• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2.2. Subsistem Konservasi

Sistem penanaman menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan usahatani. Setiap petani menerapkan sistem penananam yang berbeda tergantung selera petani itu sendiri dan jenis tanaman yang diusahakan. Berdasarkan pengamatan di lapang dan wawancara dengan responden, sekitar 63,6% petani menerapkan sistem tumpang gilir dan tumpangsari.

Sistem penanaman sangat berkaitan erat dengan pengelolaan tanaman dalam upaya pengendalian erosi. Arsyad (2006) menyatakan bahwa selain erosivitas, erodibilitas, kemiringan lahan, dan pengelolaan lahan, faktor pengelolaan tanaman antara lain jenis tanaman dan sistem penanaman merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi tanah oleh air.

Pengaturan sistem penanaman dalam sistem usahatani konservasi pada prinsipnya adalah mengatur tanaman yang diusahakan agar bernilai ekonomi tinggi dan dapat menjaga permukaan lahan selalu tertutupi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi laju erosi sehingga dapat menjaga kesinambungan usahatani. Abas et al. (2003) menyatakan bahwa selain memilih komoditas tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, yang perlu diperhatikan adalah sistem penanaman dan pola tanam karena mempengaruhi kemampuan penutupan tajuk (cover crop) dalam mengintersep butiran hujan.

Sebagian besar petani belum menguasai teknik pengendalian hama dan penyakit. Hasil wawancara dengan beberapa responden menunjukkan hama yang selama ini sering menyerang pertanaman sayuran adalah ulat daun terutama pada tanaman kubis, sedangkan gangguan penyakit yang sering menyerang tanaman terutama pada famili solanaceae seperti cabai dan tomat adalah penyakit busuk daun yang disebabkan oleh P.infestans.

Akibat gangguan hama/penyakit bisa menurunkan produktivitas sayuran hingga 40% bahkan bisa gagal panen, sehingga untuk mengatasinya petani melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida (insektisida, fungisida,

atau bakterisida) yang diaplikasikan/disemprotkan setiap minggu sejak tanam. Tingginya intensitas penyemprotan mengakibatkan jumlah dosis pestisida yang digunakan menjadi berlebihan. Cara pengendalian seperti ini selain boros biaya juga akan menimbulkan dampak kurang baik terhadap lingkungan, baik di hulu maupun hilir sub DAS Cikapundung seperti polusi air bahkan terhadap manusia yang mengkonsumsi sayuran tersebut.

B. Pengelolaan Lahan

Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik (BO) merupakan suatu keharusan dalam usahatani sayuran di hulu sub DAS Cikapundung, karena tanpa pemberian BO produktivitas tanaman yang diusahakan rendah. Takaran BO yang digunakan sudah tergolong sangat tinggi, yaitu sekitar 20-30 t/ha. BO yang digunakan sebagian besar berasal dari kotoran ternak baik ayam maupun sapi. Teknik pemberiannya dilakukan dengan cara di larik pada bagian tengah guludan atau diberikan pada setiap lubang tanaman seperti ditunjukkan pada Gambar 16. Jika menggunakan mulsa plastik, BO dihamparkan di atas bedengan sehingga jumlah BO yang diperlukan bisa mencapai 40 t/ha.

Selain pupuk organik, petani sudah biasa menggunakan pupuk anorganik, seperti Urea, SP36, Ponska, KNO3, KCl, dan NPK, namun takaran/dosis pupuk

yang digunakan belum sesuai anjuran. Rata-rata petani memupuk dengan takaran kurang dari anjuran karena harga pupuk mahal, namun sekitar 10% terutama

petani yang bermodal memberikan pupuk melebihi anjuran. Takaran pupuk berlebih karena selain diberi pupuk dasar pada saat tanam yang sudah sesuai dengan takaran anjuran, selama pertumbuhan diberikan lagi pupuk susulan sebanyak minimal 6 kali dalam satu musim tanam dengan takaran 10 kg NPK/aplikasi.

Hasil wawancara dan pengamatan lapang menunjukkan, hanya sekitar 15% petani sayuran di hulu sub DAS Cikapundung yang mengelola lahannya mengikuti kaidah konservasi. Sekitar 85% lainnya mengelola lahan dengan sistem bedengan dan arahnya mengikuti lereng, seperti ditunjukkan pada Gambar 17.

Pengelolaan lahan yang mengikuti kaidah konservasi antara lain; membuat teras, penanaman rumput atau tanaman hijauan di bibir teras, dan penggunaan mulsa. Teknologi pembuatan teras sudah lama dikenal oleh petani, paling tidak setelah mereka berusahatani sayuran secara intensif. Petani juga sudah mengetahui dampak yang akan ditimbulkan jika lahannya tidak diteras atau jika tidak menerapkan teknik konservasi lainnya, yaitu meningkatnya laju erosi yang dapat menurunkan produktivitas lahan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya penerapan teknik konservasi tanah kurang berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhinya dan yang paling utama adalah biaya untuk pembuatan teras mahal dan petani beranggapan bahwa pembuatan teras mengurangi luas lahan garapan dan hasilnya tidak segera dapat dirasakan (tidak langsung meningkatkan pendapatan).

Petani lebih memilih pengelolaan lahan dilakukan dengan sistem bedengan searah lereng. Alasan petani menerapkan sistem tersebut antara lain: luas lahan garapan tidak berkurang, biaya pembuatan teras bisa dialihkan untuk membeli sarana produksi (seperti pupuk dan pestisida), dan mengurangi resapan air pada saat musim hujan agar tanah tidak terlalu lembab terutama jika tanaman yang diusahakan kentang. Pada kondisi lembab kentang mudah terserang penyakit busuk daun. Sebagaimana dikemukakan Suhardi (1983), pada tanah dengan kelembaban 95% tanaman kentang mudah terserang penyakit busuk daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans.

Kondisi ini menunjukkan kurangnya pengertian petani dan penyuluhan, sehingga petani kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Dengan demikian, peningkatan peran penyuluh dan pelayanan kelembagaan informasi teknologi dalam menyediakan inovasi teknologi usahatani konservasi menjadi sangat penting dan perlu ditingkatkan. Selain itu, perlu dukungan lembaga keuangan yang dapat memfasilitasi kebutuhan modal usahatani dengan cara yang mudah dan terjangkau sesuai dengan kemampuan petani.

Petani di Hulu sub DAS Cikapundung beranggapan bahwa sistem pengolahan tanah yang dilakukan sudah benar, seperti yang telah dilakukan petani di Dieng Jawa Tengah. Pada tahun pertama hasil tanaman terutama kentang sesuai dengan harapan, namun tahun berikutnya mengalami penurunan. Petani di Dieng juga saat ini sudah merasakan adanya penurunan produktivitas lahan, sehingga penggunaan pupuk (anorganik dan organik) sudah melampaui takaran dosis anjuran (Kurnia, 1999). Dalam sistem konservasi yang perlu diperhatikan bahwa kelestarian lahan atau produktivitas tanah harus dipertahankan.

Dokumen terkait