk pasien rawat inap dan rawat jalan, pengadaan, pengolahan dan distribusi obat serta alat kesehatan, dan lain-lain (Aslam, 2003).

2. Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit (Clinical Pharmacy Services)

Istilah farmasi klinik digunakan untuk mendeskripsikan praktek kefarmasian yang berorientasi pada pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi kepada produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual (Aslam, 2003).

Istilah farmasis klinik dapat digunakan untuk mendiskripsikan seorang farmasis yang pekerjaan utamanya berinteraksi dengan tenaga kesehatan profesional lainnya (khususnya dokter dan perawat), mewawancara dan menilai kesesuaian kondisi kesehatan pasien terhadap pengobatannya, membuat rekomendasi terapetik yang spesifik, memonitor tanggapan pasien terhadap terapi obat, menjaga keselamatan pasien (khususnya terhadap pengaruh efek obat yang tak dikehendaki), mengkonsultasi pasien, dan menyediakan informasi obat (Aslam, 2003).

Farmasi klinik menurut Clinical Resource and Audit Group (1996) didefinisikan sebagai ”A discipline concered with the application of pharmaceutical expertise to help maximise drug efficacy and minimise drug toxicity in individual

patient”, yang dalam menjalankan praktek pelayananannya memerlukan

pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien. Sedangkan menurut Hepler dan Strand (1990) Pharmaceutical Care

didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab pelaksanaan terapi obat yang bertujuan memberi hasil akhir yang jelas dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Kemudian pada tahun 1998 definisi Pharmaceutical Care ini disempurnakan oleh Cipolle, Strand dan Morley, menjadi: Suatu praktek dimana seorang profesi bertanggung jawab pada kebutuhan terapi obat pasien. Definisi ini juga dipergunakan sebagai acuan terhadap pelayanan pasien yang dihasilkan oleh praktek farmasi klinik (Aslam, 2003).

Filosofi farmasis yaitu pharmaceutical care secara luas identik dengan

good pharmacy practice, sehingga dapat dikatakan bahwa good pharmacy practice

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari good pharmacy practice di rumah sakit, jadi dapat dikatakan pula pelayanan farmasi klinik adalah jalan untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.

Farmasi klinik juga dapat didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan, bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai pada pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus (spesialisasi) dan atau pelatihan terstruktur tertentu. Keahlian ini mensyaratkan penggunaan pertimbangan dalam pengumpulan dan intepretasi data pasien, serta keterlibatan khusus pasien dan interaksi langsung antar profesional (Roy, 1998).

Jadi, pelayanan farmasi klinik adalah penerapan pengetahuan obat untuk kepentingan pasien, dengan memperhatikan kondisi penyakit pasien dan kebutuhannya untuk mengerti terapi obatnya. Pelayanan ini memerlukan hubungan profesional dekat antara farmasis, pasien, dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain. Dengan kata lain, farmasi klinik adalah pelayanan berorientasi pasien, berorientasi penyakit, berorientasi obat dan dalam praktik berorientasi antar disiplin (Siregar, 2005).

Pelayanan farmasi klinik sebagai bagian dari perawatan penderita yang dilakukan oleh farmasis secara berinteraksi dengan penderita dan atau profesional kesehatan lain, yang secara langsung terlibat dalam perawatan penderita(Siregar, 2005).

Tujuan utama pelayanan farmasi klinik adalah meningkatkan keuntungan terap obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan

obat. Karena itu misi farmasi klinik adalah meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat (Siregar, 2005).

Peranan farmasis pada masa mendatang tidak lagi cukup dengan mengelola obat sebagai barang, melainkan harus pula ikut berperan aktif dalam proses sakit dan sembuh pasien, melalui kompetisi profesional dalam proses kefarmasian (Yusmainita, 2002a).

Hepler dan Strand (1990) dalam tulisannya yang berjudul "Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care" mendiskusikan manfaat profesi farmasis untuk menurunkan Drug Related Morbidity and Mortality (DRMM). Mereka mengemukakan bahwa ada 3 periode perkembangan farmasi, yaitu:tradisional, dimana farmasis menyediakan, membuat, dan mengevaluasi produk Transisi, pelayanan farmasi klinik dikembangkan (inilah yang sedang dikembangkan rumah sakit di Indonesia).

Adapun yang menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit Indonesia yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.436/MenKes/SK/VI/1993 tentang: Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis.

Secara garis besar ‘ruang lingkup’ fungsi farmasi klinik adalah: 1. pemantauan terapi obat

2. kesiapan untuk membantu selepas jam kerja “siap dipanggil” (on-call)

3. konsultan keliling (mengunjungi pasien)

5. ikut aktif dalam Penyusunan Formularium dalam rangka: merasionalkan penggunaan obat, memajukan peresepan yang efektif dari segi biaya, mengatur tambahan obat baru dan merumuskan pedoman bagi dokter

6. memberikan informasi tentang pemakainan obat secara finansial 7. ikut menyusun kebijakan penulisan resep

8. membuat kajian obat-obat baru

9. ikut aktif dalam pengendalian infeksi melalui: pemberian informasi obat, pemantauan penggunaan, dan penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotika 10. pemberian informasi obat

11. audit medis dan audit klinik 12. uji coba klinik

13. tim nutrisi parenteral total 14. tim kemoterapi

15. analgesia yang dikendalikan pasien

16. pemantauan kadar obat terapetik (Teraupetic Drug Monitoring) 17. pelayanan antikoagulan

18. perawatan dan pengobatan luka 19. pencatatan riwayat pengobatan pasien

20. pengembangan alur pelayanan pengobatan sendiri

21. konseling pasien (untuk menigkatkan derajat kesehatan serta meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam pemakaian obat)

23. promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit dan perlindungan kesehatan.

(Aslam, 2003)

Filosofi pelayanan farmasi klinik menurut Prof. Nicholas Barber (cit., Aslam 2003), adalah bertujuan untuk memenuhi 4 hal yang berkaitan dengan proses peresepan yang baik, yaitu: memaksimalkan efek terapetik, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya dan menghormati pilihan pasien. Memaksimalkan efek terapetik meliputi efektivitas terapi, yaitu ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan obat dan pengaturan dosis yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta mengevaluasi terapi. Tujuan kedua yaitu meminimalkan resiko atau ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis interaksi, dan kontraindikasi. Sedang meminimalkan biaya adalah memastikan apakah jenis obat yang dipilih paling efektif dalm hal biaya maupun rasional, apakah terjangkau oleh kemampuan pasien maupun rumah sakit, dan jika tidak alternatif jenis obat apa yang memberikan manfaat dan keamanan yang sama. Dan yang terakhir adalah menghormati pilihan pasien, karena keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menentukan keberhasilan terapi. Oleh karena itu hak pasien harus diakui dan diterima semua pihak.

Dalam proses peresepan, farmasis dapat berperan dalam tiga hal yaitu:

1. sebelum proses peresepan

Melalui pembuatan dan pemberian pengaruh terhadap kebijakan dalam memutuskan hal yang tepat untuk dikerjakan. Hal memerlukan masukan dari

farmasis klinik dalam penyusunan formularium, kebijakan peresepan, perdoman pengobatan, buletin informasi obat, evaluasi obat dan sebagainya. 2. selama proses peresepan

Mempengaruhi penulis resep dengan mempengaruhi pengetahuannya, sikap dan prioritasnya dalam menulis resep. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi masukan tentang praktek peresepannya dibandingkan dengan sejawatnya. Sebagai alternatif, farmasis dapat berperan dalam proses pengambilan keputusan dengan hadir pada saat penulisan resep atau menjadi anggota tim multidisiplin, misalnya tim nutrisi parenteral, tim kemoterapi sitotoksik, tim pemantauan terapi obat dan sebagainya.

3. sesudah proses peresepan

Melibatkan diri dalam mengkoreksi atau menyempurnakan kualitas peresepan. Hal ini dapat terjadi sesaat setelah resep ditulis atau sebagai bagian proses penatalaksanaan obat secara rutin. Farmasis dapat mengambil peran bermakna dalam audit medis dan klinik. Pemantauan pasien dan peresepan menjadi tugas utama farmasis klinik.

(Aslam, 2003) Menurut Moberly (2005), pada pelayanan farmasi rumah sakit, dapat dilihat dengan jelas keuntungan dari pemberian resep tambahan (Supplementary Prescribing) sampai pemberian resep mandiri (Independent Prescribing) oleh farmasis rumah sakit pada pasien. Pemberian resep tambahan didesain untuk terapi penyakit kronis atau penyakit tidak akut. Hal ini untuk menjamin optimalnya proses terapi pada pasien dengan penyakit kronis. Peresepan mandiri juga sangat membantu

farmasis rumah sakit untuk menegakkan terapi bagi pasien. Farmasis seringkali memiliki lebih banyak gagasan mengenai obat apa yang dibutuhkan pasien untuk dapat dibawa pulang oleh mereka daripada dokter. Maka dengan mengijinkan farmasis untuk menuliskan resep pada pasien dengan penegakan terapi secara independen, hal ini akan sangat membantu pasien dan dapat menjadikan perpaduan keahlian di rumah sakit (Hospital skill mix) lebih berguna.

Perkembangan pelayanan farmasi dari product oriented menjadi patient oriented berarti menambah beban dan tanggung jawab farmasis rumah sakit terutama pelayanan farmasi klinik. Selain harus menguasai bidang pelayanan farmasi produk yang berorientasi sosio-ekonomi, farmasis juga harus menguasai pelayanan farmasi klinik di rumah sakit. Dalam melaksanakan tugas farmasis rumah sakit harus menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas melalui pendidikan formal atau kursus singkat. Saat ini, tidak semua rumah sakit memiliki farmasis yang menguasai bidang farmasi klinik (Yusmainita, 2002a).

Keragaman tingkat pendidikan dan profesi, merupakan salah satu kendala dalam pelayanan farmasi yang optimal. Berkembangnya orientasi pelayanan farmasi dari product oriented menjadi patient oriented dalam bentuk asuhan kefarmasian yang belum tersosialisasi dengan baik mengakibatkan sebagian besar masyarakat rumah sakit masih menganggap profesi farmasis rumah sakit sebagai pengelola perbekalan farmasi atau pelayanan produk saja (Yusmainita, 2002a).

Berkembangnya pelayanan farmasi yang mengarah pada asuhan kefarmasian (farmasi klinik), merupakan peluang dan tantangan untuk farmasis di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi farmasis untuk menunjukkan eksistensinya

di bidang profesi kefarmasian karena selama ini peran tenaga farmasis lebih banyak sebagai tenaga manajemen. Namun, hal ini juga sekaligus menjadi tantangan karena perlu banyak belajar lagi akibat kurangnya kesiapan para farmasis, yang dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan farmasis di Indonesia yang sangat minim mengarah pada farmasi klinik. Selain itu, juga keengganan para farmasis menambah ilmu di bidang farmasi klinik karena peran farmasis di rumah sakit hanya

Dokumen terkait