• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Mikro

Dalam dokumen Oleh: M FATHUR MUHARRAM ALFARIZI (Halaman 180-196)

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

B. Strategi Retoris Republika Online Membangun

3. Struktur Mikro

Pada bagian struktur ini, mencakup banyak unsur seperti semantik, sintaksis, stilistik, dan grafis. Dimensi teks yang paling sentral dibahas pada sebuah tulisan adalah struktur mikro. Struktur mikro ini menyangkut banyak elemen, terutama elemen maksud, praanggapan, kata ganti, dan leksikon. Elemen-elemen tersebut sangat memengaruhi tulisan yang membangun sebuah opini pembacanya dalam menyikapi elektabilitas serta citra Gubernur Anies Baswedan saat menangani permasalahan banjir Jakarta pada Januari dan Februari 2020.

Berita berjudul “Banjir Jakarta, Politikus PAN:

Kepemimpinan Anies Diuji” dianalisis substansinya dan

ditemukan beberapa hal, yang dalam pendekatan wacana kritis memiliki kekuatan untuk menurunkan citra Gubernur Anies Baswedan. Kalimat bertuliskan “...tidak perlu terlalu

banyak retorika” memberikan pandangan bahwa apa yang

dilakukan Anies saat menghadapi banjir dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan di media. Konteks tersebut memang sering menjadi topik di banyak waktu, dimulai ketika Anies

baru terpilih menjadi gubernur tahun 2017. Setelahnya, diperkuat dengan tambahan kalimat “...cukup cari solusi

yang bisa mengatasinya” sebagai cara mempertajam kritik

berkaitan dengan retorika yang ditempuh Gubernur Anies Baswedan.

Terkait dengan membandingkan kinerja Anies dengan dua gubernur pendahulunya, dalam berita ini tertulis secara objektif dan tidak memihak kepada satu tokoh atau figur tertentu. Kalimat “Anies sama saja dengan

gubernur-gubernur sebelumnya” adalah argumen tepat tentang

netralitas yang banyak menjadi masalah ketika membandingkan kinerja pemimpin daerah. Ungkapan dan pernyataan pada berita ini murni kritik yang tertuju pada Gubernur Anies Baswedan karena penanganannya menghadapi banjir, baik sebelum terjadi banjir, maupun setelah banjir melanda. Segala yang terindikasi memperburuk citra Anies dengan istilah di berita, bukan sesuatu yang peneliti anggap terencana. Namun, pada segi retoris, tepatnya elemen grafis di berita ini, penulis berita memasukkan gambar warga yang sedang membersihkan rumahnya yang terendam banjir. Gambar itu sebagai cara penulis berita untuk menguatkan topik yang dibahas bahwa warga begitu terdampak banjir di awal tahun.

Peneliti kemudian menemukan kalimat kritik terhadap pihak Gubernur Anies Baswedan, walau penyebutan di tulisannya bersifat lebih luas karena menuju pada

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai objeknya. Kalimat tersebut tertulis “Sebenarnya kejadian tersebut

dapat dihindari. Begitu pula dampak yang ditimbulkan, bisa diminimalisir jika Pemprov DKI Jakarta benar-benar serius dalam merealisasikan program penanggulangan banjir Jakarta sebagai salah satu janji kampanye pada tahun 2017”. Padahal, secara jelas bahwa siapa yang

mencetuskan janji kampanye tentu calon gubernur dan wakil gubernur yang kala itu adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Berbagai media dan sumber banyak memberitakan tentang prioritas dan langkah Gubernur Anies Baswedan secara personal dan juga secara kolektif untuk menangani banjir. Program yang melekat dengan Anies adalah naturalisasi sungai yang digaungkannya pada Mei 2019. Program tersebut cukup menjadi ramai diberitakan karena sebelumnya sudah ada program normalisasi sungai. Naturalisasi sungai sendiri adalah bagian di dalam janji kampanye Gubernur Anies Baswedan pada kampanyenya yang terealisasi. Namun, berita ini menuliskan bahwa penanggulangan banjir tidak dijalankan secara serius dan menyebabkan banjir tidak dapat diminimalisasi.

Tulisan itu juga dilanjutkan dengan konteks yang sama seperti berita sebelumnya yang peneliti analisis, yakni mengenai strategi retorika Anies saat menghadapi banjir. Kalimat yang menyertakan konteks tersebut bertuliskan

“...diperlukan pemimpin dengan aksi kongkrit yang nyata, bukan sekadar solusi yang bersifat pendekatan kata-kata”.

Lagi-lagi, bagian ini menjadi momok yang muncul ketika kritik datang terhadap Anies Baswedan selaku pemimpin ketika menangani masalah di Jakarta, khususnya banjir. Apalagi, ungkapan selanjutnya yakni “Janji kampanye

atasi banjir di Jakarta bukan janji yang mudah” adalah

penegas bahwa penanganan banjir di dalam janji kampanye Anies dianggap tidak berjalan.

Titik paling tajam yang ada di teks tersebut adalah “narasi fiksi”. Kata tersebut ditulis sebagai penunjuk tentang program penanganan banjir yang tidak dieksekusi secara nyata, namun berkutat pada retorika sang gubernur. Sepertinya, argumen mengenai “bersilat lidah” dan istilah semacamnya selalu dilontarkan kepada Anies di berbagai macam kondisi. Kritik tersebut menguatkan persepsi bahwa Anies hebat dalam cara berkomunikasi, namun untuk kinerja dinilai tidak baik, seperti yang tertulis pada berita-berita tentang banjir.

Substansi teks berita selanjutnya ada dalam berita “Politikus PKB: Anies Seharusnya Bisa Antisipasi Banjir”. Teks berita ini menyertakan data dasar dari korban banjir dan dampaknya kepada pengungsi. Kritik yang dilayangkan, salah satunya adalah implementasi program normalisasi sungai di era pemerintahan Anies Baswedan. Normalisasi sungainya dituliskan baru dilakukan sepanjang

16 kilometer dari total 33 kilometer. Peneliti meriset informasi tersebut, dan menemukan jika pernyataan itu dikatakan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono ketika ada di Cibinong, Bogor, di waktu banjir Jakarta terjadi. Tepatnya, normalisasi sungai yang disebutkan adalah sungai ciliwung.

Kalimat bertutur rima juga dituliskan di dalam teks, yakni “Kita meninggalkan tahun 2019 dengan penuh

kenangan. Tapi kemudian kita harus menyambut 2020 dengan penuh genangan”. Kalimat di atas menggunakan

diksi alternatif sebagai cara dalam memandang peristiwa banjir yang terjadi, juga sebagai empati kepada pada korban pengungsi. Seperti yang diketahui, banjir di Jakarta dimulai saat 1 Januari 2020, persis setelah perayaan malam tahun baru di Jakarta.

Teks berita juga memasukkan praanggapa mengenai informasi APBD DKI Jakarta tahun 2020 yang secara rincinya memotong anggaran penanggulangan banjir. Pernyataan itu tertulis “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

yang memotong anggaran penanggulangan banjir di APBD yang membuat Pemprov terlihat kelabakan saat bencana datang.” Kalimat tersebut rancu, karena tidak ada

rujukan apapun tentang pemotongan anggaran, juga pemotongannya berdasarkan apa. Apakah pemotongan dari anggaran yang sudah ada, atau pemotongan dari anggaran yang ada di tahun sebelumnya.

Peneliti menelusuri pernyataan tersebut dan menemukan fakta mengenai anggaran penanggulangan Banjir di APBD DKI Jakarta. Secara keseluruhan, APBD DKI Jakarta 2020 yang disahkan DPRD Provinsi DKI Jakarta pada rapat paripurna tanggal 3 Desember 2019, mengalami kenaikan dibanding APBD DKI Jakarta 2019. Rinciannya, APBD 2020 disahkan sebesar RP 87,95 trilun, sedangkan APBD 2019 hanya Rp 86,89 triliun. Secara APBD keseluruhan, pada 2020 mengalami kenaikan 1,22 persen dari tahun sebelumnya.

Namun, untuk alokasi terhadap banjir dimasukkan ke dalam anggaran pembiayaan daerah sebesar Rp 2,5 triliun.69 Angka Rp 2,5 triliun tersebut berkurang dibanding tahun sebelumnya yang dialokasi sebesar Rp 3 triliun. Dari alokasi di atas, dibagi lagi ke dalam beberapa bagian dan untuk penanggulangan banjir (langkah preventif) untuk 2020 sebesar Rp 683,6 miliar. Jumlah itupun juga berkurang dari 2019 yang mengucurkan dana untuk penanggulangan banjir sebesar Rp 882,2 miliar.70 Jadi, disimpulkan bahwa APBD secara keseluruhan mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, namun untuk alokasi dan pengucuran mengenai masalah banjir dikurangi dari tahun

69 https://metro.sindonews.com/berita/1467581/171/apbd-jakarta2020-ditetapkan-rp8795-triliun-banjir-dan-macet-jadi-pr diakses pada 21 Desember 2020 pukul 16.04

70 https://money.kompas.com/ read/ 2020/02/08/ 133105826/banjir-dan-dilema-apbd-fantastis-dki-jakarta?page=2 diakses pada 21 Desember 2020 pukul 16.12

sebelumnya. Walau, alasan yang ditemukan adalah pada 2019 penanggulangan berpusat pada pembangunan drainase dan penataan sungai. Sedangkan, 2020 hanya berfokus pada penataan sungai dan waduk.

Rincian di atas menjadi fakta dari pernyataan di dalam teks berita tentang pemotongan anggaran penanggulangan banjir di APBD DKI Jakarta, yang kemudian disangkutpautkan kepada Pemerintah Provinsi yang terlihat kelabakan saat banjir melanda Jakarta. Hanya saja, pernyataan tersebut seperti tidak disertai sumber atau fakta yang bisa dipertanggungjawabkan sebelumnya, sehingga perlu adanya kroscek dan penelusuran agar tidak terjadi disinformasi.

Sama seperti dua berita sebelumnya yang dianalisis oleh peneliti, pada teks berita ini juga menuliskan kritik yang mengarah pada cara Gubernur Anies Baswedan yang kerap melakukan strategi retorika dalam menghadapi masalah di Jakarta. Tulisan tersebut bertuliskan “jangan

berhenti hanya sekadar mengeluarkan jargon yang enak didengar tapi tidak memberi solusi nyata bagi warga.”.

Namun, penggunaan kata “sekadar mengeluarkan jargon

yang enak didengar” menunjukkan agresivitas pada

tulisannya yang lebih frontal ketimbang kata-kata yang biasanya terlontar di berita.

Selanjutnya, ada ungkapan majas metafora di dalam teks berita ini, yakni “Langkah naturalisasi sungai yang

digadang-gadang pun bagai petasan di tahun baru, berbunyi kencang lalu hilang sedetik kemudian”.

Ungkapan tersebut mengartikan bahwa program yang Gubernur Anies Baswedan dinilai hanya digaungkan di awalnya saja, namun ketika beranjak dari waktu ke waktu mulai hilang. Pernyataan seperti ini mirip dengan apa yang ada di berita sebelumnya bahwa program-program penanggulangan banjir hanya menjadi janji kampanye saja. Namun, diksi yang ada di teks berita ini berbeda walau pemaknaannya serupa.

Terakhir, pemilihan kata yang begitu tajam dan memengaruhi citra Anies bagi pembacanya ialah “Kami

tidak butuh kata-kata manis dari Anies. Kami butuh solusi nyata karena dia sudah lebih dari 2 tahun memimpin Jakarta. Janganlah terus seperti amatiran”. Kekuatan

pada tulisan tersebut bisa memengaruhi citra Anies bagi para pembacanya. Apalagi, tulisan tersebut menggunakan “kami” dengan maksud mewakili warga Jakarta. Kalimat tersebut jika ditelaah mengartikan kritik yang begitu pedas dan menyerang bagi figur Anies Baswedan.

Berita selanjutnya adalah “Anies Tiba-Tiba Turun dari

Perahu Karet dan Cebur ke Banjir”. Teks ini merupakan

berita dengan indikasi pembangunan wacana yang kuat. Dilihat dari struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro, teks yang dimuat menampilkan wacana yang menguntungkan citra Anies Baswedan selaku gubernur dan

figur penyelamat bagi korban pengungsi. Kutipan berita yang juga disadur menjadi judul bertuliskan “Anies

tiba-toba turun dari perahu karet, tatkala puluhan warga meneriaki namanya dan meminta bersalaman serta foto bersama,” menjadi awal dari kalimat-kalimat yang

membangun wacana. Penulis berita memberikan gambaran bahwa apa yang dilakukan Anies begitu heroik dengan kata-kata yang dibentuk.

Pemberitaan ini memang penuh dengan pengamatan dari jurnalis. Apa yang dilakukan Anies adalah kegiatannya di lokasi kejadian dan dikoumentasikan ke dalam teks berita oleh penulis. Namun, pemilihan katanya membuat kejadian tersebut terasa seperti perlakuan yang sangat spesial, terlebih di kalimat selanjutnya penulis menginformasikan bahwa dua orang lain yang naik perahu karet bersama Anies, yakni Walikota Jakarta Utara dan Sekretaris Daerah Jakarta Utara, tetap berada di perahu karet saat Anies turun dan menerjang banjir. Kata “hanya menonton” memperkuat citra Anies dengan menggunakan objek lain sebagai pembanding, juga memberikan pandangan jika apa yang dilakukan Anies bukan hal normal yang dilakukan pejabat daerah.

Kutipan selanjutnya yang memililki konstruksi wacana berkaitan dengan citra Anies Baswedan adalah kutipan “Hampir lima menit lamanya, Anies bercengkerama

hanya warga, puluhan pekerja sarana dan prasarana umum (PPSU) ikut memanfaatkan momen tersebut. Pak Anies, Pak Anies, Pak Gubernur, teriak warga tak henti-hentinya,” memiliki beberapa aspek yang dapat dianalisis.

Pertama, penggunaan kata “hampir lima menit lamanya” merupakan penggunaan kata yang tidak proporsional. Durasi lima menit yang dilakukan Anies ketika menyapa korban banjir bukanlah durasi yang lama. Namun, dengan kata tersebut bisa memberikan pandangan kepada pembaca bahwa kegiatan tersebut dilakukan Anies dalam waktu yang lama.

Kedua, bagian setelahnya ketika penulis memasukkan momen warga dan PPSU yang memanfaatkannya untuk bercengkerama dengan Anies. Apa yang dilakukan Anies adalah memantau dan bertanya kepada warga korban banjir mengenai pengungsian di wilayah Teluk Gong. Namun, penulis mengambil sudut lain dengan memberikan gambaran bahwa hal tersebut merupakan kegiatan bercengkerama antara pemimpin dan warganya, bahkan petugas PPSU juga ikut memanfaatkan. Penulisan seperti itu membentuk citra Anies yang didekati oleh para warga dan bahkan petugas untuk bisa berbicara dan menolong mereka.

Ketiga, penulis memasukkan bagian warga yang meneriakkan nama Anies seperti memanggil penolong bagi warga. Jika dilihat, padanan kata tersebut seperti tidak pas

dan berkaitan dengan kalimat sebelumnya, namun dipaksakan ke dalam satu ikatan paragraf. Pemasukkan bagian tersebut seperti bermaksudkan bahwa warga benar-benar antusias dengan kehadiran Anies di lokasi. Keempat, alih-alih menggunakan kata “korban” atau “pengungsi” di paragraf tersebut, penulis menggunakan kata “warga” di dalamnya. Penggunaan kata tersebut bukan sesuatu yang dianggap biasa, namun status mereka di wilayah banjir seharusnya disebutkan sebagai korban. Terlebih, kegiatan yang dilakukan Anies beserta jajarannya untuk memantau lokasi banjir di Teluk Gong yang begitu tinggi.

Peneliti menemukan terdapat kalimat-kalimat yang identik dengan berita yang diunggah di media lain. Walau tidak semuanya, namun kalimat identik tersebut mencurigakan karena penggunaan kalimat dan hasil pantauan jurnalis yang harusnya memiliki perspektif sendiri, namun dikemas dengan persis. Pemberitaan tersebut diunggah di media inews.id dengan judul berita “Anies Terjang Banjir demi Temui Warga, Sekda dan Wali

Kota Nonton dari Perahu Karet”.

Selebihnya, terdapat banyak kata ganti yang dilakukan penulis dalam membentuk berita ini. Banyaknya kata ganti tersebut digunakan dalam penyebutan Anies Baswedan, seperti “orang nomor satu”, “gubernur tanpa wakil”, dan lain-lainnya yang memperkurat kedudukan Anies Baswedan di pemberitaan. Selain itu juga kata-kata

hiperbola dan membentuk sifat heroik dari sosok Anies yang tiba-tiba turun dari perahu karet, pulang dengan badan basah, tiba-tiba berbaur dengan warga di genangan banjir, menjadi segelintir contoh bagaimana penulis ingin menajamkan bagian-bagian tersebut sebagai sesuatu yang harus dilirik bagi pembaca karena spesial.

Pemberitaan ini juga tertulis angat deskriptif sesuai pengamatan jurnalis di lokasi. Membuat objektivitas berita dipertanyakan. Berita juga menampilkan unsur grafis berupa gambar yang berisikan Anies dan kumpulan korban yang foto bersama di tempat pengungsian. Gambar tersebut diartikan sebagai cara menampilkan kedekatan Anies yang disambut baik oleh warganya.

Produk berita terakhir yang dianalisis peneliti adalah berita dengan tajuk “Anies Klaim Serius Tangani Banjir” yang merujuk pada peristiwa banjir di akhir Februari di DKI Jakarta. Banjir tersebut sebagai periode banjir kedua di tahun 2020 walau intensitasnya tidak sebesar banjir di awal tahun. Pada berita ini, struktur mikro yang dibahas peneliti ialah penulisan dan rujukan informasi yang disertakan penulis berita. Berita ini memasukkan unsur

story yang disandingkan dengan data-data mengenai

stasiun BMKG yang melacak curah hujan ekstrem, sehingga menjadi bahan kesimpulan dari Gubernur Anies Baswedan mengenai penyebab banjir karena intensitas hujan.

Di dalam berita tersebut, narasumber utama yang ditampilkan adalah Anies Baswedan yang sedang meninjau pintu air Manggarai. Pernyataan Anies yang menyimpulkan sebab terjadinya banjir tertulis pada kalimat “Terjadinya

genangan dan banjir di sejumlah wilayah disebabkan karena hujan lokal dengan curah hujan yang ekstrem,”

yang juga menegaskan informasi di ikhtisar berita. Pada ikhtisar berita, Anies menuturkan bahwa Jakarta tidak mendapatkan kiriman air dari Bogor, karena tidak banyak sampah.

Anies Baswedan juga menyampaikan keseriusannya beserta jajaran untuk berfokus dan menjadikan masalah ini sebagai prioritas utama, dengan dituliskan semua agenda Pemerintah Provinsi dibatalkan semua untuk turun ke lokasi banjir. Fakta tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Kepala DInas Sumber Daya Air DKI Jakarta yang menyebut secara rinci apa saja yang dikerahkan dan apa saja yang dilakukan untuk mengevakuasi warga terdampak banjir, serta menanggulangi genangan air. Pernyataan tersebut kemudian ditambahkan penulis berita dengan memasukkan informasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta berkaitan dengan fasilitas dan total warga yang menjadi korban. Penulis juga menambahkan informasi total RW yang terdampak banjir, walau tidak tertulis sumber data informasinya dari mana.

Secara teks, berita yang dituliskan tidak memiliki pembangunan wacana yang berpengaruh terhadap citra Anies Baswedan. Semua penuturan dari narasumber ditampilkan secara utuh, dan juga informasi yang dimasukkan penulis berdasarkan data-data sekunder menunjang beritanya agar berbobot. Peneliti menganalisis berdasarkan metode komparasi bahwa berita yang diunggah penulis di ROL lebih lengkap karena memasukkan data-data penunjang, tidak seperti berita di media lain yang hanya menulis pemberitaan berdasarkan kutipan narasumber dan pengamatan jurnalis di lapangan.

Namun, hal yang kurang proporsional hadir di gambar penyerta berita. Penulis atau redaktur memasukkan gambar ketika Anies Baswedan sedang mendatangi warga Kampung Pulo yang wilayahnya dikepung banjir. Padahal, di dalam berita telah disebutkan kalau Anies beserta jajaran sedang meninjau pintu air Manggarai untuk melihat derasnya air. Fakta tersebut bisa mengaburkan informasi di keseluruhan berita karena aspek gambar yang memengaruhi persepsi pembaca. Terlebih, jika pembaca tidak melihat caption lokasi gambar yang berbeda dengan apa yang tertulis di berita.

Analisis terakhir merupakan teks opini dari reporter Republika bernama Sammy Abdullah. Opini ditulisnya dibalut dengan tajuk “Membandingkan Anies, Ahok, dan

terhadap respons masyarakat, terutama di media sosial, terkait perbandingan kinerja yang kerap dibahas. Hal paling sentral yang dibahas adalah bagaimana perbandingan tersebut digaungkan oleh masing-masing pendukung, kemudian disertakan temuan-temuan penulis mengenai hasil kinerja dan fakta yang terjadi.

Apa yang ingin disampaikan penulis langsung tertera jelas dari awal-awal paragraf. Dirinya menilai bahwa perbedaan pandangan dan pilihan politik harusnya jangan diperdebatkan. Sebab, masing-masing pemimpin di periode kepemimpinannya, tentu berjuang untuk menyelesaikan masalah di ibu kota, terutama pada konteks ini adalah banjir yang tak pernah usai di tiap tahunnya. Penulis menggunakan istilah “kosmetik” sebagai caranya menyampaikan perbedaan dari tiap pemimpin dalam metodenya memimpin. Secara substansi, pemimpin memiliki nilai juang yang sama.

Kalimat-kalimat yang disertakannya penuh dengan sindiran dan kritik yang tertuju ke banyak pihak. Di awal paragraf, penulis mengkritik masyarakat media sosial yang selalu membandingkan kinerja satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Kemudian, di sesi setelahnya ia mengkritik figur gubernur sekarang dan terdahulu dalam penyikapan, pembangunan citra, hingga kelebihan serta kekurangan. Dimulai ketika penulis mengkritik masyarakat media sosial dengan istilah “fanatisme buta” sebagai

pengartian dari masyarakat yang terpolarisasi akibat adanya pendukung di masing-masing figur. Menurut penulis, polarisasi tersebut mengaburkan konteks dan menjadikan opini menjadi subjektif dan berseeragam, sesuai dengan siapa yang mereka jadikan idola.

Selain itu, penulis memasukkan data-data dari berbagai sumber untuk menunjang opininya terkait kinerja masing-masing gubernur. Ia menyimpulkan jika apa yang dilakukan masing-masing gubernur tidaklah lebih baik, karena banjir tetap terjadi, dan korban berjatuhan juha tidak berubah signifikan. Penulis memaparkan data tersebut secara proporsional, walau titik beratnya terdapat di dua gubernur sebelumnya yang memiliki data lebih konkret, sementara data yang ditampilkan di gubernur yang sekarang masih terus berjalan karena masa jabat yang masih berjalan.

Peneliti juga menemukan sajian kritik berupa keresahan penulis mengenai cara Gubernur Anies Baswedan yang bermain dengan retorika, ketika menangani masalah banjir. Namun, ungkapan tersebut juga diimbangi dengan penyebutan dua gubernur sebelumnya yang tidak lebih baik. Kutipan yang paling merujuk pada fakta di atas bertuliskan “Sebab faktanya, baik Anies, Ahok, maupun

Jokowi sama-sama gagal dalam penanganan banjir di Jakarta”.

Hanya saja, penulis menilai apa yang terjadi di era Anies memiliki alasan berupa probabilitas. Penulis menuturkan bahwa apa yang terjadi di era Anies memiliki faktor curah hujan yang terparah dalam sejarah. Fakta seperti itu tidak dipaparkan penulis di dua gubernur lain yang ia jadikan perbandingan. Padahal, terdapat faktor-faktor juga di gubernur sebelumnya seperti pengerukan dan normalisasi sungai yang baru dijalankan. Sementara, era Anies lebih menekankan pada pemeliharaan program. Temuan tersebut yang peneliti rasa tidak proporsional dan memberatkan dua figur pemimpin sebelum Anies Baswedan.

Secara menyeluruh, opini yang dikonstruksi Sammy Abdullah berkonteks kritik, kekecewaan, dan sajian data mengenai pendukung besera figur yang didukungnya. Hal-hal yang menurutnya menciptakan perpecahan dan polarisasi di tiap masyarakat. Melakukan berbagai istilah serta diksi yang dinamis, penulis menuliskannya dengan cara yang tidak terlalu frontal, namun menusuk di beberapa bagian. Peneliti menilai tulisan ini tidak memiliki pendekatan wacana yang bisa menaikkan citra suatu figur, namun memiliki orientasi yang berat sebelah di dalam tulisannya.

Dalam dokumen Oleh: M FATHUR MUHARRAM ALFARIZI (Halaman 180-196)

Dokumen terkait