II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan
2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan
Berkaitan dengan struktur birokrasi, Edward III (1980) mengatakan bahwa
struktur birokrasi mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti
bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam
srtuktur. Karakteristik birokrasi yang umum dikelompokkan menjadi 2 (dua),
yaitu: 1) penggunaan sikap dan prosedur yang rutin dan 2) transformasi dalam
pertanggungjawaban diantara unit organisasi.
Standard Operating Prosedure (SOP) dalam struktur birokrasi, mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika hal ini tidak ada, maka akan
sulit sekali mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah-
masalah akan bersifat ad-hoc, memerlukan penanganan dan penyelesaian khusus
tanpa pola baku, fragmentasi yang sering sekali terjadi harus dapat dihindari dan
diatasi dengan cara sistem koordinasi yang baik. Struktur yang tepat memberikan
dukungan yang kuat terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik.
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu Bureau (burra, kain kasar
penutup meja) dan – cracy, ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Ada 3
(tiga) macam arti birokrasi, yaitu:
1.
Birokrasi diartikan sebagai “government by bureau” yaitu pemeritahan biro
oleh aparat yang diangkat pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan
dalam sebuah organisasi formal baik publik maupun privat (pendapat Riggs
yang dikutip oleh Ndraha, 2003).
2.
Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sikap kaku,
macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa
(pendapat Kramer yand dikutip oleh Ndraha, 2003).
3.
Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya birokrasi dalam arti ini
dianggap bermula pada teori Max Weber tentang sosiologik rasionalisasi
aktivitas kolektif (dikutip oleh Ndraha, 2003).
Birokrasi terdapat di semua bidang kehidupan dan diperlukan oleh setiap
organisasi formal yang memproduksi public goods, birokrasi seperti ini disebut
birokrasi publik. Birokrasi dipengaruhi karakteristik birokrasi dan karakteristik
manusia. Birokrasi sebagai gejala kekuasaan diartikan kekuasaan untuk
mengontrol kedua karakteristik birokrasi tadi dalam rangka efektivitas dan
efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan birokrasi sebagai gejala
sosial mengandung arti dinamikia karakteristik manusia dalam kehidupan
organisasi.
Hasil kajian terhadap artikel Muhdhar dan Margono (2003), menunjukkan
bahwa pengelolaan sampah masih belum terpadu dengan partisipasi masyarakat
yang terbatas, peran pemerintah masih sangat besar dalam mengelola sampah
kota. Sampah masih dianggap sebagai barang buangan yang berusaha
dimusnahkan, tidak merupakan barang ekonomis yang masih bisa diolah dan
diperjualbelikan. Kerjasama antar daerah masih belum ada dalam peraturan,
begitu juga ketentuan tentang penyelesaian perselisihan antar daerah dan
masyarakat masih belum diatur. Penegakan hukum masih menggunakan
pendekatan penguatan negatif, belum ada peraturan yang mengarah pada
pemberian penguatan positif berupa penghargaan.
Keberadaan birokrasi dalam sistem administrasi modern sangat
dibutuhkan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi. Suatu organisasi
memiliki struktur organisasi yang membagi semua tugas dan fungsi kepada
anggota organisasi. Kewenangan yang ada dalam struktur organisasi membuat
organisasi bekerja dengan optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Birokrasi suatu organisasi mempunyai peranan yang besar untuk
mencapai tujuan organisasi secara optimal. Birokrasi sebagai organisasi
mempunyai struktur yang membagi semua tugas dan fungsinya (Albrow, 1989).
Pembagian tugas kepada semua anggota organisasi memberikan kemudahan
mengadakan pencapaian tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya.
Struktur yang ada dalam birokrasi membuat adanya kesamaan persepsi terhadap
misi dan visi organisasi. Adaya struktur birokrasi maka dapat diketahui siapa
mengerjakan apa dan bagaimana prestasi yang dicapainya. Struktur birokrasi akan
membawa adanya suatu kewenangan. Kewenangan sangat dibutuhkan dalam
memberikan keleluasaan dalam bekerja secara optimal.
Pendapat Etzioni (1983) yang dikutip Kumorotomo (1992) mengatakan
bahwa tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu organisasi
dapat berjalan secara rasional, sistematis dan dapat diramalkan sehingga tercapai
efektivitas dan efesiensi. Menurut Etzioni (1983) dalam
Kumorotomo (1992),
menyatakan bahwa: struktur birokrasi memberikan kewenangan kepada anggota
organisasi bekerja sesuai tugas dan fungsinya seperti yang telah digariskan dalam
struktur organisasi. Kejelasan wewenang yang dimiliki setiap anggota organisasi
membuat mereka bekerja dengan optimal sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Perencanaan yang telah didasarkan kewenangan yang dimiliki anggota
organisasi membuat kejelasan tujuan atau sasaran yang akan dicapai. Pencapaian
tujuan yang rasional membuat organisasi semakin kredibel dan akuntabel dalam
pelaksanaan operasionalnya.
Struktur birokrasi adalah suatu standard operating prosedur yang menata
hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk didalamnya
kejelasan kewenangan yang dimiliki memberikan kepastian bagi anggota
organisasi dalam berprestasi dalam bekerja. Struktur birokrasi memberikan
sumbangan yang besar dalam melaksanakan suatu kebijakan publik. Dukungan
birokrasi yang telah ditata secara baik akan memperlancar keberhasilan
pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan akan
dilakukan dalam suatu organisasi. Dalam organisasi pemerintahan, keberadaan
birokrasi yang sudah tertata dengan struktur yang baik memberikan sumbangan
yang besar dalam memperlancar pelaksana dilapangan dalam bekerja dengan
optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan birokrasi dalam kebijakan yang
dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980)
terdiri dari:
1.
Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan
2.
Tanggung Jawab Pelaksana
3.
Kejelasan Wewenang Pelaksana
4.
Kejelasan Koordinasi Pelaksana
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar
individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme
(Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net)
1.
Komponen biotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk
media saling berhubungan, seperti; manusia, hewan, tumbuhan air, jasad renik
dan sebagainya. Unsur biotik sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia
karena kalau tidak ada unsur biotik maka manusia tidak bisa berkembang biak
secara sempurna.
. Lingkungan hidup itu terdiri dari
dua komponen yaitu komponen abiotik dan biotik:
2.
Komponen abiotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk
media berlangsungnya kehidupan, seperti: tanah, air, udara, sinar matahari,
dan lain-lain. Unsur abiotik juga berpengaruh bagi kehidupan karena unsur
abiotiklah kebutuhan utama dalam berlangsungnya kehidupan (Pustekkom,
2005, http://www.e-dukasi.net).
Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan hidup merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk suatu sistem kehidupan
yang disebut ekosistem. Suat
kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari
kebutuha
Pengertian tentang kualitas lingkungan sangatlah penting, karena
merupakan dasar dan pedoman untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan.
Perbincangan tentang lingkungan pada dasarnya adalah perbincangan tentang
kualitas lingkungan, namun seringkali kualitas lingkungan hanyalah dikaitkan
dengan masalah lingkungan, misalnya pencemaran, erosi dan banjir.
Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan
lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan
hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan itu dicirikan, antara lain dari
suasana yang membuat orang betah/kerasan tinggal di tempatnya sendiri.
Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar/fisik seperti makan
minum, perumahan sampai kebutuhan rohani/spiritual seperti pendidikan, rasa
aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net)
1.
Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan
abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Komponen biotik merupakan makhluk hidup, seperti; hewan, tumbuhan dan
manusia, sedangkan komponen abiotik, terdiri dari benda-benda mati, seperti;
tanah, air, udara, cahaya matahari. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik
jika
.
Kualitas lingkungan hidup dibedakan berdasarkan biofisik, sosial ekonomi
dan budaya, yaitu:
2.
Lingkungan sosial ekonomi, adalah lingkungan manusia dalam hubungan
dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar kualitas
lingkungan sosial ekonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia cukup
sandang, pangan, papan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.
3.
Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik berupa materi (benda) maupun
nonmateri yang dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya.
Lingkungan budaya dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan
juga termasuk non materi seperti tata nilai, norma, adat istiadat, kesenian,
sistem politik dan sebagainya. Standar kualitas lingkungan diartikan baik jika
di lingkungan tersebut dapat memberikan rasa aman, sejahtera bagi semua
anggota masyarakatnya dalam menjalankan dan mengembangkan sistem
budayanya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net).
Kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia memiliki dampak pada
lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang pesat telah
memberikan tekanan pada keseimbangan alam berupa pencemaran hingga
mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup. Padahal tipologi pencemaran
yang terdiri dari pencemaran air, udara, dan tanah berakibat pada menurunnya
kualitas lingkungan hidup memiliki dampak pada kehidupan manusia. Berikut ini
disajikan beberapa kasus berdasarkan tipologi pencemaran yang berakibat pada
penurunan kualitas lingkungan hidup yang menjadi soroton para ahli lingkungan
hidup di seluruh dunia.
1. Kasus rendahnya kualitas air di negara berkembang.
Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yang tinggal di kota-
kota dan sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara
berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum,
masak dan cuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagai
penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimia beracun dan
metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik
purifikasi biasa (standar). Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang
tercemar tersebut telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari
satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992).
2. Kasus tingginya tingkat pencemaran udara di kota-kota besar.
Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkat pencemaran udara di
20 kota besar di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis polusi udara di kota-kota besar
tersebut telah melebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP dan
WHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih 600 juta
orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfur dioksidanya melebihi
ambang batas pencemaran udara WHO, dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal
di kota-kota yang tingkat pencemaran debunya sudah sangat tinggi. Lebih jauh
lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggi diperkirakan telah menyebabkan
gangguan kesehatan pada masyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk
sekitar sembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematian dini, 39
juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasus serangan asma, 12 ribu
kasus bronhitis kronis, dan 125 ribu kasus sakit tenggorokan pada anak-anak
di tahun 1990 disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kota
tersebut (Ostro, 1994).
3. Kasus menurunnya tingkat kesuburan tanah.
Program Lingkungan Persatuan Bangsa-bangsa (UNEP) memperkirakan
sekitar 11 persen dari tanah subur di dunia telah tererosi, berubah secara
kimiawi, atau secara fisik memadat yang mengakibatkan menurunnya
kemampuan tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang
berguna bagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwa
kurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusak hingga tidak lagi
dapat menjalankan fungsi abiotiknya sama sekali (WRI in collaboration with
the UNEP and the UNDP, 1992). Tentunya tingkat kesuburan tanah yang
menurun menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas pertanian.
4. Kasus menurunnya tingkat keragaman biota.
Sebagai contoh, para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan
persen dari species yang hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun
mendatang (Reid, 1992). Kasus kerusakan batu karang juga semakin banyak.
Kelestarian rawa-rawa (wetlands) juga semakin mengkuatirkan. Semakin
menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan ancaman serius
bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in collaboration with the UNEP
and the UNDP, 1992).
Peningkatan kualitas lingkungan hidup terutama perkotaan, diperlukan
suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sampah terutama dalam upaya
menanggulagi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan
peningkatan kualitas lingkungan hidup berskaka rumah tangga perlu ditempuh
dengan kegiatan diantaranya, yaitu:
1.
Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
2.
Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3.
Meningkatkan pengelolaan kebersihan dan pertamanan.
Keberhasilan capaian sasaran tersebut antara lain pada pengembangan
kualitas lingkungan hidup diupayakan untuk meningkat, yang dinilai berdasarkan
tolok ukur standar kualitas lingkungan hidup. Faktor - faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pencapaian sasaran meningkatnya kualitas lingkungan hidup yaitu
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Hambatan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian
lingkungan hidup di Kota Bandung antara lain:
1.
Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih perlu ditingkatkan
utamanya pada pelaku usaha kecil dan menengah.
2.
Penegakan hukum lingkungan yang masih lemah.
3.
Pemahaman konsep pembangunan berwawasan lingkungan belum sinkron
bagi seluruh stakeholder
4.
Masih banyaknya masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di
sembarang tempat, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk pengelolaan
sampah pada tahapan berikutnya.
5.
Prasarana dan sarana pengelolaan sampah tidak seimbang dengan produksi
sampah yang dihasilkan masyarakat.
Strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan:
1.
Peningkatan Penegakan Hukum Lingkungan.
2.
Mensosialiasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan bagi seluruh
stakeholder
3.
Menyediakan fasilitas pembuangan sampah di tempat-tempat umum
4.
Peningkatan pengolahan sampah menjadi produk yang bermanfaat
Hasil penelitian yang dilakukan Saribanon (2007) menunjukkan bahwa
kondisi pengelolaan sampah saat ini memerlukan upaya penguatan kelembagaan
dan pembatasan lingkup fungsi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi
masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah yang
bersumber dari rumah tangga perlu bertumpu pada strategi pengembangan
infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan.
Pelaksanaan ketiga strategi tersebut dapat mengakomodasikan heterogenitas
dalam masyarakat serta meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sampah pemukiman berbasis masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan Saraswati (2007) menghasilkan 7 faktor
dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan sampah yaitu 1)
jumlah sampah, 2) yang menangani sampah di rumah sebelum di buang, 3)
pengetahuan tentang 3R, 4) pemilahan, 5) pelaksanaan reduce, 6) pelaksanaan
reuse dan 7) kesediaan melakukan recycle. Ibu rumah tangga merupakan pihak
yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang.
Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan. Faktor kunci
dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan sampah kota berbasis
partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah
tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang,
dan pemasaran produk daur ulang.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Kholil (2005) membuktikan
bahwa penanganan sampah kota tidak dapat didasarkan pada pendekatan cost
recovery, waste to product yang bertujuan untuk mencari keuntungan peningkatan
PAD, atau untuk tujuan menciptakan lapangan kerja baru; akan tetapi didasarkan
pada pendekatan waste to clean dan clean to product, yaitu pendekatan dengan
tujuan utama menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kota. Salah satu
faktor kunci yang menentukan keberhasilan penanganan sampah kota adalah
keterlibatan masyarakat, khususnya para ibu rumah tangga yang menjadi sumber
utama penghasil sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan penanganan
sampah kota harus berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
profesionalisme perlu restruktunisasi anggaran kebersihan kota dengan
membentuk BLU Kebersihan (Badan Layanan Umum Kebersihan), dan
restrukturisasi lembaga penanganan sampah kota dengan membentuk Komisi
Penanganan Sampah Kota, yang anggotanya terdiri dari tokoh formal, tokoh
agama, tokoh masyarakat, para ahli, LSM, pengusaha dan penegak hukum.
Dalam dokumen
Analisis pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah sebagai upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung
(Halaman 52-61)