• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PERANAN JAKSA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI D

B. Tindak Pidana Korupsi

2. Subjek Delik Korupsi

Untuk perumusan delik secara umum, ada 2 (dua) pendapat tentang cara merumuskan, berdasarkan aliran monoistis dan aliran dualistis yakni:

Aliran monoistis adalah golongan yang mengajarkan tentang penggabungan antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana sebagai syarat adanya pidana merupakan keseluruhan dari sifat dan perbuatan atau dengan kata lain perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana tidak dipisahkan. Beberapa sarjana hukum yang termasuk penganut paham monoistis ini adalah:89

1. D. Simon, menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana adalah:

a. Perbuatan manusia;

b. Diancam dengan pidana;

c. Melawan hukum;

d. Dilakukan dengan kesalahan; dan

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

Dalam hal ini pengertian pidana adalah perbuatan manusia yang dilakukan secara melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, diancam dengan pidana dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

2. Van Hamel, mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan manusia yang

dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana.

3. J. Baumann, menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi

rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

4. Karni, mendefinisikan tindak pidana adalah delik itu mengandung perbuatan

yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah dosa, oleh orang

89

EY. Kanter., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 165-168.

yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan tersebut patut dipertanggungjawabkan.

Aliran dualistis adalah ajaran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Sehubungan dengan demikian itu, maka:90

1. Moeljatno, mendefiniskan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut harus ada unsur- unsur:

a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang; dan

c. Bersifat melawan hukum.

2. W.P.J. Pompe, mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan yang bersifat

melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

Berbagai pandangan di atas mudah dimengerti bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia, bersifat melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Menurut ajaran dualistis ini, agar seseorang dapat dipertanggugjawabkan atas segala perbuatannya itu, maka:91

1. Harus melakukan tindak pidana;

2. Ada kemampuan bertanggung jawab;

3. Ada kesalahan;

4. Tidak ada alasan penghapusan pidana, atau alasan pemaaf.

Dengan demikian bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang disebutkan di atas tersebut, maka terhadap seseorang itu harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu tanpa membeda-bedakan antara perbuatan dnegan pertanggungjawaban pidananya.

90

Moeljatno., Asas-asas Hukum Pidana, (Bandung: Bina Aksara, 1987), hal. 153.

91

Barda Nawawi Arief., Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 99.

Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal peratnggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka orang tersebut harus dipidana. Tetapi manakala tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, pelakunya tentu tidak dipidana. Hal tersebut sesuai dengan asas yang mengatakan, “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya pembuat.92

Jadi, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, seseorang itu dapat dicela, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan

petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.93

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-

92

Roeslan Saleh., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian

Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 75.

93

Syafrinaldi., ”Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Hukum Islam, Vol. VI No. 4. Desember 2006, hal. 5.

undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari malasah apakah dalam melakukan perbuatan ini pelaku mempunyai kesalahan.94

Pertanggungjawaban yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawabkan kepada si pembuatnya artinya bahwa celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila orang tersebut memiliki kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:95

1. Melakukan perbuatan pidana;

2. Mampu bertanggung jawab;

3. Dengan sengaja atau alpa; 4. Tidak ada alasan pemaaf;

94

Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 6.

95

Kemudian bertanggung jawab menurut banyak penulis, ada dua faktor menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab yaitu, Pertama, faktor akal, dan

Kedua, faktor kehendak. Faktor kehendak bukanlah merupakan faktor dalam

menentukan mampu atau tidaknya orang tersebut bertanggung jawab. Sehingga dengan kehendak bisa saja dilakukan oleh orang yang tidak punya akal sehat. Oleh sebab itu maka faktor kehendak dengan kesengajaan ini tidak termasuk ke dalam unsur-unsur dari perbuatan pidana maka sebaiknya tidak dimasukkan dalam rumusan delik-delik.

Di dalam UUPTPK disebutkan bahwa yang menjadi subek tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

a. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. b. Pegawai Negeri yang meliputi:

1) Pegawai Negeri sebagaimana di dalam Undang-Undang Tentang

Kepegawaian.

2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

6) Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.