• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Stres

1. Pengertian Stres

Stres adalah sebuah kata sederhana yang tidak asing lagi diucapkan sehari-hari oleh setiap orang. Stres dialami oleh setiap individu tanpa memandang usia dan status sosial. Stres merupakan suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 1997). Dalam bukunya, Santrock (2003) menyebutkan bahwa stres adalah respon

individu terhadap keadaan atau kejadian yang mengancam dan mengganggu kemampuannya untuk menangani.

Sarafino (1990) juga menyatakan bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan, berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang. Stres muncul sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhinya. Seseorang yang tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan, akan merasakan suatu kondisi ketegangan dalam diri. Ketegangan yang berlangsung lama dan tidak ada penyelesaian, akan berkembang menjadi stres.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi individu yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan, menyebabkan adanya suatu tekanan dan mempengaruhi aspek fisik, kognitif, emosi, dan perilaku.

2. Gejala Stres

Menurut Sarafino (1990) gejala stres dapat dibagi menjadi 2 aspek, yaitu:

a. Aspek biologis berupa segala reaksi fisik terhadap stres. Gejala fisik yang dialami individu antara lain dapat berupa peningkatan detak jantung maupun nafas, sakit kepala, gangguan pencernaan, gangguan makan, gangguan kulit maupun produksi keringat yang berlebihan.

b. Aspek psikososial berupa segala reaksi psikis terhadap stres. Gejala psikis tersebut dikelompokkan menjadi 3 gejala, yakni:

i. Gejala Kognisi

Tingkat stres yang tinggi dapat mengganggu ingatan dan perhatian individu selama melakukan aktivitas kognitif. Bentuk dari gejala kognisi di antaranya yakni adanya gangguan daya ingat, perhatian, dan konsentrasi.

ii. Gejala Emosi

Emosi cenderung menyertai stres dan individu sering menggunakan keadaan emosi mereka untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian individu terhadap stimuli yang diamati dapat mempengaruhi pengalaman stres dan emosinya. Hal ini tentu saja mengakibatkan adanya ketidakstabilan emosi dalam diri individu. Indidu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala seperti mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi.

iii. Gejala Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain. Dalam beberapa situasi stres, seseorang dapat menjadi kurang sosialisasi maupun kurang perhatian serta menjadi lebih tidak bersahabat maupun kurang sensitif terhadap orang lain. Kondisi stres ini tentu saja dapat mempengaruhi perilaku individu sehari-hari yang

cenderung negatif sehingga dapat menimbulkan masalah dalam hubungan interpersonal.

3. Sumber stres

Sumber stres pada remaja menurut Needlman (2004) dibagi menjadi 5, yaitu:

a. Faktor biologi

Adanya perubahan pada tubuh remaja membuat remaja cenderung menganggap bahwa setiap orang selalu memperhatikan mereka. Jerawat maupun hal-hal yang terkait dengan tubuh dapat menjadi sumber stres.

Pada waktu yang sama remaja berkutat dalam kesibukan-kesibukan seputar sekolah, tugas-tugas sekaligus sosialisasi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan meningkatnya kebutuhan biologis remaja untuk beristirahat (tidur). Hasilnya menunjukkan bahwa kurangnya waktu istirahat pada remaja juga merupakan salah satu sumber stres.

b. Faktor keluarga

Sebagian besar sumber stres pada remaja disebabkan oleh hubungan mereka dengan orang tua. Hal ini disebabkan karena setiap remaja harus berusaha untuk melewati perjuangan dalam waktu yang tidak sedikit untuk kebutuhan akan memiliki dan diperhatikan sekaligus kebutuhan akan kebebasan dirinya.

c. Faktor sekolah

Tekanan akademik akan meningkat selama masa sekolah dan sekalipun orang tua mengetahui bahwa dibutuhkan perjuangan untuk dapat menghindari kegagalan. Hal ini bisa saja terjadi pada para siswa yang dianggap mampu secara akademis, yang merasakan tekanan terbesar. d. Faktor teman sebaya

Stres yang disebabkan oleh teman sebaya cenderung meningkat selama masa sekolah menengah pertama. Remaja yang kurang diterima pada masa ini mengalami konsekuensi seperti isolasi, harga diri rendah, dan stres. Harga akan sebuah pengakuan dari lingkungan teman-teman sebaya membuat remaja terlibat dengan rokok, alcohol, dan obat-obatan terlarang. Untuk beberapa remaja, zat-zat tersebut mereka anggap berguna untuk membantu meringankan stres.

e. Faktor lingkungan sosial

Remaja pada umumnya belum memiliki lingkungan sosial yang luas. Pada waktu yang sama, banyak remaja mengetahui bahwa mereka mewarisi segala permasalahan yang lebih luas seperti perang, polusi, pemanasan global, serta ketidakjelasan ekonomi yang menjadi sumber stres.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

Smet (1994) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat mengubah dampak stressor bagi individu, yaitu:

a. Variabel dalam kondisi individu meliputi umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik, inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi, kondisi fisik

b. Karakteristik kepribadian meliputi introvert-ekstravert, stabilitas emosi secara umum, tipe A, kepribadian hardiness, locus of control,

kekebalan, ketahanan

c. Variabel sosial-kognitif: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial

e. Strategi coping

5. Riset Terkait Stres

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Indriasari (dalam Assaat, 2007) di salah satu sekolah di Jakarta, ditemukan bahwa para siswa berbakat yang mengikuti program akselerasi cenderung mengalami stres meskipun dalam tingkat yang sedang. Selain itu, ada pula penelitian yang menunjukkan bahwa reaksi stres muncul pada anak usia sekolah karena adanya tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang padat dan membutuhkan banyak waktu. Iswinarti dan Haditono (1999) menyatakan bahwa korelasi negatif antara tingkat stres dan prestasi akademik disebabkan karena kemungkinan pada tahap perkembangannya anak belum mampu mengelola stresnya seperti orang

dewasa sehingga stres yang dialami dapat menyebabkan prestasi belajar menurun.

Dalam penelitiannya, Assaat (2007) menyatakan bahwa persepsi siswa terhadap program akselerasi dengan stres di bidang akademis memiliki korelasi negatif. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin baik persepsi siswa terhadap pelaksanaan program akselerasi, semakin rendah stresnya di bidang akademis. Sebaliknya jika semakin buruk persepsi siswa terhadap pelaksanaan program akselerasi, semakin tinggi stres di bidang akademis yang dialaminya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Anggoro (2010) menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan tingkat stres pada siswa kelas akselerasi. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMU akselerasi. Dari penelitian tersebut diperoleh korelasi negatif sebesar 0,368. Hal ini menunjukkan bahwa siswa-siswi akselerasi ternyata mengalami stres. Situasi stres terjadi karena adanya ketidakmampuan untuk memenuhi harapan guru maupun orang tua, tekanan persaingan di sekolah, kebutuhan untuk diterima yang berlebihan serta ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri pada lingkungan baru (Royanto dalam Anggoro, 2010). Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa siswa dengan dukungan sosial yang tinggi akan mempunyai pikiran lebih positif terhadap situasi penuh tekanan dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah.

Dokumen terkait