• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Boven Digoel, 1997-2008; Kabupaten Merauke, 2001-2009: Kekerasan Seksual Berulang Kali di Perbatasan

63Stop Sudah!

penyiksaan, penembakan, bahkan pembunuhan yang terjadi dalam konteks operasi keamanan. Pendekatan keamanan juga digunakan dalam merespon konflik yang muncul pada saat terjadi perebutan penguasaan sumber daya alam. Dengan kebijakan negara yang menyatakan bahwa industri minyak dan tambang adalah ”obyek strategis negara,” maka negara telah berpihak pada perusahaan yang mengeruk sumber daya alam di Papua, mengesampingkan kepentingan rakyat Papua, dan menggunakan aparat keamanan atau kekuatan senjata untuk menjaga kepentingan perusahaan. Kehadiran aparat keamanan dalam proyek-proyek, seperti pertambangan, transmigrasi, kelapa sawit, menjadi ancaman baru bagi perempuan Papua, ditambah dengan munculnya perdagangan ilegal sumber daya alam, perdagangan minuman keras, prostitusi dan lokalisasi. Suasana ketakutan yang diakibatkan oleh pendekatan keamanan mematikan aktivitas perempuan, seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan kegiatan belajar sehingga anak-anak sekolah sulit mengikuti jam pelajaran sekolah karena ketakutan. Stigmatisasi ’OPM’ ataupun ’separatis’ membenarkan kekerasan dan diskriminasi terhadap suku, keluarga, maupun individu, tanpa mempertimbangkan dewasa atau anak-anak, laki- laki atau perempuan.

Bahkan secara khusus, perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan seksual pada saat para istri digunakan sebagai umpan untuk mencari ’OPM,’ dan pada saat aparat keamanan dibiarkan mengorganisir pesta dansa di mana perempuan-perempuan muda, baik secara sukarela maupun dengan tekanan, hadir dalam kesempatan tersebut. Tidak adanya sanksi terhadap aparat keamanan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan memperkuat siklus impunitas.

2. Diskriminasi terhadap perempuan dalam adat dan budaya di Papua mengakibatkan pembiaran kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat asli Papua mengalami perubahan yang dahsyat dalam waktu relatif pendek yang mengakibatkan terjadi pergeseran nilai-nilai adat, termasuk dalam pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan ini bukan merupakan perhatian atau bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada tingkat kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Namun, tidak dapat disangkal bahwa kedudukan perempuan asli dalam lembaga adat masih timpang, dimana perempuan tidak mendapat kesempatan untuk terlibat secara penuh dalam pengambilan keputusan tentang persoalan-persoalan yang paling mendasar berkaitan dengan adat, suku, keluarga, dan individu. Pada saat adat tidak berpihak pada korban, maka telah terjadi peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Mungkin saja perempuan asli Papua dapat menemukan cara-caranya sendiri untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut, namun perubahan pesat dalam kehidupan masyarakat di mana kekuatan-kekuatan di luar masyarakat sendiri yang mendominasi (pemerintah pusat, perusahaan, migrasi, perdagangan, minuman keras, lokalisasi), maka perempuan semakin kehilangan tempat untuk berpijak, dan semakin rentan terhadap ketimpangan di dalam budaya orang Papua sendiri.

Diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks budaya Papua dalam ruang domestik masih berlangsung dalam masyarakat, antara lain, pembagian kerja dalam rumah tangga, pola pengasuhan dan pendidikan anak dalam rumah tangga yang menjadi beban perempuan, pembagian hak pemilikan dan warisan, misalnya, tanah, pengambilan keputusan dalam keluarga. Hal tersebut dijumpai pula pada suku-suku yang berdiam

di daerah-kampung-kampung terisolir, terjauh dan terpencil tidak mempunyai akses dalam pemenuhan hak-hak hidupnya, seperti pendidikan formal dan non-formal, informasi dan teknologi, akses pasar bagi anak perempuan, meskipun perempuan menjadi tulang punggung ekonomi. Dalam pelayanan kesehatan perempuan sangat rentan, kasus-kasus poligami, kawin tukar dimana perempuan kawin dengan laki-laki yang sudah diatur dalam adat. Perlindungan dan keberpihakan terhadap mereka ketika mengalami kekerasan dari sisi adat tidak ada, maka telah terjadi peningkatan kasus- kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebaliknya, di ranah publik kaum perempuan yang tergolong terpelajar berada di kota-kota besar mempunyai akses yang luas dalam pekerjaan yang layak, meskipun lapangan kerja yang tersedia masih terbatas

3. Konflik sumber daya alam, konflik politik, dan perebutan kekuasaan dari tingkat lokal sampai dengan nasional, menumbuhkan situasi di mana kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan negara maupun kekerasan dalam keluarga, semakin meningkat. Papua yang kaya raya dengan sumber daya alam menjadi wilayah perebutan sumber daya alam, pertandingan kedaulatan politik, dan pergumulan kepentingan lokal, nasional, multinasional, dan internasional. Konflik tumbuh di atas konflik, batasan-batasan kepentingan semakin kabur. Tuntutan karyawan perusahaan tambang tentang hak-hak mereka dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memprovokasi situasi yang akhirnya menimbulkan perang suku. Dalam era Otsus Papua, perilaku konsumtif dan penyelewengan kekuasaan dilakukan oleh mereka yang mendapatkan akses pada kuasa dan dana Otsus Papua sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat, termasuk kasus-kasus pelecehan seksual, perselingkuhan, dan poligami. Berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di wilayah-wilayah pertambangan, perkebunan kelapa sawit, pertukaran kayu gaharu, industri ikan, dan lokalisasi serta industri hiburan di kota-kota dan daerah-daerah eksploitasi sumber daya alam. Di satu pihak, pusat-pusat industri baru, seperti industri ikan dan kayu, menjadi sumber perkembangan ekonomi yang menarik tenaga kerja dari luar, tapi di pihak lain, menjadi faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS, seperti di Merauke, Timika, Merauke, Sorong, Biak, dan Nabire. Pada saat yang sama, para investor baru lebih banyak mempekerjakan tenaga luar tanpa upaya perlindungan hak- hak hidup orang asli Papua. Dalam situasi perebutan ini, perempuan asli Papua semakin terpinggirkan, bahkan menjadi korban kekerasan dalam perang suku yang kemudian muncul, menjadi rentan terhadap HIV/AIDS, dan semakin mengalami pemiskinan ekonomi, dan ketidakberdayaan sosial politik.

4. Tidak adanya respon dan kemauan politik yang serius dari pihak Pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua secara umum, atau masalah kekerasan terhadap perempuan secara khusus. Dalam konteks konflik dan peminggiran yang luar biasa ini, negara yang mempunyai kewajiban untuk melindungi mereka yang rentan malah mengabaikan persoalan kekerasan yang berkecamuk di Papua, dan yang secara khususnya dialami perempuan Papua. Sampai dengan sekarang belum pernah ada penanganan serius terhadap kasus-kasus kekerasan negara yang dialami perempuan, tidak ada satu pun kasus yang pernah sampai pada proses investigasi, pemberian sanksi pada pelaku, maupun pengadilan. Untuk kekerasan domestik, walaupun sudah ada Undang- Undang KDRT di tingkat nasional, belum ada implementasi kebijakan yang jelas untuk melindungi perempuan korban kekerasan di Papua. Belum ada upaya negara untuk

65