• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Indonesia Dalam Proses Penyelesaian Sengketa

Dalam dokumen SKRIPSI PERAN ORGANISASI (Halaman 70-86)

BAB IV PEMBAHASAN

B. Peran Indonesia Dalam Proses Penyelesaian Sengketa

Meningkatnya eskalasi konflik perebutan dan klaim wilayah perairan di Laut Cina Selatan, khususnya di kepulauan Spartly dalam beberapa tahun terakhir ini telah menimbulkan Global Attention. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini melahirkan suasana yang tidak kondusif di kawasan ASEAN sehingga dibutuhkan solusi cerdas oleh semua negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan sengketa tersebut, termasuk

Indonesia. Sebagai salah satu negara yang memiliki kepedulian yang tinggi dalam hal menjaga keamanan dan perdamaian dunia pada umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara khususnya. Sebagai negara terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan india, Indonesia sejauh ini telah berusaha melakukan upaya-upaya yang dapat dijadikan solusi untuk menyelesaikan masalah sengketa Laut Cina Selatan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Laut Cina Selatan memiliki arti yang strategis bagi bangsa Indonesia. Walaupun Indonesia bukan negara yang ikut menuntut klaim atas kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan, namun posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN membuat tindakan yang diambil oleh Indonesia menjadi penting bagi kelanjutan konflik Laut Cina Selatan. Menurut Makarim, ada 4 alasan yang menjadikan wilayah Laut Cina Selatan penting bagi Indonesia, yaitu:53

1. Perairan Laut Cina Selatan merupakan soko guru bagi aktivitas ekspor impor indonesia.

2. Konflik dan instabilitas di Laut Cina Selatan akan berdampak pada perdagangan dan ekonomi kawasan.

3. Kawasan tersebut juga merupakan jalur masuk ke Indonesia dari Utara

4. Kawasan Utara merupakan alur yang disepakati Indonesia sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Indonesia dapat berperan efektif dalam mendudukkan para negara pengklaim untuk mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak.

53 Shafira Yasmin, diakses dari https//fisip.unair.ac.id/berita/read/198/konflik-laut-cina-selatan-bagaimana-posisi-indonesia?., pada Pukul 19:19. 24 Maret 2018

Hal ini penting untuk dlakukan karena stabilitas Kawasan Asia Tenggara berikut Laut Cina Selatan merupakan modal utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi bukan hanya bagi negara-negara anggota ASEAN, namun juga bagi mitra ASEAN seperti Jepang, Korea, dan Cina mengingat Laut Cina Selatan merupakan jalur laut utama bagi lalu lintas perdagangan Asia Timur. Langkah-langkah progresif yang dilakukan Indonesia terkait sengketa tersebut sejauh ini adalah melakukan diplomasi dengan negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut. Indonesia telah mengupayakan beberapa forum-forum formal maupun informal guna untuk menemukan solusi terkait sengketa ini.

Selain itu tidak terlepas komitmen Indonesia terhadap Regionalisme ASEAN yang juga memberi dorongan dalam rangka menciptakan stabilitas di kawasan. Bertitik tolak pada idealisme bangsa indonesia serta kenyataan-kenyataan yang berkembang di kawasan Laut Cina Selatan, makan kondisi yang ingin diwujudkan di Laut Cina Selatan mencakup:

1. Sebagai kawasan damai, bebas dari pertikaian bersenjata serta bebas dari potensi sengketa nuklir yang dapat membinasakan manusia dan kehidupannya

2. Sebagai kawasan yang stabil, dihuni oleh negara-negara merdeka dan berdaulat, serta saling menghormati yuridikasi dan kedaulatan masing-masing negara.

3. Sebagai jalur perhubungan laut yang aman dapat dimanfaatkan oleh negara-negara yang memerlukannya

dengan tetap menghormati hak dan kedaulatan negara-negara yang berada di kawasan tersebut sesuai dengan kesepakatan internasional

4. Sebagai sumber daya ekonomi, dapat dmanfaatkan oleh negara-negara yang terletak di daerah pesisirnya berdasarkan dengan pengaturan yang telah menjadi kesepakatan bersama secara tertib dan adil.54

Dalam upaya membantu dan mencegah berlarut-larutnya sengketa dan dalam rangka menjalankan “preventive diplomacy” , Indonesia sudah melaksanakan sepuluh kali Lokakarya (workshop) mengenai Laut Cina Selatan yang pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap peranan Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalah regional dan global.

Sampai sejauh ini, dari berbagai pertemuan dan dialog yang diprakarsai oleh indonesia secara tidak langsung nenpunyai implikasi positif terhadap prospek penyelesaian sengketa secara damai masalah Laut Cina Selatan. Ini dapat dilihat, masih pihak yang terlibat dalam sengketa sepakat menahan diri dan meneruskan dialog ke arah kerjasama yang dalingmenguntungkan, sekaligus diharapkan dapat menghilangkan sikap saling curiga dan menumbuhkan rasa saling percaya (CBM).

Karena itu, pengembangan kerjasama regional antarnegara yang sama-sama berbatasan di Laut Cina Selatan merupakan yang mendasar untuk mengatasi perselisihan karena sebenarnya yang utama bukanlah

54 Transformasi Potensi Konflik Menjadi Potensi Kerjasama di Laut Cina Selatan, Program Pilihan Kelompok Internasional, Yayasan Pusat Studi Asia Tenggara, hal. 38.

masalah wilayah kepemilikan masing-masing negara, tetapi bagaimana masalah pemanfaatan sumber daya alam di wilayah itu.

Salah satu langkah dalam menangani sengketa di Laut Cina Selatan adalah melaksanakan Lokakarya (workshop).55 Lolakarya tersebut berupaya mengalihkan potensi konflik menjadi potensi kerjasama sebagai alternatif mendorong terciptanya peaceful conflict resolution.

Perkembangan dari hasil-hasil lokakarya Laut Cina Selatan terlihat ketika pertama kali diadakan di Bali, 22-24 Januari 1990 yang hanya diikuti oleh peserta dari enam negara ASEAN dan para ahli dari Kanada sebagai narasumber. Lokakarya ini menyepakati bahwa bahwa untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan dan yurisdiksi kawasan di Laut Cina Selatan, haruslah menggunakan cara-cara damai. Cara-cara damai dalam menangani konflik-konflik ini mutlk diperlukan untuk membawa semua permasalahan yang ada ke dalam suasana iklim yang kondusif untuk melakukan upaya-upaya perundingan. Disepakati pula bahwa dialog dalam forum lokakarya tersebut perlu diperluas baik masalah/substansinya maupun negara yang dilibatkan dalam forum tersebut.56

Lokakarya Laut Cina Selatan kedua di Bandung, 15-18 Juli 1991, telah meletakkan pondasi untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi penyelesaian klaim yang tumpang tindih yaitu dengan menyepakati tidak digunakannya kekerasan dalam penyelesaian sengketa dan memberi

55 Workshop (Lokakarya) ini adalah bentuk media perantara (mediasi, konsoliasi, fasilitasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang biasanya menghadirkan perwakilan pihak-pihak terkait dalam suatu pertemuan yang bersifat triangular dalam struktur tertentu,

Christopher Mitchell and Michael Banks, Hand Book of Conflict Resolution, The Analyrical Problame Solving Approach, Pinter, New York, 1996, hal. 18

56 Litbang Deplu RI Report of the Workshop on Managing Potensial Conflict in the South Cina Sea, Bali 22-24 Januari 1990, hal. 22-24.

komitmen untuk meyelesaikan sengketa dengan cara-cara damai dan negosiasi.

Wilayah-wilayah yang terdapat klaim teritorial yang tumpang tindih, negara-negara yang terlibat harus mempertimbangkan kemungkinan diciptakannya kerjasama yang saling menguntungkan, termasuk kerjasama dalam pertukaran informasi dan pembangunan.57

Lokakarya ketiga 28 Juni – 2 Juli 1992 di Yogyakarta, berhasil meningkatkan kerjasama yang mengarah pada spesifikasi kerjasama di bidang maritim dengan berupaya mennggalkan masalah-masalah sengketa kedaulatan di kawasan. Langkah nyata dari Lokakarya ini adalah dengan disetujuinya topik-topik yang akan dilaksanakan dua kelompok kerja terdiri para ahli masing-masing negara peserta. Dua topik tersebut adalah pertama, Resources Assasment and Ways of Development dan kedua, Marine Scientific Research.58

Lokakarya keempat 23-25 Agustus 1993 di Surabaya mulai mengidentifikasi sejumlah wilayah potensi untuk kerjasama di berbagai bidang. Kelompok kerja yang dibentuk itu adalah: (1) Technical Working Group On Resources Assesment And Ways Og Development (TWG-RAWD) atau kelompok kerja Teknik mengatasi Assesment terhadap sumber-sumber kekayaan alam dan cara pengembangannya; (2) Technical Working Group On Marine Scientific Research (TWG-MSR) atau Kelompok Kerja Teknik mengenai Penelitian Ilmiah Kelautan.59

57 Litbang Deplu R.I., The Second Workshop on Managing Potensial Conflict in the South Cina Sea, Bandung 15-18 Juli 1991, hal. 73-75.

58 Litbang Deplu R.I., The Third Workshop on Managing Potensial Conflict in the South China Sea, Yogyakarta, 28 Juni-2 Juli 1991, hal. 83-84.

59 Litbang Deplu R.I., The Four Workshop on Managing Potensial Conflict in the South China Sea, Yogyakarta 23-25 Agustus 1993, hal. 73-78.

Lokakarya kelima 23 – 26 Oktober 1995 di Bukitinggi, Technical working group on marine scientific research (TWG-MSR) di Singapura 24 – 19 April 1994. Setiap peserta diminta mengajukan one marine expert yang akan menjadi anggota dari Group of Experts on Biodiversity yang telah dibentuk.60 Lokakarya sepakat melibatkan organisasi-organisasi internasional seperti WPFCC (Western Pasific Fisheries Consultative Commitee) dan PECC (Pasific Economic Cooperation Council) yang berhubungan dengan pengembangan kawasan Laut Cina Selatan.

Lokakarya keenam 10-13 Oktober 1995 di Balikpapan, membahas agenda Technical Working On Group On Safety And Navigation, Shipping And Communication (TWG-SNSC) dalam upaya menangani masalah-masalah pembajakan serta kerjasama dalam penegakan hukum di laut.

Pertemuan mencatat delapan prinsip code of conduct yang telah disetujui antara RRC dan Filipina.

Pada Lokakarya ketujuh 13 – 17 Desember 1996 di Batam, dibahas beberapa pertemuan TWG dan membahas hal-hal yang perlu ditindaklanjuti. Lokakarya ini sepakat menyelenggarakan pertemuan Group ofExpert on Education and Training of Mariners and Seafarers, serta penyelenggaraan Group Of Experts In Hydrography And Mapping.61 CBM dalam Lokakarya ini gencar dibicarakan karena mereka melihat bahwa CBM sangat esensial untuk meminimalkan ketegangan, menghindari konflik, memajukan kerjasama dan memfasilitasi atmosfir

60 Litbang Deplu R.I., The Fifth Workshop on Managing Potensial Conflict in the South China Sea, Bukitinggi 23-26 Oktober 1994, hal. 53-56.

61 Litbang Deplu R.I., The Seventh Workshop on Managing Potensial Conflict in the South China Sea, Batam Desember 1996, hal. 65-69.

yang kondusif bagi penyelesian sengketa secara damai diharapkan banyak melibatkan pemerintah dalam melakukan melakukan perundingan baik resmi atau tidak resmi dalam lingkup multirateral (regional) maaupun bilateral.

Lokakarya kedelapan 2 – 6 Desember 1997 di Pacet, Puncak mengalami banyak kemajuan diantaranya mencakup realisasi rencana pada lokakarya ketujuh sebelumnya. Peserta lokakarya ini menyeujui bahwa proses lokakarya kedelapan memfokuskan pada tahap implementasi dari program-program dan proyek-proyek yang telah disetujui untuk kerjasama.

Pada Lokakarya kesembilan 1-3 Desember 1998 di Ancol Jakarta, telah secara nyata mulai bekerjasama di bidang “Marine Scientific Research” dan di bidang “Marine Enviromental Protection” dengan berusaha untuk menginformasikan kepada “United Nation Enviromental Program” (UNEP). Diharapkan dengan keikutsertaan UNEP adalah untuk mengimplementasikan beberapa komponen dari proyek-proyek diversity yang akan dimuat dalam UNEP’s Strategic Action.62

Sedangkan hasil Lokakarya kesepuluh 5-8 Desember 1999 di Bogor, tidak jauh berbeda dengan perkembangan pada Lokakarya sebelumnya, hanya menindaklanjuti rencana-rencana yang telah diagendakan selama lokakarya dilaksanakan. Pada prinsipnya lokakarya ini tetap membicarakan sebagaimana mempromosikan CBM, mengembangkan dialog-dialog serta menunjukkan kerjasama yang

62 Statement of the Ninth Workshop on Managing Potensial Conflict in the South China Sea, Ancol, Jakarta, Desember 1998, hal. 1-3.

konkret di Laut Cina Selatan. Selain itu dengan dicetuskannya Declaration on the South China Sea pada tanggal 2 Juli 1992 di Manila secara tidak langsung mendesak negara-negara yang bersengketa untuk menahan diri dan mengusahakan pengem,angan bersama dan sementara mengesampingkan masalah kedulatan.

Deklarasi South China Sea secara resmi merupakan sikap ASEAN mengenai sengketa di kawasan Laut Cina Selatan khususnya kepulauan Spartly, dengan diadakannya lokakarya mengenai Laut Cina Selatan, negara-negara ASEAN memiliki peluang yag cukup besar untuk meningkatkan CBM dalam hal masalah sengketa teritorial.

Namun Meskipun telah diadakan beberapa upaya seperti perundingan-perundingan oleh ASEAN, pihak-pihak yang terlibat, bahkan indonesia yang juga telah berupaya untuk memprakarsai berbagai pertemuan guna memberikan solusi pada sengketa tersebut, namun diketahui sejak akhir tahun 2014 Cina kembali bereaksi dengan tidak mematuhi aturan-aturan yang telah disepakati, dengan melakukan reklamasi disekitar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Isu ini kembali memanas lagi setelah sebuah gambar milik citra satelit lembaga Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) mengungkap bahwa Cina telah membangun sebuah landasan udara di sebuah pulau buatan di perairan Laut Cina Selatan Selatan. Gambar satelit itu menunjukkan landasan pacu yang dibangun Cina di Laut Cina Selatan diprediksi memiliki panjang 3.110 meter.63

63 Diakses dari http://internasional.sindonews.com/read990727/40/terungkap-cina-bangun-andasan-pacu-dilaut-cina-selatan-1429270866, pada Pukul 21:27. 2 April 2018.

Hal ini kemudian menyebabkan kemarahan Filipina dan mengajukan gugatan keberatan atas klaim dan aktivitas Cina di Laut Cina Selatan kepada Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda. Filipina menuding Cina mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau buatan.

Pada bulan Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda mengeluarkan putusan yaitu menolak klaim kepemilikan Cina atas kawasan sengketa di wilayah Laut Cina Selatan. Mahkamah Internasional memutuskan bahwa klaim histori Cina tersebut tidak memiliki landasan hukum dan juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan Cina tidak memberi hak apapun kepada pemerintah Cina.

Mahkamah juga mengatakan bahwa Cina telah melakukan pelanggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa Cina telah menyebabkan kerusakan lingkungan di Laut Cina Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan.64

Putusan Mahkamah Arbitrase tersebut seolah memberikan titik cerah pada sengketa ini karena dianggap akan mengurangi ketegangan diantara para pihak yang terlibat. Namun Cina yang terlanjur mengkalim kepemilikan 90 persen wilayah perairan di Laut Cina Selatan, menyatakan tidak akan terpengaruh dan tidak akan mengakui putusan dari Mahkamah tersebut. Dan lewat pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan dengan membawa pertikaian ke Mahkamah Arbitrase, maka Manila menciptakan kemunduran besar hubungan kedua negara serta

64 Hakim di Pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)

merusak perdamaian dan stabilitas, Cina juga mengatakan bahwa Filipina telah melanggar kesepakatan bilateral antara Cina dan Filipina serta janji yang dibuat pada Deklarasi Tata Perilaku Pihak-pihak di Laut Cina Selatan .65

Sikap Cina yang tidak mau menerima putusan tersebut, dinilai akan menimbulkan pertikaian baru antara Cina dan Filipina. Hingga saat ini, ASEAN masih berupaya untuk melakukan pertemuan antara cina dan Filipina serta negara negara pengklaim lainnya untuk menemukan solusi dan membujuk Cina untuk tunduk pada putusan agar masalah sengketa kepemilikan di wilayah Laut Cina Selatan tidak lagi berlarut-larut agar tercipta keamanan dan perdamaian di kawasan tersebut.

65 BBC, Cina Tak Akan Terima Arbitrase Laut Cina Selatan, diakses dari

http://www.bbc.com.indonesia/dunia2016/06/160608-dunia-cina-filipina, pada Pukul 21:59. 21 April 2018.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan diatas, maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Peran Organisasi ASEAN dalam menyelesaikan sengketa dan mencegah timbulnya potensi konflik yang terjadi di wilayah perairan Laut Cina Selatan, terdapat 2 cara yaitu; (1) penyelesaian secara bilateral, (2) penyelesaian secara multirateral dimana semua negara yang terlibat melakukan perundingan bersama membicarakan penyelesaian masalah baik dalam lingkup internasional ataupun dalam forum regional.

Pendekatan yang digunakan oleh ASEAN dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah cooperative security , yang otomatis pencapaiannya bukan melalui instrument militer. Adapun upaya yang dilakukan ASEAN yaitu; menerapkan Code of Conduct dan Declaration on the Conduct (DOC) of Parties in the South China Sea pada tahun 2011. Kedua, negara anggota ASEAN mengoptimalkan peran ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Political Security Comunitiy dalam penyelesaian sengketa di wilyah tersebut. Dan ketiga, negara-negara ASEAN mengadakan pertemuan dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

2. Upaya-upaya lainnya dalam mencegah atau menghindari potensi konflik di wilayah perairan Laut Cina Selatan yaitu dengan melibatkan Indonesia dan juga sebagai bentuk peranan dan kepedulian Indonesia untuk memprakarsai berbagai perundingan dan memfasilitasi serangkaian pertemuan formal maupun informal. Diantaranya yaitu; penyelenggaraan kerjasama dan Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study Groups.

B. Saran

Adapun saran yang penulis ajukan dalam skripsi ini yaitu:

1. Masing-masing negara yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan agar dapat memperhatikan batasan laut yang dipersengketakan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) agar terciptanya aturan yang sesuai dengan hukum internasional sehingga tidak terjadi klaim tumpang tindih atas Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara serta untuk menciptakan keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara

2. Dalam penyelesaian sengketa di wilayah perairan Laut Cina Selatan, peran Organisasi ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara sangat diperlukan, dikarenakan negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah negara-negara anggota ASEAN sendiri. Oleh sebab itu dengan dibentuknya code of Conduct (Deklarasi tentang Perilaku Para

Pihak di Laut Cina Selatan) dapat diterapkan dan dpatuhi oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini jug, peran ASEAN dalam menyelesaikan sengketa lebih dimaksimalkan agar tidak terjadi konflik yang meluas antar negara anggota.

3. Diperlukan adanya lembaga peradilan yang permanen ditingkat regional sehingga langkah awal dalam menghadapi setiap sengketa yang terjadi bisa diselesaikan secara bersama dan tanpa melibatkan pihak eksternal.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mauna, Boer. 2003. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni

Suryokusumo, Sumaryo. 1990. Hukum Organsasi Internasional. Jakarta:

Universitas Indonesia (UI-Press)

Yulianingsing, Wiwin dan Moch. Firdaus Sholihin. 2014. Hukum Organisasi Internasional. Yogyakarta: CV Andi Offset

Bantarto Bandoro Ananta Gondomono. ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara. Jakarta: Centre for Strategic and Internasional Studies.

Schermers, Henry G. 1980. Internasional Institusional Law. Rockville:

Sitjhooff & Noordhoof, Alphen Aan Den Rijn.

Bennet, A. Leroy. 1079. Internasional Organization. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Bowett, D. W. 1982. The Law of Internasional Institution London: Steven &

Sons.

Djalal, Hasyim. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta:

Penerbit Binacipta

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2011. Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu

T. May Rudy. 2006. Hukum Internasional II. Refika Aditama, Bandung: PT.

Refika Aditama

Didik Mohamad Sodik. 2014. Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama

Syahmin. 1988. Masalah-masalah Aktual Hukum Organisasi Internasional.

CV. Armico

Asnani Usman dan Rizal Sukma. 1997 Konflik Laut Cina Selatan Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies.

Mely Caballero-Anthony. 2007. Regional Security in Southeast Asia;

Beyond The ASEAN. Singapura .

Adolf, Huala. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika

Hilton Ternama Putra, Eka An Aqimuddin. 2011. Mekanisme Penyelesaian Sengketa ASEAN. Bandung: Graha Ilmu

Luluhima. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies

Kusuma Atmaja, Mochtar. Hukum Laut. Jakarta: Binacipta

Peraturan / Jurnal/ Skripsi

Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS)

Yolanda Mouw, 2014. “Penyelesaian Sengketa Di Wilayah Perairan South China Sea (Scs) Antar Negara-Negara Di Kawasan ASEAN Dalam Perspektif Regionslisme”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Guntur Manasye Sumule. 2016. “Peran ASEAN Intergovermenta Commission On Human Rights (AICHR) Dalam Penegakan HAM ASEAN (Tahun 2009-2015), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar

Anugerah Baginda Harahap. “Upaya ASEAN Dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan, Jurnal/penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau

Internet

Wenaldi Andarisma, Konflik Laut Cina Selatan, http:irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964, diakses pada tanggal 19 Desember 2017.

Syahfira Yasmin, https://fisip.unair.ac.id/berita/read/198/konflik-laut-china-selatan-bagaimana-posisi-indonesia?, diakses pada tanggal 19 Desember 2017.

Sangkoeno, Sejarah Lahirnya UNCLOS 1982

http://www.sangkoeno.com/2016/07/sejarah-lahirnya-unclos.html?m=1, diakses pada tanggal 25 Desember 2017.

BBC, Cina Tegaskan Klaim Atas Wilayah di Laut Cina Selatan, http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38730199, diakses pada tanggal 18 januari 2017

Dalam dokumen SKRIPSI PERAN ORGANISASI (Halaman 70-86)

Dokumen terkait