• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DINAMISASI KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN RTH

6 PERAN KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN RTH

7 STRATEGI DINAMISASI KOMUNITAS HIJAU DALAM PENATAAN RTH

Trade Off RTH Kota Ciamis

Pilar pembangunan berkelanjutan terdiri dari ekonomi, sosial dan lingkungan. Apabila pembangunan hanya dititikberatkan kepada satu aspek tanpa mempertimbangkan aspek yang lain maka akan terjadi ketimpangan yang menimbulkan masalah-masalah terhadap berlangsungnya kehidupan. Pada pelaksanaan pembangunan, tujuan utama yang akan dicapai adalah perkembangan ekonomi dan sosial, oleh karena itu lingkungan menjadi faktor yang dirugikan (Fauzi et al., 2013)

Pada dasarnya semua areal adalah RTH, tapi ketika muncul tuntutan pembangunan maka terjadi alih fungsi lahan. Proses pembangunan menimbulkan trade off terhadap RTH, karena mengutamakan pembangunan akan mengorbankan RTH. Oleh karena itu harus dikaji secara bijak prioritas dalam pembangunan. Kecenderungan untuk menjadikan RTH menjadi lahan terbangun terutama permukiman merupakan kasus utama di Kota Ciamis, diungkapkan oleh Elis salah seorang warga Dewasari:

“....Tanah ini dibeli memang direncanakan untuk membuat rumah, karena

saya lebih membutuhkan rumah untuk saya tinggali dibandingkan dengan

kebun...”

Kebutuhan permukiman yang meningkat merupakan magnet bagi pengusaha swasta untuk melakukan pembangunan perumahan komunal di Kota Ciamis. Pengembang permukiman menyadari fenomena kebutuhan permukiman yang semakin tinggi di Kota Ciamis yang disebabkan meningkatnya jumlah penduduk atau sekedar investasi properti para pengusaha dan pejabat setempat. Asep seorang pengembang perumahan komunal yang mengusung konsep Green Garden di Kota Ciamis mengungkapkan:

“...Banyaknya perpindahan penduduk ke Kota Ciamis akan memerlukan banyak permukiman, biasanya pendatang adalah (orang) yang mendapat pekerjaan di Kota Ciamis. Kecenderungan para pekerja adalah merencanakan tinggal lama, maka mereka memilih untuk membeli rumah di Kota Ciamis. Tapi karena keterbatasan anggaran yang dimiliki maka dipilih permukiman yang terjangkau harganya yaitu perumahan. Dan itu adalah peluang bagi kami (pengembang permukiman)...sebenarnya tidak semua konsumen membutuhkan rumah untuk tinggal, pada beberapa perumahan yang saya bangun konsumennya itu-itu saja, biasanya dari golongan atas yang berinvestasi misalnya pengusaha dan pejabat

setempat...”.

Kota Ciamis sebagai pusat kegitan masyarakat memiliki daya tarik bagi asyarakat luar untuk tinggal didalamanya. Berkembangnya permukiman komunal berdampak terhadap berkurangnya ketersediaan RTH. Perkembangan permukiman dipengaruhi oleh arus urbanisasi, semakin tinggi pertambahan penduduk maka semakin tinggi lahan yang dibutuhkan untuk pemukiman. Tapi

56

dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan dengan penerapan aturan 20% + 2% RTH yang harus disediakan oleh pengembang perumahan komunal. Setiap perumahan komunal harus menyediakan 20% dari luas lahan untuk dijadikan RTH publik dan 2% untuk TPU yang diintegrasikan dengan TPU desa setempat.

Penerapan aturan tersebut merupakan upaya peran swasta dalam pemenuhan RTH di lingkungan perumahan yang dibangunnya. Tapi karena belum dilakukan penegakan hukum yang jelas, banyak pengembang “nakal” yang tidak memenuhinya. Kontrol pemerintah masih kurang karena tidak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan, selain itu kesadaran lingkungan penghuni komplek perumahan juga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan RTH. Hal itu diungkapkan oleh Asep yaitu:

“....Pada saat kita mengajukan ijin untuk pembangunan perum ini memang

ada syarat seperti itu. Tapi ketika pembangunan dalam proses sampai selesai, tidak ada evaluasi dari pemerintah mengenai pelaksanaan aturan tersebut. Sehingga kadang pengembang menghabiskan semua lahan untuk dibangun....Tapi kesadaran penghuni perum terhadap lingkungan juga masih rendah, contohnya ketika dalam konsep awal kita merencanakan pembangunan taman komplek tapi para penghuni malah mengubahnya menjadi kolam renang. Dengan demikian akan mengurangi lahan hijau di komplek tersebut. Atau ketika kami mengusung konsep green garden yaitu konsep perumahan hijau dengan membuat taman pekarangan yang sudah

dilengkapi dengan tanamannya, oleh penghuni malah disemen semua...”

Terungkap bahwa dalam pelaksanaan pembangunan harus ditumbuhkan pengetahuan tentang fungsi RTH bagi mayarakat, apabila akan dilakukan alih fungsi lahan juga dicari penanganan supaya dampak terhadap lingkungan tidak terlalu berat. Hal itu dapat tercapai apabila tingkat pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan telah tumbuh dengan baik. Pemerintah mempunyai peran penting dalam pengendalian RTH yaitu dengan dibentuknya dan ditegakkan aturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran kepada masyarakat dan pihak swasta sehingga diharapkan pembangunan dengan memperkecil dampak negatif yang diterima oleh lingkungan.

Isu-Isu Utama Penataan RTH

Penataan RTH Kota Ciamis dapat dilakukan dengan cara mengetahui isu-isu utama yang timbul. Isu-isu utama tersebut digali berdasarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan RTH Kota Ciamis. Upaya tersebut dilakukan untuk mengetahui acuan penataan RTH agar sesuai dan tepat sasaran.

Penyusunan isu-isu utama RTH merupakan acuan dalam melakukan identifikasi faktor internal dan eksternal penataan RTH Kota Ciamis. Isu-isu utama RTH Kota Ciamis yaitu:

1. RTH publik Kota Ciamis (8,5%) dari luas wilayah, belum sesuai dengan ketentuan UUPR yang mensyaratkan 20%.

2. Sebaran RTH publik belum merata pada seluruh wilayah Kota Ciamis 3. Lemahnya peran lembaga pengelola RTH.

57

Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Perumusan strategi peran komunitas hijau dalam penataan RTH di Kota Ciamis dilakukan dengan menggunakan metode A‟WOT. A‟WOT adalah suatu metode perumusan strategi yang melibatkan pendapat para pakar (experts) dalam penentuan prioritas strategi yang akan diterapkan. Penggunaan metode A‟WOT diharapkan dapat menghindari subjektifitas peneliti.

Penyusunan strategi komunitas hijau dalam penataan RTH di Kota Ciamis diawali dengan identifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Faktor-faktor tersebut berdasarkan pada informasi dari para pakar yang dimintai pendapat dalam menyusunan matriks perbandingan berpasangan (pairwaise comparison). Perbandingan berpasangan ini menggunakan skala perbandingan Saaty (1980). Identifikasi faktor internal dan eksternal pada penataan RTH Kota Ciamis tersaji pada Tabel 13 .

Faktor internal kekuatan penataan RTH di Kota Ciamis terdiri dari empat faktor. Faktor pertama adalah luas RTH privat di kota Ciamis telah melebihi dari ketentuan UUPR yaitu 64,8% (3867,8 ha) dari luas wilayah Kota Ciamis. RTH privat ini merupakan modal dalam pemenuhan kebutuhan RTH di Kota Ciamis. Faktor internal kekuatan yang kedua adalah keikutsertaan Program Adipura. Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berhasil menerima penghargaan Adipura berturut-turut pada tahun 2009, 2010, 2012, 2013 dan 2015. Salah satu kriteria penilaian Adipura yaitu ketersediaan RTH publik di wilayah kota/kabupaten, hal itu meningkatkan perhatian pemerintah kabupaten terhadap kecukupan RTH di Kota Ciamis. Faktor internal yang ketiga adalah keberadaan komunitas hijau yang melakukan kegiatan pelestarian lingkungan dalam pengelolaan RTH. Faktor internal kekuatan yang keempat adalah kebijakan pemerintah dalam mempertimbangkan aspek-aspek yang berpengaruh pada ketersediaan RTH.

Tabel 13 Faktor internal dan eksternal dalam penataan RTH Kota Ciamis.

Faktor Internal

Kekuatan Kelemahan

1. Luas RTH privat 1. Luas RTH publik

2. Keikutsertaan Program Adipura 2 Anggaran Penataan RTH 3. Komunitas hijau 3. Kemitraan Pemerintah dengan

Masyarakat

4. Kebijakan Pemerintah 4. Penegakan Hukum 5. Koordinasi antar dinas

Faktor Eksternal

Peluang Ancaman

1. Kelembagaan Masyarakat 1. Urbanisasi

2. Budaya Lokal 2 Perkembangan permukiman

3. Pihak Swasta 3. Pertumbuhan ekonomi informal 4. Sosialisasi RTH pada masyarakat 4. Alih fungsi RTH privat

5. Pemerhati Lingkungan 5. Perkembangan ekonomi

Faktor internal kelemahan dalam penataan RTH terdiri dari lima faktor. Pertama adalah RTH publik 8,5% dari seluruh luas wilayah Kota Ciamis, menunjukkan luas RTH publik belum sesuai dengan ketentuan UUPR yaitu 20%.

58

Faktor internal kelemahan kedua adalah anggaran penataan RTH yang belum mencukupi karena adanya keterbatasan anggaran daerah. Faktor internal kelemahan ketiga adalah lemahnya kemitraan pemerintah dengan masyarakat. Faktor internal kelemahan keempat yaitu penegakan hukum di Kabupaten Ciamis yaitu belum terbentuk undang-undang yang mengatur tentang RTH secara lugas. Faktor internal kelemahan kelima adalah kurangnya koordinasi antar instansi, ditunjukkan dengan terdapat kegiatan serupa dan lokasi kegiatan yang sama .

Faktor eksternal peluang dalam penataan RTH Kota Ciamis terdiri dari empat faktor. Faktor pertama adalah kelembagaan masyarakat seperti PKK dan Karang Taruna yang mempunyai potensi sangat besar, tapi kiprahnya belum optimal. Faktor kedua adalah kearifan lokal, diharapkan dengan mengembangkan kearifan lokal wilayah setempat akan lebih mudah penerapannya terhadap masyarakat. Faktor ketiga yaitu pihak swasta yang mempunyai peran penting dalam perkembangan pembangunan Kota Ciamis pada bidang permukiman maupun perekonomian. Faktor keempat adalah kurangnya sosialisasi pada masyarakat untuk meningkatkan penyadartahuan tentang fungsi RTH, karena masyarakat sebagai pelaku dan pengguna pembangunan. Faktor kelima adalah pemerhati lingkungan yang berperan sebagai kontrol terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Faktor eksternal ancaman terdiri dari empat faktor. Faktor pertama adalah urbanisasi. Urbanisasi terjadi karena kota mempunyai sarana dan prasarana yang lebih maju, perkembangan pembangunan dan perekonomian yang menjadi daya tarik bagi masyarakat di wilayah sekitarnya untuk tinggal di dalamnya. Urbanisasi merupakan faktor utama karena pertambahan penduduk Kota Ciamis banyak dipengaruhi oleh faktor migrasi masyarakat yang datang lebih besar dari masyarakat yang keluar (DCKKTR, 2014). Faktor kedua adalah perkembangan permukiman yang berkembang pesat di Kota Ciamis, dengan bertambahnya lahan terbangun sebesar 33,72% yang terjadi dari tahun 2010-2012 (DCKKTR 2012). Faktor ketiga adalah pertumbuhan ekonomi. Perekonomian di Kota Ciamis ditunjukkan dengan kenaikan PDRB yaitu mengalami kenaikan yaitu Kecamatan Ciamis sebesar 14,20%, Kecamatan Baregbeg 11,59%, Kecamatan Sadananya 8,48% dan Kecamatan Cijeungjing 9,41% (BPS 2014). Faktor keempat adalah alih fungsi RTH privat yang terjadi di Kota Ciamis. Berdasarkan data DCKKTR (2012) lahan perkebunan berkurang sebesar 35,41%, tegalan 2,09%, dan sawah 26,93% yang terjadi selama tahun 2010-2012. Faktor kelima adalah perkembangan ekonomi skala besar di pusat Kota Ciamis, ditunjukkan dengan berkembangnya perdagangan sebagai pusat perbelanjaan seperti Yogja dan Ci Mall (Ciamis Mall).

Strategi SWOT

Penataan RTH dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan strategi dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH di Kota Ciamis. Strategi tersebut dibagi menjadi empat macam, terdiri dari memanfaatkan kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO), memanfaatkan kekuatan untuk menghadapi ancaman (ST), mengurangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan mengurangi kelemahan dalam menghadapi ancaman (WT). Matriks strategi

59 dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH di Kota Ciamis disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Strategi dinamisasi komunitas hijau dalam penataan RTH Kota Ciamis

Opportunities O1,O2,O3,O4,O5 Threats T1,T2,T3,T4,T5 Strengths S1 S2 S3 S4 SO1 (S2,O1, O2)

Komunitas hijau mengupayakan kegiatan yang mengusung budaya lokal

melibatkan kelembagaan masyarakat

ST1 (S2,T3)

Komunitas hijau mengupayakan kegiatan penyadartahuan tentang pengelolaan RTH yang bernilai ekonomi sehingga bisa

meningkatkan taraf ekonomi rakyat. SO2 (S3,O3)

Komunitas hijau menyususn konsep dan memberi masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah tentang RTH yang dikenalkan dan diterapkan pada

masyarakat.

ST2 (S3,T1)

Komunitas hijau bekerjasama dengan pemerintah melakukan sosialisasi IMB untuk

mengendalikan dan meminimalkan alih fungsi RTH privat

Weaknesses W1 W2 W3 W4 W5 WO1 (W3,O3)

Komunitas hijau mengarahkan aktifitas kelembagaan masyarakat pada bidang lingkungan sehingga bisa bekerjasama dengan instansi-instansi terkait.

WT1 (W2,T5)

Komunitas hijau dilibatkan dalam penerbitan izin pembangunan permukiman dengan menerapkan aturan 20% RTH pada lingkungan permukiman yang akan dibangun. WO2 (W5,O4)

Komunitas hijau bekerjasama dengan swasta dalam kegiatan pengelolaan RTH pada lahan publik seperti taman kota atau jalur hijau.

WT2 (W1,T3)

Komunitas hijau dilibatkan dalam penetapan lokasi pedagang informal di RTH publik.

Pembobotan Unsur SWOT Berdasarkan AHP

Pembobotan unsur-unsur SWOT diperoleh dari hasil analisis AHP dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar komponen Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman). Perbandingan berpasangan juga dilakukan terhadap faktor untuk masing-masing komponen SWOT. Nilai perbandingan berpasangan setiap pendapat para pakar (7 orang) disatukan dengan metode rata-rata geometri, sebagaimana dikemukakan Saaty (2008) bahwa untuk menggabungkan (combined) penilaian individu menjadi sebuah penilaian kelompok yang representatif, semua penilaian harus dikombinasikan menggunakan metode rata- rata geometri (geometric mean). Perhitungan bobot untuk masing-masing komponen SWOT dan masing-masing faktor di setiap komponen SWOT menggunakan software expert choice 2000 disajikan pada Lampiran 10, 11, 12, 13, dan 14. Hasil pembobotan setiap komponen dan setiap faktor komponen SWOT disajikan pada Tabel 15.

Pembobotan komponen SWOT berdasarkan pendapat para pakar yaitu Peluang yaitu 0,512, Kekuatan yaitu 0,226, Kelemahan 0,159, dan Ancaman yaitu 0,103. Hasil analisis menyatakan dalam penyusunan dinamisasi komunitas hijau peran serta masyarakat dalam penataan RTH komponen yang paling tinggi untuk dikembangkan adalah memanfaatkan Peluang.

Tabel 15 menunjukkan kombinasi pendapat para pakar yang menyatakan bahwa pada faktor internal kekuatan komponen luas RTH privat lebih dari 10%,

60

hal ini menunjukkan bahwan RTH privat merupakan modal dalam pemenuhan kebutuhan RTH di wilayah Kota Ciamis. Faktor internal kelemahan komponen kemitraan pemerintah dengan masyarakat merupakan komponen yang paling lemah. Kecukupan RTH tidak hanya dapat di penuhi oleh pemerintah atau masyarakat saja tapi harus tercipta kerjasama yang sinergi antara pemerintah dengan masyarakat.

Tabel 15 Hasil pembobotan komponen SWOT Komponen SWOT Prioritas Grup Faktor-Faktor SWOT Prioritas Faktor dalam Grup Prioritas Faktor Keseluruhan Strengths 0.226 1 Luas RTH privat > 10% 0.461 0.075 2 Keikutsertaan Program Adipura 0.085 0.014 3 Komunitas hijau 0.257 0.042 4 Kebijakan pemerintah 0.196 0.032 Weaknesses 0.159 1 Luas RTH publik <20% 0.237 0.044 2 Anggaran Penataan RTH 0.103 0.019 3 Kemitraan Pemerintah dengan masyarakat 0.288 0.053 4 Penegakan Hukum 0.147 0.027 5 Koordinasi antar dinas 0.224 0.041

Opportunities 0.512 1 Kelembagaan Masyarakat 0.205 0.109 2 Budaya Lokal 0.270 0.143 3 Pihak Swasta 0.111 0.059 4 Sosialisasi RTH pada Masyarakat 0.322 0.170 5 Pemerhati Lingkungan 0.092 0.049 Threats 0.103 1 Urbanisasi 0.279 0.034 2 Perkembangan Permukiman 0.144 0.018 3 Pertumbuhan ekonomi informal 0.204 0.025

4 Alih fungsi RTH privat 0.180 0.022 5 Perkembangan Ekonomi 0.193 0.024 Pada faktor eksternal peluang sosialisasi terhadap masyarakat sangat penting untuk meningkatkan penyadartahuan pentingnya RTH. Pada faktor eksternal ancaman urbanisasi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi ketersediaan RTH karena pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan ruang, sehingga mengancam ketersediaan RTH di perkotaan.

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa strategi SO1 yaitu komunitas hijau mengupayakan kegiatan yang mengusung kearifan lokal melibatkan kelembagaan masyarakat adalah prioritas utama dalam arahan dinamisasi peran

61 komunitas hijau dalam penataan RTH di Kota Ciamis. Strategi SO1 merupakan kombinasi dari S2, O1 dan O2 dengan bobot 0,266. Peran Komunitas hijau sangat penting dalam penyadartahuan tentang RTH dengan mengusung kearifan lokal pada masyarakat. Kegiatan ini diharapkan selain mengembangkan kearifan lokal juga mendukung ketersediaan RTH.

Strategi kedua (WO2) dengan bobot 0,211 merupakan kombinasi dari W5 dan O4 yaitu komunitas hijau bekerjasama dengan swasta dalam kegiatan pengelolaan RTH pada lahan publik seperti taman kota atau jalur hijau. Pemenuhan kebutuhan RTH tidak hanya kewajiban pemerintah tapi juga peran serta swasta diperlukan. Pihak swasta sebagai pelakun usaha harus ikut melestarikan lingkungan dengan meyediakan CSR (Corporate Social Responsibility). Komunitas hijau dapat bekerjasama dengan pihak swasta melakukan pengelolaan RTH publik seperti taman kota, hutan kota ataupun RTH publik lainnya. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah melaksanakan penanaman untuk meningkatkan kualitas RTH publik.

Strategi ketiga (WO1) dengan bobot 0,112 merupakan kombinasi dari W3 dan O3 yaitu komunitas hijau mengarahkan aktifitas kelembagaan masyarakat pada bidang lingkungan sehingga bisa bekerjasama dengan instansi-instansi terkait. Kelembagaan masyarakat seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dan Karang Taruna adalah upaya peningkatan peran perempuan dan generasi muda dalam pembangunan. Kelembagaan masyarakat ini terdapat pada seluruh wilayah pada setiap tingkatan pemerintahan mulai tingkat RT sampai nasional. Kegiatan PKK dan Karang Taruna selama ini belum menyentuh terhadap pelestarian lingkungan, sehingga perlu menerapkan program-program lembaga-lembaga masyarakat agar terlibat dalam penyediaan RTH. Pelaksanaan program tersebut bekerjasama dengan instansi-instansi terkait sehingga lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Strategi yang ke empat (SO2) merupakan kombinasi dari S3 dan O3 dengan bobot 0,101. Strategi ini adalah komunitas hijau menyusun konsep dan memberi masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah tentang RTH yang melibatkan masyarakat. Kebijakan tersebut dapat berupa program kegiatan yang melibatkan masyarakat seperti pembangunan taman RT atau RW, pembagian bibit pohon, peningkatan produktifitas lahan pekarangan dan sebagainya. Masyarakat berperan sebagai pelaku dan pengelola yang bertanggung jawab terhadap keberlanjutan program tersebut.

Strategi yang kelima (ST2) merupakan kombinasi dari S2 dan T1 dengan bobot 0,076 yaitu komunitas hijau bekerjasama dengan pemerintah melakukan sosialisasi IMB untuk mengendalikan dan meminimalkan alih fungsi RTH privat IMB adalah indikator pemberian izin kepada masyarakat dalam pengalihfungsian lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Tapi pemahaman IMB pada masyarakat masih rendah, oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi. Komunitas hijau dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya penyadartahuan masyarakat tentang IMB. Dengan demikian diharapkan kokunitas hijau dan pemerintah berperan dalam pengendalian alih fungsi RTH privat menjadi lahan terbangun.

Strategi yang keenam (WT2) merupakan kombinasi W1 dan T3 dengan bobot 0,069 yaitu komunitas hijau dilibatkan dalam penetapan lokasi pedagang informal di RTH publik

.

Penyediaan lokasi khusus ini mempunyai keuntungan yaitu terpeliharanya kualitas dan kuantitas RTH tapi tetap memberi kesempatan

62

pedagang informal untuk berjualan. Komunitas hijau ikut terlibat dalam penentuan lokasi dan mengendalikan lokasi tersebut agar ramah lingkungan. Tabel 16 Urutan strategi dinamisasi peran komunitas hijau dalam penataan RTH

Kota Ciamis.

Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking

Strategi (SO) SO1 S2,O1, O2 0.266 1 SO2 S3,O3 0.101 4 Strategi (ST) ST1 S2,T3 0.039 8 ST2 S2,T1 0.076 5 Strategi (WO) WO1 W3, O3 0,112 3 WO2 W5,O4 0.211 2 Strategi (WT) WT1 W2,T5 0.043 7 WT2 W1,T3 0.069 6 Keterangan:

SO1 : Komunitas hijau mengupayakan kegiatan penanaman dengan mengusung kearifan lokal melibatkan kelembagaan masyarakat (PKK dan Karang Taruna).

SO2 : Komunitas hijau menyusun konsep dan memberi masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah tentang RTH yang melibatkan masyarakat. ST1 : Komunitas hijau mengupayakan kegiatan penyadartahuan tentang pengelolaan RTH yang bernilai ekonomi sehingga bisa meningkatkan taraf ekonomi rakyat.

ST2 : Komunitas hijau bekerjasama dengan pemerintah melakukan sosialisasi IMB untuk mengendalikan dan meminimalkan alih fungsi RTH privat WO1 : Komunitas hijau mengarahkan aktifitas kelembagaan masyarakat pada

bidang lingkungan sehingga bisa bekerjasama dengan instansi-instansi terkait.

WO2 : Komunitas hijau bekerjasama dengan swasta dalam kegiatan pengelolaan RTH pada lahan publik seperti taman kota atau jalur hijau.

WT1 : Komunitas hijau dilibatkan dalam penerbitan izin pembangunan permukiman dengan menerapkan aturan 20% RTH pada lingkungan permukiman yang akan dibangun.

WT2 : Komunitas hijau mengupayakan kegiatan penyadartahuan tentang pengelolaan RTH yang bernilai ekonomi sehingga bisa meningkatkan taraf ekonomi rakyat

Strategi ke tujuh (WT1) merupakan kombinasi dari W2 dan T5 dengan bobot 0,069 yaitu komunitas hijau dilibatkan dalam penerbitan izin pembangunan permukiman dengan menerapkan aturan 20% RTH pada lingkungan permukiman yang akan dibangun. Strategi ini sebagai salah satu upaya penyadartahuan terhadap pelaku usaha/pengembang permukiman tentang kebutuhan RTH di

63 wilayah permukiman. Ketersediaan RTH harus dipertimbangkan mulai perencanaan, pemanfaatan dan pengendaliannya.

Strategi ke delapan (ST1) merupakan kombinasi dari S2 dan T3 dengan bobot 0,039 yaitu komunitas hijau mengupayakan kegiatan penyadartahuan tentang pengelolaan RTH yang bernilai ekonomi sehingga bisa meningkatkan taraf ekonomi rakyat. Strategi ini mengenalkan dan menerapkan kepada masyarakat dengan pemanfaatan pekarangan atau lahan kosong dengan menanam tanaman yang bisa dimanfaatkan dan menghasilkan misalnya tanaman buah- buahan ataupun sayuran. Dengan demikian selain menghijaukan lahan tersebut juga meningkatkan produktifitasnya.

Arahan Kebijakan Pengembangan Wilayah Berdasarkan

Peran Komunitas Hijau dalam Penataan RTH Kota Ciamis

Laju pembangunan perkotaan menunjukkan tentang kedinamisan kota dalam proses pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah mempunyai faktor- faktor pendukung yang berperan serta di dalamnya. Myrdal (1968) dalam Ciptadi dan Suhirman (2013) menyatakan bahwa terdapat tiga prasyarat yang dapat mempercepat pengembangan wilayah yaitu: 1) mobilisasi dan pergerakan potensi dan sumber daya domestik, 2) partisipasi masyarakat luas dalam proses pembangunan dan upaya memenuhi standar hidup minimum luas, dan 3) menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan kapasitas sosial dan kelembagaan masyarakat.

Pembangunan perkotaan banyak didominasi pada pertumbuhan dan penguatan ekonomi dan sosial dibandingkan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu harus dilakukan upaya penyeimbangan pembangunan perkotaan dengan memenuhi kebutuhan RTH. Sesuai dengan ketentuan UUPR bahwa RTH yang tersedia di perkotaan adalah 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Ketersediaan RTH publik Kota Ciamis eksisting masih kurang yaitu 8,5% (Tjumardi, 2015), sehinga diperlukan upaya pemerintah untuk memenuhi ketersediaannya sesuai dengan UUPR.

Pemerintah bertanggungjawab terhadap ketersediaan RTH yang dibutuhkan terutama RTH publik. Namun upaya pemerintah dalam pemenuhan kecukupan RTH mempunyai keterbatasan, terutama pada anggaran, sumber daya manusia serta ketersediaan lahan. Oleh karena itu diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif dengan membentuk komunitas hijau. Komunitas hijau diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingya ketersediaan RTH. Rojek (1981) dalam Hikmat (2001) menyatakan bahwa hubungan antara individu dengan komunitas adalah transaksional, refleksif atau interaktif, sehingga komunitas dapat mempengaruhi perilaku individu.

Komunitas hijau di Kota Ciamis telah melakukan kegiatan dalam meningkatkan kualitas RTH publik dengan melakukan penanaman. Komunitas hijau melaksanakan akitivitas atas dasar kepercayaan, jaringan dan kerjasama. Ketiga dasar tersebut harus berjalan secara harmonis sehingga komunitas mempunyai kesamaan visi dan misi, dengan demikian kegiatan yang dilakukan lebih optimal. Komunitas hijau melaksanakan kegiatan penataan RTH baik secara mandiri ataupun ikut serta dalam program pemerintah, dengan demikian

64

komunitas hijau mempunyai bargaining power (kekuatan tawar) terhadap pemerintah.

Bargaining power dalam penataan RTH dilakukan oleh komunitas hijau dapat mendorong pemerintah untuk melakukan hal yang sama. Kepercayaan, jaringan serta kerjasama yang dibangun komunitas hijau dapat memberikan pengaruh dalam penyusunan kebijakan pemerintah dalam penataan RTH. Hal tersebut mendukung pembangunan yang dilaksanakan di Kota Ciamis tetap mempertimbangkan ketersediaan RTH.

Komunitas hijau dapat menyampaikan kondisi faktual dan aspirasi masyarakat kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam

Dokumen terkait