• Tidak ada hasil yang ditemukan

dinegosiasi antar-kaum intelektual Papua dan pemerintah Indonesia. Undang-undang ini memberi kerangka untuk pemerintahan orang Papua sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya berkaitan dengan sebuah pengakuan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia” (menimbang, poin f). Undang-undang ini dibentuk sebagai upaya penegakan hak-hak dasar orang asli Papua melalui keberpihakan (affirmative action), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Secara khusus, pada Pasal 47 menyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk memajukan, memberdayakan, dan melindungi kaum perempuan supaya sejajar dengan kaum laki-laki sehingga ada kesetaraan gender. Ada empat terobosan penting: 1) Provinsi Papua memperoleh kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan; 2) diharuskannya posisi-posisi strategis seperti Gubernur diisi oleh orang asli Papua; 3) pembentukan Majelis Rakyat Papua yang terdiri dari wakil-wakil adat, agama, dan perempuan Papua dan bertugas, antara lain, untuk menyalurkan aspirasi dan pengaduan masyarakat adat, umat beragama, perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan 4) sebanyak 70-80% penghasilan dari sumber daya alam di Papua akan dinikmati di Papua.

Namun, pada kenyataannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tidak dijalankan secara konsisten. Pada bulan Januari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan keputusan untuk membagi Papua menjadi dua provinsi, sebuah tindakan yang bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang No. 21 yang berdasarkan kesatuan masyarakat asli Papua di satu Provinsi Papua yang tidak dipisah-pisahkan. Inkonsistensi pemerintah pusat menyebabkan pada tanggal 12 Agustus 2005 masyarakat Papua bersama Dewan Adat Papua ”mengembalikan” Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 kepada pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang ditandai dengan penyerahan peti jenazah. Pada saat yang sama, kehadiran aparat keamanan di perbatasan dan di wilayah-wilayah industri pertambangan, perkebunan, dan hutan kayu memperkeruh konflik dan meningkatkan insiden kekerasan yang terus meletup pada era Otonomi Khusus di Papua, khususnya dalam menjalankan operasi keamanan untuk menumpas OPM. Sehingga masyarakat Papua membuat ’mop’ (lelucon) bahwa “tidak ada Otonomi Khusus, yang ada Otonomi Kasus.”

Biarpun ada reformasi pasca Orde Baru dan Papua telah memperoleh status sebagai wilayah Otonomi Khusus, keadaan keamanan dianggap masih belum kondusif, sehingga operasi keamanan masih tetap berjalan terus di berbagai wilayah Papua hingga kini.

2. Tunas Gerakan Perempuan Papua dalam Situasi Konflik

Pasang surutnya konflik di Tanah Papua berdampak langsung pada semua anggota masyarakat Papua, tidak terkecuali kaum perempuan. Pengalaman kekerasan yang mendera kaum ini menempa mereka untuk semakin jernih memahami persoalan yang dialami, dan semakin kuat untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang serba tidak menentu.

Pada awal abad ke-20 pihak lembaga pekabaran Injil Belanda (UZV dan ZNHK) mendorong pendidikan sebagai upaya perubahan peradaban bagi anak-anak Papua yang dimotori oleh istri-istri guru. Selain sekolah untuk anak-anak laki-laki Jongens Vervolg School/JVVS dan berbagai sekolah kejuruan seperti Opleiding Doorps school Onderwijzers /ODO (Pendidikan Guru Sekolah Dasar), sejak tahun 1949 dibuka sekolah formal bagi anak-anak perempuan,

Meisjes Vervolg School/MVVS (Sekolah Gadis Lanjutan). Tujuan pendirian sekolah-sekolah adalah untuk memutuskan belenggu adat dan budaya yang menghambat kemajuan, termasuk bagi bagi para gadis Papua. Sebuah yayasan yang bernama Zending Schoollen (Sekolah-sekolah Lembaga Pekabaran Injil) didirikan tahun 1952 untuk pendidikan anak-anak di kampung, sementara di ibu kota pemerintahan didirikan sekolah LSB (Lagere School B) untuk anak-anak pegawai sipil dan umum . Kemudian pada tahun 1962, Yayasan Pendidikan Kristen didirikan untuk menggantikan Zending Schollen sampai saat ini. Namun, memasuki masa peralihan pemerintahan Belanda kepada UNTEA PBB pada tahun 1962, sekolah-sekolah kejuruan negeri untuk perempuan ditutup. Kemudian Gereja Katolik dan Protestan mendirikan pusat pendidikan non-formal untuk perempuan Papua. Pada tanggal 2 April 1962, Gereja Kristen Injili (GKI) di Irian Barat (sekarang GKI di Tanah Papua), mendirikan Pusat Pendidikan Sosial (PPS), sekarang menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita atau P3W9) di Abepura, Kota Jayapura Provinsi Papua. Pusat pembinaan ini bertujuan meningkatkan ketrampilan hidup dan kemampuan untuk melatih perempuan lainnya di kampung. Pada pembukaan PPS, Ketua Sinode GKI pribumi pertama, Pendeta FJS Rumainum, menyatakan, ”Celakalah suatu bangsa jika kaum laki-lakinya maju, tetapi kaum perempuan tidak ikut dalam perubahan zaman.”* Gereja Katolik, diprakarsai oleh Delegatus atau Seksi Sosial (Delsos) Jayapura, pada awal tahun 1970- an mendirikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), sebuah pusat pendidikan bagi perempuan calon pendidik masyarakat kampung, di Enarotali. Murid SKB adalah anak-anak gadis gereja Katolik dan Kingmi (Gereja Kemah Injil Masehi Indonesia) dari sejumlah kampung di berbagai wilayah di Papua. Secara umum, pusat-pusat pendidikan ini mengajarkan perempuan Papua ketrampilan dasar ”keputrian” seperti menjahit, memasak dan masalah gizi, kesehatan (membantu ibu dalam persalinan), serta ketrampilan ekonomi. Selain lembaga pendidikan non-formal, mulai tahun 1970-an gereja Katolik dan gereja Protestan (Gereja Kristen Injili/ GKI) mendirikan sekolah-sekolah formal berasrama tingkat SD hingga SMA di beberapa wilayah Papua, seperti di Merauke, Wamena, Jayapura, dll. Sejumlah alumni sekolah berasrama ini mengakui bahwa pendidikan pola asrama telah berkontribusi dan pengembangan kedisiplinan, solidaritas dan persatuan di antara murid yang berasal dari berbagai wilayah di Papua.

Sejumlah perempuan alumni sekolah-sekolah berasrama ini menjadi pemimpin gerakan perempuan Papua. Misalnya, Mama Saly Yaboisembut (lulusan SMP Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik Santo Paulus, Abepura) mantan anggota DPRD Wamena; Mama Abina Wasanggai alumni SMP YPK (Yayasan Pendidikan Kristen) Kotaraja Jayapura, mantan Komisioner Komisi Daerah HAM Papua dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris Solidaritas Perempuan 9 Sebagian alumni P3W menjadi pemimpin masyarakat, istri pejabat, dll., seperti Orpa Yohame dari

Anggruk-Yahukimo yang menjadi anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua, Yultje Wenda, istri Lukas Enembe, Bupati Puncak Jaya; dan Dorothea Merabano, Kepala SD YPK Mamda, Kemtuk.*Wawancara dengan Pdt. Mesach Koibur (Ketua Sinode Gereja Kristen Injili/ GKI di Irian Jaya ke-IV) pada 11 Maret 2010.

13