Universitas Indonesia
PENGARUH PENGELOLAAN SUMBER DAYA SECARA
STRATEJIK, POLA PIKIR, BUDAYA SERTA
KEPEMIMPINAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP PROSES
INOVASI : STUDI KASUS UMKM DI DEPOK DAN JAKARTA
SELATAN
Skripsi
Dede Puad Mansur
1106021216
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
DEPOK
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Dede Puad Mansur
NPM : 1106021216
Tanda Tangan :
Materai Rp.6000,-
Universitas Indonesia HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Dede Puad Mansur
NPM : 1106021216
Program Studi : Manajemen
Judul Skripsi : Pengaruh Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik, Pola Pikir, Budaya Serta Kepemimpinan Kewirausahaan
Terhadap Proses Inovasi : Studi Kasus UMKM di Depok Dan Jakarta Selatan
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Avanti Fontana, C.F,. C.C., Ph.D ( )
Penguji : Niken Ardiyanti, S.Psi., M.Psi ( )
Penguji : Dra.Siti Basrochah, M.Kom ( )
Ditetapkan di : Depok
Universitas Indonesia ABSTRAK
Nama : Dede Puad Mansur
Program Studi : Manajemen
Judul Skripsi : Pengaruh Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik, Pola Pikir, Budaya Serta Kepemimpinan Kewirausahaan Terhadap Proses Inovasi : Studi Kasus UMKM di Depok Dan Jakarta Selatan
Penelitian ini menggunakan model Strategic Entrepreneruship (SE) Model yang dikembangkan Ireland et al.(2003), yang menggabungkan manajemen stratejik dan kewirausahaan. Dalam perspektif SE, untuk meningkatkan daya saing diperlukan pengelolaan sumber daya secara stratejik yang membuahkan inovasi sebagai salah satu sumber keunggulan kompetitif. Namun sebelumnya, diperlukan pola pikir, budaya, dan kepemimpinan entrepreneurial sebagai prasyarat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola pikir, budaya, dan kepemimpinan entrepreneurial dan pengelolaan sumber daya secara stratejik terhadap inovasi pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Sebanyak 86 pemilik UMKM di Jakarta dan Depok dilibatkan dalam penelitian. Data yang diperoleh kemudian dioleh menggunakan metode Partial Least Square (PLS). Hasilnya diketahui bahwa budaya dan kepemimpinan entrepreneurial memberikan pengaruh paling signifikan terhadap inovasi pada UMKM.
Universitas Indonesia ABSTRACT
Name : Dede Puad Mansur
Study program : Management
Title : The Influence of Managing Resources Strategically, Entrepreneurial Mindset, Entreprenurial Culture, and
Entreprenurial Leadership Towards Innovation Process : The Case of Micro, Small and Medium Enterprises In Depok And South Jakarta.
This study uses Strategic Entrepreneruship (SE) Model from Ireland et al.,(2003), that’s combined strategic management and entrepreneurship on its analysis. On SE perspective, the ability to manage resources strategically and innovation is needed to build firm competitiveness. But in the other hand, firms need an entrepreneurial mindset, entrepreneurial culture, and entrepreneurial leadership as necessary condition. This study aims to investigate the effect of entrepreneurial mindset, entrepreneurial culture, entrepreneurial leadership and managing resources strategically on Small Medium Enterprise’s Innovation. Responses from 86 SME’s owners who resides in Jakarta and Depok was involved in the study. Data collection was analyzed using Partial Least Square (PLS) method. This study finds that entrepreneurial culture and leadership have the strongest effect on SME’s Innovation.
Universitas Indonesia
1.4 Kontribusi Penelitian ... 8
1.5 Sistematika Penulisan ... 9
BAB 2 STUDI LITERATUR ... 10
2.1 Strategic Entrepreneurship (SE) ... 10
2.1.1 Definisi Model SE ... 10
3.2 Model dan Hipotesis Penelitian ... 29
Universitas Indonesia
3.4 Responden Penelitian ... 33
3.5 Metode Pengambilan Sampel ... 33
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.6.1 Data Primer ... 34
3.6.2 Data Sekunder ... 34
3.7 Alat Ukur Penelitian ... 34
3.7.1 Kuesioner ... 34
3.7.2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 35
3.7.3 Hasil Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 35
3.8 Metode Analisis Data ... 39
3.8.1Analisis Deskriptif ... 39
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 42
4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 42
4.3 Statistik Deskriptiff ... 46
4.3.1 Analisis Deskriptif Konstruk Entrepreneurial Mindset (EM) ... 46
4.3.2 Analisis Deskriptif Konstruk Entrepreneurial Culture (EC) ... 47
4.3.3 Analisis Deskriptif Konstruk Entrepreneurial Leadership (EL) ... 47
4.3.4 Analisis Deskriptif Konstruk Managing Resources Srategically (MRS) ... 48
4.3.5 Analisis Deskriptif Konstruk Innovation ... 48
4.4 Evaluasi Measurement Model (Outer Model) ... 49
4.4.1 Convergent Validity ... 49
4.4.2 Discriminant Validity ... 53
4.5 Evaluasi Model Struktural (Inner Model) ... 56
4.5 Pengujian Hipotesis ... 59
4.6 Analisi Model Secara Keseluruhan ... 66
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
5.1 Kesimpulan ... 68
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 69
5.3 Implikasi Manajerial ... 70
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Hasil Importance Performance Analysis UMKM di Depok ... 1
Tabel 2.1 : Definisi Inovasi ... ...22
Tabel 3.1 : Hipotesis Penelitian ... ...30
Tabel 3.2 : Validitas dan Realibiltas Konstruk Entrepreneurial Mindset ... 36
Tabel 3.3 : Validitas dan Realibiltas Konstruk Entrepreneurial Culture ... 37
Tabel 3.4 : Validitas dan Realibiltas Konstruk Entrepreneurial Leadership ... 37
Tabel 3.5 : Validitas dan Realibiltas Konstruk Managing Resources Strategically ... 38
Tabel 3.6 : Validitas dan Realibiltas Konstruk Innovation ... 39
Tabel 4.1 : Jenis Kelamin Responden ... 43
Tabel 4.2 : Usia Responden ... 43
Tabel 4.3 : Pendidikan Terakhir Responden ... 44
Tabel 4.4 : Jumlah Karyawan ... 44
Tabel 4.5 : Bidang Usaha Responden ... 45
Tabel 4.6 : Kategori Rerata ... 46
Tabel 4.7 : Rerata Indikator dan Konstruk Entrepreneurial Mindset ... 46
Tabel 4.8 : Rerata Indikator dan Konstruk Entrepreneurial Culture ... 47
Tabel 4.9 : Rerata Indikator dan Konstruk Entrepreneurial Leadership ... 47
Tabel 4.10 : Rerata Indikator dan Konstruk Entrepreneurial Culture ... 48
Tabel 4.11 : Rerata Indikator dan Konstruk Innovation ... 48
Tabel 4.12 : Validitas Indikator Entrepreneurial Mindset ... 49
Tabel 4.13 : Validitas Indikator Entrepreneurial Culture ... 49
Tabel 4.14 : Validitas Indikator Entrepreneurial Leadership ... 50
Tabel 4.15 : Validitas Indikator Managing Resources Strategically ... 50
Tabel 4.16 : Valliditas Indikator Innovation ... 51
Tabel 4.17 : Uji Signifikansi Validitas Indikator ... 52
Tabel 4.18 : Uji Reliabilitas Konstruk Penelitian ... 53
Tabel 4.19 : Nilai Cross Loadings ... 54
Tabel 4.20 : Nilai AVE ... 55
Tabel 4.21: Korelasi Antar Variabel Laten ... 56
Tabel 4.22 : Signifikansi Path Coefficient ... 57
Tabel 4.23 : Koefisien Determinasi Variabel Dependen ... 57
Tabel 4.24 : Perhitungan Nilai Communality ... 58
Universitas Indonesia DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia DAFTAR GRAFIK
Universitas Indonesia Daftar Lampiran
Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian……….78 Lampiran 2 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Entrepreneurship Culture…………. 83 Lampiran 3 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Entrepreneurship Leadership……. 85 Lampiran 4 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Enterpreneurship Mindset………….89 Lampiran 5 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Managing Resources Strategically .93
Lampiran 6 : Uji Validitas Dan Reliabilitas Innovation ………...97 Lampiran 7 : Output Outer Model ………...…………...101
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan daya saing Usaha Kecil dan Menengah di kawasan ASEAN
telah mendapat perhatian serius sebagaimana tertuang dalam cetak biru ASEAN
Economic Community (AEC) pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-13 ASEAN di Singapura (2007) sebagai kelanjutan Bali Concord II tahun 2003. Cetak biru AEC
sendiri memuat empat tujuan sebagai pilar utama, salah satunya pertumbuhan
ekonomi yang merata yang kemudian diterjemahkan kedalam dalam bentuk inisiatif
pengembangan UKM.
Penelitian yang dilakukan ERIA (2014) menunjukkan peran penting Usaha
Kecil dan Menengah dalam integrasi ekonomi di ASEAN mengingat 89-99 persen
perusahaan yang terdaftar negara-negara ASEAN tergolong usaha kecil dan
menengah. Di Indonesia, tidak hanya UKM, usaha mikro juga berperan serta dalam
penyediaan lapangan kerja serta turut berkontribusi pada PDB. Data Badan Pusat
Statistik tahun 2012 mencatat jumlah UMKM mendominasi 95 persen dari total
unit bisnis yang ada. Pada tahun 1997 jumlah UMKM terdaftar lebih dari 39 juta
unit. Jumlah ini terus mengingkat hingga pada tahun 2012, telah mencapai lebih
dari 56 juta unit. Dari sisi serapan tenaga kerja, hingga tahun 2012, UMKM di
Indonesia telah menyerap 107,7 juta tenaga kerja dengan menyediakan 97,2 %
lapangan karyawanan. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM) juga berperan
penting di dalam meningkatkan ekonomi nasional karena sekitar 99 persen tenaga
kerja bekerja di UMKM dan kontribusi UMKM pada Produk Domestik Bruto
(PDB) lebih dari 55 persen (Badan Pusat Statistik, 2012).
Asesmen oleh Ernst dan Young (2013) dalam Entrepreneurship Barometer
2013 menujukkan secara umum Indonesia memiliki budaya yang konservatif
namun tetap mendukung kewirausahaan. Budaya konservatif tercermin dari
Universitas Indonesia
bergantung pada adopsi teknologi dan metode-metode dari luar negeri dari pada
menciptakan home-grown innovation,serta adanya kecenderungan risk averse juga semakin mengukuhkan budaya yang konservatif. Namun, terlepas dari kelemahan
tersebut, banyak entrepreneur yakin bahwa kultur Indonesia mendukung kewirausahaan. Sebagai contoh, survey BBC (2011) mengenai sikap terhadap
memulai usaha baru menempatkan Indonesia pada posisi pertama sebagai negara
entrepreneur. Fakta ini menjadi logis dikarenakan penduduk angkatan kerja didominasi oleh lulusan SMA atau lebih rendah. Hal ini menyulitkan mereka untuk
memasuki pasar kerja formal dimana persaingan sangat ketat, sehingga membuka
bisnis sendiri merupakan salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan
Grafik 1.1: Pertumbuhan UMKM dan Jumlah Tenaga Kerja UMKM
Tahun 1997-2012
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012
Indonesia juga memiliki potensi kewirausahaan yang tinggi. Survey yang
dilakukan Global Entrepreurship Monitor (GEM) pada tahun 2013 dan 2014 memperlihatkan potensi kewirausahaan melalui tiga indikator, yaitu: persepsi
mengenai peluang (perceived opportunities), persepsi mengenai kemampuan
(perceived capabilities,) dan keberadaan seseorang yang dikenal sebagai figur
entrepreneur (role model). Indonesia memiliki perceived opportunity yang tinggi
dimana 47 persen dari penduduk usia kerja (usia 18 sampai dengan 64 tahun)
melihat kesempatan bagus untuk memulai usaha di sekitar mereka. Perceived
capability penduduk usia kerja juga tergolong tinggi dimana 62 persen percaya
bahwa mereka memiliki keterampilan, pengetahuan dan pengalaman untuk
memulai bisnis baru. Pada survey tahun 2014, meski menunjukkan penurunan
perceived opportunity menjadi 45,5 persen dan perceived capabilities 60,2 persen,
Universitas Indonesia
Indonesia masih lebih baik dari pada rata-rata negara-negara ASEAN (Perceived
Opportunity 39,7 persen serta Perceived Capabilities 49,1 persen). Sementara itu, indikator Role model ukuran persepsi orang dewasa berusia antara 18 dan 64 tahun
yang mengenal seseorang yang memiliki usaha secara personal dalam 2 tahun
terakhir. Survey GEM (2013) menujukkan 67 persen penduduk usia produktif
mengenal/memiliki relasi dengan orang-orang yang memilki bisnis.
Sumber : ASEAN Regional Entrepreneurship Report tahun 2014 dan 2015 telah diolah kembali
Terlepas dari potensi kewirausahaan yang dimiliki, perkembangan UMKM
di Indonesia masih mengalami beberapa permasalahan. Menurut AI-Qirim (dalam
Halim, et al. 2014) kebanyakan UMKM miskin akan sumber daya di bidang
keuangan serta keterampilan akan teknologi informasi (IT/IS). Ditambah lagi,
dalam perkembangannya, UMKM di Indonesia masih menghadapi berbagai
permasalahan antara lain produktivitas yang rendah serta akses pendanaan dan
pasar yang terbatas, serta share ekspor yang menurun (Hartanto, et al. 2013).
Berbagai keterbatasan mengakibatkan UMKM cenderung memiliki daya saing
yang rendah dibanding perusahaan besar. Banyak perusahaan mikro, kecil dan
menengah yang mengalami kegagalan dalam usia yang prematur.
Hubeis dan Lupioyadi (2004 dalam Halim, et al. 2014) menemukan hampir
80 persen perusahaan baru di Indonesia gagal pada 5 tahun pertama. Temuan
Hubeis dan Lupioyadi tidak jauh berbeda dengan temuan Wirasasmita (1998 dalam
Suryana, 2002) sebelumnya yang menemukan bahwa tingkat kegagalan UKM
dalam 5 tahun pertama berbisnis sekitar 79 persen. Al Qirim (2010) juga
Universitas Indonesia
melewati 5 tahun pertamanya. Temuan Wirasasmita (1998), Hubeis dan Lupioyadi
(2004) serta Al Qirim (2010) menunjukkan kinerja yang relatif rendah yang
berakibat pada rendahnya daya saing UMKM. Rendahnya daya saing ini menjukan
kewirausahaan di Indonesia masih memerlukan perbaikan.
Fontana (2010) menggarisbawahi dua jalur solusi yang perlu ditempuh
untuk meningkatkan kewirausahaan di Indonesia. Pertama jalur institusional, yaitu
dengan menciptakan sinergisitas pemerintah dan jajarannya. Kedua adalah faktor
individu yaitu dengan meningkatan pendidikan kewirausahaan sejak dini melalui
pendidikan formal dan pendidikan informal di keluarga. Namun di sisi lain, kedua
solusi ini belum dapat dilakukan dengan baik, sehingga UMKM masih bergelut
dengan kinerja yang rendah.
Penelitian yang dilakukan Wahyuningrum, et al. (2014) terhadap UMKM
di Depok memberikan gambaran bagaimana sinergisitas UMKM dengan
pemerintah belum maksimal. Dari faktor individu, Wahyuningrum, et al. (2014)
menyimpulkan bahwa penyebab utama rendahnya kinerja UMKM adalah
rendahnya kemampuan manjerial pemilik serta dari kurangnya etos kerja, motivasi
dan pengembangan diri, lambatnya proses pembelajaran, serta sistem rekrutmen
yang belum baik, yang berimbas permasalahan lain seperti metode produksi,
material, lingkungan kerja serta pengukuran kualitas yang belum jelas. Melalui
analisis Importance Performance Analysis (IPA) yang dilakukan terungkap bahwa
pengembangan sumber daya memamg diakui sebagai hal yang penting, tetapi
memperoleh prioritas yang rendah.
Tabel 1.1 Hasil Importance Performance Analysis UMKM di Depok
No. Prioritas Utama Prioritas Rendah 1 Sarana dan Prasarana, Laporan keuangan,
2 Standar Mutu, Standar pelaksanaan produksi, 3 Budaya Organisasi, Administrasi SDM,
4 Pencatatan Keuangan Harian Pelatihan SDM,
5 Rencana jangka menengah Visi dan misi usaha yang terdokumentasi, 6 Sistem Pengendalian Mutu. Struktur organisasi formal.
7 Rencana Jangka Panjang
Universitas Indonesia
Pentingnya kualitas individu juga diungkapkan Samir dan Larso (2011)
yang meneliti UKM kuliner di Bandung. Menurut Samir dan Larso, Manajemen
Sumber Daya Manusia serta modal psikologis, yang terdiri atas self-efficacy, optimisme, harapan serta daya tahan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan
terhadap kinerja UMKM. Sementara itu Halim et al. (2014) melalui studi
eksporasinya juga mengidentifikasi bahwa kapablitas pemilik serta proses staffing berperan signifikan terhadap daya tahan UMKM dalam melewati 5 tahun
pertamanya.
Dari sisi institusi, yang berkaitan dengan kerja sama dan pembinaan dari
pemerintah, penelitian Wahyuningrum, et al. (2014) juga mengungkapkan bahwa
UMKM telah sering mendapat pelatihan-pelatihan dari pemerintah kota. Tetapi
banyaknya pelatihan yang diberikan tidak dibarengi dengan pendampingan dan
evaluasi yang jelas untuk memastikan aplikasi pelatihan secara efektif. Dalam
pelatihan SDM misalnya, terlihat dari analisis IPA bahwa pihak mengetahui bahwa
kinerja kualitas dan pengelolaan SDM masih rendah, namun belum menganggap
hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang penting untuk diperbaiki karena tidak
memberikan dampak langsung dan signifikan. Padahal sebagaimana menurut
Totana yang dikutip Ancok (2003 dalam Wahyuningrum, et al. 2014) perusahaan
dengan pengelolaan yang berbeda dapat menghasilkan kinerja yang berbeda pula.
Dengan kata lain, kinerja yang lebih baik dapat diperoleh bila pengelolaan
dilakukan oleh orang-orang dengan kemampuan yang lebih baik, meskipun dengan
sumber daya yang sama.
Analisis Wahyuningrum, et al. (2014) juga menunjukkan rendahnya
perhatian terhadap visi dan misi. Padahal belum mantapnya visi dan misi
mengakibatkan prospek pengembangan usaha belum jelas, serta menjadikan
UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara fokus sehingga
mengalami stagnasi (Ishak 2005 dalam Sudaryanto, et al. 2011). Laporan Global
Entrepreneurship Monitor (GEM) pada tahun 2014 juga mengungkapkan rendahnya minat pengembangan usaha pada entrepreneur di Indonesia dimana hanya 4 persen wirausahawan yang memiliki komitmen jelas untuk terus
mengembangkan bisnisnya. Sementara mayoritas dari mereka membangun usaha
Universitas Indonesia
Meski berhasil mengidentifikasi peluang-peluang bisnis, para
wirausahawan cenderung mengeksploitasinya untuk kepentingan jangka pendek
dari pada untuk membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Ireland, et
al. 2003). Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mampu menemukan peluang-peluang
belum mampu memanfaatan peluang tersebut menjadi keunggulan kompetitif dan
membangun daya saing. Di sisi lain perusahaan-perusahaan yang telah cukup stabil
memiliki kemampuan stratejik yang memadai tetapi kapasitas mereka untuk
berinovasi dan mengambil risiko terbatas oleh struktur, sistem serta proses dalam
organisasi yang telah baku (Mintzberg 1979 dalam Kyrgidou, 2010), sehingga
kurang fleksibel untuk mengejar peluang-peluang bisnis baru.
Berangkat dari keterbatasan tersebut, Ireland, et al. (2003) mengajukan
model Strategic Entrepreneurship (selanjutnya disingkat SE) melalui penggabungkan perilaku pencarian peluang (opportunity-seeking, yang menjadi inti
dari entreprenuership) serta perilaku pencarian kunggulan (advantage-seeking,
yang menjadi inti manajemen stratejik) secara simultan. Model SE terdiri dari dua
elemen penting. Pertama, perilaku opportunity-seeking yang diwujudkan dalam kepemimpinan kewirausahaan (entrepreneurial leadership), budaya kewirausahaan
(entrepreneurial culture), dan pola pikir kewirausahaan (entrepreneurial mindset).
Sementara elemen kedua merupakan perilaku advantage-seeking yang diwujudkan
dalam inovasi dan pengelolaan sumber daya secara stratejik (managing resources
strategically) (Chai dan Li Sa, 2016).
Melalui model SE yang dibangun, Ireland, et al. (2003), yang kemudian
disempurnakan Kyrgidou dan Hughes (2010) serta Hitt, et al. (2011) menunjukkan
bahwa melalui pengelolaan sumber daya secara stratejik, sumber daya organisasi
(budaya dan kepemimpinan) berupa pola pikir kewirausahaan (entrepreneurial
mindset) dan, perusahaan dapat mengelola sumber daya secara stratejik serta mewujudkan kreatifitas melalui inovasi yang pada akhirnya menciptakan
keunggulan kompetitif, bahkan mampu memberikan manfaat (benefit) bagi
individu, organisasi hingga pada sosietas.
Aplikasi SE pada UMKM sangat diperlukan guna membantu pengelolaan
sumber daya yang terbatas dengan lebih terarah. Dengan demikian, meski
Universitas Indonesia
memperbaiki daya saing sehingga dapat bertahan dalam persaingan pasar yang
semakin ketat.
UMKM di Indonesia masih memiliki kekurangan antara lain dalam
kemampuan menemukan peluang usaha, budaya kewirausahaan, kepemimpinan
kewirausahaan, ketersediaan pasar, tingkat pendidikan, ketersediaan teknologi
informasi dan komunikasi, dan kemampuan berinovasi (Fontana, 2010). Oleh
karena itu nantinya, penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk melihat pengaruh
antar variabel satu dengan yang lainnya dalam model SE, tetapi juga dalam
analisisnya juga membahas kondisi variabel-variabel dalam SE dalam konteks
UMKM yang dilibatkan dalam penelitian.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian ini merumuskan permasalah
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?
2. Apakah Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?
3. Apakah Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh positif terhadap
Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) ?
4. Apakah Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) berpengaruh
positif terhadap Inovasi (INN) ?
5. Apakah Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif terhadap
Inovasi (INN) ?
6. Apakah Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh positif terhadap
Inovasi (INN) ?
7. Apakah Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif terhadap
Universitas Indonesia 1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh pola pikir kewirausahaan terhadap pengelolaan
sumber daya secara stratejik di UMKM;
2. Mengetahui bagaimana pengaruh budaya kewirausahaan terhadap
pengelolaan sumber daya secara stratejik di UMKM;
3. Mengetahui pengaruh kepemimpinan kewirausahaan terhadap pengelolaan
sumber daya secara stratejik UMKM;
4. Mengetahui pengaruh pengelolaan sumber daya secara stratejik terhadap
inovasi di UMKM;
5. Mengetahui pengaruh kepemimpinan kewirausahaan terhadap inovasi
UMKM;
6. Mengetahui pengaruh kepemipinan kewirausahaan terhadap inovasi
UMKM;
7. Mengetahui pengaruh pola pikir kewirausahaan terhadap budaya
kewirausahaan UMKM.
1.4 Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap pihak-pihak sebagai berikut.
a. Peneliti
Sebagai sarana untuk mengintegrasikan pengetahuan serta keahlian yang
didapat selama masa perkuliahan dan menggunakannya untuk mengkaji serta
memberikan masukan perbaikan pada permasalahan yang nyata.
b. Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahkan titik tolak untuk
pengembangan penelitian di bidang Strategic Entrepreneurship (SE) berikutnya mengingat SE masih banyak menyisakan ruang untuk dikaji lebih jauh.
c. Pihak yang diteliti
Hasil temuan penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau pun
Universitas Indonesia
sisi budaya, kepemimpinan, pola pikir, serta pengelolaan sumber daya secara
stratejik yang nantinya dapat diterapkan untuk perbaikan baik di level individu
maupun organisasi.
d. Pemerintah
Bagi pemerintah penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi
perancangan program-program pemberdayaan UMKM yang dilakukan.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam melakukan pembahasan, penelitian ini menggunakan sistematika sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penelitian serta kerangka dan hipotesis penelitian.
BAB II TINJAUAN LITERATUR
Bagian ini berisi pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang
menjadi landasan penelitian serta penelitian lain yang relevan.
BAB III DESAIN PENELITIAN
Bab ini menjelaskan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, serta prosedur
analisis yang digunakan dalam pengolahan data.
BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
Memaparkan hasil penelitian yang dilakukan serta analisis pengolahan data dan
pengujian hipotesis penelitian.
BAB V PENUTUP
Bab terakhir yang memuat bahasan mengenai kesimpulan, keterbatasan serta saran
Universitas Indonesia BAB 2
STUDI LITERATUR
2.1 Strategic Entrepreneurship (SE)
2.1.1 Definisi Model SE
Entrepreneurship didefinisikan sebagai kultur organisasi yang memperkaya wealth melalui inovasi dan eksploitasi peluang (Nasution et al. 2011 dalam Ndubisi dan Iftikhar, 2012), yang diwujudkan melalui pengenalan produk-produk baru ke
pasar dan pengambilan risiko dengan menggunakan sumber daya untuk aktifitas
dengan outcomes yang tidak menentu (Lumpkin dan Dess, 2001 dalam Ndubisi dan
Iftikhar, 2012), serta memenuhi kebutuhan dan permintaan dengan menginisiasi
inovasi (Ozer dan Topaloglu, 2007 dalam Dogan, 2015). Kaodan Stevenson (2008
dalam Saifan, 2012) mendefinisikan entrepreneurship sebaga upaya untuk menciptakan nilai melalui pemanfaatan peluang-peluang bisnis.
Strategic management menekankan pengambilan keputusan melalui pengelolaan sumber daya dalam kerangka struktur, sistem serta proses dalam
organisasi (Kyrgidou dan Hughes, 2010). Pengambilan keputusan dilakukan
melalui serangkaian pertimbangan yang komprehensif yang meliputi formulasi,
implementasi hingga evaluasi keputusan (David, 2011), dimana seluruh
upaya-upaya diarahkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
Konsep Strategic Entrepreneurship (SE) pertama kali diperkenalkan sebagai interseksi antara entrepreneurship dan strategy, yang kemudian oleh Hitt
et al., (2001) dikembangkan menjadi integrasi konsep keduanya yang sekaligus
menjadikan SE sebagai bidang kajian tersendiri. Beberapa definisi SE telah
dikemukakan para peneliti. Menurut Kyrgidou dan Hughes (2010), SE merupakan
eksploitasi peluang melalui upaya stratejik terukur yang memfasilitasi perusahaan
untuk mengidentifikasi peluang-peluang dengan potensi tertingginya. Sedangkan
menurut Ireland, et al. (2001 dalam Ireland ,et al. 2003) SE melibatkan
Universitas Indonesia
al. (2011) mendefinisikan SE sebagai tindakan-tindakan untuk mengeksploitasi
keunggulan yang dimiliki (current advantages) dan secara bersamaan mencari
peluang baru yang membantu penciptaan nilai dalam jangka panjang.
Ireland, et al. (2001 dalam Luke, 2011) mengidentifikasi enam domain
dimana manajemen stratejik dan entrepreneurship dapat dilakukan secara simultan.
Domain tersebut yaitu : innovation (penggalian dan implementasi ide); networks yang berkaitan dengan pengelolaan akses pada sumber daya; internationalisation
(adaptasi dan pengembangan usaha); organisational learning (transfer dan pengelolaan pengetahuan); growth; serta top management teams and governance (pemilihan dan efektifitas implementasi strategi). Meski merupakan penggabungan
Manajemen Stratejik dan Entrepreneurship, SE memberikan penekanan yang lebih
pada sisi stratejik yang dianggap sebagai inti dari entrepreneurship (Luke, et al,
2011).
Model SE terus mengalami perkembangan seiring dengan banyaknya
penelitian yang dilakukan. Namun, terlepas dari perkembangan teori SE, model
konseptual yang pertama dibentuk oleh Ireland, et al. (2003). Terdapat empat
dimensi utama dalam model Ireland, et al. (2003) yaitu (1) Pola pikir, budaya dan
kepemimpinan entrepreneurial (entrepreneurial mindset culture, and leadership);
(2) strategic management of organizational resources, (3) application of creativity,
serta (4) pengembangan inovasi (Hitt, et al. 2011).
Hughes dan Kyrgidou (2010) kemudian menyempurnakan model SE
Ireland, et al. (2003) dengan memberikan modifikasi yang dianggapnya mampu
menutupi beberapa keterbatasan model, misalnya SE yang didefinisikan sebagai
Universitas Indonesia Gambar 2.1 : Model Strategic Entrepreneurship
Sumber : Ireland, et al. (2003)
Meski model SE mengalami beberapa kali pengembangan Ireland, et al. (2003),
Kyrgidou dan Hughes (2010) serta Hitt, et al. (2011), sejatinya komponen SE tidak
mengalami perubahan komponen. Hal ini salah satunya dikarenakan
pengembangan dalam literatur SE telah bergeser dari model menjadi fokus pada
detail konspetual (Luke, at al. 2010), sehingga komponen model SE praktis tidak
mengalami perubahan.
2.1.2 EntrepreneurialMindset
Entrepreneurial mindset merupakan cara berpikir tentang bisnis yang fokus untuk menangkap keuntungan (benefit) dalam ketidakpastian (Mc Grath dan Mac Millan, 2000 dalam Ireland, et al .2003). Ireland, et al. (2003) mendefinisikan
entrepreneurial mindset sebagai perspektif yang berorientasi pada pertumbuhan (growth-oriented perspective) dimana individu menujukkan fleksibilitas, kreatifitas, inovasi yang berkesinambungan serta pembaharuan. Pola pikir
entrepreneurial memastikan individu dan organisasi memantau peluang-peluang yang muncul di lingkungan bisnisnya. Pola pikir ini kemudian dapat terlihat dari
sikap yang ditunjukkan orang-orang dalam organisasi. Menurut Ireland, et al.
(2003) entreprenuerial mindset terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut.
2.1.2.1 Recognizing Opportunity
Entrepreneurship diasosiasikan dengan pengenalan sesuatu yang baru ke pasar (Davidsson, 2006 dalam Luke, et al. 2011), sehingga organisasi perlu mencari
Universitas Indonesia
celah-celah potensial yang mungkin diisi dengan produk atau jasa baru. Pola pikir
kewirausahaan membuat orang-orang dalam organisasi memantau peluang yang
muncul dari dinamika lingkungan. Peluang-peluang sering kali muncul diakibatkan
adanya informasi asimetris di pasar (Ireland, et al. 2003). Ketidaksamaan informasi
yang di miliki membuat hanya sebagian pihak yang mampu melihat peluang
potensial. Pola pikir kewirausahaan membuat orang-orang di dalam organisasi
merevisi kuantitas dan akurasi informasi yang dimiliki.
2.1.2.2 Entrepreneurial Alertness
Merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi produk atau jasa apa yang
feasible mengacu pada peluang yang tersedia. Menurut Tang, et al. (2010), entreprenuerial alertness memiliki 3 dimensi yang komplementer : pemindaian dan pencarian informasi baru (scanning and searching for new information), connecting
previously-disparate information, dimana informasi baru yang didapat dikombinasikan dengan pengetahuan dan informasi yang telah lebih dulu diperoleh.
Hasil kombinasi ini dapat memuncukan beberapa pilihan yang mungkin dilakukan.
Dimensi ketiga adalah evaluasi dan judgement yang menurut Tang, et al. (2010) merupakan elemen yang paling penting dari entrepreurial alertness. Evaluasi dilakukan terhadap sejumlah kemungkinan yang berhasil diidentifikasi sebelumnya
untuk kemudian ditentukan apakah peluang tersebut akan dimanfaatkan atau tidak.
Mc Mullen dan Shepherd (2006 dalam Tang, et al. 2010) membagi evaluasi dan
judgement ini kedalam 2 tahapan. Tahapan pertama yaitu attention and third-person opportunity, tahap dimana perusahaan mengidentifikasi peluang serta kapabilitas apa yang diperlukan. Tahapan kedua yaitu evaluation and first-person opportunity,
merupakan tahap dimana entrepreneur berusaha mencapai kapabilitas tersebut agar
mampu dengan sepenuhnya mengeksploitasi peluang.
2.1.2.3 Real Options Logic
Perusahaan mengidentifikasi jenis produk/jasa yang dipandang prospektif
disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, baik dari aspek finansial, sosial,
hukum, dan sebagainya. Pemilihan peluang yang tepat menurut Ireland, et al.
(2003) akan meminimalisir pemborosan sumber daya serta dapat meningkatkan
Universitas Indonesia
2.1.2.4 Entreprenuerial Framework
Dimensi ini meliputi tindakan-tindakan seperti penetapan tujuan, serta
penentuan waktu yang tepat untuk mengeksploitasi peluang (Ireland, et al. 2003).
Pada tahapan ini aspek manajemen stratejik sangat dominan dilakukan agar
upaya-upaya pemanfaatan peluang dapat dilakukan secara efektif.
2.1.2.5 Opportunity register
Sebagaimana Ireland, et al. (2003) dan Luke, et al. (2010) yang menekankan
pertumbuhan serta keunggulan kompetitif dalam jangka panjang, dokumentasi
sangat diperlukan agar peluang dapat dimanfaatkan lintas waktu serta antar bagian
organisasi. Dengan cara ini, menurut Ireland, et al. (2003) peluang yang telah
teridentifikasi salah satu bagian/divisi dapat dieksploitasi oleh bagian lain dengan
lebih baik.
2.1.3 Entrepreneurial Culture
Budaya organisasi merupakan sistem dari sebuah nilai bersama yang
diyakini (shared value) dan kepercayaan yang membentuk struktur perusahaan dan
tindakan anggota-anggotanya untuk menciptakan norma perilaku/behavioral norms
(Dess dan Picken, 1999 dalam Ireland, et al. 2003).
Menurut Ireland, et al. (2003), budaya entrepreneurial perusahaan dicirikan
dengan karakteristik sebagai berikut.
2.1.3.1 New ideas and creativity are expected
Ketika menghadapi permasalahan atau tantangan baru, secara umum terdapat
kecenderungan untuk mengandalkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu untuk
memperoleh solusi (Liao, at al. 2008). Namun, menghadapi lingkungan yang
kompleks serta kompetisi yang semakin ketat, diperlukan solusi-solusi yang
inovatif melalui ide-ide yang kreatif. Budaya kewirausahaan dalam sebuah
organisasi mendukung lahirnya ide-ide kreatif dari semua elemen organisasi.
Namun untuk dapat melakukannya diperlukan kondisi internal yang mendukung.
Menurut Mc Guire (2003) komunikasi yang terbuka (open communication), kerja
sama (cooperation), serta adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat bagi
Universitas Indonesia
2.1.3.2 Risk taking
Orang-orang dalam organisasi diperbolehkan untuk mengambil risiko sesuai
dengan wewenang dan tugasnya masing-masing. Budaya entrepreneur tercermin
dari bagaimana organisasi menyikapi risiko dan bersikap kepada orang-orang yang
mengambil risiko serta kegagalan yang dialami (Mc Guire, 2003).
2.1.3.3 Failure is tolerated
Dalam budaya kewirausahaan, kegagalan dipandang sebagai kesempatan untuk
belajar lebih baik. Dalam survey Ernst dan Young (2013), Indonesia digolongkan
memiliki budaya kewirausahaan yang konservatif, namun tetap suportif untuk
berwirausaha. Inovasi mendapat prioritas yang rendah, ditandai dengan rendahnya
alokasi sumber daya untuk pengembangan dan penciptaan produk/jasa yang baru.
Namun, di sisi lain, mayoritas masyarakat Indonesia memandang kegagalan sebagai
peluang pembelajaran, sehingga kegagalan dipandang bukan sebagai akhir
melainkan kesempatan untuk menjadi lebih baik.
2.1.3.4 Learning is promoted
Merupakan budaya dimana semua orang dalam organisasi didorong untuk terus
belajar dan mengembangkan diri, baik melaui sumber pembelajaran yang berasal
dari internal maupun dari organisasi. Dalam skala organisasi, budaya
entrepreneurial erat dengan organizational learning. Menurut March, et al. (1988)
organisasi pembelajar memeroleh sumber pembelajarannya baik dari pengalaman
langsung (direct experience) serta pengalaman pihak lain (experience of others).
Tidak hanya itu, menurut March, et al. (1988) organisasi juga perlu membangun
kerangka konseptual atau paradigma bagaimana menerjemahkan pengalaman
tersebut untuk kepentingannya.
2.1.3.5 Product, process and administrative innovations are championed. Inovasi bukan hanya mengenai ide, tetapi juga mengenai bagaimana mengenali
ide-ide baru yang potensial untuk diterapkan (Burkus, 2013). Sering kali ide-ide
baru yang muncul dari karyawan tidak tereksploitasi, baik karena sistem
Universitas Indonesia
proses, tetapi juga dalam administrasi. Budaya kewirausahaan mendukung inovasi
dalam produk, proses, serta administrasi.
2.1.3.6 Continuous change is viewed as a conveyor of opportunities
Budaya entrepreneurship dalam organisasi menciptakan pandangan terhadap perubahan secara positif. Perubahan dipandang sebagai sarana
menciptakan peluang-peluang baru yang dapat memberikan keuntungan bagi
organisasi. Sebaliknya, budaya non-entrepreneurial memberikan pandangan yang
negatif terhadap perubahan sehingga organisasi cenderung antipati dan resisten
terhadap perubahan, bahkan jika itu benar-benar mendesak dilakukan.
2.1.4 Entrepreneurial Leadership
Meski memiliki berbagai definisi, kepemimpinan secara umum
didefinisikan sebagai sebuah proses aktif seseorang dalam menggunakan pengaruhnya kepada satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu (O’Neil, 2008). Dalam konteks entrepreneurial, kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mengatur sumber daya secara stratejik agar dapat
melakukan pencarian peluang (opportunity-seeking) serta memanfaatkannya
menjadi keunggulan (advantage-seeking behaviors) (Covin dan Slevin, 2002 dalam
Ireland, et al. 2003). Pemimpin berperan dalam pengambilan keputusan dan
pengelolaan risiko serta menyediakan ruang yang cukup bagi bawahannya untuk
mencari peluang serta kemungkinan-kemungkinan baru selain dari pada
karyawanan-karyawanan rutin.
Budaya dan kepemimpinan tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan organisasi. Schein (2010) menyatakan budaya organisasi berasal dari
1) kepercayaan, nilai, serta asumsi dari pendiri, 2) pengalaman belajar para anggota
organisasi serta 3) kepercayaan, nilai-nilai, serta asumsi baru yang dibawa
pimpinan serta para anggota baru. Dalam hal ini, Schein (2010) menekankan
hubungan yang erat antara karakteristik pendiri/pimpinan yang tercermin dari
nilai-nilai, kepercayaan, serta asumsi dengan budaya yang terbentuk.
Ireland, et al. (2003) mengidentifikasi terdapat enam karakeristik dari
Universitas Indonesia
2.1.4.1 Nourish an entrepreneurial Capability
Human capital adalah sumber perilaku Strategic Entrepreneurship (Ireland, et al. 2003), sehingga keberhasilan aplikasi SE ditopang oleh kapabilitas sumber
daya manusia yang melakukannya. Seorang Entreprenurial leader, berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan tidak hanya dirinya saja, tetapi juga
karyawan-karyawannya, baik keterampilan dan kemampuan manajerial untuk dapat
mengelola sumber daya secara stratejik.
2.1.4.2 Protect innovations threatening the current business
Budaya dan kepemimpinan memiliki keterkaitan yang erat. Budaya
kewirausahaan yang mendukung inovasi tidak akan tercipta tanpa intervensi
pimpinan yang membentuk budaya tersebut. Inovasi, terutama yang tergolong
disruptive innovation sering ancaman baik bagi karyawan secara pribadi maupun pada organiasi. Kondisi ini menurut Liao, et al. (2008) dapat menciptakan
kelembaman pengetahuan (knowledge inertia) dimana organisasi menolak belajar
hal baru dan cenderung bergantung sepenuhnya pada pakem-pakem yang sudah
ada. Kepemimpinan kewirausahaan yang efektif membagi informasi dengan
anggota organisasi secara terbuka (Ireland, et al. 2003) bahwa inovasi dapat
memberikan keuntungan bagi individu dan organisasi secara keseluruhan.
2.1.4.3 Make sense of opportunities
Anggota organisasi akan lebih termotivasi untuk meningkatkan
kemampuannya jika mereka juga dilibatkan secara aktif dalam upaya
mengeskploitasi peluang baru, misalnya untuk menjangkau konsumen baru yang
potensial. Seorang entrepreneurial leaders mampu menyampaikan nilai dari peluang tersebut serta bagaimana peluang tersebut bermanfaat bagi organisasi serta
bagi individu (Ireland, et al. 2003).
2.1.4.4 Question the dominant logic
Dominant logic menggambarkan bagaimana pemimpin mengkonsepsikan (Prahalad dan Bettis, 1986 dalam Ireland, et al. 2003). Govindarajan (2012)
menggunakan istilah institutionalized thinking, yaitu pemikiran yang sudah melembaga dan mendasari seluruh tindakan dan keputusan bisnis yang diambil.
Universitas Indonesia
leaders terjebak untuk mengulangi cara-cara lama yang dianggap telah sukses. Seorang entrepreneurial leaders mengevaluasi asumsi-asumsi yang mendasari dominant logic untuk memastikan bahwa perusahaannya berada pada jalur yang benar untuk dapat memanfaatkan peluang bisnis yang ada (Ireland, et al. 2003).
2.1.4.5 Revisit the “deceptively simple questions”
Untuk memastikan perusahaan berada dalam jalur yang diinginkan,
entrepreneurial leader perlu menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan mendasar seperi, tujuan perusahaannya, bagaimana keberhasilan diukur serta potensi pasar
yang sedang ia masuki (Ireland, et al. 2003). Pertanyaan-pertanyaan tersebut
diperlukan untuk menjaga perusahaan berada dalam jalur yang direncanakan.
2.1.4.6 Link entrepreneurship and strategic management
Entrepreneurship leader menyatukan manajemen stratejik dengan entrepreneurship melalui pengelolaan sumber daya yang stratejik. Menurut Ireland, et al. (2003), keksuksesan manajemen stratejik dengan entrepreneurship tercapai
saat pemimpin dapat mendukung terciptanya budaya yang menunjang pengelolaan
sumber daya secara stratejik dalam organisasinya.
2.2 Managing Resources Strategically
Pengelolaan sumber daya menjadi penting saat organisasi dihadapkan pada
persaingan dimana masing-masing pihak memperkuat dirinya untuk dapat bertahan
atau bahkan mengungguli kompetitornya. Dalam kewirausahaan, kreatifitas masih
menjadi inti tetapi fokus juga diberikan pada upaya peningkatan skil dan sumber
daya yang tersedia.
Wernerfelt (1984) menggeser paradigma mengenai keunggulan kompetitif
organisasi yang semula bertumpu pada sisi produksi menjadi pada sisi sumber
daya. Analisis competitive advantage organisasi tidak lagi bertumpu pada seberapa
banyak produk yang dihasilkan, tetapi lebih kepada seberapa banyak sumber daya
yang dimiliki dan bisa dikendalikan perusahaan. Dalam RBV, terdapat dua asumsi
sebagai landasan : (1) resource heterogeneity, bahwa perusahaan yang bersaing memiliki atau mampu mengontrol sejumlah (bundles) sumber daya yang berbeda
Universitas Indonesia
oleh masing-masing perusahaan persisten (Barney, 1991 dalam Ireland, et al. 2003)
dalam artian tidak mudah berpindah pada pihak lain.
Pengelolaan sumber daya secara stratejik menurut Sirmon, et al. (2007
dalam Hitt, et al. 2009) merupakan proses komprehensif yang meliputi penataan
sumber daya (structuring a firm’s resource portfolio), bundling the resources to build capabilities, serta leveraging capabilities.
Gambar 2.4 : Tahap-tahap dalam Managing Rersoures Strategically
Sumber : Ireland, et al. (2003)
2.2.1 Structuring The Resource Portfolio
Resource portfolio merupakan kumpulan dari semua sumber daya tangible (finansial) dan intangi ble (social dan human capital) yang dimiliki dan dikontrol
oleh perusahaan (Dierickx dan Cool, 1989; Makadok, 2001 dalam Ireland, et al.
2003). Penataan (structuring) portofolio sumber daya melibatkan proses akuisisi (acquiring), akumulasi dan menghilangkan (deleting) sumber daya (Hitt, et al. 2009). Penataan ini memungkinkan perusahaan mengetahui dimana kekurangan
dan atau kelebihan sumber daya yang dimiliki yang dalam perspektif RBV juga
mencerminkan kunggulan kompetitif perusahaan. Disamping itu, penataan sumber
daya tidak hanya tentang menambah atau mengurangi semata. Lebih dari itu, nilai
dari sumber daya, baik itu nilai terkininya (present value) maupun nilainya di masa
depan (future value) juga harus menjadi pertimbangan karena tanpa pemahaman
terhadap nilai dari sumber daya tersebut, perusahaan akan kesulitan membangun
keunggulan kompetitif (Ireland, et al. 2003).
2.2.2 Bundling Resources
Bundling mengacu pada proses pengintegrasian sumber daya untuk membangun kapabilitas (Hitt, et al. 2009). Proses bundling terdiri atas (1) stabilizing, atau penambahan/peningkatan minor terhadap kapabilitas yang sudah
Structuring The Resource
Universitas Indonesia
ada;(2) enriching, yaitu perluasan kapabilitas;dan (3) pioneering dengan menciptakan kapabilitas yang baru (Hitt, et al. 2011).
Tidak semua sumber daya dapat dijadikan sumber keunggulan kompetitif.
Proses bundling menyeleksi sumber daya mana saja yang akan dimanfaatkan lebih
jauh. Manajer harus memilih bagian dari sumber daya untuk di bundle untuk membangun kapabilitas yang dibutuhkan untuk berkompetisi secara efektif (Hitt,
et al. 2009).
2.2.3 Leveraging Capabilities
Leveraging melibatkan proses eksploitasi kapabilitas untuk memperoleh keuntungan dari peluang-peluang pasar tertentu (Hitt, et al. 2011). Proses
eksploitasi yang dimaksud Ireland, et al. (2011) meliputi : (1) mobilizing, menyediakan rencana atau visi tentang kapabilitas apa yang dibutuhkan sebagai
syarat melakukan konfiguasi kapabilitas, (2) coordinating, yaitu mengintegrasikan
kapabilitas, (3) deploying, dimana peluang pasar atau strategi entrepreneurial di eksploitasi menggunakan kapabilitas yang sudah ada. Dalam tahap leveraging, peran skil, pengalaman, dan pengetahuan sangat penting. Kesuksesan leveraging sering kali berasal dari pengalaman, yang merupakan sumber utama dari
pengetahuan tacit (Sirmon dan Hitt, 2003 dalam Ireland, et al. 2003).
Ireland et al. (2003) kemudian merinci jenis-jenis resources yang harus di
kelola secara stratejik yaitu: (1) financia capital, berkaitan dengan segala bentuk sumber daya moneter yang dimiliki perusahaan yang dapat digunakan untuk
mengimplementasikan strategi, (2) human capital, merupakan keahlian, pengalaman dan pengetahuan individu di dalam perushaan. Dengan lebih
komprehensif, human capital didefinisikan sebagai kapabilitas, pengetahuan, keahlian dan pengalaman para karyawan dan manager perusahaan yang relevan
dengan tugas-tugasnya dan serta kapasitas untuk menambah pengetahuan, skil dan
pengalaman melalui pembelajaran individual (Dess dan Lumpkin, 2001: 26 dalam
Ireland, et al. 2003). Human capital menjadi penting dikelola karena banyak pengetahuan dalam organisasi, terutama yang sifatnya tacit sulit untuk didokumentasikan. (3) social capital, merupakan kumpulan hubungan antara individu dan organisasi (external social capital) yang memfasilitasi tindakan (Hitt
Universitas Indonesia
membantunya untuk berinteraksi dengan individu dan organisasi di lingkungan
eksternal, sehingga memungkinkan pengadaan sumber daya, baik finansial maupun
non finansial (misalnya pengetahuan, dan sebagainya) dari sumber yang lebih
beragam. Social Capital yang baik di lingkungan internal organisasi juga membantu menciptakan suasana kondusif bagi sirkulasi informasi dan pengetahuan
yang telah diperoleh.
2.3 Inovasi
2.3.1 Pengertian Inovasi
Inovasi sering dikaitkan dengan produk baru, temuan baru atau invensi,
teknologi baru, cara baru, model baru, dan hal-hal lain yang berbau baru. Namun,
terlepas dari bagaimana inovasi diasosiasikan, pertanyaan yang paling penting yang
harus dijawab adalah apakah hal-hal baru tersebut berhasil menciptakan nilai guna
bagi konsumen dan/atau pengguna, yang pada gilirannya juga memberikan nilai
tambah bagi produsen (Fontana, 2010)
Beragamnya asosiasi terhadap inovasi juga berdampak terhadap
beragamnya definisi mengenai apa itu inovasi. Berikut ini merupakan 12 definisi
mengenai inovasi.
Tabel 2.1 : Definisi Inovasi
Item Deskripsi
Menciptakan sesuau yang baru Merujuk pada inovasi yang menciptakan
pergeseran paradigma dalam ilmu, teknologi,
struktur pasar,keterampian, pengetahuan, dan
kapabilitas.
Menghasilkan hanya ide-ide baru Merujuk pada kemampuan untuk menemukan
hubungan-hubungan baru, melihat suatu subyek
dengan perspektif baru dan membentuk
kombinasi-kombinasi baru dari konsep-konsep lama.
Menghasilkan ide, metode atau alat
baru
Merujuk pada tindakan menciptakan produk baru
atau proses baru. Tindakan ini mencakup invensi
dan karyawanan yang diperlukan untuk mengubah
Universitas Indonesia (Lanjutan)
Item Deskripsi
Memperbaiki sesuatu yang sudah
ada
Merujuk pada perbaikan barang atau jasa untuk
produksi besar-besaran atau produksi komersial,
atau perbaikan sistem.
Menyebarkan ide-ide baru Menyebarkan dan menggunakan praktik-praktik
baru di dunia.
Mengadopsi sesuatu yang baru yang
sudah dicoba secara sukses ditempat
lain
Merujuk pada pengadopsian sesuatu yang baru atau
yang secara signifikan diperbaiki, yang dilakukan
oleh organisasi untuk menciptakan nilai tambah,
baik secara langsung untuk organisasi maupun
secara tidak langsung untuk konsumen.
Melakukan sesuatu dengan cara
yang baru
Melakukan tugas dengan cara yang berbeda secara
radikal
Mengikuti pasar Merujuk pada inovasi yang berbasiskan kemauan
pasar
Melakukan perubahan Melakukan perubahan-perubahan yang
memungkinkan adanya perbaikan
Menarik orang-orang inovatif Menarik/merekrut dan mempertahankan
kepemimpinan dan manajemen talenta dan
manajemen manusia (people management) untuk
memandu jalannya inovasi
Melihat sesuatu dari perspektif yang
berbeda
Melihat suatu masaah dari sudut pandang yang
berbeda
Meskipun memiliki banyak definisi dengan aplikasi yang beragam, definisi
inovasi dapat dirangkum sebagai kesuksesan ekonomi dan sosial berkat
diperkenalkannya cara baru atau kombinasi cara baru dari cara-cara lama dalam
mentransformasikan input menjadi output yang menciptakan perubahan besar
dalam hubungan antara nilai guna dan harga yang ditawarkan pada konsumen
dan/atau pengguna, komunitas, sosietas, serta lingkungan (Fontana, 2010). Sumber : Goswani dan Matheuw (2005), PDMA (2008) , De Meyer dan Garg
Universitas Indonesia
Terlepas dari banyaknya definisi dan aplikasi yang beragam, kecenderungan
definisi mengenai inovasi terutama yang terkait dengan konteks manajerial lebih
banyak difokuskan pada inovasi dalam teknologi (Freeman dan Soete, 2000 dalam
Liao, et al. 2008). Pandangan ini, yang hanya melihat inovasi dari satu sudut
pandang saja, menjadi tidak relevan bagi organisasi yang pada kenyataannya
memiliki proses dan lingkungan bisnis yang berbeda satu dengan lainnya. Kondisi
ini seringkali membuat proses inovasi menjadi tidak efektif karena
panduan-panduan mengenai inovasi didasarkan pada asumsi bahwa organisasi menghadapi
permasalahan yang sama, padahal setiap organisasi menghadapi tantangan inovasi
yang berbeda dan membutuhkan solusi yang berbeda pula (Fontana, 2010).
Keseimbangan pengetahuan eksternal dan internal diperlukan agar inovasi tidak
dilakukan secara ad hoc dengan hanya mengimpor cara-cara tertentu untuk menangani masalah-masalah yang sifatnya situasional.
Organisasi tidak bisa begitu saja mengimpor langkah-langkah baru dari luar
untuk menangani permasalahan inovasinya. Justu, mereka harus
mempertimbangkan proses yang telah mereka miliki untuk menciptakan inovasi,
mengidentifikasi tantangan unik yang dihadapi, serta mengembangkan cara untuk
mengatasinya (Hansen dan Birkinshaw, 2007). Andreeva, et al. (2011) dalam
penelitiannya setelah melibatkan 221 perusahaan di tiga negara berbeda telah
menggarisbawahi pentingnya proses penciptaan pengetahuan, yang ia uraikan
dalam empat tipe proses, yaitu knowledge creation, documentation and storage, knowledge sharing, serta knowledge aquisition. Andreevan, et al. (2011) dalam hal ini telah menekankan proses penciptaan pengetahuan di internal organisasi serta
menekankan kemampuan storage, sharing, serta akuisisi pengetahuan dalam organisasi. Sebelumnya, Hansen dan Birkinshaw (2007) juga telah lebih dahulu
menekankan pentingnya proses internal dalam mengelola informasi yang didapat
dari lingkungan eksternal organisasi. Proses inovasi, menurut Hansen dan
Birkinshaw (2007) merupakan rangkaian yang sekuensial sehingga perlu dilihat
secara menyeluruh. Untuk itu, mereka mengajukan pendekatan inovasi
komprehensif yang mereka sebut sebagai rantai nilai inovasi (The innovation value
Universitas Indonesia
Rantai nilai inovasi meliputi tiga fase: penggalian ide dan konsep (idea
generation), pengembangan untuk mengubah ide dan konsep menjadi sebuah produk (idea conversion), serta penyebaran ide produk di pasar (diffusion of
developed concepts). Uraian mengenai ketiga fase tersebut adalah sebagai berikut.
Gambar 2.5 : The Innovation Value Chain
Sumber : Hansen dan Birkinshaw (2007)
2.3.1 Idea generation
Adalah fase dimana ide dikembangkan, baik itu dari internal maupun
eksternal organisasi. Mekanisme idea generation secara internal dapat menggunakan sumbang ide (brainstorming), yang memungkinkan semua elemen
organisasi memberikan dan pengetahuan dan gagasannya. Manajer akan melihat ke
dalam unit-unit di dalam organisasinya untuk mendapatkan ide atau yang dalam
terminologi Hansen dan Birkinshaw (2007) disebut sebagai percikan-percikan ide.
Namun, sebagaiman Camison dan Fores (2010) yang berpendapat bahwa
penggalian pengetahuan yang fokus ke dalam (inward looking) membuat organisasi
abai terhadap potensi eksternal, Hansen dan Birkinshaw (2007) juga berpendapat
bahwa percikan-percikan ide tersebut akan semakin baik jika dihasilkan dari
kolaborasi lintas unit (cross border) atau jika perlu bersentuhan dengan ide-ide
yang berasal dari lingkungan eksternal. Oleh karena itu, peran manajer/pemilik
dalam menciptakan suasana yang kondusif sangat penting. Selain itu, budaya
organisasi juga berpengaruh pada produktif tidaknya ide-ide yang dihasilkan.
2.3.2 Idea Conversion
Dalam fase ini, percikan-percikan ide yang didapat dari sumbang ide (brain
storming) atau yang berasal dari kolaborasi dengan pihak eksternal mulai dipilih untuk kemudian dikembangkan menjadi bentuk produk atau jasa yang nyata.
Penggalian ide dan penanganannya merupakan dua hal yang berbeda, oleh sebab
itu kesuksesan penggalian ide di fase awal sama sekali tidak menjamin keberhasilan
di fase ini. Konsep-konsep yang baru tidak akan berharga tanpa meknisme
Universitas Indonesia
screening dan pendanaan yang baik (Hansen dan Birkinshaw, 2007 dalam Fontana, 2010).
2.3.3 Idea difusion
Merupakan tahap dimana produk yang dari hasil konversi pada tahap
sebelumnya disebarluaskan dan dikomersialisasikan. Ide-ide yang telah dipilih dan
dikonversi menjadi produk/jasa yang nyata.
Difusi merupakan proses dimana inovasi dikomunikasikan kepada anggota
dalam sistem sosial (Rogers, 1995). Dalam sebuah perusahaan, anggota sistem
sosial merupakan karyawan, pemilik, maupun stakeholder lain yang berkaitan dan
memiliki kepentingan terhadap bisnis perusahaan. Menurut Rogers (1995), difusi
inovasi terjadi melalui mekanisme sebagai berikut.
Knowledge-orang-orang menyadari inovasi dan mulai mengerti bagaimana inovasi dapat berguna.
Persuasion, orang-orang dalam organisasi dapat menujukkan sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi setelah memahami bagaimana sebuah
inovasi (baik produk, jasa, atau proses) bekerja.
Decision –orang-orang dalam organisasi memutuskan untuk menerima atau dapat menolak inovasi. Produk, jasa atau proses baru yang telah
dibuat dapat saja direvisi, bahkan dibatalkan jika mendapat penolakan.
Implementation, adalah tahap dimana inovasi diterapkan dan terus diamati kesuksesannya. Sering kali implementasi dilakukan dalam
bentuk uji coba untuk mengurangi risiko.
Confirmation, adalah tahapan dilakukannya evaluasi terhadap inovasi yang telah diimplementasikan.
Difusi inovasi yang lambat menyebabkan perusahaan kehilangan momentum serta
peluang meningkatan keunggulan sebagai pengerak pertama (first mover advantage). Fase ini menentukan seberapa besar nilai ekonomi yang dapat diberikan inovasi bagi perusahaan.
Penelitian juga ini mencoba melihat interaksi antar variabel-variabel dalam
Universitas Indonesia
kewirausahaan (Entrepreneurial Leadership/EL), budaya kewirausahaan (Enterepreneurial Culture/EC) dan pola pikir kewirausahaan (Entreprenurial
Mindset/EM) mempengaruhi inovasi secara tidak langsung melalui pengelolaan sumber daya secara stratejik (Managing Resources Strategically/MRS), penelitian
ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh kepemimpinan dan budaya
kewirausahaan terhadap inovasi, serta pengaruh pola pikir kewirausahaan terhadap
budaya kewirausahaan. Penelitian-penelitian berikut menjadi landasan
hipotesis-hipotesis tersebut diatas.
Santz, et al. (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh budaya
organisasi terhadap pembelajaran dan inovasi organisasi. Dalam penelitiannya,
Santz, et al. (2011) menggunakan tipologi budaya yang dibangun oleh Cameron
dan Quinn (1999) yang mengelompokkan budaya organisasi kedalam beberapa
jenis yaitu :
Adhocracy, adalah budaya yang menekankan pada fleksibilitas serta berorientasi pada lingkungan eksternal. Budaya ini diterapkan dalam lingkungan yang dinamis.
Clan, adalah budaya yang fleksibel, tetapi fokus pada internal organisasi. Budaya clan ini dapat dilihat dari karakteristik organisasi yang mengutamakan kerja tim, keterlibatan karyawan serta komitmen perusahaan untuk menjaga dan mengembangkan anggotanya.
Market, adalah budaya organisasi yang fokus pada lingkungan eksternal tetapi masih mengutamakan kontrol dan stabilitas. Nilai-nilai inti (core values) dari organisasiyang menganut budaya ini adalah mengutamakan pencapaian tujuan (goal achievement), konsistensi serta daya saing.
Universitas Indonesia
Santsz, et al. (2011) melalui penelitiannya menemukan bahwa budaya
organisasi dapat menjadi pemicu sekaligus hambatan bagi inovasi dan
pembelajaran organisasi. Budaya organiasasi yang fleksibel serta fokus pada
lingkungan eksternal dapat memicu inovasi dan pembelajaran organisasi.
Karakteristik budaya tersebut memiliki kemiripan dengan karakteristik budaya
kewirausahaan yang dibagun Ireland, et al. (2003) dimana keterbukaan,
fleksibilitas, dan proses belajar didukung. Meski penelitian Santz, et al. (2011)
fokus pada konteks perusahaan Spanyol, penelitian ini setidaknya menunjukkan
bahwa pengaruh budaya terhadap inovasi memang ada.
Berbeda dengan Ireland et al. (2003) yang memetakan pengaruh
kepemimpinan terhadap inovasi secara tidak langsung melalui pengelolaan sumber
daya secara stratejik, Kong (2012) melalui studinya mengungkapkan pengaruh
orientasi kepemimpinan kewirausahaan dalam menggerakkan inovasi di
organisasinya, meski banyak faktor yang bisa menggantikan peran kepemimpinan
seperti perilaku Team learning behavior (TLB), kontak kerja (work contacts) dan
inisiatif. Studi Kong (2012) menguraikan kepemimpinan dalam 3 faktor, yaitu
leadership for idea generation, idea promotion, dan idea implementation. Hasilnya, studi menujukkan peran kepemimpinan signifikan dalam mengarahkan
karyawanya untuk memenuhi tujuan inovasi tertentu, serta berpengaruh signifikan
Universitas Indonesia BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Sebuah desain penelitian menurut Umar (2003) merupakan rencana untuk
memilih sumber-sumber daya serta data yang diolah untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian. Sedangkan menurut Sekaran (2003), sebuah desain
penelitian merupakan serangkaian keputusan rasional yang melibatkan penentuan
tujuan penelitian, jenis investigasi yang dilakukan, tingkat kontrol yang dilakukan,
aspek waktu (time horizon), lokasi penelitian, serta unit analisis yang menunjukkan
di level mana data akan di analisis.
Secara umum terdapat dua jenis desain penelitian yaitu ekploratif dan
konklusif (Maholtra, 2010). Penelitian eksploratif dilakukan saat data dan informasi
mengenai suatu subjek belum tersedia sehingga dilakukan eksplorasi. Sedangkan
penelitian konklusif dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis. Dalam
penelitian konklusif, data dan informasi sebagai referensi mengenai suatu subjek
telah tersedia dari berbagai penelitian sebelumnya. Berdasarkan klasifikasi
Maholtra (2010), penelitian ini digolongkan sebagai penelitian konklusif.
Sekaran (2003) membagi penelitian konklusif menjadi dua, yaitu penelitian
kausal dan deskriptif. Penelitian kausal merupakan penelitian yang dilakukan untuk
menguji pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Sedangkan penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian. Kedua
jenis penelitian tersebut digunakan dalam penelitian ini. Analisis kausal dilakukan
untuk menguji pengaruh variabel-variabel dalam model penelitian, sedangkan
analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden.
Penelitian deskriptif dilakukan dalam satu waktu tertentu sehingga dapat
digolongkan sebagai single cross-sectional. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS) menggunakan perangkat lunak
Universitas Indonesia 3.2 Model dan Hipotesis Penelitian
3.2.1 Model Penelitian
Strategic Entrepreneurship Model yang dirumuskan Ireland, et al. (2003) digunakan sebagai kerangka penelitian ini. SE yang didefinisikan Ireland, et al.
(2003) sebagai perpaduan antara manajemen stratejik serta entrepreneurship. Dalam model tersebut, Ireland, et al. (2003) merumuskan bahwa agar dapat
mengaplikasikan SE dengan baik, perusahaan perlu memiliki pola pikir (mindset) serta budaya dan kepemimpinan kewirausahaan, yang kemudian berpengaruh pada
bagaimana perusahaan mengelola sumber dayanya secara stratejik. Inovasi sebagai
output dari pengelolaan sumber daya secara stratejik dipandang sebagai sumber keunggulan kompetitif yang memastikan keberlangsungan perusahaan dalam
jangka panjang.
Selain itu, hipotesis baru (H5 dan H6) ditambahkan berdasarkan pada
penelitian Kong (2012) mengenai pengaruh kepemimpinan terhadap inovasi dan
penelitian Santz, et al. (2011) mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap
inovasi.
Gambar 3.1
Universitas Indonesia
3.2.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan model yang dibangun, penelitian ini merumuskan hipotesis yang
akan diuji sebagai berikut.
Tabel 3.1 : Hipotesis Penelitian
Hipotesis Sumber
H1 : Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS)
Ireland, et al. (2003)
H2 : Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS)
Ireland, et al. (2003)
H3: Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh positif terhadap Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS)
Ireland, et al. (2003)
H4: Pengelolaan Sumber Daya Secara Stratejik (MRS) berpengaruh positif terhadap Inovasi (INN)
Ireland, et al. (2003) H5: Entrepreneurial Culture (EC) berpengaruh positif
terhadap Inovasi (INN)
Santz, et al. (2011) H6: Entrepreneurial Leadership (EL) berpengaruh
positif terhadap Inovasi (INN)
Kong (2012), H7: Entrepreneurial Mindset (EM) berpengaruh positif
terhadap Entrepreneurial Culture (EC)
Ireland, et al. (2003)
Sumber : Ireland, et al. (2003), Santz, et al. (2011), Kong (2012), dan Covin dan Slevin, 2002;
McGrath dan MacMillan, 2000)
3.3 Definisi Operasional
Secara umum terdapat dua jenis variabel dalam analisis PLS, yakni variabel
laten dan variabel manifest. Menurut Santoso (2012) variabel laten (unobserved
variable, konstruk, atau konstruk laten) merupakan variabel yang tidak dapat diukur secara langsung kecuali diukur dengan satu atau lebih variabel manifes. Dalam
sebuah model PLS, sebuah variabel laten dapat berfungsi sebagai variabel eksogen
maupun variabel endogen. Variabel endogen adalah variabel independen yang
memengaruhi variabel endogen/variabel dependen (Santoso, 2012). Dalam model
PLS, variabel eksogen ditandai dengan adanya panah yang berasal dari variabel
Universitas Indonesia
Penelitian ini menggunakan empat variabel laten yang dikutip dari Ireland
et al. (2003) yaitu Entrepreneurial Mindset(EM), Entrepreneurial Culture dan Leadership (ECL), Managing Resources Strategically (MRS), serta Innovation yang dikutip dari Hansen dan Birkinshaw (2007).
3.3.1 Entrepreneurial Mindset
Definisi entrepreneurial mindset yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pola pikir yang fokus untuk memeroleh keuntungan (McGrath dan
MacMillan, 2000 dalam Ireland, et al. 2003) dari lingkungan bisnis. Pola pikir ini
terlihat dari tindakan yang berusaha mencari dan memanfaatkan peluang-peluang
bisnis.
Indikator Entrepreneurial Mindset.
Recognizing Opportunity. Individu berusaha mencari informasi dan mampu melihat peluang-peluang bisnis yang potensial.
Entrepreneurial Alertnes, peluang-peluang bisnis yang telah ditemukan dikombinasikan dengan pengetahuan, skil dan pengalaman yang dimiliki untuk merumuskan produk/jasa apa yang berpotensi untuk sukses.
Real Options Logic, memilih produk/jasa apa yang benar-benar akan diciptakan dan dijual. Pertimbangan dilakukan berdasarkan pada kemampuan perusahaan.
Entreprenuerial Framework. Tindakan-tindakan yang diambil dilakukan didasarkan pada perancanaan yang matang, baik dari segi waktu dan tahapannya.
Opportunity register. Data-data mengenai peluang-peluang bisnis yang ditemukan, baik itu produk/jasa yang potensial atau konsumen yang potensial didokumentasikan agar dapat dimanfaatkan atau dipelajari di lain kesempatan.
3.3.2 Entrepreneurial Culture
Budaya kewirausahaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepercayaan
dan nilai-nilai yang dibangun pemilik usaha yang tercermin pada sikap-sikap dan