• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. HASIL PENELITIAN

2. SUBJEK II

a. Latar Belakang 1) Subjek

Subjek memiliki latar belakang pendidikan SMA. Subjek sempat memperoleh pendidikan di Perguruan Tinggi tetapi terpaksa berhenti karena diperkosa dan hamil. Subjek berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan memiliki jabatan penting di masyarakat. Subjek sendiri memiliki jabatan di Pemerintahan. Kedua orang tua subjek cukup mampu membiayai pendidikan anak–anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga adik subjek mendapatkan pendidikan sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Subjek sempat hendak melanjutkan pendidikannya ketika hamil, hanya dilarang oleh suaminya.

Dalam menjalin hubungan dengan relasi sosialnya, subjek cukup pandai bergaul. Subjek memiliki keakraban dengan tetangga dan teman–temannya di kantor dengan cukup baik. Hal tersebut membantu subjek untuk dapat bertahan menghadapi penganiayaan dari suaminya karena sikapnya yang terbuka, sehingga ia merasa tidak sendirian.

Pola pikir Ibu Br tidak terlalu rumit, seperti pola pikir setiap wanita kebanyakan. Subjek sering memilih untuk membantah apabila itu tidak berkenan dengan dirinya

meskipun ia menyadari bahwa mungkin orang lain akan marah. Hal tersebut berlangsung terus menerus sampai ia memiliki anak–anak dan bahkan cucu. Pola pikir yang demikian ini sering membuat orang yang ada di sekitarnya merasa bahwa ia adalah orang yang sulit dimengerti.

Proses pengelolaan emosi subjek cukup baik, hanya dalam kondisi tertentu ia merasa perlu mengungkapkan perasaannya, maka dia akan mengatakan apa saja yang dia rasakan. Dalam kesehariannya, apabila subjek ingin marah maka hal yang dilakukan oleh subjek adalah jalan – jalan keluar dan menyenangkan dirinya sendiri, seperti berbelanja atau makan makanan yang dia sukai.

Kedua orang tua subjek dalam mendidik dan membesarkan subjek cukup ketat baik dalam menjaga martabat, kehormatan, ataupun nama baik keluarga. Kedua orang tua subjek menjunjung tinggi nilai – nilai budaya, salah satunya budaya patriarkhi. Pernikahan subjek dengan suaminya juga dikarenakan menjaga nama baik keluarga karena keluarga subyek tidak ingin menanggung malu karena ada anaknya yang diperkosa.

2) Suami

Suami subjek memiliki latar belakang pendidikan yang sedikit berbeda dengan subjek. Suami subjek tidak begitu

berminat untuk melanjutkan pendidikannya meskipun kedua orang tuanya mampu menyekolahkan suami subjek tersebut. Suami subjek menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan ujian persamaan. Saat ini suami subjek telah pensiun dari pekerjaannya. Orang tua suami memiliki usaha sendiri. Suami subjek memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah dibandingkan subjek. Hal tersebut yang menjadi salah satu perbedaan dalam menjalani pernikahan.

Dalam menjalani relasi dengan lingkungan sosialnya, suami subjek lebih senang bergaul dengan orang yang berlainan jenis. Suami subjek cukup familiar di antara wanita yang ada di kantor dan lingkungannya. Hal ini didukung oleh penampilan suami subjek yang cukup menarik. Hal tersebut yang seringkali dibanggakan oleh suami subjek. Dalam bergaul dengan masyarakat, suami subjek seringkali ingin mendapatkan apa yang diinginkannya dan ingin selalu menang sendiri. Hal yang demikian dibawa hingga ke pernikahan dan membina rumah tangga.

Suami subjek memiliki wawasan yang sempit, sehingga dalam memandang sebuah masalah cenderung dari sudut pandang yang juga sempit. Suami subjek cenderung memikirkan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Pada saat suami subjek masih remaja, cenderung menyelesaikan

masalah dengan cara yang praktis dan memiliki keinginan yang berbeda–beda.

Emosi yang dimiliki suami subjek cenderung tidak stabil dan sering berubah – ubah. Perubahan emosi suami subjek sangat cepat, bahkan anggota keluarganya tidak ada yang menduga dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah berubah emosinya. Suami subjek sendiri jarang mengemukakan perasaannya dan lebih senang memendam sendiri apa yang dirasakannya. Namun, bentuk perilaku yang dimunculkan tampak seperti tidak ada masalah.

Kedua orang tua suami subjek bercerai sejak suami subjek masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas I. Suami subjek memilih untuk tinggal bersama dengan ayah dan neneknya yang selalu mengikuti semua keinginannya. Sedangkan saudara–saudaranya tinggal bersama dengan ibunya. Hal tersebut membuat suami subjek merasa setiap orang harus memperlakukan dia dengan cara yang sama. Suami subjek tumbuh tanpa kasih sayang ibunya, dan ayahnya adalah orang yang sibuk bekerja. Keadaan seperti itu membuat suami subjek lebih senang bermain dengan teman–temannya daripada tinggal di rumah.

b. Faktor – Faktor Pendukung Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1) Fakta Sebelum Pernikahan

Subjek dan calon suaminya semula hanyalah teman biasa. Sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, subjek sudah memiliki seorang tunangan. Pada saat subjek masih berstatus sebagai tunangan orang lain, calon suami subjek yang sekarang menjadi suaminya memperkosa subjek sampai mengalami pendarahan. Calon suami subjek dan keluarganya ingin mempermalukan subjek dan keluarganya dengan cara memperkosa subjek.

Pernikahan subjek sekarang dengan suaminya tidak didasari rasa cinta. Orang tua dan nenek subjek yang memaksa subjek untuk menikah demi menutupi aib keluarga. Pada saat hari pernikahan, calon suami subjek sebenarnya ingin mempermalukan subjek lagi dengan cara pergi dan tidak jadi menikah, akan tetapi rencana tersebut gagal.

2) Faktor Lain

Subjek dan calon suami memiliki status sosial ekonomi yang berbeda, dan subjek memiliki status yang lebih tinggi. Pada saat menikah, calon suami subjek belum memiliki pekerjaan dan berlangsung samapai 11 tahun kemudian, sementara subjek sendiri memiliki penghasilan yang cukup.

Hal tersebut menyebabkan harga diri calon suami menjadi rendah.

Subjek dan calon suami subjek juga memiliki pendidikan yang juga berbeda, dimana calon suami subjek hanya selesai pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang kemudian mengikuti ujian persamaan sehingga menjadi Sekolah Menengah Atas (SMA). Subjek sendiri sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi sampai 2 semester, akan tetapi berhenti karena hamil.

Calon suami subjek adalah orang yang mau menang sendiri dan subjek adalah seorang yang kritis pola pikirnya, sehingga keduanya jarang bisa berdamai. Kedua orang tua suami subjek mendidik suami subjek dengan cara selalu mengikuti semua keinginan suami subjek. Nenek suami sangat memanjakannya dan selalu berharap agar cucunya jangan sampai hidup susah baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan berumah tangga.

c. Analisis Hasil Penelitian 1) Problem Focused Coping

a) Active Coping

Subjek menggunakan Active Coping untuk menghadapi kekerasan fisik, ekonomi, psikologis, dan seksual. Coping ini paling sering dilakukan oleh subjek saat

menghadapi kekerasan psikologis. Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh suami subjek berupa perselingkuhan subjek baik dengan adiknya, maupun dengan teman kantor suami subjek. Subjek menggunakan coping ini untuk memisahkan hubungan suaminya dengan wanita lain. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini:

“Ketika aku cari dan dapatkan bukti, dia lantas mulai mengurangi hubungan- hubungan.” (S2. W1. 308 – 309)

Subjek mencoba mencari bukti – bukti yang menyatakan suami subjek berselingkuh dan akhirnya suami subjek menghindar dari wanita lain.

Perilaku coping ini juga digunakan untuk menghadapi kekerasan ekonomi dimana suami tidak pernah memberi nafkah dan tidak mau membantu kesulitan ekonomi subjek. hal tersebut seperti tertera pada kutipan berikut ini:

“Aku yang bekerja dan aku itu puya layanan jasa boga dan catering, trus punya terima pesanan makanan – makanan, masakan – masakan, ya nyambi untuk menambah penghasilan.” (S2. W2. 5 – 10)

Subjek bekerja dan mencari dana tambahan agar kebutuhan seluruh keluarga dapat tercukupi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh teman subjek yang

menyatakan bahwa subjek jarang beristirahat untuk mendapatkan uang tambahan.

b) Planning

Coping ini digunakan subjek saat menghadapi kekerasan psikologis dan ekonomi. Subjek menggunakan coping ini untuk menghadapi perselingkuhan antara suami subjek dengan adiknya. Subjek menyusun rencana dan meminta bantuan temannya untuk bisa merealisasikan rencananya. Hal tersebut seperti yang terdapat pada kutipan berikut ini:

“Saya minta dia untuk menjemput saya. Rumah saya di depan pasar, saya meminta teman saya untuk menjemput saya di pasar agar tetangga tahu kalau saya berselingkuh dan dengan begitu berita itu terus “ubur” di kampung (S2. W1. 243 – 248) saya pura – pura belanja di shopping centre, disana ada tetangga saya yang biasa berbelanja.” (S1. W1. 253 – 255)

Subjek melakukan apa yang sudah direncanakan dan berhasil mengalihkan perhatian suaminya dari adiknya. Coping yang dilakukan oleh subjek ini berhasil pada awalnya, akan tetapi menimbulkan kekerasan berikutnya karena subjek dituduh selingkuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan teman subjek yang menyatakan bahwa perselingkuhan subjek dengan teman subjek adalah suatu hal yang nyata dan bukan rekayasa.

c) Assertive Confrontation

Perilaku coping ini berkaitan erat dengan Coping Planning yang dilakukan oleh subjek untuk menghadapi kekerasan psikologis yang dialami subjek. Coping ini dilakukan oleh subjek untuk menghadapi kekerasan seksual, ekonomi, fisik, dan psikologis. Subjek mengalami pelecehan seksual dan psikologis, dimana subjek selalu dihina oleh suaminya. Hal tersebut berkaitan dengan rencana perselingkuhan subjek. Suami subjek beranggapan bahwa subyek benar–benar berselingkuh dan akhirnya subjek dianggap sebagai wanita nakal. Pada kenyataannya, subjek melakukan itu agar suaminya berpisah dari adiknya. Hal tersebut seperti tertera pada kutipan berikut ini:

“Dulu saya sempat bilang “nek aku niate ngelonthe wong lanang podho tak keruki bondone tor aku saiki ora bakalan koyo ngene (kalau aku ingin berselingkuh dan jadi wanita nakal, aku sudah menngambil harta semua laki – laki itu, dan sekarang aku tidak akan jadi begini).” Dia itu, saya berharap dengan ngomong begitu saya berharap dia bisa sadar dan tahu kalau saya itu bukan lonthe(wanita nakal) seperti yang dia bilang, kalau dibilang gitu itu khan ya nyerikke (buat sakit hati) tho. (S2. W2. 286 – 292). Saya bertengkar setiap hari untuk jelaskan pada suami saya…aku ngene iki gen kowe pisah karo adiku (ku begini ini, biar kamu itu berpisah dari adikku)..eh dia justru katakan begini “ra iso aku karo adimu kuwi wis 12 tahun, tresnaku wis nandes (gak bisa, aku dan adikmu itu sudah pacaran 12 tahun, cintaku sudah cinta mati), ya kalau dia

bilang seperti itu buat saya sakit hati sekali ya saya jawab wong kowe karo aku wae ora tau ngenehi blonjo, kok arep ngujo adiku.” (S2. W2. 539 – 545)

Subjek mencoba memberi penjelasan mengenai sikap yang telah diambil kepada suaminya. Pada akhirnya suami subjek tetap tidak bisa menerima perilaku subjek tersebut dan kekerasan fisik serta seksual semakin sering terjadi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh teman subjek yang menyatakan bahwa subjek sering datang ke rumahnya dalam kondisi memar – memar karena habis bertengkar dengan suaminya dan sering tidak bisa jalan karena alat kelaminnya disundut rokok.

2) Emotion Focused Coping a) Acceptance

Perilaku coping ini dilakukan oleh subjek saat menghadapi kekerasan fisik dan psikologis. Subjek sempat dihajar dan hendak dibuat cacat oleh suaminya kemudian diceraikan. Subjek menerima perlakuan suaminya tersebut hingga masuk rumah sakit. Hal ini berdasarkan pada kutipan berikut ini:

“Saya hanya memilih untuk diam, ya pasrah saja waktu saya dipukul – pukul itu saya tahu sendiri maunya apa sampai saya masuk Sardjito.” (S2. W1. 332 – 335)

Pada pernyataan di atas jelas dikemukakan bahwa subjek hanya memilih untuk diam dan menerima perlakuan suami begitu saja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan teman subjek yang menyatakan bahwa subjek pernah masuk rumah sakit dalam kondisi wajah yang rusak. Teman subjek sempat menjenguk subjek di rumah sakit, dan saat itu suami subjek tidak mengijinkan subjek untuk menginap di rumah sakit.

b) Escape – Avoidance

Perilaku Escape Avidance dilakukan subjek saat subjek merasa bahwa dia sudah tidak mampu lagi menahan rasa sakitnya. Subjek akan menghindari suami atau perasaan sakit hatinya dengan pergi keluar rumah hanya untuk sekedar berjalan–jalan dan mencari suasana yang lain. Hal ini dituturkan dalam kutipan berikut:

“Saya kalau keluar ketemu temen-temen itu saya merasa agak mendingan. (S2.W2.141-142), ke tetangga itu, nanti ngomong2 ke tetangga jadi kalau ga dolan, makan sama anak-anak, kalau pas gitu itu saya diam, tapi khan di sini (dalam hati) ga bisa diam. Lha nanti kalau punya uang ya saya keluar jajan, beli makanan yang saya sukai sama cucu-cucu, sama menantu aku ajak keluar kalau engga saya main ke rumah anakku yang sudah punya anak jadi cucu saya yang lain gitu biar perasaannya kalau boso Jowo (bahasa Jawa) itu lerem (tenang) hatinya ya karena saya terlalu mengalah terus” (S2.W2.146-156)

Subjek akan melakukan hal tersebut dengan tujuan agar dapat mengalihkan pikirannya sehingga tidak akan menambah sakit hatinya. Pada saat subjek pergi keluar, subjek hanya sesekali menceritakan tentang perilaku suaminya. Pernyataan ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh teman subjek yang menyatakan bahwa subjek sering mengajak dirinya keluar rumah tanpa suatu tujuan atau alasan. Pada saat subjek pergi keluar rumah hampir tidak pernah membicarakan perihal perilaku suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek pergi keluar untuk menghindarkan diri dari pikiran maupun kekerasan dari suaminya.

c) Wishful – Thinking

Perilaku coping ini dilakukan oleh subjek pada saat subjek menghadapi kekerasan ekonomi, fisik, dan psikologis. Suami subjek seringkali mempermalukan subjek, mengancam membunuh dan menceraikan subjek serta tidak mau berbagi keuangan dengan subjek. Subjek memiliki harapan bahwa suatu hari suaminya akan berubah. Harapan subjek ini tertera pada kutipan berikut :

”saya dulu menunggu barangkali kalau sudah agak dewasa dia bisa berubah tapi ga tahunya sampai tua juga masih gitu (S2.W1.112-114) tadinya nunggu mungkin karena dia kurang dewasa, mungkin umur 30

tahun ke atas bisa berubah gitu ya.” (S2.W2.81-83)

Harapan subjek yang demikian membuat subjek mampu bertahan menghadapi perilaku suaminya. Subjek dan suaminya menikah pada usia yang masih terbilang muda. Hal tersebut yang menjadi alasan subjek untuk menunggu dan berharap mungkin saja suaminya bisa berubah. Subjek berpikir apabila suaminya sudah tua maka akan lebih mengerti bagaimana memperlakukan seorang istri. Teman subjek juga menyatakan hal yang sama, subjek seringkali menyatakan bahwa suaminya masih kecil jadi masih terbuka kemungkinan untuk berubah.

d) Controlling Feeling

Suami subjek sering menganggap subjek sebagai orang lain. Suami subjek seringkali memberi uang pada subjek, tetapi dianggap sebagai hutang. Hal tersebut tertera pada kutipan:

“rasanya kesal sekali karena dengan istri sendiri kok seperti itu saya itu dianggap seperti orang lain” (S2.W2.232-234)

Suami subjek tidak pernah melupakan akan pemberiannya pada istrinya. Suami subjek akan meminta kembali apa yang sudah diberikan, karena itu dianggap sebagai pinjaman. Subjek hanya bisa mengikuti kemauan suami dan mengelola perasaannya sendiri. Teman subjek

juga menyatakan hal yang sama bahwa suami dari temannya itu tidak mau memberi uang dan kalau memberi seringkali dianggap sebagai hutang.

3) Seeking Social Support a) Help and Guidance

Subjek meminta bantuan dari orang lain apabila merasa tidak mampu lagi menghadapi suaminya. Rencana yang dibuat oleh subjek untuk menghadapi perselingkuhan suami subjek dengan adiknya membuat subjek mendapat kekerasan yang lebih lanjut bahkan subjek hampir dibunuh. Pada saat menghadapi kondisi yang demikian membuat subjek memutuskan untuk meminta bantuan kepada pihak-pihak berwenang dan lebih berpengalaman. Seperti pada kutipan beikut:

“saya pernah ke lembaga psikiater seperti Rifka Annisa dan dosen UGM, saya sudah lupa namanya bahkan sampai psikiater di Nlgtn dan sampai ke Drs.Hryt, saya sering mengeluh ke Pastor. Pastor saya mengarahkan supaya dicoba untuk diajak ke gereja atau diberi tahu apa gitu.”(S2.W1.188-195)

Subjek berharap dengan bantuan yang diberikan oleh orang-orang yang berpengalaman dapat membantu menghentikan atau meminimalkan kekerasan dari pihak suami. Hal yang serupa dikemukakan oleh teman subjek yang menemani subjek menemui pastor untuk mendapat

arahan. Teman subjek mengemukakan agar suaminya atau dirinya bisa mendapat arahan mengenai apa yang harus dilakukan saat menghadapi kekerasan dari suaminya.

b) Tangible Aid

Dalam menghadapi kesulitan ekonomi, subjek seringkali meminjam uang kepada tetangga. Hal tersebut dikarenakan suami subjek tidak pernah memberi uang pada subjek. Hal tersebut seperti pada kutipan:

“saya biasanya pinjam ke tetangga besok kalau dapat uang dari kantor baru saya kembalikan.”(S2.W2.520-522)

Hal tersebut akan dilakukan oleh subjek bila mengalami kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ataupun membayar kebutuhan mendadak dan dalam jumlah yang besar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh teman subjek dimana subjek seringkali meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar karena adanya tagihan-tagihan yang mendadak.

Dokumen terkait