• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah sebagai upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah sebagai upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN

PENGELOLAAN SAMPAH

SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

DI KOTA BANDUNG

DEDI A. BARNADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

(3)

RINGKASAN

ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG

Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume timbulan sampah sebagai indikasi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung periode Tahun 2001-2008, setiap tahunnya menghasilkan rata-rata sebesar 1.369.659 m3, dengan rata-rata pertambahannya sebesar 17,29%/tahun atau sebesar 81.394 m3/tahun, dan ironisnya volume sampah yang diolah baru sekitar 10%. Data dari PD Kebersihan ini memperlihatkan pula bahwa setiap penduduk berpotensi menghasilkan sampah sekitar 3 liter per hari. Tak heran, dengan jumlah penduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah dapat mencapai sekitar 7.500 m3/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah ini memiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66% atau 4.952 m3. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yang memiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50 m3/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektor komersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha.

Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasan bahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatan membuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui upaya pengembangan memperlakukan sampah dengan cara mengurangi, menggunakan-kembali dan mendaur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.

Terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980); yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi.

(4)

dan recycle) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkan pemberdayaan masyarakat (empowerment) berupa kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung. 2. Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan

kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.

3. Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung

4. Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain berkaitan dengan produk-produk peraturan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang berlaku di Kota Bandung sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Selain itu data sekunder lainnya dibutuhkan berkaitan dengan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, jumlah pegawai instansi berkaitan dengan persampahan, lokasi-lokasi TPA, alternatid-alternatif penanganan sampah, serta pendapat para pakar persampahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi atau laporan-laporan yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan informasi seperti PD Kebersihan, BPLHD Kota Bandung, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung.

Data primer yang diperlukan terdiri dari pendapat/pandangan masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait, serta pendapat/pandangan para pakar di bidang pengelolaan sampah dalam menemukan prioritas dalam pelaksanaan pengelolaan sampah. Selain itu wawancara dengan para pakar pengelolaan sampah baik dari institusi pemerintahan maupun institusi akademik dilakukan untuk memperoleh masukan dan arahan dalam pembahasan hasil analisis. Secara umum data primer dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner.

Pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan berdasarkan penilaian persepsi pegawai PD Kebersihan dan Masyarakat Kota Bandung melalui 5 (lima) pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai 5.

Pada tahap analisis, data diolah dan diproses menjadi kelompok-kelompok, diklasifikasikan, dikategorikan dan dimanfaatkan untuk memperoleh kebenaran sebagai jawaban dari masalah dalam hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian.

Analisis ini merupakan perpaduan antara Analitic Hierarchy Process

(5)

kebijakan pengelolaan sampah sebagai kekuatan yang dimiliki. Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai landasan strategi untuk mencapai keberlangsungan pembangunan terutama dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan menggambarkan pengaruh, tindakan yang diperlukan, untuk mencapai keluaran yang diinginkan (Moughtin,1990).

Pengelolaan sampah oleh masyarakat baik melalui komunitas dapat menjadi pemasukan bagi wilayahnya apabila dikelola dengan baik dan menambah lapangan pekerjaan. Sampah yang dihasilkan masyarakat jika sudah dapat dipisahkan berdasarkan jenisnya mulai dari awal, dapat dimanfaatkan kembali atau dijual untuk membiayai usaha pengelolaan sampah secara swadaya.

Peranan swasta dalam upaya pengelolaan sampah adalah sebagai pendukung sistem (support system), seperti: 1) mempercepat proses transformasi/ peralihan dari dominasi pemerintah ke masyarakat; 2) sebagai Pengumpul material/barang yang masih dapat di daur ulang atau masih berguna.

Peran pemerintah, apabila sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini berjalan, hanya memikirkan masalah pengelolaan TPA. Beban berat dari besarnya anggaran yang diharus ditanggung dapat dikurangi secara efisien. Beban mengelola sampah juga akan berkurang dengan drastis dengan hanya mengelola sampah. Sampah yang diangkut oleh pemerintah dari TPS ke TPA tentunya harus ditarik pungutan/retribusi yang akan digunakan untuk operasional. Sedangkan biaya rutin sampah per bulan akan menjadi hak dari pengelola masyarakat karena peran aktifnya mengatasi masalah pengelolaan sampah.

Pelaksanaan kebijakan pengelolaan samapah dikota Bandung perlu ditingkatkan agar lebih baik sesuai dengan paradigma baru sebagaimana tertuang dalam UU No.18 Tahun 2008, serta memperhatikan faktor-faktor dominan apa (Disposisi,Sumberdaya,Komunikasi,Birokrasi) yang harus mendapat perhatian, serta prioritas kebijakan dalam hal mengurangi (reduce) sampah dari sumbernya.

Langkah selanjutnya adalah merevisi dan atau menambah pasal dari peraturan daerah No.2 Tahun 1985 tentang PD kebersihan, peraturan daerah No.27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan dan peraturan daerah No.11 Tahun 2005 tentang K.3.

(6)

ii

ABSTRACT

Dedi A. Barnadi, 2010. Analysis of Waste Management Policy Implementation

Efforts to Improve the Environmental Quality in Bandung, under a team of

supervisors with Supiandi Sabiham as chairman, Syaiful Anwar and Wonny A.

Ridwan as members.

Waste policies governing waste management intended to improve public health

and environmental quality and make waste as a resource. Implementation of

waste management policies, including the excellent category based on employee

perceptions of PD Kebersihan Bandung, but less well on the public perception of

Bandung. Factors that influence the implementation of waste management policy

in the city of Bandung which is the dominant factor, especially in terms of

disposition implementing cleaner understanding of waste management policy.

Operation of waste management is derived from the household waste reduction

and handling.

Waste management was improved by applying the 3R concept of

community empowerment as a new paradigm. Efforts made in improving waste

management in Bandung in the form of strategies and implementation models of

waste management policy with a new paradigm.

(7)

i

ABSTRAK

Dedi A. Barnadi, 2010. Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah

sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung, di

bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua, Syaiful Anwar dan Wonny A.

Ridwan sebagai anggota.

Kebijakan persampahan mengatur tentang pengelolaan sampah yang ditujukan

untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta

menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan

sampah termasuk pada kategori yang cukup baik berdasarkan persepsi pegawai

PD. Kebersihan Bandung, namun kurang baik berdasarkan persepsi masyarakat

Kota Bandung. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan

pengelolaan sampah di Kota Bandung yang dominan yaitu pada faktor disposisi

terutama dalam hal pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan

pengelolaan sampah. Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bersumber dari

rumah tangga yaitu pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah

dengan paradigma baru menerapkan konsep 3R dan pemberdayaan masyarakat.

Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan pengelolaan sampah di Kota Bandung

berupa strategi dan model pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dengan

paradigma baru.

(8)

vi

mencantumkan dan menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB

(9)

viii Nama: Dedi A. Barnadi.

NIM.: P.062050494

Program Studi: Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., Dr. Wonny A. Ridwan, SE. M.M.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(10)

vii

SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP

DI KOTA BANDUNG

Oleh:

Dedi A. Barnadi

P062050494

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

ix

Atas rahmat dan ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian Disertasi dengan judul mengenai “Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Di Kota Bandung” Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada ;

1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, tenaga dan waktu ditengah kesibukan yang luar biasa padatnya untuk mendiskusikan tahapan penulisan dengan memberi semangat secara terus menerus.

2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, nasihat, waktu dan selalu memberi semangat. 3. Dr. Wonny A. Ridwan, M.M., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan perhatian, nasihat dan waktu untuk berdiskusi dalam penulisan ini.

4. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS., selaku dekan sekolah pasca sarjana institut pertanian bogor yang telah memberikan motivasi dan arahan selama mengikuti perkuliahan.

5. Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc, selaku Sekretaris Program Doktor yang selalu memberi semangat dan dorongan dalam proses penulisan ini.

6. Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan masukan dan saran dari sisi akademik serta mengingatkan akan batas waktu studi.

7. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., selaku Sekretaris Eksekutif Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. 8. Kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penulisan

(13)

x

sehingga memperlancar proses penulisan disertasi ini.

Akhirnya penulis mengharapkan mudah-mudahan bantuan dan dorongan yang telah diberikan oleh Bapak dan ibu tidak terputus hingga penelitian dan penyelesaian Disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak dan ibu dengan berlipat ganda. Amin.

Bogor, Maret 2010

(14)

xi

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1955 di Banjar-Jawa Barat, sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara.

Ayah bernama Achmad Barnas Wangsadiredja (Alm) dan ibu Ota Saadah. Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Sri Budihartini, SE dikaruniai empat orang anak yaitu Achmad Furqon, Achmad Budi, Siti Nadia dan Nabila Siti Salsabila.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Bandung lulus tahun 1967, SMP Negeri 2 Cimahi lulus tahun 1970, SMA Negeri 6 Bandung lulus tahun 1973, Fakultas Sospol (Administrasi Negara) Universitas Pajajaran Bandung lulus tahun 1980, Fakultas Hukum (Pidana) Universitas Islam Nusantara Bandung lulus tahun 1994, Program S2 (Ilmu Pemerintahan) Universitas Satyagama Jakarta lulus tahun 2002.

Pada tahun 2005 penulis mengikuti program Doktor (S3) pada Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

(15)

xii

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ... i

ABSTRACT ... ii

RINGKASAN ... iii

HALAMAN HAK CIPTA ... vi

HALAMAN JUDUL ... vii

HALAMAN PENGESAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

RIWAT HIDUP ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Kebaruan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 12

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan ... 17

2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan ... 22

2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan ... 25

2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan ... 28

(16)

xiii

III. METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

3.2 Tahapan Penelitian ... 40

3.3 Jenis dan Sumber Data... 41

3.4 Jumlah Sampel Penelitian ... 42

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.6 Metode Analisis Data ... 47

IV. GAMBARAN UMUM KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG ... 54

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.2 Sampah di Kota Bandung ... 57

4.3 Tingkat Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bandung ... 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

5.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 62

5.2 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 87

5.3 Strategi dan Model Meningkatkan Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 100

5.4 Model Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan ... 111

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

6.1 Kesimpulan ... 131

6.2 Saran ... 131

(17)

xiv

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan

Sampah di Kota Bandung ... 9

2. Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan dan Pengurutan Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian dengan Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984) ... 48

3. Model Hirarki AHP dan SWOT ... 53

4. Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung ... 55

5. Sistem Operasional Pelayanan Kebersihan ... 59

6. Program Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 67

7. Operasional Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung ... 68

8. Sistem Pengelolaan Konvensional yang dilakukan oleh PD Kebersihan ... 100

9. Struktur Hirarki AnalitikStrength Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 106

10. Struktur Hirarki AnalitikWeakness Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 107

11. Struktur Hirarki AnalitikOpportunities Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 109

12. Struktur Hirarki AnalitikThreats Penyusunan Prioritas Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 110

13. Konsep Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung... 120

14. Sistem Modifikasi Pengelolaan Sampah ... 128

(18)

xv

Halaman

1. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Pegawai ... 44

2. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Masyarakat ... 44

3. Kerangka Analisis SWOT ... 51

4. Timbulan Sampah di Kota Bandung ... 58

5. Perkiraan Produksi Sampah Domestik Di Kota Bandung Tahun 2008 dan 2013 ... 60

6. Hasil Pemantauan Kualitas Sungai ... 61

7. Kejelasan Informasi yang Diterima mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 68

8. Penguasaan Pegawai dalam Pengetahuan mengenai Masalah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ... 69

9. Kecepatan Pesan yang Diterima dalam Menginformasikan Perkembangan berkaitan dengan Kebijakan Pegelolaan Sampah yang Ditetapkan oleh Pemerintah ... 70

10. Frekwensi Penyampaian Informasi Pemerintah Berkaitan dengan Perkembangan Pengelolaan Sampah ... 71

11. Ketepatan dan Kesesuaian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah yang Diterapkan oleh Pemerintah... 72

12. Penyelesaian Masalah dengan Adanya Informasi yang Diberikan Pemerintah Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 73

13. Perolehan Sumber Daya Informasi yang Dibutuhkan Pelaksanaan Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 75

14. Kegunaan Sarana dan Prasarana Bantuan Pemerintah berupa Peralatan...76

15. Sumber Daya Manusia atau Tenaga Pelaksana mengenai Kebijakan Pengelolaan Sampah...76

(19)

xvi

Pengelolaan Sampah...78

18. Penerapan dalam Pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 79

19. Kejujuran Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ... 80

20. Komitmen Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ... 80

21. Sikap Aparat Pemerintah dalam Prioritas Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya81 22. Kejelasan Pembagian Tugas Aparat Pemerintah dalam hal Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah ... 82

23. Tanggungjawab Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya83 24. Kejelasan Wewenang Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya... 83

25. Kejelasan Koordinasi yang Dilakukan Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ... 84

26. Pengujian Kecukupan Data dalam menggunakan Analisis ... 88

27. Hasil PerhitunganTotal Variance Explained ... 89

28. Hasil Akhir Analisis Faktor Variabel Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi Dan Birokrasi Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat ... 90

29. Susunan Urutan Faktor Dominan... 92

30. Hubungan Antara Variabel Laten dengan Variabel Manifes Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat ... 95

31. Bobot Faktor terhadap Goal ... 102

32. Bobot Kriteria terhadap Faktor ... 104

(20)

xvii

(21)

xviii

Halaman

1. Kuesioner Analisis Faktor ... 142

2. Kuesioner AHP ... 146

3. Pedoman Wawancara ... 165

4. Data Hasil Penelitian Responden Pegawai ... 167

5. Data Hasil Penelitian Responden Masyarakat ... 168

6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Pegawai ... 170

7. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Masyarakat ... 176

8. Data Tingkat Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah ... 180

9 . Hasil Analisis Faktor Responden Pegawai ... 185

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat,

peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di

perkotaan, menimbulkan bertambahnya volume dan jenis sampah, serta

karakteristik sampah yang semakin beragam. Sampah yang ditimbulkan dari

aktivitas dan konsumsi masyarakat perkotaan ini, telah menjadi permasalahan

lingkungan yang harus ditangani oleh setiap pemerintah kota dengan dukungan

partisipasi aktif dari masyarakat perkotaan itu sendiri. Permasalahan sampah

perkotaan ini dialami pula oleh Pemerintah Kota Bandung sebagai Ibu Kota

Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung yang dahulunya dikenal dengan

”Parijs van

Java”

dengan lingkungannya yang asri sehingga pernah dijuluki sebagai Kota

Kembang, namun karena menghadapi permasalahan sampah perkotaan maka

dikhawatirkan status yang sudah baik ini menjadi hilang karna menumpuknya

sampah diberbagai tempat yang antara lain disebabkan oleh terbatasnya daya

tampung tempat pembuangan akhir(TPA).

Pada tingkat perkembangan kehidupan masyarakat di masa lampau,

pengelolaan sampah bertumpu pada pendekatan akhir, dengan membuang sampah

yang dihasilkan proses produksi dan konsumsi secara langsung ke tempat

pembuangan akhir sampah (Djajadiningrat, 2001).

(23)

sekitar 7.500 m

3

/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah ini

memiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66%

atau 4.952 m

3

. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yang

memiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50

m

3

Pengelolaan sampah di Kota Bandung selama ini mengacu pada Peraturan

Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan

kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah. Artinya pengelolaan sampah

di Kota Bandung lebih diarahkan kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah

(PAD).

/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektor

komersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran.

Peran masyarakat didalam menangani sampah di Kota Bandung

diposisikan hanya sebagai objek sumber pendapatan. Sampah yang berasal dari

rumah tangga dikelola oleh lembaga kewilayahan tingkat RW, kemudian dibawa

ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang dikelola oleh Perusahaan Daerah.

Saat ini kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang diterapkan Pemerintah

Kota Bandung selain dikelola oleh PD Kebersihan, juga mengacu pada Peraturan

Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan

dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban,

Kebersihan, dan Keindahan, di Kota Bandung yang meminta peran serta

masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Dari dua

peraturan daerah yang ada, terlihat adanya kontradiktif.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan

Sampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah

perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah

perkotaan pada konsep

zero waste

dengan menekankan pentingnya peran

masyarakat dalam pengelolaan sampah.

(24)

2009). Hal itu diperlukan agar pengelolaan sampah rumah tangga dapat

terintegrasi antar seluruh kelembagaan terkait dan menjadi instrumen penting

dalam menerapkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan.

Pengelolaan sampah di kota, tidak terlepas dari kebijakan publik yang

dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Secara umum menurut Edward III (1980)

kebijakan publik dipengaruhi 4 (empat) aspek penting dalam pelaksanaan suatu

kebijakan yaitu 1) Komunikasi, 2) Sumberdaya, 3) Disposisi, dan 4) Birokrasi.

Upaya pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada aspek

komunikasi yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung lebih banyak dilakukan

dalam hal komunikasi internal antar instansi pemerintah terkait dengan

pengelolaan sampah. Komunikasi eksternal kepada masyarakat hanya sekedar

pada himbauan berupa pemasangan

billboard

di tempat-tempat tertentu seperti

”Buanglah Sampah pada Tempatnya”, ”Dilarang Membuang Sampah

Sembarangan”, ”Jagalah Kebersihan”, dan ”Jangan Membuang Sampah ke

Sungai”. Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki program khusus yang secara

intensif menangani kegiatan sosialisasi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan

berupa pengelolaan sampah.

Pada aspek sumberdaya, khususnya dalam hal sumber pendanaan,

Pemerintah Kota Bandung menerapkan retribusi sampah sebagai salah satu

sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber pendanaan dalam

penyelenggaraan pelayanan pengelolaan sampah. Fenomena yang terjadi

berkaitan dengan pendanaan ini yaitu adanya 2 (dua) kali pungutan sampah yang

harus dibayar oleh masyarakat. Pertama, pungutan berupa iuran sampah bulanan

yang dikelola oleh RW setempat dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan

pengumpulan sampah dari rumah penduduk ke TPS. Sedangkan yang kedua

pungutan berupa retribusi sampah (pada saat pembayaran listrik PLN) yang

dipungut oleh PD Kebersihan dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan

pengangkutan sampah dari TPS ke TPA.

(25)

peraturan daerah yang kontradiksi antara Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor

02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan kepada Perusahaan Daerah untuk

mengelola sampah di Kota Bandung, dengan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun

2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung dan Peraturan Daerah

Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan

Keindahan; yang mengamanatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan

sampah.

Sedangkan pada aspek birokrasi, Pemerintah Kota Bandung menempatkan

PD Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pengelolaan

sampah di Kota Bandung. Namun pengelolaan sampah perkotaan yang dilakukan

PD Kebersihan hanya difokuskan pada pengelolaan sampah dalam hal

pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah

di Kota Bandung belum mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan kepada

Pemerintah untuk menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sampah.

Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan

pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah

meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha.

Selain itu organisasi pengelola sampah, dan kelompok masyarakat yang bergerak

di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan

sampah.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis melakukan

penelitian dengan judul:

”Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya

Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung”

1.2 Kerangka Pemikiran

(26)

dalam kajian ini terkait dengan bebasnya lingkungan hidup dari timbunan sampah,

bau akibat sampah dan turunan dari adanya timbunan sampah seperti penyakit

disentri, kolera, tipus, dan penyakit lainnya.

Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah

berakhirnya suatu proses produksi/konsumsi, namun dalam proses alami, tidak

dikenal istilah sampah. Proses-proses alam terkait satu sama lain dalam suatu

siklus, di mana output dari satu proses menjadi input dari proses lain. Sampah

adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa

atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang yang rusak atau bercacat

dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau

buangan.

Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasan

bahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatan

membuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Semua sampah

yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dibuang ke tempat

penimbunan akhir sampah yang pada akhirnya memberikan tekanan yang sangat

berat terhadap tempat penimbunan akhir sampah, karena memerlukan jangka

waktu panjang agar sampah dapat diurai oleh proses alam. Dalam jangka waktu

proses penguraian oleh alam, sampah harus tetap dikelola yang berarti diperlukan

dana, tenaga, waktu dan ruang untuk mengelolanya. Oleh karena itu, pengelolaan

sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme

dalam bentuk kebijakan pengelolaan sampah.

(27)

Lahirnya undang-undang tentang pengelolaan sampah merupakan suatu

tonggak baru bagi pengelolaan sampah khususnya di Kota Bandung. Pengelolaan

sampah di Kota Bandung diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas

berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan,

asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sampah yang mengatur mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah, pada

Bab IV Pasal 19 menetapkan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga dan

sejenis sampah rumah tangga seperti plastik, sayuran dan buah-buahan dari

sampah pasar, terdiri atas; 1) Pengurangan sampah, dan 2) Penanganan sampah.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada

Bab IV Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan pengurangan sampah

merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi sampah, yang

meliputi kegiatan; 1) pembatasan timbulan sampah, 2) pendauran ulang sampah,

dan/atau 3) pemanfaatan kembali sampah. Pada ayat (2) undang-undang ini

dijelaskan pula bahwa dalam pengurangan sampah, pemerintah pusat dan

pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan berupa; 1) menetapkan target

pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, 2)

memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, 3) memfasilitasi

penerapan label produk yang ramah lingkungan, 4) memfasilitasi kegiatan

mengguna ulang dan mendaur ulang, dan 5) memfasilitasi pemasaran

produk-produk daur ulang.

(28)

dan bagi setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah akan diberikan

disinsentif oleh pemerintah.

Kegiatan penanganan sampah ditunjukkan pada Bab IV Pasal 22 yang

merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah, meliputi

kegiatan 1) Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah

sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, 2) Pengumpulan dalam bentuk

pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat

penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, 3)

Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat

penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu

menuju ke tempat pemrosesan akhir, 4) Pengolahan dalam bentuk mengubah

karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah, dan/atau, 5) Pemrosesan akhir

sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan

sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) dalam Wahab

(2000) mengemukakan: ”Implementasi kebijakan adalah suatu proses

melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang,

Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit

Presiden.” Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Wahab (2000)

mengemukakan: ”Implementasi kebijakan adalah kejadian-kejadian dan

kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan

negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun

untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian”.

(29)

(1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan dimensi dari pelaksanaan

program atau keputusan yaitu:

1.

Pengorganisasian, penyesuaian dan penataan kembali sumberdaya, unit-unit

serta metode untuk menjadikan program berjalan.

2.

Penafsiran (interpretasi) program menjadi rencana, pengarahan yang tepat dan

dapat diterima serta dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Dalam hal

ini diperlukan informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta

tingkat dukungan.

3.

Penerapan (aplikasi) pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan

dengan tujuan atau perlengkapan program.

Penelitian mengenai Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu yang

dilakukan oleh Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan bahwa beberapa

kegiatan perlu dilakukan untuk mengatasi tingginya pertambahan penduduk dan

arus urbanisasi ke perkotaan yang menyebabkan semakin tingginya volume

sampah, ditambah keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

sampah, pengangkutan sampah ke TPA yang terkendala karena jumlah kendaraan

yang tidak mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua serta pengelolaan TPA

yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.

Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki

nilai ekonomi seperti untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku

industri. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dapat dilakukan

dengan kegiatan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep 3R (

reduce

,

reuse

dan

recycle

) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaan

masyarakat (

empowerment

). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan

(

reduce

), penggunaan kembali (

reuse

), dan pendauran ulang (

recycle

), sedangkan

pemberdayaan masyarakat (

empowerment

)

berupa kegiatan pemilahan,

pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

(30)
[image:30.595.69.540.71.769.2]

Gambar 1

Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan

Sampah di Kota Bandung

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan kerangka pemikiran dan latar belakang dapat dirumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut:

KEBIJAKAN

(Tujuan dan Sasaran)

Birokrasi

Kelembagaan

Persampahan

Disposisi

Sikap Para

Pelaksana

PELAKSANAAN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN

SAMPAH SAAT INI

Paradigma Baru

Pengelolaan Sampah

Perkotaan

Umpan balik

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Pelaksanaan Kebijakan

Sumberdaya

Pemanfaatan

Sampah

Komunikasi

Pengkomunikasian

Pelaksanaan

PENINGKATAN

KUALITAS

LINGKUNGAN HIDUP

KOTA BANDUNG

Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan sampah

yang Baru

(31)

1.

Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Bandung

belum terlaksana dengan baik.

2.

Terdapat faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan

pengelolaan sampah di Kota Bandung.

3.

Prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan

pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada.

4.

Kebijakan pengelolaan sampah yang dapat dijadikan acuan dalam

melaksanakan pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokok

pikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakan

pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuan

untuk:

1.

Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.

2.

Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan

kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.

3.

Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung

4.

Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan ini adalah:

1.

Manfaat Praktis, yaitu memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah

khususnya Pemerintah Kota Bandung, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Kota Bandung, dan masyarakat Kota Bandung mengenai pengelolaan

sampah yang lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan.

(32)

1.6 Kebaruan Penelitian

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah

Dunn (1999) mengartikan kebijakan publik sebagai arahan otoritatif bagi

penyelenggaraan tindakan pemerintah dalam wilayah negara, kabupaten dan kota

yang dikukuhkan oleh legislatif, aturan main adminstrasi, dukungan publik yang

mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam suatu wilayah

pemerintahan. Hoogerwerf (1978) berpendapat bahwa kebijakan merupakan usaha

mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu

yang tertentu, sedangkan kebijakan pemerintah merupakan kebijakan yang dibuat

oleh pejabat pemerintah dan instansi pemerintah.

Kebijakan pemerintah secara umum dapat diartikan sebagai

ketentuan-ketentuan yang dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari

aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam

mencapai tujuan tertentu dan golongan ke dalam ruangan lingkup nasional dan

lingkup wilayah/daerah. Gladden (1968) yang dikutip Badri (1982) menyatakan

bahwa dilihat dari tingkatannya kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi

political policy, executive policy, administrative policy, technical or operational

policy

. Siagian (1985) berpendapat bahwa tingkatan kebijakan pemerintah terdiri

dari 3 (tiga) tingkatan kebijakan, yaitu

1.

Kebijakan Umum, yang sifatnya mendasar dan prinsipil;

2.

Kebijakan Pelaksanaan, yang kadang-kadang juga dikenal dengan istilah

kebijakan operasional; dan

3.

Kebijakan Tehnis.

(34)

1.

Tahap Kebijakan puncak, bentuknya berupa ketetapan MPR sebagai

Garis-Garis Besar Haluan Negara, dekrit Kepala Negara, Peraturan Kepala negara.

2.

Tahap Kebijakan umum, bentuknya berupa Undang-Undang, peraturan

pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Penetapan

Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden.

3.

Tahap Kebijakan khusus, bentuknya berupa Peraturan Menteri, Keputusan

Menteri, Instruksi menteri dan surat edaran Menteri.

4.

Tahap Kebijakan tehnis, bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal,

Keputusan Direktur Jenderal dan Instruksi Jenderal.

5.

Tahap Kebijakan kewilayahan Dati I (Provinsi) bentuknya berupa Peraturan

daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur serta Instruksi Gubernur.

6.

Tahap Kebijakan kewilayahan Dati II (Kabupaten/Kota) bentuknya berupa

Peraturan daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Bupati/Walikota serta

Instruksi Bupati/Walikota.

Kebijakan publik ini merupakan seperangkat aturan yang mengatur

kepentingan publik dan pemerintahan untuk maksud dan tujuan yang saling

menguntungkan atau demi ketertiban bersama. Untuk dapat mencapai maksud

seperti ini maka proses pembuatan kebijakan harus mengaju pada

masalah-masalah riil yang perlu diselesaikan dengan berbagai pengetahuan dan disiplin

ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud.

Permasalahan-permasalahan berkaitan dengan persampahan yang ada di masyarakat perlu

dianalisis dan diseleksi menurut prioritas tertentu sehingga dapat diupayakan

proses penerapannya oleh lembaga yang berwenang yang melahirkan kebijakan

publik. Oleh karena itu permasalahan persampahan yang beranekaragam mulai

dari jenis, bobotnya dan urgensinya maka dalam proses pembuatan kebijakan

pengelolaan sampah diperlukan berbagai macam disiplin ilmu dan kualitas dari

para aktor pembuat kebijakan yang menguasai permasalahan pengelolaan sampah

untuk dicarikan solusinya dengan tepat.

(35)

Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam

yang berbentuk padat. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat,

konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.

Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. Penghasil sampah adalah

setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan

sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan

penanganan sampah. Tempat penampungan sementara adalah tempat

sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan,

dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Tempat pengolahan sampah

terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,

penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir

sampah. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan

mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia

dan lingkungan.

Nilandari (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan asalnya, sampah

padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu sampah organik dan sampah

anorganik. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan

hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan

atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah

rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah

organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.

Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumberdaya alam tak terbarui seperti

mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak

terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara

keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat

diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah

tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng. Kertas, koran,

dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan

karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat

didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik),

maka jenis sampah ini dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik.

(36)

daun-daun kering di lingkungan pemukiman. Sampah manusia (Inggris:

human

waste

) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan

manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius

bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan)

penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada

dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah

manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk di dalamnya

adalah perkembangan teori penyaluran pipa (

plumbing

). Sampah manusia dapat

dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air. Sampah

konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang,

dengan kata lain sampah merupakan sisa konsumsi yang dibuang ke tempat

sampah. Ini merupakan sampah yang umum dipikirkan manusia. Meskipun

demikian, jumlah sampah kategori ini relatif lebih kecil dibandingkan

sampah-sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri (Wikipedia, 2009)

Pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah umumnya masih

menggunakan pendekatan

end of pipe solution

(Aditya, 2008). Pendekatan ini

menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah tersebut telah

dihasilkan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan

sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Seyogyanya pengelolaan

sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme

dalam bentuk peraturan/kebijakan pengelolaan sampah.

(37)

kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah,

pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga

pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien, maka

ditetapkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sampah.

Peraturan/kebijakan yang ditetapkan berupa Undang-undang Nomor 18

Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berfungsi dalam aspek teknis untuk: 1)

Mengatur ketentuan-ketentuan teknis yang didelegasikan peraturan di atasnya, dan

2) Mengatur posisi, hak dan kewajiban pengelola sampah sesuai dengan ketentuan

yang diaturnya. Tujuan disusunnya kebijakan pengelolaan sampah adalah

pengendalian terhadap sampah dengan melakukan kegiatan berupa:

1.

Mengurangi kuantitas dan dampak yang ditimbulkan sampah

2.

Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat

3.

Meningkatkan kualitas lingkungan hidup

4.

Menyusun peraturan nasional untuk menjadi pedoman bagi Pemerintah

Daerah dalam menyusun kebijaksanaan pengelolaan sampah

Adapun sasaran disusunnya kebijakan pengelolaan sampah ini adalah:

1.

Peningkatan pengelolaan sampah di daerah perkotaan dan pedesaan

2.

Pencegahan terhadap dampak lingkungan

3.

Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan

4.

Peningkatan peran para pihak (pemerintah, Pelaku Usaha dan masyarakat)

dalam pengelolaan sampah

5.

Penerapan hierarki pengelolaan sampah yang meliputi:

a.

Pencegahan dan pengurangan sampah dari sumber

b.

Pemanfaatan kembali

c.

Tempat Pembuangan Akhir

(38)

pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan

masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan penetapan kebijakan

pengelolaan sampah yang mendorong akuntabilitas orang-seorang dan korporasi

serta menetapkan dan mengembangkan instrumen yang diperlukan untuk

mendukung terciptanya perilaku yang kondusif bagi pemanfaatan sumberdaya

secara berkelanjutan.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan

Aturan kebijakan yang telah ditetapkan pada pelaksanaannya perlu

dilakukan evaluasi yang merupakan prosedur dalam analisis kebijakan untuk

memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari diberlakukannya kebijakan

ini. Analisis kebijakan dapat mendeskripsikan adanya pengaruh pelaksanaan suatu

kebijakan berdasarkan hasil yang dicapai, sehingga hasil evaluasi merupakan

sumber informasi utama berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang telah

ditetapkan.

Dunn (1999) menyatakan bahwa evaluasi bermaksud untuk menetapkan

premis faktual tentang kebijakan publik, sementara premis faktual dan nilai dapat

diperoleh berdasarkan rekomendasi dan evaluasi dalam suatu analisis yang

sistematis. Oleh karena itu evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan akan

menghasilkan kesimpulan yang jelas selama dan setelah suatu kebijakan diadopsi

serta dilaksanakan, atau

ex post facto

. Evaluasi setidaknya memainkan 4 (empat)

fungsi dalam analisis kebijakan (Dunn, 1999) yaitu eksplanasi, akuntansi,

pemeriksaan dan kepatuhan, dengan penjelasan sebagai berikut:

1.

Kepatuhan (

Compliance

). Evaluasi bermanfaat untuk menentukan apakah

tindakan dari para administrator program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan

standar dan prosedur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah, dan

lembaga profesional.

(39)

3.

Akuntansi. Evaluasi menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk

melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah

dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.

4.

Eksplanasi. Evaluasi juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan

mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program berbeda.

Evaluasi dalam analisis kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan

pengelolaan sampah membutuhkan informasi yang relevan, reliabel dan valid.

Informasi yang dihimpun melalui evaluasi dapat diperoleh dengan observasi

berkaitan dengan pengelolaan sampah yang dilakukan secara cermat dan dapat

diandalkan. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) yang dikutip

Wahab (2000) mengemukakan: ”Pelaksanaan kebijakan adalah suatu proses

melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang,

Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit

Presiden.”

Wahab (2000) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sebagai

berikut : ”Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk

Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan.” Jadi yang

perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakan-tindakan yang sah

atau pelaksanaan suatu rencana dengan peruntukannya. Membuat atau

merumuskan kebijakan bukanlah suatu yang sederhana, karena banyak faktor

hambatan serta pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sementara

itu, ada 4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti

yang diungkapkan oleh Edward III (1980) yang menyatakan:

(40)

Faktor-fator kritis ini terdiri dari komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap,

dan birokrasi yang penjabarannya secara umum (Edward III, 1980) adalah sebagai

berikut:

1.

Komunikasi

Komunikasi menunjukkan peranan penting sebagai acuan agar pelaksana

kebijakan mengetahui persis apa yang mereka kerjakan. Komunikasi juga

dapat dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-pelaksana

kebijakan sehingga penerapan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang

dikehendaki, oleh karena itu komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, tepat

dan konsisten.

2.

Sumberdaya

Sumberdaya tidak hanya mencakup jumlah sumberdaya manusia/aparat

semata melainkan mencakup kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan

kebijakan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan bahwa tanpa sumberdaya yang

memadai maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.

3.

Disposisi/ sikap pelaksana

Disposisi diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan dikalangan pelaksana

untuk menerapkan kebijakan. Jika penerapan kebijakan dilaksanakan secara

efektif, pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan mereka

kerjakan namun harus memiliki kemampuan dan keinginan untuk

menerapkannya.

4.

Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi merupakan variabel terkhir yang mempunyai dampak

terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa dalam penerapan kebijakan

itu tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi

tersebut. Setiap pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan perlu

mengembangkan suatu prosedur standar pelaksanaan.

(41)

1.

Pengorganisasian.

Hal utama dalam tahapan ini adalah pembentukan atau penataan kembali

sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan. Titik

tolak dari aktivitas pengorganisasian ini adalah kinerja birokrasi, yang akan

berdampak pada ketetapan, kecepatan, kejelasan, pengaturan, pengetahuan,

kesinambungan, serta pembagian tugas yang jelas.

2.

Penafsiran (interpretasi)

Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan oleh para

implementor kebijakan. Oleh karena itu, dalam penafsiran diperlukan

informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta tingkat dukungan

politik yang dilaksanakan oleh para implementator kebijakan.

3.

Penerapan (aplikasi)

Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan penyediaan

barang dan jasa atau ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya

yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Ketiga dimensi tersebut merupakan faktor determinan keberhasilan

pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu akan lebih berarti jika dikaitkan dengan

pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, yang akan difokuskan pada penelitian

ini. Keberhasilan suatu kebijakan dalam hal pengorganisasian merupakan hal yang

penting karena organisasi merupakan wadah dan proses yang menentukan dalam

rangka pencapaian tujuan. Selain itu tingginya kemampuan pelaksanaan

sumberdaya organisasi akan memberi harapan besar untuk dapat melaksanakan

rencana kebijakan secara efektif.

Wibowo dan Djajawinata (2007) menyebutkan bahwa kebijakan

pengelolaan sampah yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif,

diantaranya:

1. Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya.

2. Merencanakan dan menerapkan pengelolaan sampah secara terpadu

(42)

3. Memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada

dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan

reward & punishment

dalam pelayanan.

4. Menggalakkan program yang dapat mencapai program

zero waste

pada masa

mendatang, yaitu:

a.

Mengurangi sampah (

Reduce

)

b.

Menggunakan kembali sampah (

Reuse

)

c.

Mendaur ulang sampah (

Recycle

)

5. Melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan

biaya (

full cost recovery

) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan

mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe

pelanggan.

6. Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan

lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.

Tinjauan perspektif pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam

hasil penelitian ini, ditujukan pada pengoperasiannya berlandasan pada konsepsi

aktivitas fungsional dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan pengembangan

teknologi, hasil penelitian yang dilakukan Amurwaraharja (2003) menyatakan

bahwa teknologi merupakan prioritas utama untuk kegiatan pengolahan sampah di

Jakarta Timur berupa pengomposan dan

incenerator

. Selain itu hasil penelitian

Virgota

et al.

(2001) menunjukkan pula kelayakan sistem pemisahan sampah

rumah tangga pada pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

(43)

pengelolaan sampah pasar. Selain itu hasil penelitian Jumiono

et al.

(2000)

menunjukkan prospek yang besar dalam pendirian industri vermikompos

berbahan baku sampah kota yang memfokuskan kepada analisis finansial industri

vermikompos yang berbahan baku sampah kota. Hal ini didukung pula oleh hasil

penelitian Suhartiningsih

et al.

(1998) yang melakukan penelitian tentang sistem

penunjang keputusan investasi usaha daur ulang sampah kota untuk produksi

kompos, dan hasil penelitian Syamsuddin

et al.

(1985) yang menilai keberhasilan

sistem pengelolaan sampah rumah tangga di Ujung Pandang berdasarkan

partisipasi masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah

kota, dan peraturan perundang-undangan.

Konsep pelaksanaan kebijakan meliputi pengorganisasian, penafsiran dan

penerapan dalam pengelolaan sampah di perkotaan, penelitian ini difokuskan pada

pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah pada aspek kelembagaan pengelolaan

sampah yang menjadi tanggungjawab PD Kebersihan Kota Bandung, sehingga

teori pelaksanaan kebijakan yang berkesesuaian dengan penelitian ini adalah teori

Edward III (1980) dengan mengacu pada faktor-fator kritis pelaksanaan kebijakan

yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi.

2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan

(44)

Sistem komunikasi dalam organisasi modern berkembang sebagai akibat

dari semakin pentingnya pendekatan kesisteman dan penyelenggaraan berbagai

kegiatan yang menjadi tanggung jawab suatu organisasi (Siagian, 1997).

Berkomunikasi dalam kehidupan berorganisasi, dibutuhkan untuk menyamakan

persepsi atau pendapat yang berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai.

Komunikasi yang berlangsung dengan dinamis akan dapat menentukan

keberhasilan tujuan organisasi. Halangan terbesar dalam berkomunikasi adalah

terdapatnya beraneka ragam persepsi. Pengiriman pesan/informasi dari

komunikator yang tidak jelas membuat komunikan menerima dan

menjalankannya tidak jelas dan bahkan dapat mengganggu jalannya organisasi.

Pendekatan kesisteman menuntut interaksi yang tinggi dengan intensitas yang

tinggi pula, terutama apabila dikaitkan dengan koordinasi, integrasi dan

sinkronisasi.

Edward III mengatakan bahwa lancar atau tidaknya suatu interaksi tersebut

bertumpu pada kemauan orang dalam organisasi untuk: 1) menerima, memproses

dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu dikomunikasikan kepada orang lain;

2) mengkomunikasikan informasi yang ada pada seseorang dengan orang lain

atau kelompok dimana yang bersangkutan menjadi anggota; 3) memanfaatkan

jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi seefektif mungkin, dan 4)

mengembangkan sistem penanganan informasi dalam organisasi baik secara

manual maupun dengan menggunakan peralatan yang lebih modern.

(45)

tujuan organisasi. Berkomunikasi dibutuhkan dalam setiap organisasi baik formal

atau informal, dalam organisasi, berkomunikasi digunakan untuk menyamakan

persepsi tujuan organisasi.

Berkomunikasi dapat memberikan kejelasan informasi yang akan

disampaikan. Berkaitan dengan fungsi atau tujuan komunikasi, Thayer (1968)

dalam Winardi (1992) mengatakan ada lima fungsi atau tujuan berkomunikasi di

dalam sebuah organisasi, yaitu: 1) Mendapatkan keterangan atau memberikan

keterangan (informasi) kepada orang lain; 2) Mengevaluasi input-input kita

sendiri atau output pihak lain atau skema ideologis tertentu; 3) Membina pihak

lain atau dibina pihak lain atau memberikan instruksi; 4) Mempengaruhi pihak

lain atau dipengaruhi, dan 5) Berbagai fungsi insidential dan netral.

Berkomunikasi merupakan salah satu fungsi pokok manajemen. Setiap

orang berkomunikasi dapat memperlancar orang bekerja dengan baik dalam

mencapai tujuan organisasi. Komunikasi yang tidak baik dapat mengganggu

keharmonisan hubungan kerja antar sesama orang dalam organisasi dan pada

akhirnya dapat mengganggu tercapainya tujuan organisasi. Kebijakan yang telah

diambil organisasi akan dilaksanakan atau dilaksanakan dalam bentuk kegiatan.

Pencapaian tujuan organisasi dengan optimal akan lebih mudah tercapai bila

semua anggota organisasi mempunyai persepsi yang sama akan tujuan itu.

Menyamakan persepsi dilakukan dengan komunikasi antar sesama anggota

organisasi secara baik dan benar. Mengkomunikasian tujuan organisasi secara

baik dan benar akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan secara

optimal.

(46)

1.

Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan

2.

Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan

3.

Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan

4.

Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan

5.

Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan

6.

Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan

2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan

Keberadaan sumberdaya memiliki arti dan peranan yang besar dalam

kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi dengan cepat dan mudah

adalah sumbangan yang besar dari sumberdaya. van Meter dan van Horn (1975)

mengatakan bahwa sumberdaya memiliki peranan yang besar dalam

melaksanakan suatu kebijakan. Manusia sebagai sumberdaya memiliki peranan

yang besar dalam mempengaruhi keberhasilan pencapaian suatu tujuan organisasi.

Pelaksanakan suatu kegiatan baik dalam organisasi publik maupun privat,

keberadaan sumberdaya manusia sangat diperhitungkan. Keberadaan sumberdaya

manusia sebagai pelaksanan suatu kebijakan, sangat menentukan keberhasilan

pelaksanaan suatu kebijakan.

van Meter dan van Horn (1975) mengatakan ada enam unsur yang

berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan, yaitu:

(1) Kompetensi dan ukuran dari perwakilan pegawai; (2) Tingkat hirarkis

pengendalian dari keputusan sub unit dan proses-proses dalam perwakilan

implementasi; (3) Sumber perwakilan politik (misalnya: dukungan antara

pembuat undang-undang dengan para eksekutif); (4) Vitalitas dari suatu

organisasi; (5) Tingkat komunikasi yang terbuka .... di dalam organisasi

dan (6) Hubungan perwakilan formal dan informal dengan pembuat atau

badan-badan pembuat kebijakan).

(47)

sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang

mengoperasionalkan program di lapangan relatif tinggi. Keberhasilan suatu

organisasi untuk mencapai tujuannya dapat dilihat dari berhasilnya kebijakan

dilaksanakan, unsur turut mempengaruhinya adalah ukuran dan tujuan kebijakan

sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau sifat instansi pelaksana, komunikasi antar

organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana serta lingkungan

ekomoni, sosial dan politik

.

Berkaitan dengan sumberdaya, Edward III (1980) mengatakan bukan

hanya sumberdaya manusia semata yang dapat mempengaruhi impelementasi

kebijakan publik, melainkan juga mencakup kemampuan sumberdaya yang

mendukung kebijakan tersebut berupa sarana, prasarana dan faktor dana. Menurut

Edward III (1980), bahwa sumberdaya dapat dibagi menjadi 4 (empat) komponen,

yaitu: 1) Staff yang mencukupi (jumlah dan mutu); 2) Informasi yang dibutuhkan

lengkap guna proses pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna

melaksanakan tugas dan tanggung jawab; 3) Fasilitas pendukung; dan 4) Sarana

dan prasarana serta tersedianya dana yang memadai.

Semua kehidupan di dunia ini mempunyai sumberdaya, misalnya dalam

manusia ada darah, ada pikiran, ada hati nurani, ada organ tubuh dan lainnya.

Demikian juga dalam organisasi, sumberdaya mempunyai peran yang penting,

karena tanpa sumberdaya yang cukup organisasi itu ibarat tubuh manusia

kekurangan darah, karenanya agar suatu organisasi tetap bertahan hidup maka

organisasi membutuhkan sumberdaya.

(48)

Keberadaan sumberdaya manusia dalam kehidupan organisasi, Gomes

(1997) mengatakan bahwa:

Unsur manusia di dalam organisasi, mempunyai kedudukan yang sangat

strategis, karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa saja

yang perlu diambil dari lingkungan dan bagaimana caranya untuk

mendapatkan input-input tersebut, tehnologi dan cara yang dianggap tepat

untuk mengolah atau mentranformasikan input-input tadi menjadi ouput

yang memberikan keinginan publik (lingkungan).

Berhubungan dengan sumberdaya manusia, Board (dalam Famularo,

1986) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) kriteria kebijakan sumberdaya manusia,

yaitu

1.

Suatu kebijakan merupakan suatu pernyataan yang berisi maksud dan tujuan

perusahaan yang menjadi acuan bagi langkah kerja individual.

2.

Kebijakan harus dituangkan dalam suatu tulisan.

3.

Kebijakan harus dinyatakan dalam ruang lingkup badan tersebut dalam arti

luas.

4.

Kebijakan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan salah satu kekuatan

dalam manajemen.

5.

Penyusunan kebijakan memerlukan tingkat pemikiran dan kontemplasi yang

sangat dalam.

6.

Kebijakan harus disyahkan oleh pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi

tersebut.

7.

Kebijakan berlaku untuk jangka waktu yang lama.

(49)

kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan

(Edward III, 1980) terdiri dari:

1.

Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan

2.

Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan

3.

Kemampuan Sumberdaya Pengelola

2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan

Berkaitan dengan disposisi/sikap pelaksana, Edward III (1980) mengatakan

bahwa disposisi/sikap pelaksana memiliki kegunaan di kalangan pelaksana untuk

menerapkan kebijakan, jika penerapan kebijakan dilakukan secara efektif.

Pelaksana bukan harus tahu apa yang harus mereka kerjakan tetapi harus memiliki

kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu. Disposisi adalah sikap dan komitmen

dari pelaksana terhadap program atau kebijakan, khususnya para pelaksana yang

menjadi impelementator dari program yang dalam hal ini terutama adalah aparatur

birokrasi. Keberadaan aparat pelaksana memiliki peranan yang besar dalam

menentukkan keberhasilan suatu kebijakan dalam pelaksanaannya.

Keberadaan aparat pelaksana dalam suatu organisasi pelaksana kebijakan,

Wahab (2000) mengatakan bahwa ada tiga kelompok yang mempengaruhi

keberhasilan suatu kebijakan, yaitu 1) Pemrakarsa kebijakan atau

the center

, 2)

Pelaksana di lapangan atau

the periphery

, dan 3) Aktor perorangan di luar badan

pemerintah atau kelompok sasaran.

(50)

Hasil Kajian terhadap artikel Tiwow, Widjajanto, Darjamuni, Hartman,

Mahajoeno, Irwansyah dan Nurhasanah (2003), menunjukkan bahwa pendekatan

yang paling tepat untuk masa mendatang dalam penanganan sampah melalui

sistem pengelolaan sampah terpadu yang dapat merubah paradigma dari

cost

center

menjadi

profit center

dengan cara memaksimalkan peran serta masyarakat

dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempuyai nilai.

Hasil kajian terhadap artikel Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan

bahwa aparat pelaksana perlu untuk menggalakkan program yang dapat mencapai

program

zero waste

pada masa mendatang, yaitu:

1.

Mengurangi sampah (

Reduce

)

2.

Menggunakan kembali sampah (

Reuse

)

3.

Mendaurulang sampah (

Recycle

)

Menurut Wahab (2000), suatu kebijakan merupakan produk dari pemrakarsa

atau pemerintah yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Kebijakan yang telah

diformulasi akan dilksanakan agar dapat dirasakan masyarakat manfaatnya.

Kegiatan dan program adalah bentuk nyata dari kebijakan dilapangan yang dapat

diwujudkan dalam pelaksanaannya. Bila program ternyata tidak berjalan

sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan dilakukan upaya penyesuaian

terhadap kegiatan dan program yang telah ada.

Pelaksanaan kebijakan membutuhkan dukungan aparat pelaksana di

lapangan sehingga dapat mencapai sasaran atau tujuan dengan optimal. Aparat

pelaksana di lapangan mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kebijakan

itu dapat dilaksanakan dengan efektif, karena mereka lebih mengetahui apa yang

menjadi kebutuhan dari masyarakat. Pemahaman situasi dan kondisi masyarakat

membuat aparat pelaksana menjadi diperhitungkan dalam melaksanakan suatu

kebijakan.

(51)

kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan memerlukan penilaian dan

evaluasi dari berbagai kelompok agar dengan demikian dapat memperbaiki

prestasi kebijakan yang telah dicapai sebelumnya. Penilaian dan evaluasi menjadi

tuntutan dari kelompok sasaran apabila kebijakan itu tidak menyentuh kebutuhan

dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Sekalipun demikian, kelompok

sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan

apakah pelayanan yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola

hidupnya, benar-benar memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi

peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka.

Pemahaman konsep pelaksanaan kebijakan dari pemrakarsa atau pembuat,

pelaksana lapangan dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya

tujuan kebijakan secara optimal dan memu

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Gambar 2  Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan dan Pengurutan  Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian dengan  Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984)
Gambar 3 Model Hirarki AHP dan SWOT
Gambar 4 Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara

Keuniversalan kebenaran matematika menjadikannya lebih “tinggi” dari produk ilmiah yang mana pun juga; matematika menjadi ratunya ilmu sebab ia lebih penting dari logika

Fungsi manajemen akan terasa lebih urgen ketika kita berbicara tentang proses pendayagunaan zakat. Pada proses pendayagunaan inilah sesungguhnya zakat akan

Oleh sebab itu, satu kajian perlu dilakukan untuk mengukur kecekapan bertutur pelajar dalam bahasa Arab setelah melalui pengalaman belajar sepanjang satu semester dalam kursus

Protokol ini merupakan satu pakatan oleh negara-negara semasa Persidangan Bangsa-bangsa Bersatu PBB di Kyoto pada tahun 1997 untuk mengurangkan emisi gas rumah

Dari delapan aspek kesiapan sekolah inklusi yang menunjukkan kondisi paling siap ialah aspek peserta didik, dilanjutkan aspek dana pada urutan ke-dua, aspek menejemen

Populasi tak terjangkau dalam penelitian ini meliputi seluruh peserta didik kelas XI yang terdiri dari 8 kelas sebanyak 291 peserta didik, yaitu 5 kelas kelompok

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penataan produk (display), jenis kelamin dan daftar belanja terhadap keputusan pembelian tidak terencana