• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS

1. Struktur Cerpen Filosofi Kopi

Cerpen “Filosofi Kopi” mempunyai alur back tracking, seperti yang diungkapkan Mursal Esten bahwa alur ini tetap maju dan jenis alur konvensional, yang tetap urut dari situasi, pelukisan keadaan dari awal, hingga akhir atau penyelesaian, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang ditarik ke belakang (Mursal Esten, 1990:26).

Tahap awal adalah tahapan pengarang mulai melukiskan keadaan awal yang terdapat dalam cerpen “Filosofi Kopi”, tampak pada kutipan berikut ini:

Kopi...k-o-p-i

Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. Memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben..B-e-n. (Dee, 2009:1)

commit to user

Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponden di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskow.(Dee, 2009:1) Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucino, espresso, russian, coffe, irish coffe, macchiato, dan lain- lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.(Dee, 2009: 1-2)

Tampak terlihat bahwa deskripsi dari tokoh „Ben‟, yang ambisius ingin memiliki sebuah kedai kopi. Kedai kopi yang nantinya akan menjadi kedai kopi yang idealis, menuntut sebuah kesempurnaan. Dari sini awal

cerita mulai menarik, karena diperkenalkannya tokoh „Ben‟ sebelum

mendirikan kedai kopi.

Peristiwa-peristiwa dalam cerpen ini mulai bergerak, diungkapkan awal mula kedai kopi ini berdiri. Kedai kopi ini akan menjadi kedai kopi

idealis. Diceritakan bahwa tokoh „Ben‟ adalah peramu kopi atau yang lebih

dikenal barista terandal di Jakarta. Awal mula nama sebuah kedai kopi itu

“Kedai Koffie Ben&Jody.”

Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose disepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuah jendela kaca besar, bertuliskan nama kopi kami dalam huruf- huruf dicat yang mengingatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda:

Kedai Koffie

B E N & J O D Y

(Dee, 2009: 2-3)

Tokoh „Ben‟ membuat beberapa sebuah filosofi dalam kopi yang diberikan kepada setiap pengunjung yang datang. Hingga akhirnya nama

commit to user

yang semula kedai koffie Ben&Jody diganti Filosofi Kopi (Temukan diri Anda di sini).

Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu. (Dee, 2009:6)

Sesudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.

Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi:

F I L O S O F I K O P I

Temukan Diri Anda di sini

(Dee, 2009:7).

Peristiwa demi peristiwa yang diungkapkan menjadi tanda bergeraknya cerita menuju permasalahan yang memicu konflik. Peristiwa di atas menggambarkan awal dari sebuah konflik cerita ini muncul. Tokoh

„Ben‟ yang berambisi untuk mendirikan kedai kopi sesuai dengan

keinginannya. Dari cerita ini akan muncul peristiwa demi peristiwa diungkapkan sehingga menjadi tanda bergeraknya cerita menuju permasalahan konflik.

Tahap tengah mendeskripsikan peristiwa yang menceritakan keadaan konflik mulai memuncak. Pada tahap ini akan terlihat tokoh „Ben‟ yang mempunyai harga diri tinggi untuk menciptakan kopi yang sempurna. Tahap ini juga terdapat peristiwa yang mengingatkan peristiwa masa lalu (back tracking), yaitu sebagai berikut.

Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian

commit to user

satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.(Dee, 2009: 8-9)

Ben lanjut bercerita. Ia ditantang pria itu untuk membuat kopi

dengan rasa sesempurna mungkin. „Kopi yang apabila diminum akan

membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa

berkata: hidup ini sempurna.‟ Pria itu menjelaskan dengan ekspresi

kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan 50 juta. (Dee, 2009: 10).

Peristiwa di atas menggambarkan tokoh „Ben‟ yang terlihat mempunyai harga diri yang tinggi karena tantangan dari tokoh „pria perlente‟ itu. Setiap malam tokoh „Ben‟ berusaha keras untuk membuat ramuan baru. Selama berminggu-minggu tokoh „Ben‟ meramu kopi untuk

mencapai kesempurnaan yang diinginkan tokoh „Pria Perlente‟. Obsesi dari

tokoh „Ben‟ terhadap kesempurnaan yaitu menciptakan ramuan kopi dengan

rasa yang sempurna.

Pria itu mengeluarkan selembar cek. „Selamat. Kopi ini perfect.

Sempurna.‟

Sebagai ganti, Ben memberikan kartu Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan:

KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI

BEN‟s PERFECTO

Artinya: Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup

(Dee, 2009: 13).

Ben‟s Perfecto merupakan gambaran kesempurnaan hidup seseorang

commit to user

hidup. Pria tersebut merupakan seorang importir mobil sukses, dan istrinya adalah seorang artis cantik yang sedang di puncak karir. Oleh karena itu,

Ben‟s Perfecto merupakan gambaran kesuksesan hidup yang diukur lewat

segi materi dan kemapanan. Ben‟s Perfecto juga diakui oleh para pengunjung kedai sehingga kedai semakin laris dan ramai pengunjung.

Tahap klimaks cerpen Filosofi Kopi ini ditandai dengan peristiwa

keluguan dari seorang pengunjung. Ben‟s Perfecto yang selalu dipuji setiap

pengunjung yang datang ke kedai itu, namun saat seorang bapak-bapak berkunjung ke kedai itu hanya menganggap kopi itu biasa saja.

Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben‟s Perfecto.

Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi ini yang

pualiiiing...enak! nomor satu di dunia,‟ aku berpromosi. (Dee, 2009: 15).

Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.

Ben segera bertanya antusias, „Bagaimana, Pak?‟ Bapak itu mendongak. „Apanya?‟

„Ya, kopinya.‟

Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk, „Lumayan,‟ jawabnya singkat lalu terus membaca.

„Lumayan bagaimana?‟ Ben mulai terusik. (Dee, 2009: 16).

Belum pernah kulihat Ben seperti itu. Seolah tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa mengalihkan energinya, fokusnya. Aku memilih beringsut menjauh, memenuhi panggilan orang-orang yang sudah resah karena tidak dilayani. Tak lama kemudian, Ben

menghampiriku. „Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke

suatu tempat. Bawa perlengkapan untuk beberapa hari‟.(Dee, 2009: 17).

Terlihat obsesi dari tokoh „Ben‟ terhadap kesempurnaan yang

kemudian dipertentangkan dengan kesederhanaan hidup seseorang. Kemunculan tokoh „Pak Seno‟, seorang bapak tua pemilik warung kopi di sebuah pedesaan daerah Klaten, Jawa Tengah yang merupakan gambaran seseorang dengan kesederhanaan hidup. “Tepat di penghujung jalan, sebuah

commit to user

warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi yang baru dipetik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga- bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar, seluruh bukit kecil itu ditanami tanaman kopi.” (Dee, 2009: 20).

Kesederhaan tokoh „Pak Seno‟ sangat bertolak belakang dengan Ben dan Jody. Namun di balik kesederhanaan tersebut, tokoh „Pak Seno‟

merupakan seorang yang sangat memahami kehidupan. Dengan adanya kopi tiwus yang dibuatnya lebih enak rasanya dibanding dengan Ben‟s Perfecto yang dibuat oleh seorang ahli kopi dengan kesempurnaan. “.... habis Bapak punya buanyaaak...sekali. kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang ke mari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih

150 perak, 100, 200... ya, berapa sajalah.” (Dee, 2009: 21). Masalah yang

dialami tokoh „Ben‟ yang terbentur dengan kenyataan bahwa dirinya telah

gagal sebagai seorang barista handal. Ben‟s Perfecto yang berhasil diciptakan ternyata kalah dengan kopi tiwus. Peristiwa ini membuat tokoh

„Ben‟ mengalami keputusasaan yang disebabkan obsesinya yang terlalu

berlebihan terhadap kesempurnaan kopi. “Ben benar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus sama seperti

kedai kami yang padam. Tutup.” (Dee, 2009: 25).

Tahap akhir adalah bagian cerita yang mendeskripsikan tahap

pemecahan dari masalah yang dihadapi tokoh „Ben‟. Hal ini tampak dari kutipan berikut.

commit to user

Tidak kuduga akan bertemu Ben ada di sana, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Ia duduk sendirian, tak bereaksi apa-apa sekalipun telah mendengarku masuk dari tadi. (Dee, 2009:27)

Ben menyunggingkan senyum kecil, lalu mencicipi sedikit kopi buatanku. Seketika air mukanya berubah. (Dee, 2009:27)

‟Apa maksudnya ini?‟ Ben setengah menghardik.

Aku tak menjawab, hanya memberinya sebuah kartu.

KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:

„KOPI TIWUS‟

Artinya:

Walau tak ada yang sempurna, Hidup ini indah begini adanya.

(Dee, 2009:27)

Tahap ini diakhiri dengan perasaan lega, atas peristiwa-peristiwa

yang dihadapi terselesaikan, dengan kebangkitan kepercayaan tokoh „Ben‟.

Dalam peristiwa ini tokoh „Jody‟ berusaha menyadarkan tokoh „Ben‟ bahwa harapan belum tentu dapat sesuai dengan apa yang diharapkan. Sesempurna apapun kopi dibuat akan tetap memiliki sisi pahit, dan sisi pahit kopi

tersebut tidak akan dapat dihilangkan. Tokoh „Jody‟ berusaha untuk memberikan semangat dan kepercayaan diri terhadap tokoh „Ben‟ dengan

kembali membangun kedai kopi yang telah lama mereka tinggalkan. “Pada kaca besar kedai, tampak siluet tangan yang kembali menari di dalam bar, menyiapkan Filosofi Kopi yang lama diam bagai bubuk kopi tanpa riak air. Seduhan secangkir kopi tiwus malam ini mengawinkan lagi keduanya.” (Dee, 2009: 29).

Alur tarik balik dalam cerpen „Filosofi Kopi‟ ini memaparkan masalah hidup yang disampaikan pengarang dengan jelas. Permasalahan

commit to user

kehidupan manusia yang pada umumnya senantiasa menuntut kesempurnaan dari hidupnya. Manusia yang selalu menghalalkan segala cara untuk membuat dirinya terlihat sempurna. Manusia semestinya menyadari bahwa setiap harapan belum tentu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Perisiwa-peristiwa dalam cerpen „Filosofi Kopi‟ yang bersifat kausalitas (hubungan sebab akibat) dan kronologis, runtut waktu kejadiannya menjadi pedoman pengarang dalam menulis cerpen dengan tujuan mempermudah pemahaman makna yang terkandung oleh pembaca.

b. Penokohan

Penokohan dalam sebuah karya sastra, cerpen khususnya mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding dengan tokoh. Analisis penokohan meliputi hal bentuk fisik tokoh, psikologis atau kepribadian mereka, perwatakannya, siapa tokoh tersebut dan lain sebagainya. Untuk memberi petunjuk mengenai tokoh, pengarang biasanya memberikan ciri-ciri fisik tersirat dalam teks, tanda-tanda yang khas mengenai tokoh. Tokoh dalam cerpen Filosofi Kopi ini banyak, ada enam tokoh, tetapi tidak semua tokoh ini muncul karakter penokohan yang kuat.

1) Tokoh Utama

Tokoh „Ben‟ merupakan tokoh utama dalam cerpen Filosofi Kopi ini, dilihat dari aspek psikologis yang menonjol dari tokoh ini adalah mempunyai karakter yang perfeksionis, ambisius dan pekerja keras. Terlihat dari kerja kerasnya rela berkeliling dunia untuk

commit to user

mendapat kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri, rela mengemis-ngemis agar dapat masuk dapur untuk mendapat ramuan kopi dari barista- barista kaliber kakap. Terlihat dalam kutipan berikut.

Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana- mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskow.(Dee, 2009:1)

Tokoh „Ben‟ mengalami sedikit perkembangan watak, karena awalnya tokoh „Ben‟ sederhana dan tulus dalam membuat kopi setelah mendapat tantangan dari seseorang untuk membuat kopi yang

sempurna. Tokoh „Ben‟ menjadi mempunyai karakter yang keras dan ambisius dikarenakan sebuah tekanan dan pengejaran materi. Dapat dilihat dari kutipan berikut.

Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam membundari matanya akibat terlalu banyak begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista. (Dee, 2009:9).

Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir

ke dunia. „BEN‟s PERFECTO,‟ tandasnya mantap.(Dee,

2009:12).

Dari kutipan di atas tampak bahwa tokoh „Ben‟ mengalami

perkembangan watak. Tampak jelas dari kutipan tersebut

menggambarkan tokoh „Ben‟ yang terlihat bekerja keras hingga lupa

untuk mengurus dirinya sendiri. Hal tersebut membuktikan bahwa

commit to user 2) Tokoh tambahan

Kehadiran tokoh-tokoh tambahan sebenarnya menjadikan cerita menjadi lebih hidup, sehingga cerita menjadi lebih menarik simpati bagi pembaca. Seperti dalam cerpen Filosofi Kopi ini, banyak sekali muncul tokoh-tokoh tambahan yang dapat dianalisis dengan teknik analitis dan dramatik dari kemunculan mereka.

Tokoh „Jody‟, mempunyai karakter yang masa bodoh, selalu berpikir positif dan partner tokoh „Ben‟ yang setia kawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya...(Dee, 2009:2)

Tokoh „Jody‟ juga mengalami perkembangan watak yaitu

seseorang yang hanya memikirkan uang, profit, laba, dan nasib kedai

Filosofi Kopi. Dikarenakan tokoh „Ben‟ ingin memberikan selembar

cek sebesar 50 juta kepada pak Seno. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Mataku siap meloncat keluar ketika tahu apa yang ia sodorkan.

„Kamu sudah gila. Tidak bisa!.‟(Dee, 2009:23)

... mungkin Ben benar. Yang kupikirkan hanyalah uang, profit, dan nasib yang entah apa jadinya tanpa Filosofi Kopi. Benlah sesungguhnya tungku tempat ini, dan aku malah memadamkannya dengan ketidakmengertianku. (Dee, 2009:25)

Tokoh „pria perlente‟, menurut aspek psikologis adalah seorang yang penuh percaya diri karena kesuksesan yang diperolehnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

commit to user

Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar. (Dee, 2009:8)

Tokoh „pria setengah baya‟, menurut aspek psikologis adalah

seorang yang sederhana dan tidak neko-neko. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

... agak canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak- celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu ini tidak biasa minum kopi di kafe.(Dee, 2009:15)

Tokoh „Pak Seno‟ , menurut aspek psikologisnya adalah seorang yang sederhana dan ramah kepada semua orang. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan senyuman ramah...(Dee, 2009:20)

... Pak Seno manggut-manggut, lalu menyimpan kertas itu di bawah tumpukan baju dalam lemari pakaiannya. (Dee, 2009:30) Kutipan di atas menggambarkan tokoh „Pak Seno‟ yang sederhana karena menyimpan kertas yang dimaksudkan di situ adalah selembar cek bertuliskan 50 juta dari Ben. Bagi kaum awam seperti Pak Seno cek hanyalah sebuah kertas biasa, tetapi bagi yang orang tahu itu, kertas cek itu mempunyai nilai uang yang fantastis. Sedangkan penggambaran tokoh Pak Seno yang ramah terlihat dari sikapnya yang menyambut Ben dan Jody saat berkunjung di warung reotnya.

commit to user c. Latar

Suatu peristiwa pasti ditandai dengan adanya suatu kejadian dalam waktu dan tempat tertentu, sebagai media interaksi antar tokoh yang disebut dengan latar. Latar menjadi sangat penting dalam suatu cerita rekaan karena dengan adanya latar cerita menjadi lebih menarik dan hidup dengan menciptakan suasana sebagai pendukung cerita.

Cerpen “Filosofi Kopi” ini menggunakan latar tempat yang berbeda- beda. Latar tempat yang digunakan diantaranya adalah sebuah kafe atau kedai kopi milik Ben dan Jody. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

... Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi,... (Dee, 2009:2) Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kau merbabu yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuah jendela kaca besar, bertuliskan nama kopi kami dalam huruf- huruf dicat yang mengingatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda:

Kedai Koffie

BEN & JODY

(Dee, 2009:2-3)

Tempat kami tidak besar dan sederhana dibandingkan kafe-kafe lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memilih setiap kursi dan meja yang semuanya berbeda dengan mengetesnya satu-satu,...(Dee, 2009:3).

Dari kutipan tersebut tampak jelas penggunaan latar tempat cerpen Filosofi Kopi di sebuah kafe atau kedai kopi milik Ben dan Jody yang sekaligus digambarkan dengan jelas.

Cerpen “Filosofi Kopi” juga menggunakan latar pedesaan di Klaten, Provinsi Jawa Tengah, tempat terdapatnya warung kopi milik Pak Seno

commit to user

dengan kondisi kehidupannya bertolak belakang. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

Kami menginap di Klaten semalam. Keesokan paginya, Ben mengambil alih kemudi. „Aku sudah tahu kenapa kita nyasar kemarin. Ada satu belokan yang tidak kulihat!‟ serunya berapi-api (Dee, 2009: 18).

Tepat di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi yang baru dipetik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini....(Dee, 2009: 20).

Kutipan di atas tampak jelas penggambaran kehidupan di desa tempat warung pak Seno yang masih sederhana dan jauh dari kehidupan di kota yang serba canggih. Hal ini begitu kontradiktif dari kedai kopi yang di dirikan Ben dan Jody.

Cerpen „Filosofi Kopi‟ ini menggunakan dua latar yang berbeda yakni kafe atau kedai kopi milik tokoh Ben dan Jody juga warung Pak Seno yang terletak di Klaten, Jawa Tengah. Jarak antara keduanya pun berjauhan. Tampak pada kutipan berikut.

Tak lama kemudian, Ben menghampiriku. „Jo, tengah hari kita tutup.

Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa perlengkapan untuk

beberapa hari.‟(Dee, 2009:17)

... siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan dengan mengemudi, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah.(Dee, 2009:18)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa rentan waktu yang digunakan untuk menuju tempat warung kopi pak Seno membutuhkan waktu yang lama dan beberapa hari pula. Pernyataan tersebut juga merupakan salah satu latar suatu peristiwa dalam cerpen ini, yang terjadi di sebuah kafe milik Ben dan Jody juga warung kopi sederhana milik pak Seno.

commit to user

Berdasarkan keseluruhan kejadian dalam cerpen “Filosofi Kopi” ini, latar tempat adalah di kafe dan warung pak Seno. Ketika para pengunjung berkumpul untuk sekedar minum kopi yang diyakini menetralkan dan menyegarkan hati. Terjadi perbincangan serta kejadian yang merubah suasana, serta memancing munculnya karakter sebenarnya dari para tokoh.

d. Tema dan Amanat

Analisis tema menurut Burhan Nurgiyantoro bahwa dalam penentuan tema haruslah membaca keseluruhan dari cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema selalu berkaitan dengan makna kehidupan, pengalaman hidup, sehingga pengarang berusaha mengajak pembaca melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan sebagaimana pengarang melihatnya.

Penentuan tema dalam cerpen “Filosofi Kopi” adalah yang pertama bahwa masalah utamanya berkisar pada masalah penilaian terhadap kopi. Kecintaan seorang terhadap kopi dipertentangkan dengan orang yang menilai kopi semata-mata sebagai barang dagangan dan gengsi pribadi. Jadi,

dapat disimpulkan “obsesi” seseorang terhadap kopi.

Berikut, mengenai pertentangan antara keinginan atau obsesi akan kesempurnaan dengan kesederhanaan. Dapat ditarik kesimpulan nilai-nilai hidup dari manusia. Manusia semestinya menyadari bahwa setiap harapan belum tentu akan sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Tema dari cerpen “Filosofi Kopi” adalah harapan manusia terhadap kesempurnaan yang bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya

commit to user

terjadi. Harapan dalam mengejar kesempurnaan hidup yang

dimanifestasikan lewat petualangan hidupnya dengan kopi. Ben‟s Perfecto

dan kedai kopi Filosofi Kopi akhirnya terbentur dengan kenyataan kopi tiwus dan pak Seno.

Analisis cerpen “Filosofi Kopi” telah mendapatkan dasar-dasar kejelasan sebagai landasan menentukan muatan pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam cerpen “Filosofi Kopi”. Amanat yang sekiranya dapat ditangkap adalah manusia, makhluk dari Tuhan yang berakal dan berperasaan janganlah terlalu mengejar sebuah kesempurnaan di dalam kehidupan ini karena pada akhirnya kesempurnaan itu pula akan

Dokumen terkait