ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN
DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SIDIKALANG
TESIS
Oleh
B. SARMAULI PANGARIBUAN
087003020/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K
O L A
H
P A
S C
A S A R JA N
ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN
DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SIDIKALANG
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalan Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
B. SARMAULI PANGARIBUAN
087003020/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SIDIKALANG
Nama Mahasiswa : B. Sarmauli Pangaribuan Nomor Pokok : 087003020
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE Ketua
)
(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE Anggota
) (Ir. Jeluddin Daud, M.Eng Anggota
)
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 16 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE Anggota : 1. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilan, SE
ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN
KOTA SIDIKALANG
ABSTRAK
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi sebagai suatu rencana penataan ruang wilayah yang dimaksudkan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha serta swadaya masyarakat sehingga tercapai keterpaduan program-program sektoral dan daerah. Pada hakekatnya Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Struktur Ruang merupakan salah satu komponen utama dalam RTRW, untuk Kabupaten, struktur ruang ini terdiri atas Sistem pusat-pusat kegiatan; Sistem jaringan transportasi dan Sistem prasarana & sarana lainnya. Dengan melakukan penelitian deskriftif, penulis mencoba menjelaskan bagaimana perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi berdasarkan RTRW terhadap pengembangan wilayah Kota Sidikalang dan bagaimana cara mengoptimalkan perencanan tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan Analisis studi literature, dalam perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi ditetapkan bahwa Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi sebagai pelayanan primer dan sekunder. Dan Kota Sidikalang. Dan untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah, maka perlu dibangun jalan arteri primer Sopobutar-Aceh serta usulan perencanaan Sopobutar dan Kuta Buluh sebagai PKLp. Dan untuk pengembangan BWK Kota Sidikalang diarahkan dengan membentuk blok-blok pelayanan agar tidak terjadi aglomerasi kegiatan. Jadi perencanaan struktur ruang yang mencakup sistem pusat-pusat pelayanan, sistem transportasi dan prasarana dan sarana merupakan unsure penting dalam pengembangan wilayah.
ANALYSIS OF DAIRI DISTRICT THE SPATIAL STRUCTURE PLANNING FOR THE DEVELOPMENT OF SIDIKALANG CITY
ABSTRACT
Spatial Plan (Spatial) Dairi is called RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) as a spatial plan which is intended as a tool to direct and control development both by governments, businesses and government organizations in order to reach integrity of sectoral programs and regions. In effect the structure of space is the arrangement of the centers of settlement and network systems infrastructure and facilities that serve as community advocates social and economic activities are hierarchically linked fungsional. Confirmed in Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning.
Structure of Space is one of the major component in Spatial, to Regency, the structure of this space consists of system activity centers; transport network system and system infrastructure & other facilities. By doing a descriptive study, the author tries to explain how the planning of the spatial structure of the Dairi based Spatial development Sidikalang City area and how to optimize such planning.
Therefore, based on analysis of literature studies, in planning the structure of space Dairi determined that the City Sidikalang as Regional Activity Center (FGM) is called PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) which serves as the primary and secondary care. And City Sidikalang. And to optimize the development of the region, it is necessary to build a primary arterial road Sopobutar-Aceh and planning proposals and Kuta Buluh and Sopobutar as Center for Environmental Activities promotions is called PKLp (Pusat Kegiatan Lingkungan promosi). And for the development of the City BWK Sidikalang directed by forming blocks of service to prevent agglomeration of activities. So planning the structure of space which includes a system service centers, transportation systems and infrastructure and facilities is an important element in the development of the region.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala
limpahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini
dengan judul Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi terhadap
Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang.
Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan penulis
sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) beserta
seluruh dosen dan staf.
2. Bapak Prof. Bachtiar Hasan Miraza sebagai Pembimbing Utama.
3. Bapak Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE sebagai Pembimbing Akademis.
4. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng sebagai Pembimbing Akademis.
5. Bappeda, Dinas Tata Ruang dan Permukiman dan BPS Kabupaten Dairi sebagai
instansi yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
6. Ayahanda Ir. Robinson Pangaribuan dan Ibunda Bonur Ambarita, Amd yang telah
memberikan dorongan mental dan spiritual yang tak ternilai harganya.
7. Abang, Kakak, dan Adik - adik tercinta, khususnya adikku tersayang David
Pangaribuan, SH yang selalu setia memberikan bantuan, dorongan semangat dan
8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa dan sahabat yang telah memberikan bantuan dan
partisipasi dalam penyelesaian penulisan penelitian ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari bimbingan
dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada semua yang terkait dalam penulisan ini.
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak, semoga Tuhan
Yang Maha Kuasa selalu memberi yang terbaik untuk kita semua.
Medan, Agustus 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bunturaja 31 Agustus 1982, sebagai anak kedua dari 6 (enam)
bersaudara dari Ayah Ir. Robinson Pangaribuan dan Ibu Bonur Ambarita, Amd.
Pendidikan formal penulis menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri tahun
1995 di Parapat, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 tahun 1998 di Bunturaja,
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 tahun 2001 di Sidikalang, serta tahun 2001 masuk
di Politeknik Negeri Medan jurusan Teknik Sipil, kemudian tahun 2004 melanjutkan
Program Extension di Universitas Sumatera Utara pada Fakultas Teknik Jurusan
Teknik Sipil dan lulus pada tahun 2007.
Selanjutnya tahun 2008 penulis melanjutkan Studi di Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara (USU) Program Studi Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan (PWD) Konsentrasi Perencanaan Wilayah Kota dengan judul
tesis Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi terhadap Pengembangan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK……….… i
ABSTRACT……… ii
KATA PENGANTAR………..… iii
RIWAYAT HIDUP …….……… v
DAFTAR ISI………. vi
DAFTAR TABEL………. viii
DAFTAR GAMBAR ..………. ix
DAFTAR LAMPIRAN……… x
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ……….. 1
1.2 Perumusan Masalah……… 4
1.3 Tujuan Penelitian ……….. 5
1.4 Manfaat Penelitian ………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 6
2.1.1. Teori Kutub Pertumbuhan……….…… 7
2.1.2. Teori Tempat Pusat………... 9
2.2 Struktur Ruang……… 13
2.3 Struktur Ruang & Keberlanjutan Perkotaan..……….… 15
2.4 Kota dan Daerah Dibelakangnya……… 19
2.4.1. Definisi Kota………. 20
2.4.1. Bentuk Hubungan Kota dengan Daerah Dibelakangnya.. 26
2.4.3. Hirarki Perkotaan………... 28
2.4.4. Kota Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah…... 30
2.5 Penelitian Sebelumnya……… 33
2.6 Kerangka Pemikiran……… 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 37
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 37
3.2 Jenis Penelitian……… 37
3.3 Jenis dan Sumber Data……… 37
3.4 Model Analisis……… 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 40
4.1 Diskripsi Wilayah Studi……….. 40
Berdasarkan RTRW Kabupaten Dairi 2010-2030……….. 41
4.2.1. Sistem Pusat-Pusat Kegiatan………. 42
4.2.2. Sistem Transportasi………... 45
4.3 Analisis Optimalisasi Perencanaan Struktur Ruang Kabupaten Dairi untuk Pengembangan Wilayah Kota Sidikalang………… 46 4.3.1. Analisis terhadap Ruang Makro……… 46
4.3.2. Analisis terhadap Ruang Mikro……… 52
4.4 Optimalisasi Perencanaan Struktur Ruang Kota Sidikalang…... 53
4.4.1. Letak Geografis Kota Sidikalang……….. 53
4.4.2. Analisis Perencanaan Struktur Ruang Kota Sidikalang Berdasarkan RDTR Kota Sidikalang …………..………. 54 4.4.3. Pusat-Pusat Kegiatan di Kota Sidikalang………. 55
4.4.4. Sistem Transportasi di Wilayah Kota Sidikalang………. 56
4.4.5. Arahan Struktur Ruang Kota……… 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 67
5.1 Kesimpulan ……… 67
5.2 Saran ……….. 68
DAFTAR PUSTAKA ………... 69
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Wilayah Adminstrasi Kabupaten Dairi……….. 41
4.2. Rencana Sistem Perkotaan Kabupaten Dairi……….………… 46
4.3. PDRB Kabupaten Dairi Tahun 2007-2009 Atas Dasar Harga Konstan
2000 ……….. 49
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Skema Kerangka Pemikiran ……….... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Dairi ……… 72
2. Peta Struktur Ruang Kabupaten Dairi ……….. 73
3. Data BPS tentang produksi pertanian Kabupaten Dairi ………... 74
4. Peta Kawasan Strategis Kabupaten Dairi ………. 80
5. Peta Usulan Per encanaan Struktur Ruang Dairi ………... 81
6. Peta Administrasi Kota Sidikalang ………... 82
ANALISA PERENCANAAN STRUKTUR RUANG KABUPATEN DAIRI TERHADAP PENGEMBANGAN
KOTA SIDIKALANG
ABSTRAK
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dairi sebagai suatu rencana penataan ruang wilayah yang dimaksudkan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha serta swadaya masyarakat sehingga tercapai keterpaduan program-program sektoral dan daerah. Pada hakekatnya Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Struktur Ruang merupakan salah satu komponen utama dalam RTRW, untuk Kabupaten, struktur ruang ini terdiri atas Sistem pusat-pusat kegiatan; Sistem jaringan transportasi dan Sistem prasarana & sarana lainnya. Dengan melakukan penelitian deskriftif, penulis mencoba menjelaskan bagaimana perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi berdasarkan RTRW terhadap pengembangan wilayah Kota Sidikalang dan bagaimana cara mengoptimalkan perencanan tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan Analisis studi literature, dalam perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi ditetapkan bahwa Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang berfungsi sebagai pelayanan primer dan sekunder. Dan Kota Sidikalang. Dan untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah, maka perlu dibangun jalan arteri primer Sopobutar-Aceh serta usulan perencanaan Sopobutar dan Kuta Buluh sebagai PKLp. Dan untuk pengembangan BWK Kota Sidikalang diarahkan dengan membentuk blok-blok pelayanan agar tidak terjadi aglomerasi kegiatan. Jadi perencanaan struktur ruang yang mencakup sistem pusat-pusat pelayanan, sistem transportasi dan prasarana dan sarana merupakan unsure penting dalam pengembangan wilayah.
ANALYSIS OF DAIRI DISTRICT THE SPATIAL STRUCTURE PLANNING FOR THE DEVELOPMENT OF SIDIKALANG CITY
ABSTRACT
Spatial Plan (Spatial) Dairi is called RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) as a spatial plan which is intended as a tool to direct and control development both by governments, businesses and government organizations in order to reach integrity of sectoral programs and regions. In effect the structure of space is the arrangement of the centers of settlement and network systems infrastructure and facilities that serve as community advocates social and economic activities are hierarchically linked fungsional. Confirmed in Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning.
Structure of Space is one of the major component in Spatial, to Regency, the structure of this space consists of system activity centers; transport network system and system infrastructure & other facilities. By doing a descriptive study, the author tries to explain how the planning of the spatial structure of the Dairi based Spatial development Sidikalang City area and how to optimize such planning.
Therefore, based on analysis of literature studies, in planning the structure of space Dairi determined that the City Sidikalang as Regional Activity Center (FGM) is called PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) which serves as the primary and secondary care. And City Sidikalang. And to optimize the development of the region, it is necessary to build a primary arterial road Sopobutar-Aceh and planning proposals and Kuta Buluh and Sopobutar as Center for Environmental Activities promotions is called PKLp (Pusat Kegiatan Lingkungan promosi). And for the development of the City BWK Sidikalang directed by forming blocks of service to prevent agglomeration of activities. So planning the structure of space which includes a system service centers, transportation systems and infrastructure and facilities is an important element in the development of the region.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi yang terletak di daerah
pegunungan. Udara yang sejuk ditambah jumlah penduduk yang masih seimbang
dengan luas wilayah menjadikan Sidikalang kota yang enak dijadikan tempat tinggal.
Bagi penduduk di Kabupaten Dairi, Sidikalang merupakan kota pusat perdagangan,
pendidikan, kesehatan,dan pelayanan umum lainnya. Ada beberapa objek yang patut
dikunjungi bagi wisatawan yang berkunjung ke Sidikalang, di antaranya Taman
Wisata Iman Sitinjo (sekarang masuk wilayah Kecamatan Sitinjo), Puncak
Sidiangkat, dan pusat pembuatan kopi sidikalang.
Mata pencaharian penduduk di kota Sidikalang pada umumnya adalah petani,
dan pedagang. Penghasilan daerah ini umumnya adalah kopi. Kopi sidikalang sangat
terkenal akan cita rasanya, bukan hanya di dalam negeri saja tetapi juga diluar negeri.
Kopi sidikalang mampu bersaing dengan kopi brazil, yaitu salah satu kopi terbaik di
dunia. Termasuk juga dari sektor perikanan, budidaya perikanan juga sangat baik di
kembangkan di daerah ini di antara lain ikan mas, ikan nila, ikan bawal dan semuanya
merupakan ikan tawar masih banyak lagi. Hasil penelitian budidaya ikan tawar
buah jeruk, semangka, apel, stroberry, dan masih banyak lagi yang dapat
dikembangkan budidaya ikan disini.
Akan tetapi meski Kota Sidikalang sudah lama diresmikan sebagai Ibukota
Kabupaten Dairi, yakni sejak tahun 1964, namun perkembangan dan kemajuan kota
ini tergolong lambat jika dibandingkan dengan ibukota kabupaten lainnya yang ada di
Provinsi Sumatera Utara. Contoh terdekatnya saja Kota Kabanjahe Kabupaten Karo,
jauh lebih maju dan dinamis dibandingkan dengan Kota Sidikalang. Hal ini
dikarenakan Kota Sidikalang yang tertutup, dan tidak dilalui jalan arteri atau Jalan
Provinsi serta kondisi topografisnya yang tinggi dan curam sehingga memerlukan
waktu tempuh yang cukup lama dari Kota Medan yang merupakan kota pusat
perdangangan dan perekonomian. Tidak memiliki laut/pelabuhan, tidak memiliki
perkebunan, tidak memiliki sektor-sektor industri sebagaimana yang dimiliki oleh
berbagai kabupaten/kotamadya lainnya yang ada di Propinsi Sumatera Utara.
Adapun waktu tempuh yang dicapai dari Kota Sidikalang-Kota Medan adalah
± 5-6 jam dengan jarak 153km. Dan kondisi jalan yang kurang baik serta banyak
tikungan tajam, tidak memungkinkan mobil-mobil container yang berfungsi untuk
mengangkut hasil-hasil pertanian dari Kota Sidikalang yang merupakan pusat
distribusi hasil-hasil pertanian dari 15 kecamatan yang ada di Kaupaten Dairi. Selain
itu, jalan arteri primer yang menghubungkan Kota Sidikalang-Medan juga sering
macet, akibat banyak kendaraan yang menuju Kota Medan dari berbagai kabupaten
juga bias mengakibatkan waktu tempuh Kota Sidikalang-Meda menjadi 6-8 jam.
buah-buahan yang hendak dipasarkan di Kota Medan sudah tidak segar lagi, dan
tentunya akan mengurangi harga dari produk tersebut. Hal ini tentu akan sangat
mempengaruhi perkeonomian dan perkapita penduduk Kabupaten Dairi khususnya
Kota Sidikalang, sebab para pedagang sayur-mayur kebanyakan penduduk Kota
Sidikalang.
Selain karena masalah sistem transportasi, Kota Sidikalang juga belum
mampu meberikan pelayanan yang optimal dari segi pelayanan primer, khususnya
dalam pelayanan pusat perdagangan. Hal ini bisa dilihat dari minimnya jumlah Bank
Swasta yang beroperasi di Kota Sidikalang, Sedangkan bank sangat berperan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Berdasarkan fenomena di atas, perlu dikaji berdasarkan fakta dan analisa
seberapa besar pengaruh dari struktur ruang Kabupaten Dairi terhadap pengembangan
wilayah Kota Sidikalang, dan sebaliknya pengaruh pengembangan Kota Sidikalang
terhadap pengembangan wilayah-wilayah di sekitarnya. Kajian tersebut dirumuskan
dalam sebuah Rencana Detail Tata Ruang Khusus Bahagian Wilayah Kota Pusat
Kota Sidikalang (RDTR BWK). Penentuan Sistem Perkotaan di Kabupaten Dairi
didasari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN); menetapkan Kota Sidikalang sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) dengan fungsi mendorong pengembangan kota-kota sentra produksi.
Sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), maka perkembangan Kota
pembangunan kota yang matang denga memperthatikan lingkungan. Pada dasarnya
pengelolaan pembangunan Pusat Kota Sidikalang dititikberatkan pada tinjauan
terhadap struktur ruang Kabupaten dan penataan ruang yang ada mulai dari
penyiapan Rencana Detail Tata Ruang Khusus Bahagian Wilayah Kota Pusat Kota
Sidikalang (RDTR BWK) sampai dengan penyiapan rencana unsur kota, pengaturan
pemanfaatannya, pengelolaan pengendaliaanya, dan kaitannya dengan aspek-aspek
lain terutama dengan aspek: pembangunan ekonomi kota, finansial kota,
kelembagaan kota, serta partisipasi swasta dan masyarakat.
Perkembangan pusat kegiatan dan permukiman masyarakat di Pusat Kota
Sidikalang yang terjadi saat ini adalah mengarah kepada struktur ruang bertipe
liniear, intensitas kegiatan dan permukiman terjadi pada jaringan jalan utama dan
pusat pertumbuhan yang memusat (konsentrik), dimana pola yang terjadi belum
mencerminkan suatu bentuk grid linear yang ideal, sehingga terjadi ketidakefektifan
dan ketidaefisienan tingkat pelayanan antara pusat kota dengan pusat-pusat kegiatan
lingkungan kota dan interaksi antar pusat-pusat pertumbuhan kota.
Mengingat setiap perencanaan tata ruang haruslah mengacu pada rencana tata
ruang di atasnya, maka perencanaan pengembangan wilayah Kota Sidikalang yang
merupakan Ibukota Kabupaten Dairi, tidak lepas dari perencanaan RTRW Kabupaten
Dairi, khususnya dalam hal ini adalah perencanaan struktur ruangnya. Karena struktur
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perencanaan sistem pusat-pusat kegiatan Kabupaten Dairi terhadap
pengembangan wilayah Kota Sidikalang?
2. Bagaimana perencanaan sistem transportasi Kabupaten Dairi terhadap
pengembangan wilayah Kota Sidikalang ?
3. Bagaimana mengoptimalkan perencanaan struktur ruang Kabupaten Dairi agar
mampu menggerakkan perekonomian di Kota Sidikalang ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis perencanaan sistem pusat-pusat kegiatan terhadap pengembangan
wilayah Kota Sidikalang.
2. Menganalisis perencanaan sistem transportasi terhadap pengembangan wilayah
Kota Sidikalang.
3. Untuk merumuskan upaya untuk mengoptimalkan perencanaan struktur ruang
agar mampu menggerakkan perekonomian di Kota Sidikalang.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai struktur ruang
dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah perkotaan.
2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Dairi dalam perencanaan
pengembangan ekonomi Kota Sidikalang.
3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Wilayah
Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk
memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.
Menurut MT Zen pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan
daripada masalah kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan.
Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar
memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga
merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses
tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrumen yang
digunakan (Alkadri et.al, 2001).
Berdasarkan filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan
upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu
wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah
tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi.
Pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis
sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung
Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai
kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber
daya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat
sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal
berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial
budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan (Ambardi dan Prihawantoro,
2002).
Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil
kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu
pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut UU No. 26/2007
tentan Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Susilo, 2002).
2.1.1. Teori Kutub Pertumbuhan
Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois
Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari
perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah
bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara
serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan
intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang
saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap
Lebih spesifik lagi Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan regional
sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah
perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut keseluruh
daerah pengaruhnya (Dawkins, 2003). Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam
teori pusat pertumbuhan antara lain:
1. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif, menyatakan bahwa di
pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan besar yang bersifat
propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan
pertumbuhan nyata terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi
tinggi, dan termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam
konsep ini leading industries adalah:
a. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang
mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan
terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan
biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
b. Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor
lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages.
2. Konsep polarisasi. Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading
industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi
dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.
3. Konsep spread effect. Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu
memasuki ruang-ruang di sekitarnya. Menurut Myrdal dan Hirschman, spread
effect atau trickling down effect merupakan lawan dari back wash effect atau
polarization effect.
Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat
kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah menerima
konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial pada skala
regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para ahli, yang pada
umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung semakin
meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama antara daerah
pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya.
Gejala ini disebabkan karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah
kota-kota besar ternyata sebagai pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan
ekonomi dan sosial adalah cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari
desa-desa wilayah pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak
polarisasi yaitu daerah pusat atau kutub cenderung lebih banyak menarik sumber
daya dari daerah belakang daripada spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya
daerah pusat yang lebih maju akan bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan
semakin tertinggal.
2.1.2. Teori Tempat Pusat
Teori tempat pusat (Central Place Theory) pertama kali diperkenalkan oleh
Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini timbul dari
berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran tersebut kadang
bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara satu dengan yang
lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999), pusat-pusat pelayanan
cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam).
Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di wilayah yang mempunyai syarat: (1)
topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh
dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2)
kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi
primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batubara.
Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan
berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh menjadi
kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki jenjang
keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang dilayaninya.
Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota umumnya timbul
sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan manusia), dan kemudian
kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam mengembangkan wilayah.
Sedangkan ide dasar yang dikemukakan oleh Losch dalam Dawkins (2003)
adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan, digambarkan
sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh biaya-biaya
transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif lebih besar dari
Sedangkan jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari skala ekonomi
maka perusahaan akan menyebar keseluruh wilayah.
Pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak
merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada
masyarakat. Selain itu kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit, sehingga
mengakibatkan wilayah belakang (Hinterland) menjadi terbelakang karena tidak
ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat meningkatkan
produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk
meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses
kemudahan pencapaian dari wilayah belakang (hinterland) menuju pusat pelayanan
yang terdekat. Di dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki keseimbangan
antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam peningkatan kebutuhan
akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar.
Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah melebihi
ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu, kemungkinan
penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi, sehingga mereka
akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat. Dalam melakukan
strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan memiliki beberapa
a) Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi
yang bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah
mendapatkan investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.
b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang
(hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi
kesenjangan wilayah.
c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena
saling menguntungkan.
Selain itu Fisher dan Rushton menyatakan bahwa jaringan pusat-pusat
pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat
tersebut (Rezeki, 2007). Keuntungan tersebut adalah:
a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang
berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa.
b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan
antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternatif terhadap
jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan pemenuhan
kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal.
c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur
yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam
pengembangan jalan.
d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi
e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung
menjadi satu di pusat pelayanan.
f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling
berhubungan.
g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara
spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya (hinterland).
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya
memiliki pusat dan sub pusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan
sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan. Besarnya
wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya, sehingga dalam
satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk yang belum
menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga hubungan antar pusat
tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masing-masing wilayah pengaruh
memiliki pusat sendiri.
2.2. Struktur Ruang
Kata kunci di dalam menggambarkan struktur pemanfaatan ruang adalah
gambaran mengenai hubungan keterkaitan (linkages) antara aspek-aspek
aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang. Salah satu wujud pendeskripsian wilayah sebagai suatu
sistem, adalah aspek struktur hubungan antar komponen-komponen yang ada di
dalam wilayah tersebut. Deskripsi interaksi antar komponen wilayah yang paling
yang sering digambarkan dengan aliran arus perjalanan (trips) dan migrasi. Aliran
jumlah kendaraan baik dalam bentuk tabel maupun peta, merupakan pendekatan yang
paling umum. Menurut UU No. 26/2007 tentan Penataan Ruang, Struktur ruang
adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Di dalam pendeskripsian interaksi spasial di daratan, secara spasial aspek
keterkaitan digambarkan melalui unsur jaringan prasarananya (jaringan jalan
raya,jaringan rel kereta api, dan lain-lain), sarana angkutan (bis, kendaraan roda
empat, sepeda motor, dan lain-lain), oblek yang dialirkan (orang/penumpang,
barang), jasa, informasi, dan lain-lain), besaran aliran (jumlah kendaraan, jumlah
orang/penumpang, volume barang, nilai barang jasa yang dialirkan, dan lain-lain,
hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi yang dituju (tujuan pergi bekerja,
disrribusi pemasaran output barang/jasa, tujuan-tujuan sosial, bersekolah/pendidikan,
dan lain-lain) (Rustadi, dkk, 2011).
Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah aspek
struktur pusat-pusat aktivitas permukiman. Pada akhirnya, gambaran mengenai
kapasitas atau hierarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada kebutuhan sarana
dan prasarana. Adanya mekanisme pasar menyebabkan terpenuhinya sebagian dari
sarana yang dibutuhkan. Di daerah-daerah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan
permukiman yang tidak terjangkau trayek kendaraan umum, kebutuhan sarana
kendaraan.bermotor roda dua. Fenomena ojek di berbagai lokasi nyaris mendekati
fenomena mekanisme pasar yang sempurna berskala local jumlah ojek (sisi supply)
dan penumpang (sisi demand) berada di dalam keseimbangan yang dinamis sesuai
dengan kompetisi pasar di tingkat local, terlihat nyaris tanpa keterlibatan langsung
pemerintah. Sarana angkutan umum roda empat umumnya merupakan sektor jasa
transportasi yang tergolong sebagai sektor formal.
Pemerintah daerah terlibat langsung di dalam penyediaan sarana angkutan ini
melalui mekanisme ijin trayek, kebijakan jalur trayek yang diselenggarakan, dan
penetapan tarif angkutan. Sektor swasta yang memiliki ijin trayek menyediakan
sarana angkutan roda empatnya. Sektor Prasarana transportasi berupa pembangunan
jalan raya, jembatan dan terminal umumnya merupakan tanggungjawab dan
kewenangan pemerintah di dalam penyediaannya (Rustadi, dkk, 2011).
2.3. Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan
Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi
perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi
terhadap kotakota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak
berlanjut” (unsustainable) telah mempersalahkan pola ruang semrawut (sprawling)
yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat (leapfrog), tata guna
lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah (Gilham, 2002). Kerugian yang
diakibatkan oleh pola ruang seperti ini sangat luas, meliputi antara lain konversi lahan
tumbuhnya “lahan tidur”, ancaman pada ekosistem dan daerah yang sensitif secara
lingkungan, meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi, dan menuntut
pembangunan infrastruktur yang berlebihan (TCRP, 2002). Hal ini telah mendorong
kota-kota di negara-negara maju untuk meneliti dampak struktur ruang dan
karakteristiknya terhadap keberlanjutan perkotaan (urban sustainability) seperti studi
oleh Marshall dan Banister (2005.
Sementara itu pada sisi lain, banyak kota-kota di negaranegara berkembang
yang mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius belum
melakukan identifikasi empiris yang memadai terhadap pola ruang yang dialami.
Studi-studi yang mengamati karakteristik tata ruang di kota-kota berkembang justru
sering salah kaprah dengan kenyataan tingginya kepadatan kota yang dalam literatur
Barat diasosiasikan sebagai karakteristik kota yang berlanjut (sustainable). Adanya
paradoks ini terlihat seperti pada studi yang dilakukan oleh Newman dan Kenworthy
(1999) terhadap kota-kota di dunia yang pada satu sisi mengkategorikan kota-kota
dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Jakarta, Bangkok, Manila sebagai kota yang
kompak dan lebih berlanjut, namun pada sisi lain kota-kota ini menderita kemacetan
lalu-lintas dan tingkat polusi yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota di negara
maju yang memiliki tingkat kepadatan rendah. Studi literature juga menunjukkan
bahwa kota-kota berkembang di Asia Tenggara seperti Jakarta, Manila dan Bangkok
mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius baik dari aspek
ekonomi, sosial maupun lingkungan seperti konversi lahan pertanian besar-besaran
2005), permasalahan banjir (Murakami dan Palijon, 2005), polusi udara dan
kebisingan (Kittiprapas, 2001), polusi air tanah (Kelly, 1999), polusi tanah
(Kittiprapas, 2001), penurunan muka tanah (Douglass, 2005), hujan asam dan
kemacetan lalu-lintas (Steinberg, 2007).
Permasalahannya adalah bahwa penelitian empiris terhadap kota-kota di
negara berkembang kurang memiliki konteks teori di mana distribusi kegiatan
sosioekonomi kota dapat dijelaskan. Hal ini bertolak belakang dengan studi-studi
empiris kota-kota negara maju, di mana penelitian terfokus pada pengujian pola ruang
monosentris dan polisentris (Anas et al., 1998) serta dampaknya terhadap
keberlanjutan kota, terutama dari sisi keberlanjutan transportasi (transport
sustainability). Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Alpkokin et al. (2008)
dan Vichiensan (2007), justru berspekulasi bahwa kota-kota di negara berkembang
tengah mengalami dinamika yang mirip dengan kota-kota di negara maju, di
antaranya adalah terjadinya desentralisasi fungsi pusat-pusat bisnis di luar pusat
kegiatan bisnis di tengah kota, yaitu berupa peralihan dari struktur kota monosentris
menuju polisentris. Hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Kelly
(1999) dan McGee (2008) yang menyarankan bahwa latar belakang historis dan
karakteristik sosioekonomi yang unik telah memberi pengaruh yang kuat terhadap
pola pertumbuhan kota-kota di Negara berkembang sehingga menghasilkan struktur
ruang yang sangat berbeda dengan yang dialami oleh kota-kota di negara maju.
Model alternatif terhadap struktur ruang di kota-kota di negara berkembang
extended metropolitan region (EMR) di mana terbentuk urbanisasi pada skala
wilayah (region-based urbanisation) yang menghasilkan suatu wilayah luas yang
terintegrasi secara ekonomi, yang terdiri dari sebuah kota inti (yang pada banyak
kasus merupakan ibukota negara atau propinsi), wilayah pinggir kota (peri-urban) di
sekeliling kota inti di mana terdapat kota-kota yang lebih kecil, kawasan industri
maupun kota-kota satelit, dan zona paling luar (outer zones) di mana terdapat
pertemuan kegiatan perkotaan dan perdesaan. Pada zona paling luar inilah terdapat
kawasan “desakota” yang dicirikan oleh berbaurnya kegiatan kota dan desa. Paradoks
pada studi Newman dan Kenworthy (1999) seperti disebutkan di atas timbul karena
adanya asumsi bahwa pola urbanisasi kota-kota di Negara maju juga dialami oleh
kota-kota negara berkembang di Asia Tenggara tersebut. Bila sudut pandang
mega-urbanisasi yang digunakan, sulit untuk mengkategorikan Jabodetabek, misalnya,
sebagai unit perkotaan yang kompak. Hanya saja, teori mega-urbanisasi ini belum
diteliti secara empiris dalam skala yang detail (Hakim dan Parolin, 2008).
Dalam dua dekade terakhir, kajian-kajian empiris terhadap struktur ruang kota
didominasi oleh usaha untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan (spatial
structure of employment), karakteristik fisik serta dampaknya terhadap pola
transportasi, khususnya perjalanan ke tempat kerja (commuting trip). Metode yang
sering digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan di wilayah
perkotaan adalah pendekatan cut-off (Giuliano dan Small, 1991) yang menerapkan
batasan kepadatan pekerjaan (employment density) tertentu untuk menentukan apakah
Walaupun metode ini cukup populer digunakan, kelemahan utama terletak pada
subyektifitas dalam menentukan nilai batasan (cut-off) yang digunakan, sehingga
mengakibatkan inkonsistensi hasil.
Sejumlah metode yang bersifat non-parametric telah diusulkan untuk
mengatasi kelemahan tersebut. Di antara metode-metode yang diusulkan, metode
analisa eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis atau ESDA)
memiliki kelebihan berupa pengikutsertaan aspek kebergantungan spasial (spatial
dependence) atau dikenal dengan autokorelasi spasial (spatial autocorrelation).
Metode ESDA memperoleh momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan
dirumuskannya statistik autokorelasi spasial lokal (local spatial autocorrelation) oleh
Anselin (1995) dan Ord dan Getis (1995). Kedua statistik, yaitu lokal banyak
digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang kota-kota di dunia seperti studi yang
dilakukan Carrol et al. (2008), Riguelle et al. (2007), Guillain dan Gallo (2006), Sohn
et al. (2005), dan Baumont et al. (2004).
2.4. Kota dan Daerah di Belakangnya
Sudah umum diketahui bahwa didalam suatu wilayah ada tempat-tempat
dimana penduduk/kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk/
kegiatan kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk/ kegiatan tersebut,
dinamakan dengan berbagai istilah: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat
pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman atau daerah nodal. Masing-masing
hendak ditonjolkan atas tempat-tempat konsentrasi tersebut. Daerah di luar pusat
konsentrasi tersebut dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman,
wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah perdesaan. Didalam bab
ini akan dijelaskan apa yang mendorong terjadiny konsentrasi tersebut dan bagaimana
bentuk hubungan antara kota dengan daerah belakangnya. Hal ini sangat bermanfaat
dalam mengatur pembangunan kota dan daerah belakangnya yang menjamin suatu
hubungan yang saling menguntungkan.
2.4.1. Definisi Kota
Didalam perencanaan wilayah sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat
pemukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena
kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnyapun berbeda
dibanding dengan daerah pedesaan/pedalaman, padahal di pedesaanpun terdapat
lokasi permukiman plus berbagai kegiatan non-pertanian seperti perdagangan,
warung kopi, tukang pangkas, tukang jahit pakaian, dan lain-lain walaupun dalam
jumlah dan intensitas yang kecil dan biasanya hanya ditujukan untuk melayani
kebutuhan masyarakat setempat.
Karena fungsinya yang berbeda, maka kebijakan pembangunan pun bisa
berbeda antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan. Di pedesaan umumnya
yang menjadi kegiatan basis adalah sektor penghasil barang (pertanian, industri dan
pertambangan). Di perkotaan selain sektor penghasil barang maka sektor
uang dari luar wilayah (pelanggannya datang dari luar wilayah). Karena kegiatan
sektor penghasil barang, seringkali kegiatannya dibatasi di perkotaan maka kota
umumnya mengandalkan kegiatan perdagangan dan jasa sebagai basis utama.
Dengan demikian maka adalah wajar apabila program pemerintah pun
seringkali dibedakan antara program untuk perkotaan dan program untuk perdesaan.
Namun perlu dicatat disini bahwa sektor perdagangan dan jasa diluar yang melayani
pariwisata, bukanlah basis murni. Perkembangan perdagangan dan jasa di perkotaan
tergantung pada perkembangan perekonomian wilayah belakangnya. Perkembangan
perekonomian wilayah belakangnya tergantung pada sektor basis di wilayah belakang
tersebut. Dengan demikian perkembangan perekonomian secara keseluruhan tetap
tergantung pada perkembangan sektor basis murni.
Didalam menetapkan apakah sesuatu konsentrasi pemukiman itu sudah dapat
dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk
membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan
kepadatan penduduk. Bagi kota yang dulunya sudah berstatus kotamadya atau sudah
dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya
kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah
yang masuk dalam kesatuan kota. Menggunakan jumlah penduduk berdasarkan
wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk
menggambarkan besarnya sebuah kota, karena terkadang ada bagian (pinggiran) dari
wilayah administrasi kota tersebut yang belum tepat dikatakan sebagai wilayah kota,
wilayah pertanian/ perkebunan). Pada kondisi lain kota itu sebetulnya sudah melebar
melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah
tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi kota tersebut. Didalam
menganalisis fungsi kota ataupun dalam menetapkan orde perkotaan, maka luas dan
penduduk sebaiknya didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki
ciri-ciri perkotaan.
Permasalahan bagi konsentrasi pemukiman atau bagi kota kecil (ibukota
kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau
masih sebagai desa. Jadi perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi
itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum. Biro Pusat
Statistik (BPS), dalam pelaksanaan “Survei Status Desa/Kelurahan 2000” yang
dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan
apakah suatu desa/ kelurahan itu dikategorikan sebagai desa atau sebagai kota.
Kriteria yang digunakan adalah:
1) Kepadatan penduduk per km2
2) Prosentase rumah tangga yang mata-pencaharian utamanya adalah pertanian atau
non-pertanian;
,
3) Prosentase rumah tangga yang memiliki telepon;
4) Prosentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;
5) Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan tersebut seperti: fasilitas pendidikan,
pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti: hotel, bilyar,
(nilai). Atas dasar skor gabungan yang dimiliki desa/kelurahan tersebut, maka
ditetapkanlah apakah masuk kategori kota dan dinamakan kelurahan atau masuk
kategori desa. Atas dasar gabungan skor beberapa kelurahan/desa yang berada
dalam satu wilayah administrasi maka ditetapkanlah wilayah tersebut masuk
dalam salah satu kategori berikut: Perkotaan Besar, Perkotaan Sedang, Perkotaan
Kecil dan Perdesaan.
Kriteria BPS diatas hanya didasarkan atas kondisi (besaran) phisik dan
mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan
fungsi perkotaan. Misalnya mengenai mata pencaharian penduduk perlu dibuat
ketentuan bahwa mata-pencaharian penduduknya adalah bervariasi, dan tidak
tergantung hanya pada satu sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian),
sehingga terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi.
Selain itu perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani
wilayah belakangnya. Artinya berbagai fasilitas yang ada di tempat itu seperti tempat
perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain tidak hanya melayani/
dimanfaatkan oleh penduduk kota itu sendiri, tapi juga melayani masyarakat yang
datang dari luar kota yang sering disebut sebagai wilayah belakangnya.
Di lain sisi Direktorat Cipta Karya Departemen PU (berubah menjadi
KIMPRASWIL tapi kemudian berubah lagi ke nama semula) secara implicit
meganggap bahwa suatu konsentrasi pemukiman yang kepadatannya 50 jiwa atau
lebih per ha berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan (seperti pelayanan
berlapis (berbentuk grid, bukan berbentuk pita atau ribbon type). Kriteria diatas
masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya 50
jiwa atau lebih per ha dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak
terputus-putus. Dalam kebutuhan praktis (misalnya dalam menetapkan ibukota kabupaten
yang berhak mendapat program P3KT perkotaan), maka Dirjen Cipta Karya Dep.
P.U. menetapkan jumlah penduduk ibukota kabupaten itu minimal 10.000 jiwa.
Tetapi instansi yang sama untuk kondisi yang berbeda menetapkan bahwa ibukota
kecamatan yang perlu disusun Rencana Tata Ruangnya adalah setidak-tidaknya
terdapat 10 ha lahan dengan jumlah penduduk minimal 1.000 jiwa.
Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak,
adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh
kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasiltas perkotaan/fungsi perkotaan antara
lain adalah sebagai berikut:
1) Pusat Perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas: melayani masyarakat
kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggirannya (daerah yang
berbatasan), melayani beberapa kota kecil (misalnya Pusat Kabupaten), melayani
beberapa kabupaten/kota yang lebih kecil lainnya (misalnya Pusat Propinsi) dan
pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor di propinsi tersebut atau Pusat
perdagangan beberapa propinsi sekaligus.
2) Pusat Pelayanan Jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa
perorangan, misalnya: tukang-pangkas, salon, tukang-jahit, perbengkelan, reparasi
perusahaan misalnya: Perbankan, Perhotelan, Asuransi, Pengangkutan, Pelayanan
Pos, Tempat hiburan, Jasa Penyewaan Peralatan, dan lain-lain.
3) Tersedianya Prasarana Perkotaan seperti: Sistim Jalan Kota yang baik, Jaringan
Listrik, Jaringan Telepon, Jaringan Air Minum, Pelayanan Sampah, Sistim Drainase,
Taman Kota, Pasar, dan lain-lain.
4) Pusat Penyediaan Fasilitas Sosial seperti Prasarana pendidikan (Universitas,
Akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus ketrampilan, Prasarana
Kesehatan dengan berbagai tingkatannya termasuk Apotik, Tempat beribadah,
Prasarana Olahraga, Prasarana Sosial seperti Gedung pertemuan,dan lain-lain.
5) Pusat Pemerintahan, banyak kota adalah sekaligus lokasi pusat pemerintahan. Kota
terbesar di suatu propinsi seringkali adalah pusat pemerintahan tingkat propinsi,
demikian pula untuk tingkat kota/kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat
kelurahan/desa. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota,
karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat itu dalam rangka urusan
pemerintahan.
6) Pusat Komunikasi dan Pangkalan Transportasi, artinya dari kota tersebut masyarakat
bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat penghubung.
Masyarakat bisa berkomunikasi ke banyak tempat dengan berbagai pilihan alat
penghubung (mis. telepon, telex, internet, radio, faksimil, dan lain-lain). Bisa
mengirim uang atau berita dengan banyak cara (bank, kantor pos, perusahaan
dengan berbagai pilihan alat transportsi (Bus, Kapal Laut, Kereta Api, dan Pesawat
Udara)
7) Lokasi pemukiman yang tertata, sesuatu lokasi dikatakan kota karena jumlah
penduduknya yang banyak. Penduduk membutuhkan tempat tinggal. Hal ini berarti
kota adalah sekaligus lokasi pemukiman, dan mestinya di kota, pemukiman itu
kelihatan teratur/tertata (karena harus meminta IMB bila ingin membangun).
Makin banyak fasilitas perkotaan yang dimiliki serta makin banyak fungsi
perkotaan yang di-embannya, menggambarkan hierarki yang sebenarnya dari kota
tersebut. Makin tinggi hierarkinya makin luas wilayah pengaruhnya
2.4.2. Bentuk Hubungan Kota dengan Daerah Dibelakangnya
Hubungan antara kota dengan wilayah belakangnya dapat dibedakan antara:
kota generatip, kota parasitip, dan enclave. Kota generatip ialah kota yang
menjalankan bermacam-macam fungsi baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
wilayah belakangnya, sehingga bersifat saling menguntungkan/mengembangkan.
Kota-kota seperti ini membutuhkan bahan makanan, bahan mentah, dan tenaga kerja
dari daerah pedalaman, dengan kata lain dapat menyerap/memasarkan produksi
daerah pedalaman dan sekaligus menyediakan kebutuhan daerah pedalaman. Daerah
pedalaman menjadi tempat pemasaran produk yang dihasilkan di perkotaan. Dengan
demikian terdapat kebutuhan yang timbal balik dan saling menunjang.
Perkembangan perkotaan akan meningkatkan daya serapnya terhadap produk
perkotaan merupakan sumber inovasi dan modernisasi yang dapat berguna bagi
kemajuan wilayah pedalaman.
Kota parasitip adalah kota yang tidak banyak berfungsi untuk menolong
wilayah belakangnya dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh
di pedesaan. Kota parasitip ini umumnya adalah kota yang belum banyak
berkembang industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian tapi juga
perkotaan sekaligus. Kegiatan industri/ kerajinan disini sering bersifat duplikatip
dengan apa yang dapat dilakukan orang di pedesaan, misalnya: pembuatan minyak
kelapa secara sederhana, anyaman tikar, pembuatan tempe, tahu, tape, roti sederhana,
kue-kue, dan lainnya. Karena kegiatan yang di kota memiliki pasar yang lebih luas,
maka kegiatan yang di desa menjadi kalah bersaing dan tidak mampu bertahan.
Padahal kegiatan tersebut di desa merupakan sumber mata-pencaharian tambahan dan
banyak dilakukan sebagai pekerjaan pasca panen.
Dengan lumpuhnya kegiatan pasca panen tersebut, maka daerah pedesaan jadi
lebih menderita. Hal ini dapat berakibat bertambahnya pengangguran tidak kentara di
pedesaan dan tidak dapat ditampung oleh perkotaan karena industrinya sendiri belum
berkembang dan belum mampu menembus pasar diluar daerah pengaruhnya yang
sempit selama ini. Jadi selama kota itu belum mampu memasarkan hasil produksinya
keluar dari wilayah pengaruhnya yang sempit (daerah pedalaman sekitarnya), maka
kota itu belum mampu menolong dirinya sendiri untuk berkembang dan dengan
sendirinya belum mampu menggerakkan wilayah belakangnya (ingat teori basis
Diluar dua bentuk hubungan yang telah dibicarakan diatas, maka masih ada
satu bentuk hubungan yang tidak menguntungkan daerah pedalaman, yaitu suatu kota
yang bersifat enclave (tertutup). Hubungan yang tidak menguntungkan ialah apabila
kota itu berkembang tapi tidak mengharapkan input dari daerah sekitarnya melainkan
dari luar. Dalam hal ini kota itu adalah suatu enclave yaitu seakan-akan terpisah
samasekali dari daerah sekitarnya (daerah pedalaman). Buruknya prasarana,
perbedaan taraf hidup, perbedaan tigkat pendidikan yang sangat menyolok dan faktor
lain dapat membuat kurangnya hubungan antara perkotaan dengan daerah pedalaman
di sekitarnya. Kalaupun ada orang pedalaman yang pindah ke kota untuk bekerja di
kota tersebut, maka umumnya yang bisa pindah tersebut adalah putra-putra terbaik di
desa itu. Hal ini membuat daerah pedalaman itu makin ketinggalan dan
keadaan/hubungan ekonomi antara kota dengan desa di sekitarnya makin pincang.
Biasanya enclave ini terjadi pada wilayah pemukiman (kompkeks perumahan)
pertambangan besar yang ada di pedalaman. Pemukiman itu biasanya ditata seperti
sebuah kota. Untuk menghindari hal ini maka daerah pedalaman perlu lebih didorong
sedangkan daerah perkotaan mungkin dapat berkembang atas kemampuan sendiri.
Ada baiknya pertambangan itu diminta untuk membantu peningkatan kehidupan
masyarakat di sekitar wilayah kerjanya. Secara umum sering kali agar pertumbuhan
kota dan daerah belakangnya dapat sejajar maka daerah belakang tersebut
2.4.3. Hirarki Perkotaan
Hirarki perkotaan adalah menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai
akibat perbedaan jumlah, jenis dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota
tersebut. Atas dasar perbedaan itu maka volume dan keragaman pelayanan yang dapat
diberikan masing-masing jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya
terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota (jumlah penduduk). Perbedaan
fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh atau wilayah
belakang dari kota tersebut. Dengan demikian ada kota yang menjalankan banyak
fungsi sekaligus dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan ada kota yang hanya
menjalankan beberapa fungsi saja dengan kualitas yang kurang memadai. Sejalan
dengan itu, ada kota yang wilayah pengaruhnya cukup luas bahkan juga termasuk
kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya dan ada kota yang pengaruhnya hanya
beberapa desa di sekitarnya saja.
Hirarki perkotaan seringkali sudah tercipta secara alamiah (mekanisme pasar),
akan tetapi bisa juga dimodifikasi/dirubah sebagai akibat keputusan pemerintah.
Misalnya sebuah kota kecil yang diputuskan pemerintah menjadi ibukota kabupaten,
secara perlahan akan menaikkan hirarki dari kota tersebut, apabila keputusan itu
direspon oleh masyarakat/ pasar. Hirarki perkotaan sangat perlu diperhatikan dalam
perencanaan wilayah karena menyangkut fungsi yang ingin diarahkan untuk
masing-masing kota.
Terlaksananya fungsi itu berkaitan dengan fasilitas kepentingan umum yang
masing-masing kota harus sejalan dengan luas pengaruh kota tersebut, atau jumlah
penduduk yang diperkirakan akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Didalam suatu
wilayah, kota orde tertinggi diberi ranking-I. Penentuan orde sangat terkait dengan
luas wilayah analisis. Bagi Indonesia, Jakarta adalah kota orde-I. Bagi propinsi
Sumatera Utara, Medan adalah kota orde–I. Bagi sebuah kabupaten kemungkinan
besar ibukota kabupaten itu yang menjadi orde-I, seandainya ibukota itu adalah kota
terbesar di kabupaten tersebut. Untuk kepentingan perencanaan wilayah, maka setiap
kota di sesuatu wilayah harus ditetapkan ordenya. Orde itu ditetapkan berdasarkan
kondisi riel di lapangan ataupun karena adanya keinginan untuk merubah orde
sesuatu kota. Orde suatu kota bisa dirubah secara bertahap dengan merencanakan
penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, dimana masyarakat diperkirakan akan
mau memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimana mestinya (direspon oleh pasar).
2.4.4. Kota Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan dengan dua cara yaitu
secara fungsional dan secara geographis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan
adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena
sifat hubungannya, memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi
kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (ke daerah belakangnya). Secara
geographis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas
dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang
senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun
kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Tidak semua kota
generatip dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat Pertumbuhan harus
memiliki empat karakteristik yaitu:
1. Ada hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai
ekonomi
2. Ada multiplier effect (efek pengganda)
3. Ada konsentrasi geographis
4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya.
Peranan dari masing-masing karakteristik itu untuk menjadikan kota itu sebagai
pusat pertumbuhan akan dikemukakan berikut ini:
Ada hubungan internal dari berbagai macam kegiatan: Hubungan internal
berupa adanya transaksi ekonomi diantara berbagai cabang kegiatan sangat
menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor
lainnya, sehingga bila ada satu sektor yang bertumbuh, akan mendorong
bertumbuhnya sektor lainnya, karena saling terkait. Jadi kehidupan kota menjadi
suatu irama dari berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan synergi untuk
saling mendukung terciptanya pertumbuhan. Pertumbuhan tidak terlihat pincang,
pertumbuhan satu sektor diikuti pertumbuhan sektor lainnya. Pertumbuhan dikatakan
pincang apabila ada sektor yang bertumbuh cepat tetapi sektor lainnya seperti tidak
Hal ini dapat terjadi misalnya pada sebuah kota yang fungsinya hanya sebagai
perantara (transit). Kota perantara adalah apabila kota itu hanya berfungsi
mengumpulkan berbagai bahan dari daerah belakangnya dan menjualnya ke kota lain
yang lebih besar/luar wilayah dan membeli dari kota lain berbagai kebutuhan
masyarakat dan dijual/didistribusikan ke wilayah belakangnya. Pada kota perantara
ini tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang menciptakan nilai
tambah. Kalaupun ada pengolahan hanya bersifat penyortiran (seleksi) dan
pembungkusan, sedangkan kegiatan yang bersifat mengubah bentuk dan kegunaan
barang masih sedikit. Dengan demikian sedikit sekali terjadi interaksi dengan sektor
lain di kota tersebut. Pertumbuhan sektor perantara ini tidak banyak mendorong
pertumbuhan sektor lain di kota itu.
Ada efek pengganda (multiplier effect): Keberadaan sektor-sektor yang saling
terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu
sektor yang karena permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat; karena ada
keterkaitan membuat banyak sektor lain juga akan meningkat produksinya dan akan
terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa
beberapa kali lipat dibanding dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor
tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda ini
sangat berperan dalam membuat kota itu mampu memacu pertumbuhan wilayah
belakangnya. Karena kegiatan berbagai sektor di kota meningkat tajam, maka
kebutuhan kota akan bahan baku/tenaga kerja yang dipasok dari wilayah belakangnya
Ada konsentrasi geografis: Konsentrasi geografis dari berbagai
sektor/fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling
membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut.
Orang yang datang ke kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhannya pada
lokasi yang berdekatan. Jadi kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu,
tenaga dan biaya. Hal ini membuat kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena
volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale,
sehingga tercipta efisiensi lanjutan.
Bersifat mendorong wilayah belakangnya: Hal ini berarti antara kota dan
wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan
baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah
belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang
harmonis dengan wilayah belakangnya dan kota itu memiliki tiga karakteristik yang
disebutkan terdahulu, maka otomatis kota itu akan berfungsi untuk mendorong
wilayah belakangnya. Jadi agar sesuatu konsentrasi kegiatan ekonomi dapat dianggap
pusat pertumbuhan, apabila konsentrasi itu dapat mempercepat pertumbuhan
ekonomi baik ke dalam (diantara berbagai sektor didalam kota) maupun ke luar (ke
wilayah belakangnya).
2.5. Penelitian Sebelumnya
Sasongko (2005), melakukan penelitian dengan judul: Pembentukan Struktur
Berdasarkan kajian budaya Sasak di Desa Puyung nampak bahwa determinasi budaya
muncul pada ruang permukiman, dan selanjutnya dapat menunjukkan adanya struktur
ruang. Seting dan cakupan ruang dalam peristiwa ritual pada dasarnya beragam, serta
menunjukkan adanya pengunaan ruang yang tetap maupun temporal.
Kusumastuti (2008), melakukan penelitian dengan judul Penyediaan Prasarana
dan Sarana Permukiman sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi dalam Wilayah Pakal
Benowo. Kecamatan Pakal merupakan kawasan pinggiran kota yang secara umum
kehidupan penduduknya masih berciri pedesaan yang didominasi oleh aktivitas
pertanian dan tambak. Tujuan studi adalah untuk mengetahui potensi dan kearifan
lokal dalam pengadaan perumahan bagi pekerja-pekerja industri, khususnya yang
dilakukan oleh pengembang perumahan informal, tanpa bantuan modal dari institusi
keuangan dan teknis, untuk mengetahui keterbatasan penyediaan prasarana dan
sarana lingkungan permukimannya. Data didapat melalui daftar pertanyaan,
pengamatan dan wawancara langsung dengan penduduk kelurahan Babat Jerawat,
Benowo Kecamatan Pakal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan
perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah kemungkinan tetap memiliki
potensi dengan proses secara informal dan berkesinambungan, dan keterbatasan
penyediaan prasarana dan sarana permukiman disebabkan oleh keterbatasan dana,
sehingga menemui kendala dalam proses pengembangannya.
Buchori, dkk (2008) melakukan penelitian dengan judul: Efektivitas Rencana
Tata Ruang Dalam Mengarahkan Pembangunan Infrastruktur (Kasus: Jalan dan