TESIS
Oleh:
SITILISA EVRIATY Br TARIGAN 087005090/Hk
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS FUNGSI KEJAKSAAN DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BUMN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
SITILISA EVRIATY Br TARIGAN 087005090/Hk
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(HALAMAN PENGESAHAN)
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS FUNGSI KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BUMN
Nama Mahasiswa : SITILISA EVRIATY Br TARIGAN Nomor Pokok : 087005090
Program Studi : Ilmu Hukum
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua
Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah diuji pada
Tanggal, 03 September 2010
PANITIA PENGUJI
Ketua
: Prof. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan sampai pada lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupdi Di Lingkungan BUMN”. Selain tugas dan wewenang sebagai penuntut umum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga memberi wewenang kepada Kejaksaan sebagai penyelidik atas tindak pidana tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN? Kedua, Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di lingkungan BUMN? Ketiga, Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?
Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh bahwa peranan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Kejaksaan yakni dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, maka lembaga Kejaksaan berwenang sebagai penuntut umum sekaligus sebagai penyelidik. Proses penanganannya dapat ditempuh melalui kerja sama dengan pihak lain yang terkait sesuai dengan amanah Pasal 30 UU Kejaksaan. Dalam proses penanganannya, banyak hambatan yang dipengaruhi oleh faktor yuridis, faktor budaya hukum, dan faktor masyarakat.
Saran dalam penelitian ini perlu ditingkatkan koordinasi antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyelidik, perlu pula sumber daya aparatur penegak hukum di bidang informasi dan teknologi mengingat pelaku tindak pidana korupsi saat ini sudah mempergunakan alat-alat teknologi canggih, guna mempermudah penegak hukum dalam hal pembuktian alat-alat bukti.
ABSTRACT
The development of corruption criminal act keeps increasing years by years that it gets into the environment of State-Owned Enterprise. This study entitled “Juridical Analysis of the Function of Attorney Office in Handling Corruption Criminal Act in the State-Owned Enterprise Environment”. Besides providing the duty and authority as public prosecutor, Law No 16/2004 on Attorney Office also provide public prosecutor with authority as an investigator for a certain criminal act. What is meant by the certain criminal act is corruption criminal act.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision.
The purpose of this study was to look at, first, the role of public prosecutor in handling the corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment; second, how public prosecutor implement the process of corruption criminal act investigation in the State-Owned Enterprise Environment; and third, what constraints faced by public prosecutor in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment.
The result of this study showed that the role of public prosecutors in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment was done according to their authority as regulated in Article 30 paragraph 1 (d) of the law on public prosecution related to the handling of corruption criminal act, therefore, public prosecutor are public prosecutors as well as investigator. The handling process can be done through the cooperation with related parties which is in accordance with the regulation stated in Article 30 of law on public prosecution. In the handling process existed many constraints which are influenced by juridical, legal culture, and community factors.
It is suggested that coordination between law upholders and coordination between the law upholders and related institution needs to be improved, the authority of public prosecutor as an investigator needs to be socialized to the community members. To facilitate them to prove the evidence, the knowledge and skill of the law upholders on the sectors of information and technology also need to be improved since, nowadays, the actors of corruption criminal act are using the sophisticated technology.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat
menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Unsur Itikad Baik Dalam
Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam
yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 18 Agustus 2010.
Sehubungan dengan itu, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas,
penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH, M.Hum;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH,
sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan
motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau tidak
pernah lelah dan bosan memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat
yang luar biasa sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang
sangat memuaskan;
4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah
banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain itu juga
telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis selama
penelitian berlangsung;
5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga
telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai
6. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, kepada Bapak Raja
Bongsu Hutagalung, SE, M.Sc, Bapak Drs. Syafrin, MA, dan kawan-kawan yang
telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;
7. Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan yang
berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga
pada saat dilakukan penelitian ini;
8. Yang terhormat, Papa H. Sati Lubis, dan Mama Hj. Chairani Nasution, setiap
waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdo,a agar penulis dapat
mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya; kepada kedua Mertua Bapak Ir. H.
Budi Harjanto, MT, Ibu Hj. Anniek Soedarni, selalu memberikan semangat dan
mendukung untuk menyelesaikan studi ini;
9. Istriku yang tercinta Hj. Lila Nattaya Narirat N, dengan pengorbanan dan
pengertiannya selalu hadir di sanubariku mendampingi dalam keadaan apapun
tidak pernah menunjukkan keluh kesahnya walau kadang-kadang ditinggal demi
untuk menyelesaikan studi ini;
10.Anak kon hi do hamoraon di au, si nuan tunasku, itulah anak-anakku, si buah
hatiku, penawar lelah dan penyejuk gerahku: Pelangi Loemanggo Nur’azizah
Lubis, Ahmad Gading Sati Alfadjri Lubis, Lazuardi Ghorga Alfaaris Lubis, dan
Lembayung Ghando Nur Azzahra Lubis, demi merekalah penulis semakin
bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Dengan melihat
Amangnya yang tidak pernah malas-malas belajar dan terus belajar, hendaknya
menjadi dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan termotivasi untuk
maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan bertaqwa kepada Allah SWT;
11.Abangku H. Sutan Mulia Lubis, dan adik-adikku: H. Indra Lubis, MBA, Hj.
Rosnita Lubis, S.Sos, Jingga Natthasa Narita N, serta saudara-saudara family dan
handai toulan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi
manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu
Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan
mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan
hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima”
khususnya hukum Perseroan.
Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya.
Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa
yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.
Medan, 18 Agustus 2010 Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : CHANDRA LUBIS
Tempat/Tanggal Lahir : Tamiang/30 Mei 1969.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kapt. Pattimura No. 455 Medan
Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Negeri 4 Kotanopan (Lulus Tahun
1982);
- Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kotanopan
(Lulus Tahun 1985);
- Sekolah Menengah Atas Negeri IV Medan (Lulus
Tahun 1988);
- S-1 Fakultas Pertanian USU Jurusan Budi Daya
Pertanian Program Studi Perkebunan (Lulus Tahun
1995);
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
E. Keaslian Penelitian... 14
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 15
1. Kerangka Teori... 15
2. Landasan Konsepsional... 28
G. Metode Penelitian ... 32
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 32
2. Sumber Data... 33
3. Teknik Pengumpulan Data... 33
4. Analisis Data ... 34
BAB II : PERANAN JAKSA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ... 35
A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ... 35
B. Tindak Pidana Korupsi... 44
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 44
2. Subjek Delik Korupsi... 49
C. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara Di
Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 58
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ... 58
2. Keuangan Negara ... 65
3. Kerugian Keuangan Negara ... 70
4. Beberapa Hal Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara ... 72
D. Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada BUMN... 74
E. Peranan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 79
BAB III : PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ... 90
A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara ... 90
B. Proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Di PT. Bank Mandiri... 96
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH JAKSA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA... 124
A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Sebagai Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara ... 124
B. Solusi Untuk Mengatasi Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 138
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 142
A. Kesimpulan ... 142
B. Saran... 143
ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan sampai pada lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupdi Di Lingkungan BUMN”. Selain tugas dan wewenang sebagai penuntut umum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga memberi wewenang kepada Kejaksaan sebagai penyelidik atas tindak pidana tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN? Kedua, Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di lingkungan BUMN? Ketiga, Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?
Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh bahwa peranan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Kejaksaan yakni dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, maka lembaga Kejaksaan berwenang sebagai penuntut umum sekaligus sebagai penyelidik. Proses penanganannya dapat ditempuh melalui kerja sama dengan pihak lain yang terkait sesuai dengan amanah Pasal 30 UU Kejaksaan. Dalam proses penanganannya, banyak hambatan yang dipengaruhi oleh faktor yuridis, faktor budaya hukum, dan faktor masyarakat.
Saran dalam penelitian ini perlu ditingkatkan koordinasi antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyelidik, perlu pula sumber daya aparatur penegak hukum di bidang informasi dan teknologi mengingat pelaku tindak pidana korupsi saat ini sudah mempergunakan alat-alat teknologi canggih, guna mempermudah penegak hukum dalam hal pembuktian alat-alat bukti.
ABSTRACT
The development of corruption criminal act keeps increasing years by years that it gets into the environment of State-Owned Enterprise. This study entitled “Juridical Analysis of the Function of Attorney Office in Handling Corruption Criminal Act in the State-Owned Enterprise Environment”. Besides providing the duty and authority as public prosecutor, Law No 16/2004 on Attorney Office also provide public prosecutor with authority as an investigator for a certain criminal act. What is meant by the certain criminal act is corruption criminal act.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision.
The purpose of this study was to look at, first, the role of public prosecutor in handling the corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment; second, how public prosecutor implement the process of corruption criminal act investigation in the State-Owned Enterprise Environment; and third, what constraints faced by public prosecutor in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment.
The result of this study showed that the role of public prosecutors in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment was done according to their authority as regulated in Article 30 paragraph 1 (d) of the law on public prosecution related to the handling of corruption criminal act, therefore, public prosecutor are public prosecutors as well as investigator. The handling process can be done through the cooperation with related parties which is in accordance with the regulation stated in Article 30 of law on public prosecution. In the handling process existed many constraints which are influenced by juridical, legal culture, and community factors.
It is suggested that coordination between law upholders and coordination between the law upholders and related institution needs to be improved, the authority of public prosecutor as an investigator needs to be socialized to the community members. To facilitate them to prove the evidence, the knowledge and skill of the law upholders on the sectors of information and technology also need to be improved since, nowadays, the actors of corruption criminal act are using the sophisticated technology.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Korupsi merupakan tindak pidana yang memiliki dimensi amat luas,
perbuatan korupsi merupakan salah satu penyebab kehancuran strata sosial
masyarakat dan hajat hidup orang banyak serta merupakan pelanggaran hak asasi
terhadap jutaan rakyat Indonesia. Korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya,
semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun
kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak semakin terpola dan sistematis, lingkupnya pun
telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara,
korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.1
Kenyataan pada praktiknya, penjatuhan hukuman yang sangat ringan
dibanding dengan ancaman pidananya, menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya
kejahatan adalah disebabkan karena para Hakim memberikan hukuman ringan atas
pelaku koruptor, sementara yang seyogianya tindakan yang diambil pengadilan
adalah merupakan ultimum remedium terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya
korupsi.
1
Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku
maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah
nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup
seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat
menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.2
Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat
pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran
keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya
krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus
menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat,
berbangsa dan bernegara.3
Orde Baru diharapkan akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya justru berkembangnya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam bentuk ruang dan lingkup yang semakin
luas yang mengakibatkan kondisi negara dan bangsa Indonesia jatuh dalam krisis
ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, yang pada akhirnya dengan dipelopori
oleh demonstrasi mahasiswa yang murni dan bersifat kolektif, Orde Baru terpaksa
mundur dari kekuasaan dan diganti oleh Orde Reformasi.
Pada orde reformasi, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi mendapat
perhatian dan tanggapan yang serius dan positif dari berbagai kalangan terutama dari
2
Abyadi Siregar., ”Fenomena Korupsi di Indonesia”, Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009, hal. 7.
3
kalangan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
kalangan-kalangan lainnya, walaupun dalam kenyataannya upaya penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi belum mencapai hasil yang maksimal karena tidak didukung
oleh kebijakan pemerintah yang transparan dan konsisten dalam rangka
pemberantasan korupsi itu sendiri.4
Jumlah dan ragam negara yang menderita skandal korupsi dalam tahun
belakangan ini telah menutupi kenyataan bahwa korupsi itu berbeda bentuk, luas serta
akibat yang ditimbulkannya. Di negara miskin, korupsi mungkin menurunkan
pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti
keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan
ketidakstabilan politik. Di negara maju korupsi mungkin tidak terlalu berpengaruh
terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan
politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di
negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di
negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Rusia dan juga Indonesia,
apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi
dan sebuah ekonomi pasar.5
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia mulai mendapat
perhatian yang serius pasca bergulirnya Pemerintahan Soeharto yaitu dengan
keluarnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
4
Ibid.
5
Bersih dan Bebas Korupsi dan Nepotisme. Dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998, menyebutkan: 6
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan memperhatikan prinsip-prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.
Dengan keluarnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, selanjutnya
ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Dalam salah satu diktum undang-undang tersebut disebutkan bahwa:7 “Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme antar penyelenggaraan negara yang melainkan juga antara penyelenggara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya”.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi juga dapat dilihat dalam TAP
MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004, tepatnya dalam Bab IV mengenai arah kebijakan dikemukakan juga mengenai
upaya penegakan hukum dan proses penyelesaian kasus-kasus korupsi melalui
pengadilan sebagaimana disebutkan dalam arah kebijakan di bidang hukum yang
menyebutkan bahwa, “Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah,
6
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 4.
7
murah dan terbuka serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi
asas keadilan dan kebenaran”.8
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan salah
satu tindak pidana korupsi juga terjadi di dalam Badan Usaha Milik Negara. Badan
Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam
perekoniman nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan mempunyai peranan
penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.9
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa alasan untuk
mengadakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di antaranya adalah untuk
menyeimbangkan atau menggantikan swasta yang lemah. Maksudnya adalah untuk
menghasilkan rasio investasi, alih teknologi, meningkatkan sektor kesejahteraan, dan
memproduksi barang-barang dengan harta terjangkau. Akan tetapi masih banyak
Badan Usaha Milik Negara yang secara ekonomi tidak berjalan efisien. Kondisi
seperti ini menyebabkan besar kemungkinannya bahwa Badan Usaha Milik Negara
akan menjadi penyebab persoalan besarnya beban yang ditanggung langsung oleh
negara dalam upaya mempertahankan pengelolaannya.10 Oleh sebab itu, untuk
mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara, pengurusan dan pengawasannya
8
TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV Arah Kebijakan Bidang Hukum Nomor 8.
9
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), LN RI Tahun 2003 Nomor 70, Konsideran butir a dan b.
10
Bismar Nasution., “Privatisasi Menjual atau Menyehatkan”, Jurnal Hukum Program
harus dilakukan secara profesional demikian bunyai konsideran Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003.11
Fenomena akhir-akhir ini dapat dilihat dari munculnya berbagai kasus dan
peristiwa terkait dengan BUMN khususnya mengenai pengurusan dan pengelolaan
BUMN oleh Direksi yang diduga banyak melakukan penyimpangan. Salah satu
contoh kasus yaitu kasus korupsi yang menimpa Direktur Utama Bank Mandiri dkk
yang diajukan ke peradilan tindak pidana korupsi dalam kasus kredit macet,
walaupun akirnya divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Fenomena yang terjadi bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik
Polri atau Kejaksaan selalu merujuk pada job deskription dan tata kerja organisasi
yang dibuat oleh internal perusahaan dalam menentukan status seseorang manajemen
atau pekerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi tersangka atau tidak.
Job deskription dan Tata Kerja Organisasi (TKO) seakan-akan merupakan kaidah
hukum normatif yang mengikat secara umum dan bersifat memaksa. Jika direksi atau
manejemen atau pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan
pelanggaran undang-undang, Anggaran Dasar, pekerja tidak melakukan pekerjaan
sesuai job deskription semestinya harus dilihat terlebih dahulu dari sisi peraturan
perundang-undangan tersebut kemudian menyimpulkan bahwa perbuatan dimaksud
sebagai suatu perbuatan yang melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi atau tidak. Prosedur pemeriksaan ini memenuhi syarat sesuai
11
peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku khusus terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perkembangan tindak pidana korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana,
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi merupakan
pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi
telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara
yang luar biasa. Selanjutnya terbukti bahwa ada keterkaitan antara korupsi dan bentuk
kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang,
penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan kejahatan ekonomi (tindak pidana
pencucian uang). Sehingga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat
merugikan negara.
Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan
negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan
stabilitas politik suatu negara. Saat ini korupsi sudah bersifat transnasional.
Contohnya adalah apa yang dinamakan foreign bribery, yaitu penyuapan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional kepada pejabat-pejabat negara berkembang.12
Korupsi juga dapat diindikasikan menimbulkan bahaya terhadap keamanan
umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan
12
sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lainnya.
Dalam penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun
transnasional, korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar
kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum negara. Kasus-kasus
tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya terkait dengan wewenang
atau kekuasaannya yang dimiliki. Biasanya dilakukan lebih dari satu orang dan
terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut kejahatan kerah putih.
Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap.
Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku
diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan,
rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi
dimensional merupakan ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari
kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan
nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang
tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat
khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan
diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dan berbagai ketentuan terkait
yang bersifat repressif.13
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia,
dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum
tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang
dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang
masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 14 Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana.
Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut
mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan
ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama
mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para
nara pidana.15
13
Pada orde lama korupsi masih terjadi meski sejak tahun 1957 telah ada aturan yang cukup jelas yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor 06 Tahun 1957, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. Berganti ke orde baru, keadaan semakin buruk meskipun sudah dilakukan perubahan pada perangkat hukum tindak pidana korupsi. Lalu dibuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sangat keras tetapi seolah tidak berdaya menghambat tindak pidana korupsi. Hingga pada orde reformasi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang juga telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hampir tidak membawa perubahan apa-apa. Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
14
L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York, Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11.
15
Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan
juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan
tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain
penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu
digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi.16
Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik
mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan
Perundang-Undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan
tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya
karena pelaku tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada
pelaku tindak pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang
berpendidikan tinggi dan punya jabatan.
Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal
melaporkannya. Diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksudnya adalah dalam hal
terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui telah terjadi korupsi tetapi
tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang mengetahui tapi tidak merasa tahu,
ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi tidak berani, ada yang
berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada
16
pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi tidak mau untuk melapor pada yang
berwajib.17
Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dalam
penangananya diperlukan suatu kerja sama dengan pihak lain, untuk dapat
diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai penyidik merangkap sebagai
penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi. Maka untuk menyelesaikan
kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama dengan fihak lain yang terkait. Kerja
sama dengan pihak lain ini disebut dengan hubungan hukum, karena dalam
melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau hukum yang sifatnya pasti. Hubungan
hukum dengan pihak lain itu dapat berupa perseorangan, badan hukum dan instansi
pemerintahan. Hubungan hukum dengan perseorangan misalnya dengan seseorang
saksi, seorang tersangka, seorang penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan
hukum misalnya dengan Bank dimana tersangka melakukan tindakan korupsi.
Sedangkan hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama
penegak hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun
Instansi lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain.
Untuk melaksanakan tugas pemberantasan korupsi maka Kejaksaan tidak bisa
bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama
dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana korupsi
adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua penegak
17
hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk berhasilnya
penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi kelemahan
dalam pemberantasan tindak pidana.
MA. Rachman, menyatakan bahwa:18
“Jajaran Kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi secara represif di seluruh Indonesia selama ini telah berusaha secara maksimal untuk menegakkan hukum dengan menuntut para pelaku tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Dari data kuantitatif penanganan kasus-kasus korupsi selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, sejak tahun 1999 s/d 2009 jumlah perkara korupsi yang dilimpahkan ke Pengadilan pada tahun 2008 mencapai angka tertinggi, yaitu 539 perkara, dan sampai awal April 2009 mencapai 574 perkara. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku korupsi sampai saat ini masih terus berlangsung dan terus diintensifkan sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan dari berbagai kalangan baik melalui forum politik (MPR/DPR/DPRD) forum akademis di berbagai perguruan tinggi maupun dari kalangan pemerhati hukum dan LSM”.
Sehubungan dengan pemaparan di atas, dalam melakukan penelitian ini
diasumsikan bahwa:
1. Mengenai kewenangan penyidik tindak pidana korupsi di dalamUndang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 dapat terjadi perebutan kewenangan antara kepolisian dan
kejaksaan seperti did alam UU Nomor 3 Tahun 1971 yang menyebut secara tegas
bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan.
2. Di lingkungan BUMN kerap ditemukan berbagai persoalan dan pelanggaran
khususnya dalam tindak pidana korupsi yang antara lain dilatar belakangi oleh
penyalahgunaan kewenanganyang mengakibatkan kerugian bagi perseroan.
18
3. Dalam upaya untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Kejaksaan maka upaya yang ditempuh oleh Kejaksaan sebagai tim penyidik
maupun tim Penuntut Umum tindak pidana korupsi lebih ditingkatkan dengan
cara sering diadakan pelatihan dan pendidikan di bidang tindak pidana khusus.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan
penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan dalam Tindak Pidana
Korupsi di Bank Mandiri”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
diteliti dibatasi sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di
lingkungan BUMN?
2. Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di
lingkungan BUMN?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan
tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan memahami peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana
2. Untuk mengkaji dan memahami proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh
Kejaksaan di lingkungan BUMN.
3. Untuk mengkaji dan memahami hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa
dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan atau data informasi di
bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika
masyarakat dan perkembangan hukum mengenai penanganan tindak pidana
korupsi serta seluruh proses mekanismenya. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan
dalam hukum tentang tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Secara Praktis penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat), sehingga
aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam praktek penanganan
tindak pidana korupsi di Indonesia mempunyai persepsi yang sama.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Yuridis Fungsi Kejaksaan dalam Tindak Pidana Korupsi di Bank Mandiri” belum
pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun
ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korupsi di lingkungan Bank tapi
jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan
yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta
saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan
masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan
belaka (machtsstaat).19 Franz Magnis Suseno,20 mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum
menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan
adil.
Norma di atas bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, hukum merupakan urat nadi aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi
strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
19
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
20
Hukum, sebagai suatu sistem,21 dapat berperan dengan baik dan benar di tengah
masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu
adalah Kepolisian sebagai penyidik.
Secara yuridis, penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan
pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari
serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya
tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak
pidana.22
Dalam bahasa Belanda penyidikan sama dengan apsporing, namun menyidik
(apsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk
itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
21
L.M. Friedman., dalam H. Ridwan Syahrani., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169. Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya. sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Atau sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
22
mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran
hukum.23
Sedangkan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan, terdiri dari
pejabat seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 butir (1), kemudian dipertegas dan
dirincikan lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Akan tetapi di samping apa yang diatur dalam
Pasal 1 butir 1, Pasal 6, juga terdapat pada Pasal 10 yang mengatur tentang adanya
penyidik pembantu di samping penyidik. Sedangkan untuk tindak pidana korupsi
yang termasuk tindak pidana khusus (lex specialis) maka selain penyidik Polri yang
diatur dalam KUHAP, ditambah dengan jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Untuk mengetahui siapa yang berhak menjadi penyidik ditinjau dari instansi
maupun kepangkatan yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP, antara lain:24 1. Pejabat Penyidik Polri.
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, salah satu instansi yang
diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Agar seorang
pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat
kepangkatan, hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2), namun KUHAP sendiri belum
mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6 tersebut. Syarat kepangkatan
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP), untuk itu Pasal 6 telah
23
Andi Hamzah., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.
24
memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan, pejabat penyidik
disesuaikan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri.
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang ditetapkan padal tanggal 1
Agustus 1983, syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam BAB II, antara lain:
a. Pejabat penyidik penuh
Pejabat polisi yang bisa diangkat sebagai pejabat penyidik penuh harus
memenuhi sayarat-syarat kepangkatan sebagai berikut:
1) Sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi;
2) Berpangkat Bintara di bawah pembantu Letnan dua apabila dalam suatu
sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu
Letnan Dua; dan
3) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
b. Pejabat penyidik pembantu
Syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu yang
diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 antara lain:
1) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
2) Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a); dan
3) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan
atau pimpinan kesatuan masing-masing.
“Penyidik Pegawai Negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu PNS yang diberi fungsi dan wewenang sebagai penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang bagi penyidik Pegawai Negeri Sipil disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya dan dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.25
Sedangkan untuk penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
diangkat dan diberhentikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
yang dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tndak Pidana Korupsi (KPK).
Bentuk-bentuk hubungan koordinasi fungsional dalam penyidikan yang sudah
diatur dalam KUHAP adalah:26
1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan.
2. Perpanjangan penahanan.
3. Pemberitahuan penghentian penyidikan.
4. Penyerahan berkas perkara.
Sedangkan untuk koordinasi instansional, antara lain:27
1. Rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan
2. Penataran gabungan , dan lain-lain.
25
M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Op. cit, hal. 115. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kepolisian sebagai penyidik pembantu menurut Yahya Harahap haruslah mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu. Tanpa syaraat tersebut tidak ada alasan untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu.
26
Ibid.
27
Proses peradilan pidana adalah merupakan rangkaian kegiatan yang secara
organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem
peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka ia merupakan suatu yang utuh yang
terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim) dan
lembaga pemasyarakatan. Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan
bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan
instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan.
Pada Pasal 1 butir 8 KUHAP telah menggariskan pembagian tugas dan
wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum, polisi berkedudukan
sebagai instansi penyidik dan kejaksaan berkedudukan sebagai aparat penuntut
umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan, sedang hakim adalah pejabat
peradilan yang diberi wewenang untuk mengadili.
Akan tetapi sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara
instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi
penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan bukan hanya
untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk
terbinanya suatu sistem aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung
jawab saling mengawasi dalam “sistem ceking” antara sesama mereka. Malahan
sistem ini bukan hanya meliputi antar instansi pejabat penegak hukum polisi, jasa
atau hakim saja tetapi sampai pejabat lembaga pemasyarakatan, penasihat hukum dan
Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
pelaksanaan penegakan hukum maka KUHAP mengatur suatu sistem pengawasan
berbentuk sistem “ceking” yang merupakan koordinasi fungsional dan instansional.
Hal ini berarti masing-masing instansi sama berdiri sejajar dan setaraf, antar instansi
yang satu dengan instansi yang lain tidak berada di atas atau di bawah instansi
lainnya. Yang ada ialah koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar
instansi. Masing-masing instasni saling menepati ketentuan wewenang dan tanggung
jawab demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum.
Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata
dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi
mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan
jukum. Konsekuensinya instansi yang bersangkutan yang akan memikul tanggung
jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan.
Pada hakikatnya peranan koordinasi merupakan upaya pengaturan
pembentukan kesatuan persepsi. Upaya koordinasi sesama aparat penegak hukum
dilaksanakan dengan semboyan “saling asah, asih, dan asuh”. Wadah koordinasi para
aparat penegak hukum antara lain di pusat ada MAKEHJAPOL (Mahkamah Agung,
Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian). Di daerah RAKORGAKKUM (Rapat
Koordinasi Penegak Hukum) namun tampaknya belum memberikan manfaat yang
berarti karena koordinasi dimaksud belum efektif.28
28
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia,
dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum
tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang
dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang
masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur
aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana.
Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing sub sistem tersebut mempunyai
peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam
tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para
nara pidana. Bekerjanya masing-masing sub sistem tersebut harus sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Salah satu sub sistem penegak
hukum dari peradilan pidana adalah lembaga Kejaksaan.29
Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum
yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya
penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu, keberadaan lembaga Kejaksaan
salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan
peranannya yang strategis di dalam suatu negara hukum karena lembaga Kejaksaan
menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan,
29
sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban
tugas penegakan hukum.30
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
(UU Kejaksaan) ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
serta wewenang lain berdasarkan UU Kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam penuntutan
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.31
Lahirnya beberapa peraturan di luar KUH Pidana berupa hukum positif,32
adalah konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat di dalam lapangan hukum
pidana, namun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terpadu dan dijadikan
30
Ibid., hal. 2.
31
Evi Hartanti., Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32.
32
Lili Rasjidi., dan Ira Thania Rasjidi., Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 55. Jhon Austin dengan aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a
command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu
landasan di atas mana dibangun tertib hukum.33 Inilah yang lazim dikategorikan
sebagai teori sistem untuk menghindari adanya pandangan pragmatis terhadap
undang-undang dan memandang dalam konteks holistik yang futuristik. Teori sistem
ini lebih menekankan prinsip dari hukum itu sendiri yakni asas hukum.34 Apabila asas hukum tersebut dikaitkan dalam bidang hukum maka dapat diperoleh suatu
makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pemikiran yang melandasi
pembentukan hukum positif (law making).35 Dengan perkataan lain asas hukum
merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit
seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif.36 Pembentukan hukum
dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung
peraturan hukum tersebut.37
33
Mariam Darus Badrulzaman., Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 15. Lihat juga Mahadi., Falsafah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 119. Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.
34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 1016. Istilah asas merupakan terjemahan bahasa latin “principium”, bahasa Inggris, ”Principle” dan bahasa Belanda ”beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.
35
Proses Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) baik pada RPJP maupun RPJM maka pembentukan undang-undang didasarkan pada beberapa prinsip-prinsip yang mendasar. Lihat juga, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
36
Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 32. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum positif dalam suatu masyarakat.
37
Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu memuat cita-cita, harapan (das
sollen) dan bukan aturan yang akan diberlakukan secara langsung kepada subjek
hukum. Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang konkrit yang dapat
dipergunakan terhadap peristiwa konkrit dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas.
Hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yng konkrit seperti peraturan yang
sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan. Dalam
peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum
yang merupakan cita-cita darin pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses
analitis (kontruksi yuridis) yaitu dengan menyaring sifat-sifat khusus yang melekat
pada aturan-aturan yang konkrit, untuk memperoleh sifat-sifatnya yang abstrak.38 Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia
menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang
spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat
kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang
yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada
mereka tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah
menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian,
38
Mariam Darus Badrulzaman., Suatu Pemikiran Mengenai Beberapa Asas Hukum yang
Perlu Diiperhatikan dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Kertas Kerja dalam Simposium
professional oblesse, menolong orang yang susah semakin luntur. Tipe bantuan
hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.39
Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan
yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula
terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa
hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang
telah ditetapkan oleh otoritas negara yang di dalamnya terdapat kecenderungan untuk
memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan
dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas
negara yang di dalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara
kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas
yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John
Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk
membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan
untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan
sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk
yang didasarkan pada ketetapan kekuasan yang tertinggi.40
Bismar Nasution melihat bahwa untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah
hukum yang terdapat di dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang
39
Satjipto Raharjo., “Negara Hukum dan Deregulasi Moral”, Kompas, Jakarta, 13 Agustus, 1997, hal. 7.
40
rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah
hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang kharismatik yang disebut sebagai law
prophet. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara
profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukm, cara
demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules
atau penafsiran legalistik.41 Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai
peraturan-peraturan tertulis, keputusan pengadilan maupun
keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan.42 Pemikiran tentang sistem hukum
rasional yang dikemukakan oleh Bismar Nasution ini pada dasarnya dielaborasi dari
pemikiran Max Weber yang terkenal dengan teori Ideal Typenya. Dalam hukum ada
empat tipe ideal, yaitu: yang irrasional formal, irrasional materiel, rasional formal
(dalam masyarakat modern dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum) dan
rasional materiel.43
Pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
disebut sebagai penegakan hukum. Dalam Bahasa Indonesia penegakan hukum
dikenal juga dengan istilah penerapan hukum dan dalam bahasa asing juga dikenal
41
Bismar Nasution., “Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8.
42
Soerjono Soekanto., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 3.
43
berbagai peristilahan seperti tentang rechstoepassing, rechtshandhaving (Belanda),
law enforcement, application (Amerika).44
Jadi, penegakan hukum itu merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan
untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat
bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan
dalam penegakan hukum.
2. Landasan Konsepsional
Guna menghindarkan perbedaan penafsiran mengenai pengertian dan
istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, definisi operasional dari istilah-istilah-istilah-istilah
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang.45
2) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.46
44
Satjipto Rahardjo., Op. cit., hal. 181.
45
UU Kejaksaan., Pasa1 ayat (1).
46
3) Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.47
4) Penyidikan adalah adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.48
5) Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.49
6) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.50
7) Keuangan negara adalah keuangan negara yang dikaitkan dengan tanggungjawab
pemerintah tentang pelaksanaan anggaran.51
8) Korupsi adalah tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dilakukan oleh seorang atau
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)., Pasal 1 angka (1).
50
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas., Pasal 1 angka 1.
51
Arifin P. Soeria Atmadja., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan
beberapa orang dalam lingkup jabatan pemerintah yakni Pegawai Negeri Sipil
adalah meliputi:52
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
9) Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).53
52
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemeberatasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) Pasal 1 ayat (2). Lihat juga, Mochtar Kusumaatmadja., Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina Cipta Bandung, 1995), hal. 9.
53
10)Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.54
11)Kerugian keuangan negara adalah harta atau kekayaan negara yang terancam
haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai
dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta
termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).55
12)Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah tindakan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan
atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.56
54
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara., Pasal 1 Ayat (1).
55
Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 165.
56
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.57 Sedangkan penelitian
merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
secara sistematis, metodologis dan konsisten.58 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan cara menganalisisnya.59 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya
ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode
tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode
pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,60 yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.61 Sebagai suatu
penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini juga dilakukan dengan menganalisis
hukum baik tertulis di dalam buku (law as it writeen in the book) maupun hukum
57
Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
58
Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan
Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
59
Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
60
Bambang Sunggono., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 36.
61