• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan

Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi terhadap kotakota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak berlanjut” (unsustainable) telah mempersalahkan pola ruang semrawut (sprawling) yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat (leapfrog), tata guna lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah (Gilham, 2002). Kerugian yang diakibatkan oleh pola ruang seperti ini sangat luas, meliputi antara lain konversi lahan hijau secara signifikan menjadi permukiman, komersial atau industri, memicu

tumbuhnya “lahan tidur”, ancaman pada ekosistem dan daerah yang sensitif secara lingkungan, meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi, dan menuntut pembangunan infrastruktur yang berlebihan (TCRP, 2002). Hal ini telah mendorong kota-kota di negara-negara maju untuk meneliti dampak struktur ruang dan karakteristiknya terhadap keberlanjutan perkotaan (urban sustainability) seperti studi oleh Marshall dan Banister (2005.

Sementara itu pada sisi lain, banyak kota-kota di negaranegara berkembang yang mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius belum melakukan identifikasi empiris yang memadai terhadap pola ruang yang dialami. Studi-studi yang mengamati karakteristik tata ruang di kota-kota berkembang justru sering salah kaprah dengan kenyataan tingginya kepadatan kota yang dalam literatur Barat diasosiasikan sebagai karakteristik kota yang berlanjut (sustainable). Adanya paradoks ini terlihat seperti pada studi yang dilakukan oleh Newman dan Kenworthy (1999) terhadap kota-kota di dunia yang pada satu sisi mengkategorikan kota-kota dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Jakarta, Bangkok, Manila sebagai kota yang kompak dan lebih berlanjut, namun pada sisi lain kota-kota ini menderita kemacetan lalu-lintas dan tingkat polusi yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota di negara maju yang memiliki tingkat kepadatan rendah. Studi literature juga menunjukkan bahwa kota-kota berkembang di Asia Tenggara seperti Jakarta, Manila dan Bangkok mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan seperti konversi lahan pertanian besar-besaran (Kelly, 1999), gangguan terhadap sistem ekologi dan krisis air bersih (Douglass,

2005), permasalahan banjir (Murakami dan Palijon, 2005), polusi udara dan kebisingan (Kittiprapas, 2001), polusi air tanah (Kelly, 1999), polusi tanah (Kittiprapas, 2001), penurunan muka tanah (Douglass, 2005), hujan asam dan kemacetan lalu-lintas (Steinberg, 2007).

Permasalahannya adalah bahwa penelitian empiris terhadap kota-kota di negara berkembang kurang memiliki konteks teori di mana distribusi kegiatan sosioekonomi kota dapat dijelaskan. Hal ini bertolak belakang dengan studi-studi empiris kota-kota negara maju, di mana penelitian terfokus pada pengujian pola ruang

monosentris dan polisentris (Anas et al., 1998) serta dampaknya terhadap

keberlanjutan kota, terutama dari sisi keberlanjutan transportasi (transport

sustainability). Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Alpkokin et al. (2008) dan Vichiensan (2007), justru berspekulasi bahwa kota-kota di negara berkembang tengah mengalami dinamika yang mirip dengan kota-kota di negara maju, di antaranya adalah terjadinya desentralisasi fungsi pusat-pusat bisnis di luar pusat kegiatan bisnis di tengah kota, yaitu berupa peralihan dari struktur kota monosentris menuju polisentris. Hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Kelly (1999) dan McGee (2008) yang menyarankan bahwa latar belakang historis dan karakteristik sosioekonomi yang unik telah memberi pengaruh yang kuat terhadap pola pertumbuhan kota-kota di Negara berkembang sehingga menghasilkan struktur ruang yang sangat berbeda dengan yang dialami oleh kota-kota di negara maju.

Model alternatif terhadap struktur ruang di kota-kota di negara berkembang diajukan oleh McGee (2008) yang mengidentifikasi fenomena mega-urbanisasi atau

extended metropolitan region (EMR) di mana terbentuk urbanisasi pada skala

wilayah (region-based urbanisation) yang menghasilkan suatu wilayah luas yang

terintegrasi secara ekonomi, yang terdiri dari sebuah kota inti (yang pada banyak kasus merupakan ibukota negara atau propinsi), wilayah pinggir kota (peri-urban) di sekeliling kota inti di mana terdapat kota-kota yang lebih kecil, kawasan industri

maupun kota-kota satelit, dan zona paling luar (outer zones) di mana terdapat

pertemuan kegiatan perkotaan dan perdesaan. Pada zona paling luar inilah terdapat kawasan “desakota” yang dicirikan oleh berbaurnya kegiatan kota dan desa. Paradoks pada studi Newman dan Kenworthy (1999) seperti disebutkan di atas timbul karena adanya asumsi bahwa pola urbanisasi kota-kota di Negara maju juga dialami oleh kota-kota negara berkembang di Asia Tenggara tersebut. Bila sudut pandang mega-urbanisasi yang digunakan, sulit untuk mengkategorikan Jabodetabek, misalnya, sebagai unit perkotaan yang kompak. Hanya saja, teori mega-urbanisasi ini belum diteliti secara empiris dalam skala yang detail (Hakim dan Parolin, 2008).

Dalam dua dekade terakhir, kajian-kajian empiris terhadap struktur ruang kota

didominasi oleh usaha untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan (spatial

structure of employment), karakteristik fisik serta dampaknya terhadap pola transportasi, khususnya perjalanan ke tempat kerja (commuting trip). Metode yang sering digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan di wilayah

perkotaan adalah pendekatan cut-off (Giuliano dan Small, 1991) yang menerapkan

batasan kepadatan pekerjaan (employment density) tertentu untuk menentukan apakah

Walaupun metode ini cukup populer digunakan, kelemahan utama terletak pada subyektifitas dalam menentukan nilai batasan (cut-off) yang digunakan, sehingga mengakibatkan inkonsistensi hasil.

Sejumlah metode yang bersifat non-parametric telah diusulkan untuk

mengatasi kelemahan tersebut. Di antara metode-metode yang diusulkan, metode

analisa eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis atau ESDA)

memiliki kelebihan berupa pengikutsertaan aspek kebergantungan spasial (spatial

dependence) atau dikenal dengan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Metode ESDA memperoleh momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan dirumuskannya statistik autokorelasi spasial lokal (local spatial autocorrelation) oleh Anselin (1995) dan Ord dan Getis (1995). Kedua statistik, yaitu lokal banyak digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang kota-kota di dunia seperti studi yang dilakukan Carrol et al. (2008), Riguelle et al. (2007), Guillain dan Gallo (2006), Sohn

et al. (2005), dan Baumont et al. (2004).

Dokumen terkait