• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai suatu sumberdaya milik bersama, Danau Maninjau dapat dimanfaatkan secara bebas oleh siapa saja atau bersifat bebas (common good). Air bisa diperoleh tanpa membayar sehingga mengarah pada sumberdaya milik bersama (common property resource) yang pemanfaatannya berdasarkan prinsip (first come first served). Karena bersifat terbuka dan menjadi milik umum, maka sumberdaya danau mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitasnya sebagai akibat dari ketidak jelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya.

Status kepemilikan sumberdaya akan menentukan apakah pengalokasian sumberdaya tersebut efisien atau tidak. Menurut Tietenberg (1992), status kepemilikan sumberdaya untuk dapat menghasilkan pengalokasian yang efisien dalam mekanisme pasar harus memilki 4 ciri penting yaitu; (1) universality, artinya suatu sumberdaya dimiliki secaraa pribadi dan hak-hak yang melekat dari kepemilikan tersebut dapat diungkapkan secara lengkap dan jelas, (2) exclusivity, artinya semua manfaat dan biaya yang timbul dari kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut, baik secara langsung maupun tidak, hanya dimiliki oleh pemilik sumberdaya tersebut, (3) transferability, artinya seluruh hak kepemilikannya itu dapat dipindah tangankan dari satu pemilik ke pihak lain melalui transaksi yang bebas, dan (4) enforceability, artinya hak kepemilikan tersebut tidak dapat dirammpas atau diambil alih oleh pihak lain secara paksa. Jika salah satu dari keempat faktor ini tidak terpenuhi, maka pengalokasian sumberdaya tersebut akan menjadi tidak efisien.

Lebih lanjut Tietenberg (1994) menyatakan bahwa agar air permukaan merata maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu (a) keseimbangan antara penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan (b) variabilitas air yang seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan sumberday air. Sumberdaya air harus dialokasikan dengan baik sehingga manfaat bersih marjinal (Marginal net benefit) adalah sama untuk semua penggunanya, di mana manfaat bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit terakhir air yang dikonsmsi.

Dengan demikian wajar kalau pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas sumberdaya tersebut. Sumberdaya ini tidak dikuasai oleh individu atau agen ekonomi tertentu, sehingga terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya pengeksploitasian yang berlebihan yang dapat berdampak negatif terhadap kelanjutan lingkungan. Setiap orang cenderung untuk mengeksploitasi tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain. Hal ini didasarkan pada suatu persepsi, bahwa orang lain yang punya kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut juga akan bertindak

demikian. Maka terjadilah tragedi massal atau the tragedy of the commons (Hardin, 1977). Hardin mengilustrasikan dengan sebuah kasus pada padang penggembalaan umum. Tiap peternak akan menggembalakan ternaknya dalam jumlah yang sesuai dengan kemampuannya, tanpa mempertimbangkan ketersediaan rumput bagi peternak lainnya sehingga timbul penggembalaan secara berlebihan.

Bila dikaitkan dengan sumberdaya danau, maka hal tersebut dapat juga terjadi dimana setiap nelayan akan menangkap ikan dengan berbagai cara dan macam tanpa mempertimbangkan jumlah ketersediaan ikan dan kepentingan nelayan lain, sehingga pada suatu saat akan terjadi kelangkaan dan bahkan kepunahan terhadap berbagai jenis ikan tertentu. Kondisi semacam ini disebut sebagai penangkapan ikan secara berlebihan atau overfishing.

Anwar (1999), mengemukakan bahwa sumberdaya air memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu (a) mobilitas air, di mana air bersifat cair mudah mengalir, menguap dan meresap di berbagai media, sehingga sulit untuk melaksanakan penegasan hak atas sumberdaya tersebut secara eksklusif agar dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar; (b) sifat skala ekonomi yang melekat, di mana dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air terjadi skala ekonomi yang melekat pada komoditas air,sehingga menyebabkan penawaran air bersifat monopoli alami (natural monopoly ), (c) penawaran air berubah-ubah menurut waktu, ruang dan kualitasnya, dimana dalam keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pementah untuk kepentingan umum; (d) kapasitas dan daya asimilasi dari badan air, di mana zat cair mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat (pencemar) tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui, sehingga mengarah kepada komoditas yang bersifat umum di mana setiap orang menganggapnya sebagai keranjang sampah, (e) penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun (sequential use), dimana ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan kualitasnya,sehingga menimbulkan eksternalitas, (f) penggunaan yang serbaguna,dimana dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak individu (swasta) dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum

yang dapat menimbulkan eksternalitas, (g) berbobot besar dan memakai tempat,ditambah dengan biaya tinggi untuk mewujudkan hak kepemilikannya, menjadikan sumberdaya air bersifat akses terbuka (open access), (h) nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air,sebagian besar masyarakat masih mempunyai nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang bebas anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersialisasikan, sehingga menjadi kendala dalam alokasinya ke dalam pasar.

Tietenberg (1992) mengemukakan bahwa pengalokasian sumberdaya air dikatakan efisien apabila telah memperhatikan dua hal pokok yaitu (a) keseimbangan antara penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan (b) variabilitas air yang seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan sumberdaya air. Dalam pengalokasian sumberdaya air, manfaat bersih marjinal adalah sama untuk semua penggunaan, dengan manfaat bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit terakhir yang dikonsumsi. Jika manfaat bersih marjinal tidak merata, sering terjadi kenaikan manfaat bersih dengan adanya transfer air dari pemanfaatan yang memberikan manfaat bersih yang rendah ke penggunaa yang memberikan manfaat yang lebih tinggi.

Cara pemanfaatan dan pengembangan suatu SDAL sangat ditentukan oleh peraturan perundangan baik formal maupun non formal yang mengatur tentang status kepemilikan dan hak pemanfaatannya. Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional Negara mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. McKean (1992) mengelompokkan pemilikan sumberdaya alam atas 6 bagian yaitu; (a) tanpa pemilik, (b) milik masyarakat tertentu, (c) milik pemerintah yang tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan, (d) milik pemerintah yang boleh dimasuki oleh khalayak umum, (e) milik swasta perusahaan, (f) milik pribadi. Berdasarkan pembagian di atas maka pola pemilikan dan penguasaan SDAL dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu;

(a) Tanpa pemilik adalah milik semua orang atau tidak jelas status kepemilikannya. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk memanfaatkannya

sumberdaya tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya serta tidak bisa mempertahankannyaagar tidak digunakan orang lain.

(b) Milik masyarakat atau komunal adalah milik sekelompok masyarakat yang telah melembagadengan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan SDAL dan dapat melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. (c) Milik pemerintah adalah milik dibawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Individu atau kelompok orang dapat memanfaatkan SDAL tersebut atas izin, persetujuan, lisensi atau hak pengelolaan dari pemerintah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. (d) Milik pribadi/swasta adalah milik perorangan atau sekelompok orang secara

sah yang ditunjukkan oledh bukti-bukti kepemilikannya yang memiliki kekuatan hukum.Pemilik dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai dan memanfaatkannya dan dapat melarang pihak lain untuk menggunakannya.

Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional Negara Repoblik Indonesia telah mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dimiliki oleh generasi masa kini dan generasi masa datang secara berkelanjutan. Sumberdaya alam bukanlah merupakan warisan yang kita terima begitu saja dari nenek moyang kita, akan tetapi harus disadari bahwa sumberdaya alam tersebut merupakan titipan yang harus dijaga dan dipelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh anak cucu kita pada masa depan.

Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup tidak merumuskan secara jelas tentang status kepemilikan sumberdaya alam, melainkan hanya menggariskan masalah hak pemanfaatannya.

Untuk masalah SDAL di Provinsi Sumatera Barat, sebenarnya di dalam hukum adat (Hukum adat Minangkabau), telah ada ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah status kepemilikan dan hak pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam hukum adat minangkabau dikenal “ tanah ulayat” dengan hiraki; (a) hak ulayat kaum, di bawah pengawasan mamak sebagai kepala waris; (b) hak ulayat

suku, yang berada di bawah pengawasan penghulu suku; (c) hak ulayat nagari, di bawah pengawasan dewan penghulu nagari; (d) hak ulayat rajo, yang penguasaannya di bawah majelis penghulu dari federasi nagari-nagari (Hakimy 1988). Ulayat mengandung arti bahwa masyarakat adat hanya boleh mengambil hasil dan menikmati hasil dari tanah yang dikuasai, hanya boleh menguasai saja, tapi tidak memiliki.

Hak yang paling tinggi atas tanah di minangkabau adalah “hak ulayat” dan hak ulayat ini hanya bisa dimiliki bersama dan tidak boleh dimiliki perorangan. Oleh sebab itu yang mempunyai hak ulayat adalah nagari, persekutuan dari nagari, kampuang, suku dan kaum. Prinsip yang dianut dalam hukum pertanahan mengenai hak ulayat, yaitu keterpisahan antara tanah dengan ulayat. Hak ulayat dimiliki oleh masyarakat hukum adat, sedangkan anggota masyarakat, perorangan atau badan usaha lainnya hanya boleh memetik hasilnya.

2.7. Pendekatan dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan

Dokumen terkait