• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NO

C. Subjek Hukum Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Subjek hukum pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu :

1. Setiap orang

Tindak pidana yang menjerat subjek hukum setiap orang terdapat pada pasal 111-127, 129,131-133 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Orang tua atau wali dari pecandu Narkotika

Tindak pidana yang menjerat subjek hukum orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yaitu diatur pada pasal 128Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Korporasi

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumKorporasiyaitu diatur pada pasal 130 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

4. Pecandu Narkotika

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPecandu Narkotika yaitu diatur dalam pasal 134 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumkeluarga dari pecandu Narkotika yaitu diatur dalam pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

6. Pengurus Industri Farmasi

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPengurus Industri Farmasi yaitu terdapat pada pasal 135 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

7. Nahkoda atau Kapten penerbang

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumNahkoda atau Kapten penerbang yaitu terdapat pada pasal 139 Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tindak pidana yang berkaitan dengan pengangkutan narkotika yaitu tindak pidana dilakukan oleh nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 27 yang berbunyi sebagai berikut :

“(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan padakesempatan pertama dalam kemasan khusus atau ditempat yang aman di dalam kapal dengan disegel olehnakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.

(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotikayang diangkut.

(3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajibmelaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnyakepada kepala kantor pabean setempat.

(4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalamkesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikanoleh pejabat bea dan cukai.

(5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpadokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau SuratPersetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat beritaacara, melakukan tindakan pengamanan, dan padapersinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan danmenyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yangberwenang.”

Dan Pasal 28 yang berbunyi:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pulabagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.”

Mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh nahkoda atau kapten penerbang ini diatur dalam pasal 139 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

8. Penyidik pegawai negeri sipil

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPenyidik pegawai negeri sipil yaitu diatur dalam pasal 140 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dipidana karena tidak melaksanakan ketentuan sepertiyang diatur pada pasal 88 dan 89.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

9. Penyidik Kepolisoan Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPenyidik Kepolisoan Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN yaitu diatur dalam pasal 140 ayat (2) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

10.Kepala Kejaksaan Negeri

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumKepala Kejaksaan Negeri yaitu diatur dalam pasal 141 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

11.Petugas Laboratorium

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPetugas Laboratoriumyaitu diatur dalam pasal 142 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

12.Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milikpemerintah, dan apotek

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milikpemerintah, dan apotek yaitu diatur dalam pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

13.Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPimpinan lembaga ilmu pengetahuan yaitu diatur dalam pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPimpinan lembaga ilmu pengetahuan yaitu diatur dalam pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

15.Pimpinan pedagang besar farmasi

Tindak pidana yang menjerat subjek hukumPimpinan lembaga ilmu pengetahuan yaitu diatur dalam pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Mengenai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat perbedaan dari undang-undang yang sebelumya yaitu Undang Nomor 22 Tahun 1997 yaitu8 :

1. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika

Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan.

Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat- tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal.

Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah .Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri.

3. Kewenangan BNN dan Penyelidikan

UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat.

Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.

Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik. Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.

4. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika

Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi.

5. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam

upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.

Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

6. Ketentuan Pidana

UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut:

a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

b. Penggunaan sistem pidana minimal.

Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

c. Kriminalisasi bagi orangtua dan masyarakat UU No. 35 Tahun 2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.

UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.

Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil.

d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

Dokumen terkait