TINJAUAN PUSTAKA
B. Studi Terdahulu
2. Studi Standarisasi di Bidang Kepelabuhanan, 2011
Studi Standardisasi di Bidang Kepelabuhanan yang disusun pada tahun 2011 menghasilkan beberapa Rancangan Standar Nasional Indonesia di bidang kepelabuhanan, yaitu:
1 2 3 4 5 3 7 15 6 8 9 14 13 12 11 10 4 5 1 2 16 17 18
a. Standar Fasilitas Transshipment Peti kemas Pada Pelabuhan Utama
b. Standar Fasilitas Transshipment General cargo Pada Pelabuhan Utama
c. Standar Pelayanan Jasa Penumpukan di Gudang Tertutup d. Standar Fasilitas Pemeliharaan dan Perawatan Kapal di
Pelabuhan
e. Standar Sistem Manajemen Perawatan Fasilitas Pelabuhan f. Standar Perhitungan Kinerja Pelayanan Kapal Dan Barang di
Pelabuhan
g. Standar Terminal Khusus (TK) Batubara h. Standar Terminal Khusus (TK) CPO.
i. Standar Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara
j. Standar Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) CPO. k. Standar Fasilitas Penampungan dan Pengelolaan Limbah
Kapal di Pelabuhan Utama.
Standar Peralatan Bongkar Muat Peti kemas secara Konvensional di Pelabuhan.
Dari keduabelas RSNI tersebut, terdapat 6 (enam) materi yang berkaitan dengan studi yang akan dilaksanakan, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Materi terkait dalam Studi Standardisasi di Bidang Kepelabuhanan, 2011
No. Studi terdahulu yang relevan
Studi saat ini
1 Standar Fasilitas
Transshipment Peti kemas
Pada Pelabuhan Utama
Standar Dermaga untuk Pelayanan Kapal dan Barang Peti kemas 2 Standar Terminal Khusus
(TK) Batubara
Standar Dermaga untuk Pelayanan Kapal dan Barang Curah 3 Standar Terminal Khusus
(TK) CPO
Standar Dermaga untuk Pelayanan Kapal dan Barang Curah 4 Standar Terminal Untuk
Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara
Standar Dermaga untuk Pelayanan Kapal dan Barang Curah 5 Standar Terminal Untuk
Kepentingan Sendiri (TUKS) CPO
Standar Dermaga untuk Pelayanan Kapal dan Barang Curah 6 Standar Fasilitas Penampungan dan Pengelolaan Limbah Kapal di Pelabuhan Utama Standar Penampungan Limbah dan Sampah dari Kegiatan Pelabuhan
a.
Standar Fasilitas Transhipment Peti kemas Pada Pelabuhan Utama.Transshipment peti kemas di pelabuhan atau terminal peti
kemas hanya menangani jumlah/prosentase tertentu dari arus kontainer total (total container throughput), dan setelah penyimpanan sementara di lapangan penumpukan, peti kemas segera diangkut kembali oleh kapal lain untuk pengiriman selanjutnya.
Diagram yang menggambarkan proses penanganan peti kemas dari laut ke darat melalui terminal ditunjukkan pada gambar berikut ini. Dapat dilihat bahwa transshipment peti kemas merupakan bagian dari proses penanganan peti kemas yang terbatas di hingga ke terminal. Sementara arus keluar-masuk (ekspor-impor) ke darat melibatkan juga angkutan darat (hinterland transport).
Gambar 2.10 Kegiatan transshipment peti kemas merupakan bagian dari arus peti kemas total Tabel 2.5 Terminal peti kemas di
pelabuhan-pelabuhan yang disurvey
Terminal Peti kemas di pelabuhan yang disurvei adalah sebagai berikut:
1) Pelabuhan Tanjung Priok
a) PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
b) TPK Koja.
c) PT MTI (Multi Terminal Indonesia). d) Terminal Operasi 3.
2) Pelabuhan Belawan
Belawan International Container Terminal 3) Pelabuhan Tanjung Perak
a) Terminal Berlian, dikelola oleh PT Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI)
b) Terminal Peti kemas Surabaya, dikelola oleh PT Terminal Peti kemas Surabaya (TPS)
4) Pelabuhan Makassar
Terminal Peti kemas Makassar (TPM) 1) Fasilitas Utama.
Fasilitas utama pendukung kegiatan transshipment peti kemas di pelabuhan utama minimal terdiri dari fasilitas yang disebutkan pada bagian berikut:
Pelabuhan/Terminal
Sisi Dermaga/Laut
stack petikemas
arus petikemas total (TEU’s/tahun) (volume petikemas yang
ditangani/tahun) transshipment ekspor (outbond) impor (inbond) TRANSSHIPMENT Sisi Darat ekspor impor Transpor hinterland (truck/trailer, KA)
a) Dermaga.
Panjang dermaga harus mengikuti kriteria teknis sesuai dengan panjang rata-rata kapal terbesar yang dilayani, termasuk memperhitungkan persyaratan-persyaratan ruang yang diperlukan untuk peralatan tambat labuh yang aman antara lain fendering,
mooring dan jarak aman antar kapal. IMO
(International Maritime Organization)
mengusulkan persamaan berikut untuk menghitung panjang dermaga.
n
LOA LOA n Lw 110% (1) dimana Lw = panjang dermagaLOA = panjang total kapal (length overall) N = jumlah tambatan
Gambar 2.11 Sketsa definisi perhitungan panjang dermaga
Ukuran kolam dermaga harus memenuhi ketentuan untuk kebutuhan olah gerak kapal dan kedalaman yang cukup sesuai dengan draft kapal pengangkut peti kemas terbesar yang dilayani. Sebagai pedoman, Pelabuhan utama yang melayani kapal peti kemas berkapasitas 5.000 TEUs, memerlukan panjang total dermaga minimal 350 meter dan kedalaman kolam dermaga 15 meter.
Panjang dermaga dan kedalaman kolam untuk
transshipment peti kemas Pelabuhan Utama
minimal adalah 200 m dengan kedalaman 11m dari
LOA LOA 10% x LOA 10% x LOA 10% x LOA dermaga kapal kapal
praktek yang ada1, namun sesuai dengan Kepmenhub No. 53 Tahun 2002 disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Ukuran dermaga dan kedalaman kolam Pelabuhan Utama Hirarki Pelabuhan Panjang Dermaga Min. (meter) Kedalaman Kolam Min. (meter LWS) Utama Primer 350 -12,00 Utama Sekunder 250 -9,00 Utama Tersier 150 -7,00
Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan No KP 414 Tahun 2013 tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.
b) Apron.
Lebar apron yang aman (ad) dan nyaman untuk operasional alat angkut (truk dan KA) yang diukur dari berth line dermaga sampai dengan sisi gudang laut (gudang lini I) atau lapangan penumpukan sebagai berikut (lihat Gambar 2.12). (Quin,1972). Lebar apron minimum 3,00 m
dengan crane dan 1 jalur KA 20,00 m dengan 2 jalur truk trailer 8,00 m
dengan 1 jalur KA dan 1 jalur truk trailer 9,00 m dengan 2 jalur KA dan 1 jalur truk trailer 13,00
m
dengan crane dan 2 jalur KA 25,00 m
Gambar 2.12 Sketsa definisi lebar apron dermaga.
c) Lapangan Penumpukan.
Kebutuhan luas lapangan penumpukan peti kemas yang disarankan untuk pelabuhan utama menurut Kepmenhub No. 53 Tahun 2002 diberikan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Luas lapangan penumpukan sesuai arus peti kemas
Hirarki Pelabuhan Arus Peti kemas (TEUs/tahun) Luas Lapangan Penumpukan (Ha)
Utama Primer 3 juta-3,5 juta 15 Utama
Sekunder
1,5 juta 10
Utama Tersier Tidak diperinci Tidak diperinci
Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan No KP 414 Tahun 2013 tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan
Nasional.
ad
Lapangan penumpukan
d) Fasilitas Penanganan Peti kemas.
Tabel 2.8 adalah kebutuhan peralatan minimal (crane) yang disyaratkan sesuai dengan arus peti kemas menurut Kepmenhub No. 53 Tahun 2002. Tabel 2.8 Jumlah crane minimal sesuai arus
peti kemas Hirarki Pelabuhan Arus Peti kemas (TEUs/tahun) Peralatan Jumlah Utama Primer
3 juta-3,5 juta crane 4 unit Utama
Sekunder
1,5 juta crane 2 unit Utama Tersier Tidak diperinci mobile crane / ship gear 50 ton Tidak diperinci
Sumber: Keputusan Menteri Perhubungan No KP 414 Tahun 2013 tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional
Jenis peralatan tergantung pada sistem bongkar muat peti kemas yang digunakan. Secara umum sistem bongkar muat peti kemas yang biasa digunakan adalah:
Sistem truck trailer/forklift dan reach stacker Sistem straddle carrier
Sistem Rubber-tyre gantry (RTG) dan/atau
rail-mounted gantry (RMG)
Campuran dari ketiga sistem di atas
Sistem truck trailer dan reach stacker/forklift paling ekonomis diterapkan pada terminal kecil berkapasitas antara 60.000-80.000 TEUs per tahun dan luas lapangan penumpukan tak terbatas. Gambar menunjukkan sistem truck trailer dan reach
Gambar 2.13 Ilustrasi penumpukan peti kemas sistem truck trailer dan reach
stacker/forklift
Sistem straddle carrier adalah sistem penanganan peti kemas yang cocok untuk terminal dengan luas lapangan penumpukan yang terbatas. Sistem
straddle carrier dapat menumpuk peti kemas 3
hingga 4 tumpukan dan merupakan sistem yang paling optimal dari segi kecepatan untuk terminal yang menangani arus peti kemas 100.000 hingga 3.000.000 TEUs per tahun. Gambar 2.14 adalah ilustrasi penanganan peti kemas sistem straddle
carrier.
Gambar 2.14 Ilustrasi penumpukan peti kemas sistem straddle carrier
Sistem RTG/RMG bisa menyusun peti kemas 5-9 blok dalam 4-6 tumpuk. Sistem ini ekonomis untuk terminal yang menangani peti kemas lebih dari
200.000 TEUs per tahun dan luas lapangan penumpukan terbatas atau mahal. Gambar 2.15 dan Gambar 2.16 masing-masing adalah ilustrasi sistem RTG dan/atau RMG dengan head truck dan shuttle carrier.
Gambar 2.15 Ilustrasi penumpukan peti kemas sistem RTG/RMG dengan head
truck
Gambar 2.16 Ilustrasi penumpukan peti kemas sistem RTG/RMG dengan
Shuttle-carrier
Peralatan sisi laut Terminal peti kemas adalah
Quay-side Gantry Crane (QGC). Kapasitas minimum
QGC yang disyaratkan adalah: Daya angkat: 40 ton
Jangkauan ke sisi laut: 32,5 m
Tinggi hoist di bawah spreader: 25 m Lebar track: 15-18 m
Jangkauan ke sisi darat: 15 m Jarak bebas di bawah crane: 12 m
Kapasitas/kemampuan crane dinyatakan dalam
Gross Crane Rate (GCR) yang dinyatakan dengan:
TWH TCH
GCR
TCH, Total Container Handled = jumlah peti kemas (masuk atau keluar) yang ditangani
TWH, Total Worked Hours = seluruh waktu yang diperlukan crane untuk menangani peti kemas, termasuk idle time.
Untuk Pelabuhan utama primer, Kepmenhub No. KM 53 Tahun 2002 mensyaratkan minimal 4 unit
crane dengan arus peti kemas total (transit dan non
transit) antara 3 juta-3,5 juta TEUs/tahun. Jika dari volume tersebut dianggap 20% adalah peti kemas transit, maka arus peti kemas transit adalah 600.000-700.000 TEUs/tahun, rata-rata = 650.000 TEUs/tahun.
Produktivitas 1 unit crane rata-rata adalah 0,5 TEUs/menit atau 30 TEUs/jam atau 262.800 TEUs/tahun. Jumlah crane yang diperlukan adalah 650.000/262.800 = 2,47 3 unit.
Peralatan sisi darat Terminal peti kemas adalah sebagai berikut:
(1) Rubber-tyred Gantry (RTG) Crane dan
Rail-mounted Gantry (RMG) Crane
RTG dan RMG crane atau biasa disebut dengan transtainer adalah crane peti kemas yang berupa portal lebar beroda karet (RTG) atau sistem rel (RMG). Alat ini dapat menumpuk peti kemas 5-9 blok dalam 4-6 tingkat. Kapasitas RTG yang disarankan untuk transshipment peti kemas di Pelabuhan utama adalah minimal 35 ton. Jumlah RTG/RMG yang ideal adalah 3 unit untuk 1
buah QGC, sehingga untuk 3 unit QGC diperlukan 9 unit RTG/RMG.
(2) Straddle carrier
Straddle carrier adalah kendaraan pengangkut
peti kemas berbentuk portal persegi empat panjang beroda karet. Straddle carrier hanya dapat menumpuk hingga 2 atau 3 tingkat. Kapasitas minimal straddle carrier untuk pelabuhan utama berkisar antara 30-35 ton. Satu buah QGC biasanya cukup ideal dilayani oleh 3-5 unit straddle carrier.
(3) Forklift, reach stacker dan side loader
Forklift, reach stacker dan side loader
merupakan kendaraan khusus pengangkut peti kemas yang dapat menyusun peti kemas di lapangan penumpukan. Reach stacker juga dapat digunakan untuk memuat peti kemas ke truk trailer.
(4) Head truck dan container chassis
Head truck adalah truk semi-trailer yang
memiliki sambungan permanen atau semi permanen sehingga dapat berbelok tajam. Untuk mengangkut peti kemas, head truck dilengkapi dengan container chassis yang dapat di lepas. (5) Shuttle-carrier
Shuttle-carrier merupakan kendaraan
pengangkut peti kemas generasi terbaru yang merupakan pengembangan dari straddle carrier sehingga dapat bermanuver lebih baik sehingga memiliki produktivitas yang tinggi.
Tabel 2.9 Peralatan Terminal Peti kemas di Pelabuhan-Pelabuhan
Nama Pelabuhan &
Terminal
Container Crane/ Quay Gantry
Crane
RSNI Utama Primer (UP)=4 buah Utama Sekunder(US)=2 buah Tanjung Priok JICT 21 buah TPK Koja 6 buah PT MTI 4 (35 ton) TO3 Belawan (BICT) 5=40 ton 1=35 ton Tanjung Perak BJTI TPS 11 buah Makassar (TPM)
Sumber: Hasil Survey, 2011. 2) Fasilitas Pendukung.
Fasilitas pendukung disajikan pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 fasilitas pendukung transshipment peti kemas
RSNI T. Priok Belawan T. Perak Kantor
administrasi ada ada ada Kantor
Pabean ada ada ada
Refrigerator ada ada ada Menara
pengawas ada ada ada
Bengkel
perawatan ada ada ada
Penyedia jasa bongkar muat
ada ada Ada
Tabel 2.10 (lanjutan)
RSNI Makassar Tenau
Kantor
administrasi ada ada Kantor
Pabean ada Tidak ada Refrigerator ada
Menara
pengawas ada ada Bengkel
perawatan ada ada Penyedia jasa bongkar muat ada Tidak diketahui
b.
Standar Terminal Khusus (TK) Batubara.Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Terminal Khusus merupakan hasil adobsi dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2011 ‘Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri’ serta untuk Batubara merupakan hasil adopsi dari Standardisasi Terminal Curah yang dikeluarkan oleh UNCTAD.
Standar sistem penanganan batubara disajikan pada Gambar 2.17. Sistem dilengkapi dengan peralatan khusus untuk
loading/unloading dan untuk menumpuk batubara. Sistem
terdiri dari penanganan batu bara dari darat untuk dikapalkan dengan kapal khusus pengangkut material curah dan sebaliknya.
Gambar 2.17 Standar sistem penanganan batubara. Standar sistem penanganan batubara sederhana dengan kapasitas yang lebih kecil ditunjukkan oleh flow chart berikut.
Gambar 2.18 Sistem penanganan batubara sederhana.
Stacker-Reclaimer Transfer Muat langsung Unloader Barge Unloader - conveyor Barge Conveyor Truk/ kereta api Penumpukan/Stockpile Conveyor Conveyor Loading Ship Loader Kapal Curah LAPANGAN PENUMPUKAN Stacker-Reclaimer Transfer Muat langsung loader Conveyor, Barge Loader Barge Conveyor Truk/ kereta api Penumpukan/Stockpile Conveyor Conveyor Loading Ship Loader Kapal Curah Penumpukan/St ockpile Barge/Ship Loader Dozer /Stacker Truk Dozer, Loader
Loading Barge/Kapal
Penumpukan/St ockpile Loader Truk Dozer, Loader
Loading Barge/Kapal
Barge/Ship Unloader
Tabel 2.11 Penerapan RSNI di lokasi survey TK Batubara
No Standar Fasilitas Kaltim Prima Coal Fasilitas Sisi Laut
1 Alur pelayaran
2 Kolam sandar -18 m
3 Tempat labuh kapal
4 Sarana bantu navigasi
pelayaran
5 Perairan untuk keperluan
darurat Tidak diketahui
Fasilitas Sisi Darat
6 Fasilitas tambat -18 m
7 Lapangan penumpukan
8 Fasilitas bongkar muatan -
9 Fasilitas penumpukan dan pengambilan
Stacker-reclaimer
1.350 ton per jam dan reclaimer 3.350
ton per jam
10 Fasilitas muat
Dua ship loaders dengan kapasitas nominal 4.700 ton
per jam 11 Fasilitas bunker bahan
bakar Tidak diketahui
12 Fasilitas pemadam
kebakaran
13 Fasilitas pengaman debu 14 Jaringan drainase dan
pengolahan air buangan
15 Perkantoran
16 nstalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi
17 Jaringan jalan
c.
Standar Terminal Khusus (TK) CPO.Standar sistem penanganan CPO ditunjukkan oleh diagram berikut ini.
Gambar 2.19 Standar sistem penanganan di terminal khusus CPO.
Temperatur penanganan CPO yang direkomendasikan selama transportasi perlu dijaga antara 32°C hingga 40°C, sementara untuk proses loading/unloading, dibutuhkan temperatur lebih tinggi antara 50°C hingga 55°C sementara suhu penyimpanan berkisar dari 37°C hingga 45°C.
Saat dibutuhkan pemanasan, perubahan maksimum temperatur selama 24 jam tidak boleh melampaui 5°C. Minyak tidak boleh dipanaskan dan didinginkan berulang-ulang karena akan menyebabkan penurunan kualitasnya. Berat jenisnya bervariasi antara 0.8 dan 0.95, tergantung pada jenis minyak dan juga temperaturnya.
Terminal khusus di Indonesia terdiri dari berbagai macam usaha. Standar terminal khusus meliputi segi keselamatan pelayaran untuk pemilihan lokasi, pembangunan dan operasi yang sudah diatur dalam peraturan Menteri nomor 51 tahun 2011.
d.
Standar Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara dan CPO.Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Terminal untuk Kepentingan sendiri hampir sama dengan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Terminal Khusus yang
merupakan hasil adopsi dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2011 ‘Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri’ serta untuk Batubara dan CPO merupakan hasil adopsi dari Standardisasi Terminal Curah yang dikeluarkan oleh UNCTAD.
Namun dari rancangan tersebut ada bagian-bagian fasilitas yang dihilangkan, hal ini karena TUKS berada pada DLKr maupun DLKp Pelabuhan Umum yang sebagian fasilitas telah disediakan oleh Pelabuhan umum. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain Alur pelayaran, tempat labuh kapal dan sarana bantu navigasi pelayaran.
e.
Standar Fasilitas Penampungan dan Pengelolaan Limbah Kapal di Pelabuhan Utama.Pengadaan fasilitas pengelolaan limbah di pelabuhan merupakan bagian dari pelaksanaan Konvensi Internasional tahun 1973 tentang pencegahan pencemaran dari kapal yang kemudian dimodifikasi oleh Protokol 1978 (selanjutnya disebut MARPOL 73/78). Protokol ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tanggal 9 September 1986. Dan untuk mendukung program Ecoport Kementerian Perhubungan maka pelabuhan-pelabuhan di wilayah Indonesia perlu adanya fasilitas penampungan dan pengelolaan limbah kapal. Selama ini fasilitas tersebut tidak berfungsi dengan baik sehingga aktivitas pengelolaan limbah dikelola oleh berbagai pihak dari luar pelabuhan. Hal-hal seperti ini perlu ditertibkan agar sistem kendali mutu pengelolaan limbah dapat diatur dengan baik sehingga nantinya limbah tersebut tidak membawa dampak negatif ke lingkungan pelabuhan. Kriteria pelabuhan yang harus dilengkapi fasilitas Reception
facility adalah:
1. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga dimana minyak mentah dimuat ke dalam tanker minyak yang mana tanker tersebut mempunyai prioritas untuk segera melakukan ballast tidak lebih dari 72 jam atau lego jangkar pada perairan pelabuhan (DLKR dan atau DLKP) atau yang menempuh perjalanan minimal 1200 mil laut.
2. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga di mana minyak selain minyak mentah curah dimuat pada tingkat rata-rata lebih dari 1000 metrik ton per hari.
3. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang mempunyai halaman untuk perbaikan kapal atau fasilitas tank cleaning dan atau jenis pengusahaan tank cleaning. 4. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang menangani kapal-kapal harus di lengkapi pula dengan tangki sludge sebagaimana dalam peraturan 17 Annex I MARPOL 73/78.
5. Semua pelabuhan yang berhubungan dengan air kotor berminyak dan jenis-jenis residu lainnya, yang tidak dapat dibuang sesuai ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Semua pelabuhan untuk pemuatan kargo curah dan yang berhubungan dengan residu minyak yang tidak dapat dibuang sesuai dengan ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pelabuhan, terminal dan dermaga perbaikan kapal yang melakukan kegiatan perbaikan dan pembersihan tangki kapal tanker pengangkut bahan kimia.
3. Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana