• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategic Entrepreneurship (SE)

Dalam dokumen PENGARUH PENGELOLAAN SUMBER DAYA SECARA (Halaman 22-40)

BAB 2 STUDI LITERATUR

2.1 Strategic Entrepreneurship (SE)

Entrepreneurship didefinisikan sebagai kultur organisasi yang memperkaya wealth melalui inovasi dan eksploitasi peluang (Nasution et al. 2011 dalam Ndubisi dan Iftikhar, 2012), yang diwujudkan melalui pengenalan produk-produk baru ke pasar dan pengambilan risiko dengan menggunakan sumber daya untuk aktifitas dengan outcomes yang tidak menentu (Lumpkin dan Dess, 2001 dalam Ndubisi dan Iftikhar, 2012), serta memenuhi kebutuhan dan permintaan dengan menginisiasi inovasi (Ozer dan Topaloglu, 2007 dalam Dogan, 2015). Kaodan Stevenson (2008 dalam Saifan, 2012) mendefinisikan entrepreneurship sebaga upaya untuk menciptakan nilai melalui pemanfaatan peluang-peluang bisnis.

Strategic management menekankan pengambilan keputusan melalui pengelolaan sumber daya dalam kerangka struktur, sistem serta proses dalam organisasi (Kyrgidou dan Hughes, 2010). Pengambilan keputusan dilakukan melalui serangkaian pertimbangan yang komprehensif yang meliputi formulasi, implementasi hingga evaluasi keputusan (David, 2011), dimana seluruh upaya-upaya diarahkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Konsep Strategic Entrepreneurship (SE) pertama kali diperkenalkan sebagai interseksi antara entrepreneurship dan strategy, yang kemudian oleh Hitt et al., (2001) dikembangkan menjadi integrasi konsep keduanya yang sekaligus menjadikan SE sebagai bidang kajian tersendiri. Beberapa definisi SE telah dikemukakan para peneliti. Menurut Kyrgidou dan Hughes (2010), SE merupakan eksploitasi peluang melalui upaya stratejik terukur yang memfasilitasi perusahaan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dengan potensi tertingginya. Sedangkan menurut Ireland, et al. (2001 dalam Ireland ,et al. 2003) SE melibatkan pengambilan tindakan-tindakan entrepreneurial dengan perspektif stratejik. Hitt, et

Universitas Indonesia

al. (2011) mendefinisikan SE sebagai tindakan-tindakan untuk mengeksploitasi keunggulan yang dimiliki (current advantages) dan secara bersamaan mencari peluang baru yang membantu penciptaan nilai dalam jangka panjang.

Ireland, et al. (2001 dalam Luke, 2011) mengidentifikasi enam domain dimana manajemen stratejik dan entrepreneurship dapat dilakukan secara simultan. Domain tersebut yaitu : innovation (penggalian dan implementasi ide); networks yang berkaitan dengan pengelolaan akses pada sumber daya; internationalisation (adaptasi dan pengembangan usaha); organisational learning (transfer dan pengelolaan pengetahuan); growth; serta top management teams and governance (pemilihan dan efektifitas implementasi strategi). Meski merupakan penggabungan Manajemen Stratejik dan Entrepreneurship, SE memberikan penekanan yang lebih pada sisi stratejik yang dianggap sebagai inti dari entrepreneurship (Luke, et al, 2011).

Model SE terus mengalami perkembangan seiring dengan banyaknya penelitian yang dilakukan. Namun, terlepas dari perkembangan teori SE, model konseptual yang pertama dibentuk oleh Ireland, et al. (2003). Terdapat empat dimensi utama dalam model Ireland, et al. (2003) yaitu (1) Pola pikir, budaya dan kepemimpinan entrepreneurial (entrepreneurial mindset culture, and leadership); (2) strategic management of organizational resources, (3) application of creativity, serta (4) pengembangan inovasi (Hitt, et al. 2011).

Hughes dan Kyrgidou (2010) kemudian menyempurnakan model SE Ireland, et al. (2003) dengan memberikan modifikasi yang dianggapnya mampu menutupi beberapa keterbatasan model, misalnya SE yang didefinisikan sebagai penggabungan yang simultan antara entrepreneurship dan strategic management, model dianggap justru menggambarkan linearitas dimana entrepreneurship dan strategic management dilakukan dalam ‘episode’ berbeda secara berurutan.

Universitas Indonesia Gambar 2.1 : Model Strategic Entrepreneurship

Sumber : Ireland, et al. (2003)

Meski model SE mengalami beberapa kali pengembangan Ireland, et al. (2003), Kyrgidou dan Hughes (2010) serta Hitt, et al. (2011), sejatinya komponen SE tidak mengalami perubahan komponen. Hal ini salah satunya dikarenakan pengembangan dalam literatur SE telah bergeser dari model menjadi fokus pada detail konspetual (Luke, at al. 2010), sehingga komponen model SE praktis tidak mengalami perubahan.

2.1.2 EntrepreneurialMindset

Entrepreneurial mindset merupakan cara berpikir tentang bisnis yang fokus untuk menangkap keuntungan (benefit) dalam ketidakpastian (Mc Grath dan Mac Millan, 2000 dalam Ireland, et al .2003). Ireland, et al. (2003) mendefinisikan entrepreneurial mindset sebagai perspektif yang berorientasi pada pertumbuhan (growth-oriented perspective) dimana individu menujukkan fleksibilitas, kreatifitas, inovasi yang berkesinambungan serta pembaharuan. Pola pikir entrepreneurial memastikan individu dan organisasi memantau peluang-peluang yang muncul di lingkungan bisnisnya. Pola pikir ini kemudian dapat terlihat dari sikap yang ditunjukkan orang-orang dalam organisasi. Menurut Ireland, et al. (2003) entreprenuerial mindset terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut. 2.1.2.1 Recognizing Opportunity

Entrepreneurship diasosiasikan dengan pengenalan sesuatu yang baru ke pasar (Davidsson, 2006 dalam Luke, et al. 2011), sehingga organisasi perlu mencari

Entrepreneurial Mindset Entrepreneurial Culture and Leadership Managing Resources Strategically Applying Creativity and Developing Innovation Competitive Advantage Wealth Creation

Universitas Indonesia

celah-celah potensial yang mungkin diisi dengan produk atau jasa baru. Pola pikir kewirausahaan membuat orang-orang dalam organisasi memantau peluang yang muncul dari dinamika lingkungan. Peluang-peluang sering kali muncul diakibatkan adanya informasi asimetris di pasar (Ireland, et al. 2003). Ketidaksamaan informasi yang di miliki membuat hanya sebagian pihak yang mampu melihat peluang potensial. Pola pikir kewirausahaan membuat orang-orang di dalam organisasi merevisi kuantitas dan akurasi informasi yang dimiliki.

2.1.2.2 Entrepreneurial Alertness

Merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi produk atau jasa apa yang feasible mengacu pada peluang yang tersedia. Menurut Tang, et al. (2010), entreprenuerial alertness memiliki 3 dimensi yang komplementer : pemindaian dan pencarian informasi baru (scanning and searching for new information), connecting previously-disparate information, dimana informasi baru yang didapat dikombinasikan dengan pengetahuan dan informasi yang telah lebih dulu diperoleh. Hasil kombinasi ini dapat memuncukan beberapa pilihan yang mungkin dilakukan. Dimensi ketiga adalah evaluasi dan judgement yang menurut Tang, et al. (2010) merupakan elemen yang paling penting dari entrepreurial alertness. Evaluasi dilakukan terhadap sejumlah kemungkinan yang berhasil diidentifikasi sebelumnya untuk kemudian ditentukan apakah peluang tersebut akan dimanfaatkan atau tidak. Mc Mullen dan Shepherd (2006 dalam Tang, et al. 2010) membagi evaluasi dan judgement ini kedalam 2 tahapan. Tahapan pertama yaitu attention and third-person opportunity, tahap dimana perusahaan mengidentifikasi peluang serta kapabilitas apa yang diperlukan. Tahapan kedua yaitu evaluation and first-person opportunity, merupakan tahap dimana entrepreneur berusaha mencapai kapabilitas tersebut agar mampu dengan sepenuhnya mengeksploitasi peluang.

2.1.2.3 Real Options Logic

Perusahaan mengidentifikasi jenis produk/jasa yang dipandang prospektif disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, baik dari aspek finansial, sosial, hukum, dan sebagainya. Pemilihan peluang yang tepat menurut Ireland, et al. (2003) akan meminimalisir pemborosan sumber daya serta dapat meningkatkan kosentrasi pada peluang yang paling penting.

Universitas Indonesia

2.1.2.4 Entreprenuerial Framework

Dimensi ini meliputi tindakan-tindakan seperti penetapan tujuan, serta penentuan waktu yang tepat untuk mengeksploitasi peluang (Ireland, et al. 2003). Pada tahapan ini aspek manajemen stratejik sangat dominan dilakukan agar upaya-upaya pemanfaatan peluang dapat dilakukan secara efektif.

2.1.2.5 Opportunity register

Sebagaimana Ireland, et al. (2003) dan Luke, et al. (2010) yang menekankan pertumbuhan serta keunggulan kompetitif dalam jangka panjang, dokumentasi sangat diperlukan agar peluang dapat dimanfaatkan lintas waktu serta antar bagian organisasi. Dengan cara ini, menurut Ireland, et al. (2003) peluang yang telah teridentifikasi salah satu bagian/divisi dapat dieksploitasi oleh bagian lain dengan lebih baik.

2.1.3 Entrepreneurial Culture

Budaya organisasi merupakan sistem dari sebuah nilai bersama yang diyakini (shared value) dan kepercayaan yang membentuk struktur perusahaan dan tindakan anggota-anggotanya untuk menciptakan norma perilaku/behavioral norms (Dess dan Picken, 1999 dalam Ireland, et al. 2003).

Menurut Ireland, et al. (2003), budaya entrepreneurial perusahaan dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut.

2.1.3.1 New ideas and creativity are expected

Ketika menghadapi permasalahan atau tantangan baru, secara umum terdapat kecenderungan untuk mengandalkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu untuk memperoleh solusi (Liao, at al. 2008). Namun, menghadapi lingkungan yang kompleks serta kompetisi yang semakin ketat, diperlukan solusi-solusi yang inovatif melalui ide-ide yang kreatif. Budaya kewirausahaan dalam sebuah organisasi mendukung lahirnya ide-ide kreatif dari semua elemen organisasi. Namun untuk dapat melakukannya diperlukan kondisi internal yang mendukung. Menurut Mc Guire (2003) komunikasi yang terbuka (open communication), kerja sama (cooperation), serta adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat bagi karyawan (voice) merupakan bagian dari budaya kewirausahaan.

Universitas Indonesia

2.1.3.2 Risk taking

Orang-orang dalam organisasi diperbolehkan untuk mengambil risiko sesuai dengan wewenang dan tugasnya masing-masing. Budaya entrepreneur tercermin dari bagaimana organisasi menyikapi risiko dan bersikap kepada orang-orang yang mengambil risiko serta kegagalan yang dialami (Mc Guire, 2003).

2.1.3.3 Failure is tolerated

Dalam budaya kewirausahaan, kegagalan dipandang sebagai kesempatan untuk belajar lebih baik. Dalam survey Ernst dan Young (2013), Indonesia digolongkan memiliki budaya kewirausahaan yang konservatif, namun tetap suportif untuk berwirausaha. Inovasi mendapat prioritas yang rendah, ditandai dengan rendahnya alokasi sumber daya untuk pengembangan dan penciptaan produk/jasa yang baru. Namun, di sisi lain, mayoritas masyarakat Indonesia memandang kegagalan sebagai peluang pembelajaran, sehingga kegagalan dipandang bukan sebagai akhir melainkan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

2.1.3.4 Learning is promoted

Merupakan budaya dimana semua orang dalam organisasi didorong untuk terus belajar dan mengembangkan diri, baik melaui sumber pembelajaran yang berasal dari internal maupun dari organisasi. Dalam skala organisasi, budaya entrepreneurial erat dengan organizational learning. Menurut March, et al. (1988) organisasi pembelajar memeroleh sumber pembelajarannya baik dari pengalaman langsung (direct experience) serta pengalaman pihak lain (experience of others). Tidak hanya itu, menurut March, et al. (1988) organisasi juga perlu membangun kerangka konseptual atau paradigma bagaimana menerjemahkan pengalaman tersebut untuk kepentingannya.

2.1.3.5 Product, process and administrative innovations are championed. Inovasi bukan hanya mengenai ide, tetapi juga mengenai bagaimana mengenali ide-ide baru yang potensial untuk diterapkan (Burkus, 2013). Sering kali ide-ide baru yang muncul dari karyawan tidak tereksploitasi, baik karena sistem komunikasi yang downward maupun karena organisasi yang terlalu mekanistis. Oleh karena itu, inovasi yang digalakan tidak hanya dalam tataran produk dan

Universitas Indonesia

proses, tetapi juga dalam administrasi. Budaya kewirausahaan mendukung inovasi dalam produk, proses, serta administrasi.

2.1.3.6 Continuous change is viewed as a conveyor of opportunities

Budaya entrepreneurship dalam organisasi menciptakan pandangan terhadap perubahan secara positif. Perubahan dipandang sebagai sarana menciptakan peluang-peluang baru yang dapat memberikan keuntungan bagi organisasi. Sebaliknya, budaya non-entrepreneurial memberikan pandangan yang negatif terhadap perubahan sehingga organisasi cenderung antipati dan resisten terhadap perubahan, bahkan jika itu benar-benar mendesak dilakukan.

2.1.4 Entrepreneurial Leadership

Meski memiliki berbagai definisi, kepemimpinan secara umum didefinisikan sebagai sebuah proses aktif seseorang dalam menggunakan pengaruhnya kepada satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu (O’Neil, 2008). Dalam konteks entrepreneurial, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengatur sumber daya secara stratejik agar dapat melakukan pencarian peluang (opportunity-seeking) serta memanfaatkannya menjadi keunggulan (advantage-seeking behaviors) (Covin dan Slevin, 2002 dalam Ireland, et al. 2003). Pemimpin berperan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan risiko serta menyediakan ruang yang cukup bagi bawahannya untuk mencari peluang serta kemungkinan-kemungkinan baru selain dari pada karyawanan-karyawanan rutin.

Budaya dan kepemimpinan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan organisasi. Schein (2010) menyatakan budaya organisasi berasal dari 1) kepercayaan, nilai, serta asumsi dari pendiri, 2) pengalaman belajar para anggota organisasi serta 3) kepercayaan, nilai-nilai, serta asumsi baru yang dibawa pimpinan serta para anggota baru. Dalam hal ini, Schein (2010) menekankan hubungan yang erat antara karakteristik pendiri/pimpinan yang tercermin dari nilai-nilai, kepercayaan, serta asumsi dengan budaya yang terbentuk.

Ireland, et al. (2003) mengidentifikasi terdapat enam karakeristik dari kepemimpinan kepemimpinan kewirausahaan, yaitu :

Universitas Indonesia

2.1.4.1 Nourish an entrepreneurial Capability

Human capital adalah sumber perilaku Strategic Entrepreneurship (Ireland, et al. 2003), sehingga keberhasilan aplikasi SE ditopang oleh kapabilitas sumber daya manusia yang melakukannya. Seorang Entreprenurial leader, berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan tidak hanya dirinya saja, tetapi juga karyawan-karyawannya, baik keterampilan dan kemampuan manajerial untuk dapat mengelola sumber daya secara stratejik.

2.1.4.2 Protect innovations threatening the current business

Budaya dan kepemimpinan memiliki keterkaitan yang erat. Budaya kewirausahaan yang mendukung inovasi tidak akan tercipta tanpa intervensi pimpinan yang membentuk budaya tersebut. Inovasi, terutama yang tergolong disruptive innovation sering ancaman baik bagi karyawan secara pribadi maupun pada organiasi. Kondisi ini menurut Liao, et al. (2008) dapat menciptakan kelembaman pengetahuan (knowledge inertia) dimana organisasi menolak belajar hal baru dan cenderung bergantung sepenuhnya pada pakem-pakem yang sudah ada. Kepemimpinan kewirausahaan yang efektif membagi informasi dengan anggota organisasi secara terbuka (Ireland, et al. 2003) bahwa inovasi dapat memberikan keuntungan bagi individu dan organisasi secara keseluruhan.

2.1.4.3 Make sense of opportunities

Anggota organisasi akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya jika mereka juga dilibatkan secara aktif dalam upaya mengeskploitasi peluang baru, misalnya untuk menjangkau konsumen baru yang potensial. Seorang entrepreneurial leaders mampu menyampaikan nilai dari peluang tersebut serta bagaimana peluang tersebut bermanfaat bagi organisasi serta bagi individu (Ireland, et al. 2003).

2.1.4.4 Question the dominant logic

Dominant logic menggambarkan bagaimana pemimpin mengkonsepsikan (Prahalad dan Bettis, 1986 dalam Ireland, et al. 2003). Govindarajan (2012) menggunakan istilah institutionalized thinking, yaitu pemikiran yang sudah melembaga dan mendasari seluruh tindakan dan keputusan bisnis yang diambil. Dominant logic berpotensi menimbulkan masalah karena dapat membuat seorang

Universitas Indonesia

leaders terjebak untuk mengulangi cara-cara lama yang dianggap telah sukses. Seorang entrepreneurial leaders mengevaluasi asumsi-asumsi yang mendasari dominant logic untuk memastikan bahwa perusahaannya berada pada jalur yang benar untuk dapat memanfaatkan peluang bisnis yang ada (Ireland, et al. 2003). 2.1.4.5 Revisit the “deceptively simple questions

Untuk memastikan perusahaan berada dalam jalur yang diinginkan, entrepreneurial leader perlu menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan mendasar seperi, tujuan perusahaannya, bagaimana keberhasilan diukur serta potensi pasar yang sedang ia masuki (Ireland, et al. 2003). Pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan untuk menjaga perusahaan berada dalam jalur yang direncanakan. 2.1.4.6 Link entrepreneurship and strategic management

Entrepreneurship leader menyatukan manajemen stratejik dengan entrepreneurship melalui pengelolaan sumber daya yang stratejik. Menurut Ireland, et al. (2003), keksuksesan manajemen stratejik dengan entrepreneurship tercapai saat pemimpin dapat mendukung terciptanya budaya yang menunjang pengelolaan sumber daya secara stratejik dalam organisasinya.

2.2 Managing Resources Strategically

Pengelolaan sumber daya menjadi penting saat organisasi dihadapkan pada persaingan dimana masing-masing pihak memperkuat dirinya untuk dapat bertahan atau bahkan mengungguli kompetitornya. Dalam kewirausahaan, kreatifitas masih menjadi inti tetapi fokus juga diberikan pada upaya peningkatan skil dan sumber daya yang tersedia.

Wernerfelt (1984) menggeser paradigma mengenai keunggulan kompetitif organisasi yang semula bertumpu pada sisi produksi menjadi pada sisi sumber daya. Analisis competitive advantage organisasi tidak lagi bertumpu pada seberapa banyak produk yang dihasilkan, tetapi lebih kepada seberapa banyak sumber daya yang dimiliki dan bisa dikendalikan perusahaan. Dalam RBV, terdapat dua asumsi sebagai landasan : (1) resource heterogeneity, bahwa perusahaan yang bersaing memiliki atau mampu mengontrol sejumlah (bundles) sumber daya yang berbeda dan (2) resource immobility, bahwa adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki

Universitas Indonesia

oleh masing-masing perusahaan persisten (Barney, 1991 dalam Ireland, et al. 2003) dalam artian tidak mudah berpindah pada pihak lain.

Pengelolaan sumber daya secara stratejik menurut Sirmon, et al. (2007 dalam Hitt, et al. 2009) merupakan proses komprehensif yang meliputi penataan sumber daya (structuring a firm’s resource portfolio), bundling the resources to

build capabilities, serta leveraging capabilities.

Gambar 2.4 : Tahap-tahap dalam Managing Rersoures Strategically

Sumber : Ireland, et al. (2003)

2.2.1 Structuring The Resource Portfolio

Resource portfolio merupakan kumpulan dari semua sumber daya tangible (finansial) dan intangi ble (social dan human capital) yang dimiliki dan dikontrol oleh perusahaan (Dierickx dan Cool, 1989; Makadok, 2001 dalam Ireland, et al. 2003). Penataan (structuring) portofolio sumber daya melibatkan proses akuisisi (acquiring), akumulasi dan menghilangkan (deleting) sumber daya (Hitt, et al. 2009). Penataan ini memungkinkan perusahaan mengetahui dimana kekurangan dan atau kelebihan sumber daya yang dimiliki yang dalam perspektif RBV juga mencerminkan kunggulan kompetitif perusahaan. Disamping itu, penataan sumber daya tidak hanya tentang menambah atau mengurangi semata. Lebih dari itu, nilai dari sumber daya, baik itu nilai terkininya (present value) maupun nilainya di masa depan (future value) juga harus menjadi pertimbangan karena tanpa pemahaman terhadap nilai dari sumber daya tersebut, perusahaan akan kesulitan membangun keunggulan kompetitif (Ireland, et al. 2003).

2.2.2 Bundling Resources

Bundling mengacu pada proses pengintegrasian sumber daya untuk membangun kapabilitas (Hitt, et al. 2009). Proses bundling terdiri atas (1) stabilizing, atau penambahan/peningkatan minor terhadap kapabilitas yang sudah

Structuring The Resource

Universitas Indonesia

ada;(2) enriching, yaitu perluasan kapabilitas;dan (3) pioneering dengan menciptakan kapabilitas yang baru (Hitt, et al. 2011).

Tidak semua sumber daya dapat dijadikan sumber keunggulan kompetitif. Proses bundling menyeleksi sumber daya mana saja yang akan dimanfaatkan lebih jauh. Manajer harus memilih bagian dari sumber daya untuk di bundle untuk membangun kapabilitas yang dibutuhkan untuk berkompetisi secara efektif (Hitt, et al. 2009).

2.2.3 Leveraging Capabilities

Leveraging melibatkan proses eksploitasi kapabilitas untuk memperoleh keuntungan dari peluang-peluang pasar tertentu (Hitt, et al. 2011). Proses eksploitasi yang dimaksud Ireland, et al. (2011) meliputi : (1) mobilizing, menyediakan rencana atau visi tentang kapabilitas apa yang dibutuhkan sebagai syarat melakukan konfiguasi kapabilitas, (2) coordinating, yaitu mengintegrasikan kapabilitas, (3) deploying, dimana peluang pasar atau strategi entrepreneurial di eksploitasi menggunakan kapabilitas yang sudah ada. Dalam tahap leveraging, peran skil, pengalaman, dan pengetahuan sangat penting. Kesuksesan leveraging sering kali berasal dari pengalaman, yang merupakan sumber utama dari pengetahuan tacit (Sirmon dan Hitt, 2003 dalam Ireland, et al. 2003).

Ireland et al. (2003) kemudian merinci jenis-jenis resources yang harus di kelola secara stratejik yaitu: (1) financia capital, berkaitan dengan segala bentuk sumber daya moneter yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi, (2) human capital, merupakan keahlian, pengalaman dan pengetahuan individu di dalam perushaan. Dengan lebih komprehensif, human capital didefinisikan sebagai kapabilitas, pengetahuan, keahlian dan pengalaman para karyawan dan manager perusahaan yang relevan dengan tugas-tugasnya dan serta kapasitas untuk menambah pengetahuan, skil dan pengalaman melalui pembelajaran individual (Dess dan Lumpkin, 2001: 26 dalam Ireland, et al. 2003). Human capital menjadi penting dikelola karena banyak pengetahuan dalam organisasi, terutama yang sifatnya tacit sulit untuk didokumentasikan. (3) social capital, merupakan kumpulan hubungan antara individu dan organisasi (external social capital) yang memfasilitasi tindakan (Hitt dan Lee, et al. 2002 dalam Ireland, et al. 2003). Modal sosial yang dimiliki organiasi

Universitas Indonesia

membantunya untuk berinteraksi dengan individu dan organisasi di lingkungan eksternal, sehingga memungkinkan pengadaan sumber daya, baik finansial maupun non finansial (misalnya pengetahuan, dan sebagainya) dari sumber yang lebih beragam. Social Capital yang baik di lingkungan internal organisasi juga membantu menciptakan suasana kondusif bagi sirkulasi informasi dan pengetahuan yang telah diperoleh.

2.3 Inovasi

2.3.1 Pengertian Inovasi

Inovasi sering dikaitkan dengan produk baru, temuan baru atau invensi, teknologi baru, cara baru, model baru, dan hal-hal lain yang berbau baru. Namun, terlepas dari bagaimana inovasi diasosiasikan, pertanyaan yang paling penting yang harus dijawab adalah apakah hal-hal baru tersebut berhasil menciptakan nilai guna bagi konsumen dan/atau pengguna, yang pada gilirannya juga memberikan nilai tambah bagi produsen (Fontana, 2010)

Beragamnya asosiasi terhadap inovasi juga berdampak terhadap beragamnya definisi mengenai apa itu inovasi. Berikut ini merupakan 12 definisi mengenai inovasi.

Tabel 2.1 : Definisi Inovasi

Item Deskripsi

Menciptakan sesuau yang baru Merujuk pada inovasi yang menciptakan

pergeseran paradigma dalam ilmu, teknologi, struktur pasar,keterampian, pengetahuan, dan kapabilitas.

Menghasilkan hanya ide-ide baru Merujuk pada kemampuan untuk menemukan

hubungan-hubungan baru, melihat suatu subyek dengan perspektif baru dan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari konsep-konsep lama.

Menghasilkan ide, metode atau alat baru

Merujuk pada tindakan menciptakan produk baru atau proses baru. Tindakan ini mencakup invensi dan karyawanan yang diperlukan untuk mengubah ide atau konsep menjadi bentuk akhir

Universitas Indonesia (Lanjutan)

Item Deskripsi

Memperbaiki sesuatu yang sudah ada

Merujuk pada perbaikan barang atau jasa untuk produksi besar-besaran atau produksi komersial, atau perbaikan sistem.

Menyebarkan ide-ide baru Menyebarkan dan menggunakan praktik-praktik

baru di dunia. Mengadopsi sesuatu yang baru yang

sudah dicoba secara sukses ditempat lain

Merujuk pada pengadopsian sesuatu yang baru atau yang secara signifikan diperbaiki, yang dilakukan oleh organisasi untuk menciptakan nilai tambah, baik secara langsung untuk organisasi maupun secara tidak langsung untuk konsumen.

Melakukan sesuatu dengan cara yang baru

Melakukan tugas dengan cara yang berbeda secara radikal

Mengikuti pasar Merujuk pada inovasi yang berbasiskan kemauan

pasar

Melakukan perubahan Melakukan perubahan-perubahan yang

memungkinkan adanya perbaikan

Menarik orang-orang inovatif Menarik/merekrut dan mempertahankan

kepemimpinan dan manajemen talenta dan

manajemen manusia (people management) untuk

memandu jalannya inovasi Melihat sesuatu dari perspektif yang

berbeda

Melihat suatu masaah dari sudut pandang yang berbeda

Meskipun memiliki banyak definisi dengan aplikasi yang beragam, definisi inovasi dapat dirangkum sebagai kesuksesan ekonomi dan sosial berkat diperkenalkannya cara baru atau kombinasi cara baru dari cara-cara lama dalam mentransformasikan input menjadi output yang menciptakan perubahan besar dalam hubungan antara nilai guna dan harga yang ditawarkan pada konsumen dan/atau pengguna, komunitas, sosietas, serta lingkungan (Fontana, 2010).

Sumber : Goswani dan Matheuw (2005), PDMA (2008) , De Meyer dan Garg (2005);dalam Fontana (2010)

Universitas Indonesia

Terlepas dari banyaknya definisi dan aplikasi yang beragam, kecenderungan definisi mengenai inovasi terutama yang terkait dengan konteks manajerial lebih banyak difokuskan pada inovasi dalam teknologi (Freeman dan Soete, 2000 dalam Liao, et al. 2008). Pandangan ini, yang hanya melihat inovasi dari satu sudut pandang saja, menjadi tidak relevan bagi organisasi yang pada kenyataannya memiliki proses dan lingkungan bisnis yang berbeda satu dengan lainnya. Kondisi ini seringkali membuat proses inovasi menjadi tidak efektif karena panduan-panduan mengenai inovasi didasarkan pada asumsi bahwa organisasi menghadapi permasalahan yang sama, padahal setiap organisasi menghadapi tantangan inovasi yang berbeda dan membutuhkan solusi yang berbeda pula (Fontana, 2010). Keseimbangan pengetahuan eksternal dan internal diperlukan agar inovasi tidak dilakukan secara ad hoc dengan hanya mengimpor cara-cara tertentu untuk menangani masalah-masalah yang sifatnya situasional.

Organisasi tidak bisa begitu saja mengimpor langkah-langkah baru dari luar

Dalam dokumen PENGARUH PENGELOLAAN SUMBER DAYA SECARA (Halaman 22-40)

Dokumen terkait