• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Sebagai Sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Sebagai Sumber

Dalam kacamata ekonomi wilayah, berbagai lokasi wisata bahari yang memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi disebut memiliki locational rent yang tinggi. Nilai ekonomi kawasan yang berada pada daerah pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent), setidak-tidaknya juga mengandung tiga unsur economic rent lainnya, yakni ricardian rent, environmental rent dan social rent. Ricardian rent adalah rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai potensi penggunaan aktivitas ekonomi, seperti kesesuaiannya (suitability) untuk berbagai aktivitas budi daya (tambak), kesesuaian fisik untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya. Environmental rent kawasan kawasan pesisir adalah nilai atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan lingkungan, sedangkan social rent menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai fungsi sosial.Berbagai nilai-nilai budaya masyarakat banyak yang menempatkan kawasan pesisir sebagai kawasan dengan fungsi-fungsi sosial tertentu (Rustiadi, 2001).

Di dalam mekanisme pasar, pada umumnya hanya locational dan ricardian rent yang telah terinternalisasi di dalam struktur nilai pasar, akibatnya

berbagai fungsi lingkungan dan sosial kawasan wisata banyak mengalami degradasi dan tidak mendapat penilaian yang semestinya.

Terkait dengan perubahan fungsi lahan bahwa sebenarnya perencanaan tata guna lahan serta penentuan kebijakan penggunaan lahan saling berhubungan antara perencanaan dan kebijakan penggunaan lahan yang melengkapi dasar penentuan fungsi yang layak untuk suatu lahan.

Pola penggunaan lahan menunjukkan keterkaitan antara aktivitas manusia dengan sebidang lahan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak manusia yang bermukim pada suatu wilayah, maka semakin besarlah intervensi manusia dalam mengubah penggunaan lahan untuk berbagai macam bentuk kegiatan.

Sutikno dan Malingreau (dalam Ahmad, 1997) menyebutkan bahwa pola penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun sprituil ataupun keduanya. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Mangunsukardjo (dalam Ahmad, 1997) bahwa pola penggunaan lahan merupakan bentuk penggunaan oleh manusia terhadap lahan, termasuk keadaan yang belum terpenuhi untuk mencukupi kebutuhan manusia.

Best dan Sinaga (dalam Ahmad, 1997) memberikan pengertian pola

penggunaan lahan ke dalam aspek keruangan dari semua aktivitas manusia atas lahannya dan secara adaptasi atau yang dapat diadaptasikan terhadap permukaan lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Dalam membicarakan penggunaan lahan ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu keadaan penggunaan lahan yang aktual dan penggunaan lahan potensial. Pola penggunaan lahan sekarang

pada dasarnya merupakan hasil dari berbagai faktor penyebab, sebagian besar berkaitan dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Penggunaan lahan potensial tidak selalu sama dengan penggunaan lahan sekarang, bahkan sering berbeda dengan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan kemampuannya.

Tata guna lahan adalah pengaturan penggunaan lahan. Rencana tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait dengan fungsi-fungsi perkotaan seperti lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Rencana tata guna lahan juga memberi kesempatan untuk pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan ekonomi yang memadai disamping memberikan perlindungan bagi daerah-daerah serta sumber daya lingkungan yang menentukan.

Rencana penggunaan lahan dimaksudkan sebagai suatu sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan fisik, ekonomi dan sosial suatu daerah. Ada beberapa pertimbangan sebagai langkah dalam merencanakan penggunaan lahan yang dibagi 5 bagian (Urban Pattern, Simon Eisner, Arthur Gallioan, Stanley Eisner, 266).

1. Mengidentifikasi tujuan dan prinsip penggunaan perumahan, perdagangan, rekreasi, pendidikan dan industri serta menurut standar bagi pengguna seperti itu.

2. Memfokuskan pada sifat dan pola perkembangan didalam batas wilayah yang ada, apa yang diperlukan dalam pola penggunaan lahan dan pertumbuhan

sebesar apa yang dapat diakomodasikan di wilayah perkembangan kota saat ini.

3. Melihat secara terinci pada kawasan yang masih belum berkembang disekitar daerah itu, “wilayah pengaruh’’ daerah yang bersangkutan. Penggunaan lahan yang ada diidentifikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian tanah untuk perkembangan di masa depan dibahas, standar untuk pembangunan baru diusulkan.

4. Mempersatukan analisis dan hasil dari bagian-bagian sebelumnya dan mengusulkan suatu rencana penggunaan lahan yang komprehensif dan terpadu, baik bagi kota itu maupun wilayah pengaruhnya, termasuk semua kebutuhan, fasilitas-fasilitas dan kenikmatan yang diperlukan untuk melayani penduduk. Rencana ini adalah unsur penting dalam upaya untuk mengelola pertumbuhan dan didasarkan pada perkiraan pertumbuhan masa depan, pola perkembangan saat ini dan keinginan daerah tentang seberapa besar pertumbuhan yang dapat di akomodasikan baik secara fisik maupun finansial. 5. Menganalisa dan mengidentifikasi saran-saran yang dapat digunakan untuk

melaksanakan rencana yang diusulkan.

Hal yang menentukan nilai tanah secara sosial dapat diterangkan dalam proses ekologi yang berhubungan dengan sifat tanah, dan dengan proses organisasi yang berhubungan dengan masyarakat, yang semuanya mempunyai kaitan dengan tingkah laku dan perbuatan kelompok masyarakat (Jayadinata, J.T. 1986).

Beberapa pedoman dalam pola penggunaan lahan di wilayah pesisir, secara terpadu (Duhari et al. 2001) khususnya daerah Pariwisata bahwa perencanaan pengembangan pariwisata di daerah pesisir hendaknya dilakukan secara menyeluruh, termasuk inventarisasi sumber daya dan dampaknya terhadap lingkungan. Pembangunan tempat berlabuh (marina) dan fasilitas lainnya (toko, hotel dan pemukiman) direncanakan dengan cermat.

Oleh karena itu peranan strategis wilayah wisata bahari hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-sumberdaya domestik yang terbaharui (domesticrenewable resources), (2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward lingkage)dan ke depan (forward lingkage) terhadap berbagai sektor ekonomi

lainnya didaerah yang bersangkutan secara signifikan sehingga perkembangan sektor basisdapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektorsektorlainnya di daerah yang bersangkutan, (3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-sektor turunan dan penunjangnya denganpen ciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah lokal/daerah (sektor pajak/retribusi) dan PDRB wilayah, (4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (interand inter-regional interaction) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian(uncertainty), dan (5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yangmendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan.

Untuk mencapai pembangunan wisata bahari secara optimal, berkelanjutan dan andal, salah satu aspek yang sangat penting adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat disekitar sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wisata bahari harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan yang didapatkan justru dinikmati oleh penduduk di luar wilayah pesisir. Oleh karena itu kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir yang harus diterapkan adalah (Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, 1998):

1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

2) Meningkatkan peran serta masyarakat pesisir dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.

3) Memasyarakatkan pembangunan masyarakat pesisir yang berwawasan lingkungan yang diikuti oleh peningkatan pendapatan.

2.10. Konsep Pembangunan dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi perubahan-perubahan struktur social, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan kemiskinan absolut. (Todaro, 1989). Sehingga sesuai konsep dasar dari pembangunan melahirkan beberapa arti dari pembangunan yaitu :

1. Capacity : menyangkut aspek kemampuan meningkatkan produk tivitas atau income.

2. Equity : Menyangkut aspek pengurangan kesenjangan antara berbagai lapisan masyarakat dan daerah.

3. Empowermen : Pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi aktif dalam memperjuangkan nasibnya dan sesamanya.

4. Sustainable : Menyangkut usaha untuk menjaga kelestarian Pembangunan. Paradigma pembangunan nasional yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis People Centre Development, perlu digandeng dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development, adalah “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau

menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.

Konsep pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992.

Perbedaan antara pariwisata lama dan pariwisata baru seperti yang dinyatakan oleh Poon dlm. Faulkner, 1997. terletak pada karakteristik konsumennya, cara pengelolaanya saat ini, teknologi yang diterapkan, dan proses produksi yang membuat pariwisata lama menjadi bentuk yang dikemas secara baku dan kaku, sementara pariwisata baru mengarah ke kelompok yang lebih kecil, lebih luwes dan lebih mandiri.

Perubahan pariwisata yang lain ialah pola ruangnya, arus wisatawan ke Negara berkembang maningkat lebih pesat dari sebelumnya dan juga lebih cepat

dari perubahan arus wisatawan ke negara maju. Arus dari negara maju ke negara maju telah menurun secara proporsional pada sepuluh tahun terakhir ini, karena semakin kuatnya minat wisatawan akan budaya asli daa alam yang murni. Perubahan bentuk pariwisata yang dimksud adalah munculnya pariwisata alternatif yang oleh Edington dan Smith diberi batasan sebagai ”Bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan baik tuan rumah maupun pengunjung untuk menikmati interaksi yang positif dan berarti dan saling membagikan pengalamannya” (Gunawan, 1997).

Pariwisata alternatif merupakan bentuk oposisi dari pariwisata konvensional/ masal. Menurut Wearing dan Neil (2000) pariwisata alternatif didefenisikan sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang menaruh perhatian dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan memberikan kesempatan wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dan saling tukar pengalaman.

Dari karakteristik yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu bentuk dari pariwisata alternatif. Dalam istilah yang paling sederhana, ekowisata dapat digambarkan sebagai kegiatan wisata dengan dampak yang minimal, koservasi, bertanggung jawab dan apresiatif terhadap lingkungan dan budaya masyarakat yang dikunjungi.

Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya penduduk setempat, dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka juga dapat memperoleh manfaat dari lingkungan yang lestari tadi, sehingga kesejahteraan hidup mereka bisa meningkat.

Sehubungan dengan itu pada tahun 1993, The Ecotourism Society memberi rumusan defenisi yang bersifat pro-aktif tentang pengertian ecotourism, yaitu ecotourism is responsible travel to natural areas which conserves the environment

and improves the welfare of local people. Selanjutnya The Ecotourism Society menetapkan delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penamggulangan disesuaikan dengan sifat karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula didalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan, termasuk pengembangan fasilitas dan ulititas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunganlah yang membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan

belanja wisatawan didorong sebesar-besranya, dan dinikmati oleh Negara atau Negara bagian atau pemerintah daerah setempat.

Dalam pekembangannya bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan.Wisatawan ingin berkunjung ke area yang alami, yang dapat menyiptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab dan berpetualang ke area alami, yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Sementara itu Kodhyat , (1997) mengatakan bahwa :

“Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan lainnya. Ekowisata dikembangkan berdasarkan prisip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya”

Dengan demikian, secara ekologis terdapat empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan:

keharmonisan spasial,

pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, membuang limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan

mendesain dan membangun prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan (Dahuri,2003).

Dokumen terkait