• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PERAN ORGANISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI PERAN ORGANISASI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERAN ORGANISASI ASSOCIATION OF SOUTH EAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA DI WILAYAH LAUT CINA SELATAN

OLEH

NUR INDAH SARI B111 14 075

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

HALAMAN JUDUL

PERAN ASSOCIATION OF SOUTH EAST ASIAN NATIONS (ASEAN) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI WILAYAH

LAUT CINA SELATAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Internasional

Program Studi Ilmu Hukum

disusun dan diajukan oleh NUR INDAH SARI

B111 14 075

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Nur indah sari (B111 14 075). Peran Organisasi ASEAN Dalam Penyelesaian Sengketa di Wilayah Perairan Laut Cina Selatan.

Dibimbing oleh Syamsuddin Mochammad Noor sebagai pembimbing I dan Marthen Napang sebagai pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran ASEAN dan peran Indonesia dalam penyelesaian sengketa di wilayah perairan Laut Cina Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan metode

“literature research” atau melalui studi literature dan kepustakaan dengan cara memperoleh bahan-bahan dan sumber yang diperlukan dan relevan dengan penulisan skripsi ini, seperti buku-buku, jurnal, hasil penelitian serta melalui situs-situs internet yang relevan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) dalam menangani sengketa di wilayah Laut Cina Selatan, ASEAN bertumpu pada DOC (Declaration Of The Conduct Of Parties In The South China Sea) dan juga forum kerjasama lainnya seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan Treaty of amity and cooperation in southeast asia (TAC). DOC adalah dokumen politik bersama pertama yang dikeluarkan oleh negara-negara anggota ASEAN dan Cina pada isu sengketa Laut Cina Selatan. Dokumen ini mencerminkan konsensus yang dicapai oleh semua pihak untuk mencari solusi damai dan melakukan kerjasama dalam rangka menjaga stabilitas di wilayah Laut Cina Selatan. Di bawah prinsip- prinsip yang diakui secara universal dalam hukum internasional, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara. (2) dalam hal ini ASEAN juga melibatkan Indonesia sebagai penengah untuk memprakarsai berbagai pertemuan untuk mencari solusi terkait sengketa di wilayah Laut Cina Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian, Penulis merumuskan agar penyelesaian sengketa di wilayah Laut Cina Selatan lebih dimaksimalkan untuk mencegah timbulnya konflik dengan menggunakan kekuatan militer antar negara-negara yang terlibat seperti Vietnam, Filipina, Taiwan, Brunei Darusalam dan Malaysia. Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan instrument-instrument yang telah dibuat oleh ASEAN perlu diprioritaskan sebelum dibawa pada tinglat internasional sebagai bentuk efektifitas ASEAN sebagai organisasi regional di Kawasan Asia Tenggara. Dimana negara-negara yang menjadi negara pengklaim harus menghormati dan patuh kepada DOC yang telah disepakati bersama, dan penyelesaian sengketa teritorial sesuai dengan Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut yaitu penyelesaian secara damai tanpa melalui cara-cara kekerasan

(8)

ABSTRACT

Nur indah sari (B111 14 075). The Role of ASEAN Organizations in the Settlement of Disputes in the South China Sea Region. Guided by Syamsuddin Mochammad Noor as supervisor I and Marthen Napang as supervisor II.

This study aims to understand the role of ASEAN and the role of Indonesia in the settlement of disputes in the territorial waters of the South China Sea. This research is done by "literature research" or through literature study by obtaining materials and resources that are needed and relevant to the writing of this thesis, such as books, journals, research results and through relevant internet sites.

The results obtained from this study are as follows: (1) in handling disputes in the South China Sea region, ASEAN is based on DOC (Declaration Of The Conduct Of Parties In The South China Sea) as well as other cooperation forums such as ASEAN Regional Forum (ARF) and Treaty Of Amity And Cooperation In Southeast Asia (TAC). DOC is the first joint political document issued by ASEAN member states and China on the South China Sea dispute issue. This document reflects the consensus reached by all parties to seek a peaceful solution and to cooperate in order to maintain stability in the South China Sea region.

Under principles universally recognized in international law, the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia. (2) ASEAN also involves Indonesia as a mediator to initiate meetings in order to seek dispute-related solutions in the South China Sea region.

Based on the results of the study, the authors have formulated that the dispute resolution in the South China Sea area should be maximized to prevent conflicts by using military force among the countries involved such as Vietnam, Philippines, Taiwan, Brunei Darussalam and Malaysia.

The dispute settlement mechanism based on instruments made by ASEAN needs to be prioritized before being brought to the international level as a form of ASEAN's effectiveness as a regional organization in the Southeast Asian Region. Where the claiming countries shall respect and comply with the mutually agreed DOC, and the settlement of territorial disputes in accordance with the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea that is a peaceful settlement without resorting to violent means

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang tak terhingga Penulis ucapkan atas rahmat dan karuniaNYA yang telah diberikan kepada penulis sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Lewat kesempatan ini pula, dengan seluruh ketulusan hati, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Penulis, Hamzah dan St Darliah serta Kakek dan Nenek Penulis, Abd.

Rasyid Dg. Tata dan Zaenab Dg. Ugi yang telah membesarkan dan memenuhi semua kebutuhan Penulis hingga saat ini, untuk doa, pengorbanan serta cinta dan kasih sayang yang melimpah. Selalu sabar menghadapi penulis dan tak henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan kepada Penulis. Untuk adik-adik Penulis, Nur Mila Sari dan Nurfeni Selvia terima kasih atas segala dukungan, bantua, canda tawa serta “perkelahian” yang selalu bisa menghibur Penulis.

Penulis juga menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr.

Farida Patitingi, S.H.,M.H dan seluruh jajarannya, seluruh staf pengajar (dosen) atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan serta

(10)

staf akademik yang telah memberikan banyak sekali bantuan selama penulis mengeyam penddikan di Fakultas Hukum.

3. Bapak Prof. Dr. Juajir Sumardji, SH.,M.H. Selaku Penasehat Akademik yang telah bersedia meluangkan waktu bagi Penulis untuk konsultasi selama pengisian Kartu Rencana Studi (KRS).

4. Bapak Prof. Dr. Syamsuddin Muh. Noor, S.H.,M.H dan Bapak Dr.

Marthen Napang, S.H, M.H, M.Si, selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang sangat membantu, memudahkan dan memberikan masukan-masukan dan berbagai literatur kepada penulis sebagai bahan untuk menyelesaikan skripsi ini. Sungguh penulis sangat bersyukur memiliki Pembimbing seperti Bapak.

5. Bapak Prof. Dr. Marcel Hendrapaty , S.H.,M.H, Bapak Dr. Maskun, S.H.,LL.M, dan Bapak Dr. Laode Abd Gani, S.H.,M.H sebagai tim penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dalam proses penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini. Serta Bapak Dr. Abd.

Maasba Magassing, S.H., M.H., sebagai dosen penguji pengganti terima kasih untuk waktunya,masukan, dan kritik yang membangun.

6. Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H.,M.H, sebagai dosen pengampu untuk mata kuliah tutup strata Penulis. Terima kasih untuk bantuan dan bimbingannya sehingga tutup strata Penulis dapat terselesakan dengan baik.

7. Segenap Dosen pengajar hukum internasional yang telah berbagi ilmu, cerita dan pengalaman. Terima kasih karena telah menjadi pengajar yang humble terhadap mahasiswanya.

(11)

8. Seluruh tenaga pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah bersedia memberikan ilmunya kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas jasa Bapak dan Ibu sekalian.

9. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, kepada Pak Roni, Pak Usman, Pak Ramallang, dan Pak Budi.

Terima kasih untuk bantuan dan kesabarannya dalam menghadapi Penulis.

10. Bestfriend Penulis sejak masa SMA hingga sekarang yang telah banyak sekali membantu Penulis. Kepada Muh. Suardy Ihsan dan Nurul Fiqrih, terima kasih untuk support dan telah bersedia direpotkan oleh Penulis setiap saat hehehe. How lucky i’m to have you in my life.

11. Sahabat-sahabat Penulis sejak berstatus mahasiswa baru hingga penyusunan proposal dan skripsi, kepada Shabina Tendean, Hilda Setiawati, Fitriani Munira, Avika Istiqamah dan juga Ruslianto Sumule. Sahabat dalam suka dan duka. Terima kasih untuk bantuan dan juga kenangan indah selama berada di Fakultas Hukum. Beruntungnya bisa kenal orang-orang seperti kalian.

Sukses selalu

12. Teman-teman Penulis sejak berada dibangku SMP, khususnya untuk Diah Mardiana, Annisa, dan Mutia Turahma. Terima kasih untuk segala doa dari kalian.

13. Rekan-rekan seperjuangan Kuliah Kerja Nyata (KKN) gelombang 95 Desa Lassang, kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten

(12)

Takalar, terima kasih telah berbagi kebersamaan dan pengalaman yang tak terlupakan selama kurang kebih satu bulan.

14. Kepada someone special Penulis, thank you for always being there foe me, untuk segala dukungan, doa dan bantuan serta selalu setia menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Teman-teman DIPLOMASI 2014 yang juga tengah menyusun skripsi, Semangat!

Demikian ucapan terima kasih ini Penulis buat. Mohon maaf yang terdalam jika penulisan nama dan gelar tidak sesuai. Terima kasih atas segala bantuan dan doa yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalasnya. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari kata sempurna. oleh karena itu, Penulis dengan segala kerendahan hati menerima setiap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga tugas akhir ini dapat bermanfaat untuk semua orang.

Makassar, Juli 2018

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Hukum Organisasi Internasional ... 9

1. Defenisi Organisasi Internasional ... 9

2. Aspek Hukum Organisasi Internasional ... 11

3. Sumber Hukum Organisasi Internasional ... 12

4. Personalitas Hukum Organisasi Internasional ... 13

5. Prinsip Keanggotaan Organisasi Internasional ... 15

B. Association of South East Asian Nations (ASEAN) ... 17

1. Latar Belakang dan Sejarah Pembentukan ASEAN ... 17

2. Tujuan Organisasi Internasional ... 21

3. Organisasi dan Struktur dalam ASEAN ... 22

C. Tinjauan Mengenai Hukum Laut ... 25

1. Defenisi Hukum Laut ... 25

2. Konvensi Hukum Laut ... 26

D. Gambaran Umum Sengketa Laut Cina Selatan ... 32

1. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan ... 32

(14)

2. Pihak-pihak yang Bersengketa di Laut Cina Selatan ... 34

E. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Tingkat Regional ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... 40

B. Sumber Data ... 40

C. Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV PEMBAHASAN ... 42

A. Peran ASEAN Dalam Penyelesaian Sengketa di Laut Cina Selatan ... 42

B. Peran Indonesia Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan ... 56

BAB V PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang amat strategis karena terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, karena kekayaan alamnya dan karena potensi pasarnya yang sering ditonjolkan.

Yang tidak sering ditonjolkan adalah sifat maritime kawasan ini, yang tidak saja menyediakan sumber daya alam mineral dan hayati bagi kehidupan penduduknya, melainkan dapat pula menjadi sumber destabilisasi, apabila kemampuaan untuk mengelolanya, untuk mengawasi dan mengamankannya tidak memadai.

Demikian halnya dengan Laut Cina Selatan, yang merupakan sebuah perairan di wilayah Asia Tenggara dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam.

Berdasarkan laporan Lembaga Informasi Energi Amerika (Energy Information Administration – EIA), RRC memperkirakan terdapat cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat . sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut Cina Selatan. Adapun EIA menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan besar berasal dari gas alam yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak yang

(16)

dimiliki Qatar.1 Selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan dan pelayaran internasional. Hal itulah yang menyebabkan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun.

Dalam hal ini kawasan Laut Cina Selatan banyak menimbulkan permasalahan di antara negara-negara ASEAN sendiri karena Geografis Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RCC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darusalam dan Filipina), dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, serta antara negara-negara Asia Tenggara dengan negara-negara di luar wilayah Asia Tenggara.2

Sengketa territorial di kawasan tersebut, khususnya sengketa atas kepemilikan Kepulauan Spartly dan Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa penguasaan Kepulauan ini telah melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Perancis, Jepang, RRC, Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei Darusalam, Filipina, dan Taiwan. Sengketa territorial di kawasan Laut Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut masalah penggunaan teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang menembus kedaulatan negara.

1 “Sengketa Kepemilikan Laut Cina Selatan”, BBC online, 21 Juli 2011, diakses pada 11 Maret 2018.

2 C.P.F Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, (Jakarta: Centre For Strategic Internasional Studies (CSIS), 1997), hlm 283.

(17)

Sengketa territorial dan penguasaan kepulauan, diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen Kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya.

Menurut cina, sejak 2000 tahun yang lalu Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagu mereka. Namun Vietnam membatahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua pulau itu tidak berada dalam kedaulatan sebuah negara. Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir, Vietnam selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau di kepulauan Spartly.

Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filipina sejak tahun 1971 sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian timur kepulauan Spartly yang disebut sebagai kekayaan. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang sedang tidak dimiliki oleh negara-negara manapun.

Filipina juga menunjuk perjanjian perdamaian San Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa gugus kepulauan Spartly yang dinamai Terumbu Layang-layang. Menurut Malaysia langkah itu diambil berdasarkan peta batas landas kontinen Malaysia tahun 1979,

(18)

yang mencakup sebagian dari kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksaman yang diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang diduduki oleh Vietnam. Sementara Brunei Darusalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Ingrris Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di kepulauan Spartly. Namun Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus pulau. Klaim tumpang tindih tersebut terus mengakibatkan adanya pendudukan terhadap suatu wilayah kepulauan bagian selatan kawasan Laut Cina Selatan.

Sejumlah negara yang bersengketa atas hak kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan selama beberapa abad adalah Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan juga Brunei, kembali mengalami ketegangan beberapa tahun terakhir. Pasalnya, Cina kembali menegaskan tidak akan mundur dari klaim atas wilayah di Laut Cina Selatan bahkan Cina melangkah lebih maju dengan membangun pulau-pulau buatan serta menggelar patroli laut secara teratur di sana. Hal ini menyebabkan pihak Filipina geram dan menggugat Cina ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, dan Vietnam menyambut baik keputusan Filipina.

Pada bulan Juli 2016, Mahkamah Internasional memutuskan untuk menolak kepemilikan Cina atas kawasan sengketa d wilayah tersebut.

Namun, pemerintah Beijing menepis keputusan tersebut dengan mengatakan negaranya memiliki hak kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim yang tidak dibantah atas pulau-pulau dan di Laut Cina Selatan dan perairan disekitarnya serta tidak akan terpengaruh oleh putusan

(19)

Mahkamah.3 Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa territorial di Laut Cina Selatan tampaknya semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan potensi konflik serta akses-akses instabilitas di kawasan tersebut.

Peran kekuatan ekstra kawasan dalam sengketa tidak dapat dilepaskan pula dari “undangan” terselubung beberapa negara ASEAN yang berstatus sebagai negara pengklaim yang bersambut karena kekuatan-kekuatan ekstra kawasan juga memiliki kepentingan terkait munculnya “undangan” tersebut pada dasarnya didasari oleh ketidakyakinan beberapa negara ASEAN yang berstatus sebagai pengklaim akan sikap dan keutuhan ASEAN menghadapi Cina. Memang negara-negara ASEAN terikat pada DOC (Codes of Conduct) Laut Cina Selatan, akan tetapi sulit dipungkiri pula akan solidaritas ASEAN dalam menghadapi Cina. Vietnam dan Filipina sejak 2011 merupakan Negara yang aktif menegaskan sikapnya terhadap klaim sepihak Cina, sehingga tak aneh jika kedua negara tersebut mendapatkan perhatian khusus dari Cina.

Sampai sejauh ini, belum ada jaminan bahwa opsi “penyelesaian”

yang cepat melalui penggunaan kekuatan militer tidak akan ditempuh oleh piha-pihak yang bertikai. Dalam hal ini Cina kerap dilihat sebagai pihak yang memiliki kecenderungan untuk bergerak ke arah demikian dengan menggunakan kekerasan untuk mempertegas klaimnya di wilayah

3 BBC, Cina Tegaskan Klaim Wilayah Laut Cina Selatan yang Masih Jadi Sengketa, diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38730199, pada Pukul 01:50. 19 Januari 2018

(20)

tersebut. Setelah apa yang ditunjukkan oleh Cina terhadap Taiwan bulan Maret 1996, tampaknya sulit bagi ASEAN untuk mengesampingkan kemungkinan bahwa Cina juga bisa melakukan hal yang sama di perairan Laut Cina Selatan.

ASEAN sebagai forum komunikasi tingkat regional negara-negara di kawasan Asia Tenggara diharapkan mampu memberikan solusi terhadap masalah tersebut agar tidak menimbulkan konflik militer antar negara kawasan tersebut. mengingat saat ini fokus ASEAN dikenal dengan tiga pilar, yaitu pilar keamanan, ekonomi dan sosial budaya.

ASEAN menyadari kemungkinan tersebut dan karena itu telah mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah tersebut, khususnya pada tingkat multirateral. Misalnya ASEAN telah mencoba membujuk Cina untuk menghormati COD ASEAN seperti Zone of Peace, Freedom, and neutrality (ZOPFAN) and Treaty of Amity and Co-operation (TAC), sebagai nilai, norma, dan primsip-prinsip yang harus menjadi acuan hubungan antarnegara di kawasan. Dalam pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) bulan agustus 1995, para Menteri Luar Negeri ASEAN juga mengeluarkan deklarasi South China Sea yang menyerukan pihak-pihak terlibat untuk “menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat menganggu stabilitas di kawasan …”4 Secara lebih khusus lagi, melalui prakarsa Indonesia, meskipun tidak formal, ASEAN mengajak Cina untuk ikut serta dalam forum dialog untuk mencari cara-cara positif atau solusi untuk mencegah potensi sengketa di Laut Cina Selatan ini.

4 The Joint Communique of ASEAN Foreign Minister, August 1995, Brunai.

(21)

Melalui upaya-upaya demikian, ASEAN jelas berharap untuk menciptakan tingkat kepastian tertentu (a certain degree of predictability) dalam perilaku setiap pihak yang bertikai. Namun sikap dan respon Cina terhadap prakarsa-prakarsa ASEAN itu melahirkan berbagai kesulitan bagi upaya ASEAN untuk menciptakan tata hubungan politik yang lebih predictable di kawasan.5

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan mengenai sengketa atas klaim dari negara-negara kawasan serta peranan Organisasi ASEAN untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “Peran Association of South East Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa di Wilayah Laut Cina Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran ASEAN dalam menangani dan menyelesaikan Sengketa di Laut Cina Selatan?

2. Bagaimana peran Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa di wilayah Laut Cina Selatan

5 Bantarto Bandoro, Ananta Gondomono, ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara (Jakarta: Centre For Strategic and Internasional Studies, 1997), hlm. 132-134.

(22)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana peran ASEAN dalam menangani dan menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan

2. Untuk mengetahui bagaimana peran Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa di wilayah Laut Cina Selatan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Organisasi Internasional 1. Definisi Organisasi Internasional

Pada awal sejarah, hukum internasional hanya mengenal negara sebagai subjek hukum internasional utama. Namun, sejak adanya pendapat mahkamah dalam Kasus Pangeran Bernadote pada tahun 1949, maka kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sudah tidak diragukan lagi.6 Organisasi Internasional baru muncul pada abad 19, yaitu yang ditandai dengan lahirnya Internasional Telegrafik Union pada tahun 1865.

Pembenyukan organisasi internasional sebenarnya sudah lama ada sejak negara mengadakan hubungan internasional secara umum dan masing-masing negara mempunyai kepentingan. Timbulnya kecenderungan tersebut merupakan proses perkembangan dalam hubungan internasional karena kepentingan dua negara saja tidak dapat menampung kehendak banyak negara.7

Pada umumnya jika berbicara tentang organisasi internasional, yang kita maksudkan adalah organisasi antarpemerintah (inter- governmental organization). Walaupun harus diakui bahwa disamping organisasi pemerintah, masih dikenal pula organisasi non-pemerintah

6 D.J. Harris, 1998, Cases and Materials on Internasional Law, Sweet&Maxwell, 5th Edition, Londom, hlm. 134.

7 Sumaryo Suryokusumo, 2007, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, PT. Tata Nusa, Jakarta, hlm. 1-2.

(24)

(nongovernmental organization). Di sini kita akan memberikan batasan bahwa yang dimaksudkan dengan organisasi internasional adalah organisasi antarnegara atau organisasi internasional publik. Meskipun begitu tetap saja defenisi organisasi internasional masih sukar untuk dibuat. Kesepakatan mengenai defenisi organisasi internasional belum ada.8

Jika diartikan sebagai wadah bagi negara-negara untuk mengadakan kerja sama, dimana wadah tersebut mempunyai wewenang atas negara anggota, pengertiannya menjadi sedikit lebih luas yaitu organisasi internasional merupakan wadah bagi negara-negara untuk menjalankan tugas bersama, baik dalam bentuk kerja sama yang sifatnya koordinatif maupun subordinatif. Karena sulitnya mendefenisikan organisasi internasional, jalan yang dapat diberikan adalah menunjukkan ciri-ciri organisasi internasional.

Seperti yang dikemukakan oleh Leroy Bennet, organisasi internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:9

a. a permament organization to carry on acontinuing set of functions;

b. voluntary membership of eligible parties;

c. basic instrument stating goals, structure and methods of operation;

d. a broadly representative consultative conference organ;

e. permanent sectretariat to carry on continuous administrative, research and information functions.

Sementara D.W. Bowett memberikan defenisi sebagai berikut:

“...they were permanent association of governments, or administration, based upon a treaty of multirateral rather than a bilateral type with some definite criterion of purpose.”10

8 Henry G Schermers, Internasional Institusional Law (Rockville: Sitjhooff & Noordhoof, Alphen Aan Den Rijn, 1980), Hlm. 5.

9 A. Leroy Bennet, Internasional Organization (New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,1979), hlm.3.

(25)

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa defenisi organisasi internasional tergantung pada bagaimana kita memandang organisasi tersebut. Namun harus diakui bahwa organisasi internasional sebagai wadah bagi negara-negara untuk mencapai tujuan tertentu sangat dibutuhkan. Dalam menjalankan tugasnya, organisasi internasional tidak boleh bertentangan dengan asas-asas dalam hukum internasional.

2. Aspek Hukum Organisasi Internasional

Aspek hukum merupakan aspek yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan konstitusional dan prosedural, misalnya:11

a. Diperlukannya instrumen kontituen (constituent instrument), seperti perjanjian (covenant) piagam (charter). Dan statuta (statute, yang memuat prinsip dan tujuan, struktur, serta cara organisasi itu bekerja.

b. Dapat bertindak sebagai pembuat hukum yang menciptakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam berbagai instrumen hukum.

c. Mempunyai personalitas dan kemampuan hukum.

Dari aspek hukumnya, organisasi internasional lebih menitikberatkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural, antara lain seperti wewenang dan pembantasan-pembatasan baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan instrumen dasarnya, termasuk

10 D.W. Bowett, The Law of Internasional Institution (London: Steven & Sons, 1982), hlm.6.

11 Wiwin Yulianingsing dan Moch. Firdaus Sholihin, 2014, Hukum Organisasi Internasional, CV Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 37

(26)

di dalam perkembangan organisasi secara praktis. Dapat diambil sebagai contoh bahwa sebenarnya organisasi internasional itu menghadapi masalah-masalah potensial yang berhubungan dengan sifat-sifat hukumnya yang mendasar (basic legal charasteristic) baik dalam kaitannya dalam hukum internasional maupun hukum nasional yang menyangkut negara-negara anggotanya. Demikian juga diberbagai hal, oganisasi internasional telah mengembangkan wewenang legislatif maupun kuasa legislatifnya serta mekanismenya untuk menyelesaikan suatu pertikaian yang menimbulkan masalah-masalah bersama yang bertalian dengan hak preogratif dan negara anggota yang berdaulat, dan bagaimana suatu keputusan yang dibuat itu cukup adil serta efektif. Dalam beberapa hal,organisasi internasional juga dapat bertindak sebagai badan pembuat hukum yang menciptakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam berbagai instrumen hukum.12

3. Sumber Hukum Organisasi Internasional

Istilah sumber hukum organisasi Internasional telah digunakan dalam empat pengertian:13

1) Pertama, sebagai kenyataan historis tertentu, kebiasaan yang sudah lama dilakukan, persetujuan atau perjanjian resmi yang dapat membentuk sumber hukum internasional. Salah satu contohnya adalah masa jabatan sekretaris PBB. Seperti diketahui bahwa PBB tidak menyebutkan syarat-syarat calon untuk menjabat Sekretaris Jenderal demikian juga tentang masa

12 Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Hlm.10-11.

13 Ibid, hlm. 26.

(27)

jabatannya. Untuk itu, Majelis Umum telah menaptkan lima tahun masa jabatan Sekretaris Jenderal dan sesudah habis masa jabatannya dapat dipilih kembali. Demikian juga bahwa kebangsaan Sekretaris Jenderal bukanlah dari kelima negara anggota etap Dewan Keamanan.

2) Kedua, instrumen pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi dari semua anggotanya.

Instrumen pokok ini dapat berupa piagam, covenant, final act, treaty, statute. Deklarasi dan constitution.

3) Ketiga, ketentuan lainnya mengenai tata cara organisasi internasional beserta badan-badan yang berada di bawah naungannya, termasuk cara kerja mekanisme yang ada pada organisasi tersebut. Peraturan-peraturan seperti itu merupakan elaborasi dan pelengkap instrumen pokok yang ada, yang semuanya itu memerlukan persetujuan bersama dari para anggota.

4) Keempat, hasil-hasil yang diteapkan atau diputuskan oleh organisasi internasional yang wajib atau harus dilaksanakan baik oleh para anggotanya maupun badan-badan yang ada di bawah naungannya. Hasil-hasil itu bisa berbentuk resolusi, keputusan, deklarasi atau rekomendasi.

4. Personalitas Hukum Organisasi Internasional

Personalitas hukum yang dimiliki organisasi internasional sangat penting guna memungkinkan organisasi internasional dapat berfungsi

(28)

dalam hubungan internasional, khususnya kapasitas dalam melaksanakan fungsi hukum seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan suatu negara, atau mengajukan tuntutan kepada negara lainnya. Personalitas yurids yang dimiliki organisasi internasional tidak akan hilang meskipun tidak dicantumkan dalam instrumen pokok pendirian organisasi internasional tersebut.14

Personalitas yuridis yang dimiliki organisasi internasional apat dibedakan menjadi dua pengertian, personalitas yuridis dalam kaitannya dengan hukum nasional dan dengan hukum internasional.15

a. Personalitas yuridis dalam kaitannya dengan hukum nasional dapat dilihat khususnya apabila suatu organisasi internasional akan mendirikan sekretariat tetap atau markas besar organisasi tersebut melalui perjanjian markas besar (headquarters agreement), misalnya perjanjian markas besar yang dibuat oleh PBB dan AS, Belanda, Swiss, dan Austia; ASEAN dengan Indonesia. Pada umunya perjanjian markas besar mengatur keistimewaan dan kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh pejabat sipil internasional, pembebasan pajak, dan sebagainya.

b. Personalitas yuridis dalam kaitannya dengan hukum internasional dapat diartikan bahwa organisasi internasional memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional.

Hak dan kewajiban ini mempunyai antara lain wewenang untuk menuntut dan dituntut di depan pengadilan, memperoleh dan

14 Wiwin Yulianingsing & Moch. Firdaus Sholihin, op.cit, hlm. 38-39.

15 Ibid. Hlm. 40

(29)

memiliki benda-benda bergerak, mempunya kekebalan (immunity), dan hak-hak istimewa (privileges). Permasalahan yang dimiliki oleh personalitas yuridis organisasi internasional pertama kali mencuat pada kasus Reparation For Injuries Suffered In The Service Of United Nations (Reparation For Injuries Case). Dengan munculnya kasus ini, personalitas yang dimiliki oleh organisasi internasional menjadi tidak dragukan lagi.

5. Prinsip Keanggotaan Organisasi Internasional

Masalah keanggotaan dalam suatu organisasi internasional merupakan hal yang sangat penting dan bahkan dianggap sebagai masalah konstitusional yang pokok.16 Prinsip keanggotaan suatu organisasi internasional tergantung pada maksud dan tujuan dan fungsi yang akan dilaksanakan serta perkembangan yang diharapkan oleh organisasi internasional tersebut.

Prinsip-prinsip keanggotaan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip Universalitas dan prinsip Selektif (terbatas). Prinsip keanggotaan Universalitas tidak membedakan sistem pemerintahan, ekonomi, dan politik yang dianut oleh negara-negara anggotanya.

Sedangkan prinsip Selektif (terbatas) menekankan syarat-syarat tertentu bagi keanggotaan, diantaranya:17

16 Sumaryo Suryokusumo, op.cit, hlm. 55

17 Guntur Manasye Sumule, 2016, “Peran ASEAN Intergovernmental Commission On Human Rights (AICHR) Dalam Penegakan HAM ASEAN (Tahun 2009-2015”), skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm 30-31.

(30)

a. Keanggotaan yang didasarkan pada kedekatan letak geografis.

Contohnya North Atlantic Treaty Organization (NATO), Association Of South East Asian Nations (ASEAN).

b. Keanggotaan yang didasarkan pada kepentingan yang akan dicapai. Misalnya tujuan organisasi adalah kerjasama antar negara-negara yang menjadi pengekspor minyak, maka keanggotaannya hanya dibuka untuk negara pengekspor minyak, yaitu Organization Of Petroleum Exporting Countries (OPEC).

c. Keanggotaan didasarkan pada sistem pemerintahan tertentu atau sistem ekonomi. Contohnya Council For Mutual Economic Assistance (COMECON) dan Pakta Warsawa.

d. Keanggotaan yang didasarkan pada persamaan budaya.

Agama, etnis, dan pengalaman sejarah. Contohnys British Commonwealth, Organisasi Negara-negara Islam (OKI).

e. Keanggotaan yang didasarkan pada penerapan hak-hak asasi manusia. Contohnya Council of Europe.

Penggolongan keanggotaan di dalam sebuah organisasi internasional dapat dibedakan menjadi:18

a. Keanggotaan penuh (full members), artinya anggota akan ikut serta dalam semua keanggotaan organisasi dengan segala hak- haknya.

18 Ibid.

(31)

b. Keanggotaan luar biasa (associate members), artinya anggota dapat berpartisipasi namun tidak mempunyai hak suara di dalam alat perlengkapan utama organisasi internasional.

c. Keanggotaan sebagian (partial members), artinya anggota hanya ikut berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan tertentu.

Selain penggolongan di atas, dapat juga dibedakan menjadi:19 a. Anggota asli (original members), yaitu anggota yang diundang

pada saat konferensi-konferensi yang membicarakan rancangan anggaran dasar.

b. Anggota lainnya (admitted members), yaitu anggota yang masuk dalam organisasi internasional setelah organisasi internasional tersebut berdiri sesusai ketentuan tentang keanggotaan yang ada dalam anggaran dasar organisasi internasional.

B. Association Of South East Asian Nations (ASEAN) 1. Latar Belakang dan Sejarah Pembentukan ASEAN

Sejak zaman prasejarah, yatu sekitar tahun 2.000 SM seluruh kawasan Asia Tenggara merupakan daerah penyebaran rumpun budaya dan bahasa Melayu-Austronesia, yang berasal dari sekitar teluk Tonkin dan lembah sungai Mekong. Kebudayaan dan bahasa Melayu- Austronesia ini merupakan dasar tata kehidupan dan pergaulan bangsa- bangsa di Wilayah Asia Tenggara.

19 Ibid. hlm. 32

(32)

Baru sejak abad pertama Masehi, sebagian besar Asia Tenggara mendapat pengaruh dari luar. Unsur-unsur peradaban dan kebudayaan India, Hindu dan Budha, mulai masuk. Sementara wilayah Vietnam, Laos dan Kamboja banyak dipengaruhi peradaban dan kebudayaan Cina.

Berbagai kerajaan besar dan kecil telah lahir, bangun, berkembang, kemudian jatuh kembali ke kawasan ini. Kerajaan-kerajaan itu umunya beragama Hindu atau Budha. Kerajaan yang terbesar di antaranya adalah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerrajaan besar ini silih berganti memengaruhi Asia Tenggara. Mula-mula Kerajaan Sriwijaya, kemudian Majapahit. Sedudah itu muncullah Kerajaan Islam di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia terdapat, misalnya, Kerajaan Aceh, Demak, Banten, Gowa, Kutai, dan masih banyak lagi. Semuanya adalah negara merdeka dan berdaulat.

Di Malaysia dahulu (Malaya) dan Brunei berdiri kerajaan Islam yang sampai sekarang masih berdiri. Bahkan, Kerajaan Malaysia sekarang ini adalah gabungan Kerajaan Islam itu.

Kerjaan islam memperkaya tata hidup dan budaya Asia Tenggara.

Di samping Hindu Budha, Islam turut berperan membentuk peradaban dan kebudayaan Asia Tenggara. Tetapi pada abad ke-16 datanglah malapetaka. Bangsa-bangsa barat tiba dan berebut pengaruh kawasan ini. Mula-mula mereka datang sebagai pendatang, tetapi kemudia sebagai penjajah. Satu demi satu kerajaan merdeka itu mereka taklukkan sehingga akhirnya seluruh Asia Tenggara, kecuali Thailand, menjadi jajahan mereka.

(33)

Alasan bangsa-bangsa Barat menjajah Asia Tenggara adalah sebagai berikut.20

a. Letaknya sangat strategis untuk pelayaran dan perniagaan.

b. Kawasan Asia Tenggara memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah.

c. Wilayah ini mempunyai penduduk yang cukup banyak sebagai calon pembeli barang industri dunia Barat.

Imperalis Inggris menguasai Malaysia (1814), Singapura (1849), Myanmar (1894), dan Kalimantan Utara (1880). Imperalis Perancis menguasai Filipina sampai tahun 1898. Pada tahun itu Amerika Serikat mengalahkan Spanyol dan menduduki Filipina. Banyak daerah di Indonesia satu persatu jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda sejak abad ke-17, dan seluruh Indonesia dikuasai sepenuhnya pada tahun 1908. Pada tahun 1941 perang Dunia II di Pasifik meletus. Jepang menyerang dan menduduki Pearl Harbor. Kemudian satu demi satu negara Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara jatuh ke tangannya.

Pada zaman pendudukan militer Jepang, pusat pemerintahan berada di Dalat (Saigon).

Seluruh rakyat dan bangsa Asia Tenggara Tenggara selama sekitar setengah abad mengalami penderitaan yang sama sebagai daerah jajahan bangsa Barat dan Jepang. Persamaan nasib ini kemudian menimbulkanperasaan setia kawan yang kuat di kalangan Bangsa Asia Tenggara, yang merupakan salah satu pendorong lahirnya ASEAN. Di

20 Wiwin Yulianingsing dan Moch. Firdaus Sholihin, op.cit, hlm. 159.

(34)

samping itu adapula persamaan kepentingan. Semua negara di kawasan ini saling membutuhkan. Mereka hidup di perairan laut yang sama, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda. Perairan ini merupakan pintu gerbang utama di sebelah barat. Selain itu ada perairan laut cina selatan adalah perairan pokok yang dikelilingi negara-negara Asia Tenggara, yang pada hakikatnya, merupakan daerah perairan bersama bagi negara-negara Asia Tenggara, bahkan tidak mengherankan jika sejak zaman bahari negara-negara yang ada di kawasan ini sudah saling memengaruhi.

Lima Menteri Luar Negeri negara-negara Asia Tenggara mengadakan pertemuan di Bangkokselama 3 hari. 5-8 agustus 1967.

Mereka adalah Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman (Thaland), Rajaratnam (Singapura), Dan Narsisco Ramos (Filipina). Pada 8 agustus 1967 mereka mencapai persetujuan untuk membentk suatu organisasi kerja sama negara-negara Asia Tenggara.

Organisasi ini dinamakan Association Of South East Asian Nations (ASEAN), yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.

ASEAN dibentuk berdasarkan Deklarasi Bangkok tanggal 8 agustus 1967 dan ditandatangani oleh kelima tokoh pendiri. Brunei Darusalam masuk menjad anggota keenam sejak 1 januari 1984. Lalu pada tahun 1997 masuklah anggota baru yaitu Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Kini ASEAN telah beranggotakan 10 negara di Kawasan Asia Tenggara. Dalam perkembangannya, Timor Leste yang memisahkan diri dari Indonesia kemungkinan diterima sebagai anggota ke-11 ASEAN.

(35)

2. Tujuan Pembentukan ASEAN

Tujuan pembentukan ASEAN tercantum dalam Deklarasi Bangkok, yaitu:

a. Untuk mempererat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta perkembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat Asia Tenggara yang sejahtera dan damai;

b. Untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antarnegara di kawasan ini serta mematuhi prinsip- prinsip Piagam dan Perserikatan Bangsa-Bangsa;

c. Untuk meningkatkan kerjasama yang aktif serta saling membantu satu sama lain di dalam masalah-masalah kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi;

d. Untuk saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana latihan dan penelitian dalam bidang pendidikan profesional, teknik, administrasi;

e. Untuk bekerja sama dengan lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan pertanian serta industri, perluasan perdagangan komoditas internasional, perbaikan sarana pengangkutan dan komunikasi, serta peningkatan taraf hidup rakyat;

(36)

f. Untuk memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan organisasi-organisasi internasional dan regional yang ada dan untuk menjajaki segala kemungkinan untuk saling bekerja sama secara lebih erat di antara mereka sendiri.

3. Struktur Organisasi Dalam ASEAN

Struktur organisasi ASEAN telah mengalami pengembangan dan penyempurnaan sejak pembentukannya hingga sekarang.21

a. Sebelum KTT di Bali 1976

Struktur ASEAN yang didasarkan pada Deklarasi Bangkok adalah sebagai berikut:

1) Sidang Tahunan para Menteri;

2) Standing Committee;

3) Komite-Komite Tetap dan Khusus;

4) Sekretariat Nasional ASEAN di setiap ibu kota negara anggota ASEAN.

b. Sesudah KTT di Bali 1976

Setelah berlangsungnya KTT di Bali, susunan organisasi ASEAN mengalami perubahan sebagai berikut:

1) Pertemuan para kepala pemerintahan (Summit Meeting), yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam ASEAN

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini diadakan apabila dianggap perlu untuk meberikan pengarahan kepada ASEAN.

21 Ibid. hlm. 126

(37)

2) Sidang tahunan para Menteri Luar Negeri ASEAN (Annual Ministerial Meeting)

Peranan dan tanggungjawab sidang ini adalah bahwa perumusan garis kebijakan atau koordinasi kegiata-kegiatan ASEAN tetap diakui sesuai dengan Deklarasi Bangkok.

Kemudian, sidang para Menlu ASEAN akan memeriksa implikasi politik atas keputusan-keputusan ASEAN, mengingat dalam semua kegiatan atau aktifitas ASEAN selalu terdapat implikasi politik dan diplomatik.

3) Sidang para Menteri Ekonomi

Sidang ini diselenggerakan setahun dua kali, yang tugasnya, selain merumuskan kebijakan dan koordinasi khusus yang menyangkut masalah kerja sama ASEAN di bidang ekonomi, menilai hasil-hasil yang telah diperoleh komite-komite yang ada di bawahnya.

4) Sidang para Menteri Lainnya (Non-ekonomi)

Sidang ini merumuskan kebijakan yang menyangkut bidangnya masing-masing, seperti pendidikan, kesehatan, sosial budaya, penerangan, perburuhan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Sidang Menteri-menteri Non-ekonomi masih belum melembaga dan diadakan apabila dipandang perlu saja

5) Standing Committee

Tugas badan ini adalah memutuskan dan menjalankan tugas perhimpunan diantara dua Sidang Tahunan para Menteri Luar

(38)

Negeri ASEAN. Dalam perkembangannya, komite ini diperluas dengan Direktur Jenderal ASEAN dari kelima negara ASEAN yang sebelumnya disebut Sekretaris Umum Setnas ASEAN.

6) Komite-komite ASEAN

Sebelas Komite permanen ASEAN sebelum KTT Bali dilebur dan dibagi menjadi dua, yaitu komite bidang ekonomi dan bidang non-ekonomi.

Di bawah koordinasi menteri-menteri ekonomi terdapat lima komite yang masing-masing berkedudukan di lima negara anggota ASEAN, yaitu:

a) Komite Perdagangan dan Pariwisata (Committee On Trade And Tourism [COOT]) yang berkedudukan di Singapura;

b) Komite Industri, Pertambangan, dan Energi (Committee On Industry, Mining, and Energy [CIOME]) yang berkedudukan di Filipina;

c) Komite Keuangan dan Perbankan (Committee On Finance And Bangking [COFAB]) yang berkedudukan di Thailand;

d) Komite Pangan, Pertanian, Kehutanan, (Committee On Food, Agriculture, and Forestry [COFAF]) yang berkedudukan di Indonesia;

e) Komite Transportasi Dan Komunikasi (Committee On Transportation and Communication [COTAC]) yang berkedudukan di Malaysia.

Sementara komite untuk bidang non-ekonomi ada tiga, yaitu Komite Kebudayaan dan Penerangan (Committee on Culture and Infotmation

(39)

[COCI]) di Indonesia, Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Committee on Science and Technology [COST]) di Singapura, dan Komite Pembangunan Sosial (Committee on Social Development [COSD]

di Indonesia. Tempat kedudukan komite-komite ini berpindah-pindah tiap tahun sesuai dengan abjad nama negara anggota (abjad Inggris: Brunei = B, Indonesia = I, Malaysia = M, Phippines = P, Singapore = S, Thailand = T)

C. Tinjauan Mengenai Hukum Laut 1. Defenisi Hukum Laut

Hukum laut diawali dengan pembahasan mengenai pelbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai: 1) sumber makanan bagi umat manusia; 2) jalan raya perdagangan; 3) sarana untuk penaklukan; 4) lokasi yang dapat digunakan untuk melakukan pertempuran-pertempuran;

5) sarama rekreasi; dan 6) alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), makan fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.22

Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga.

22 Hasyim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penerbit Binacipta, Jakarta, hlm. 1.

(40)

Hukum laut adalah hukum yang mengatur laut sebagai objek yang diatur dengan mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan kepentingan seluruh negara termasuk negara yang tidak yang tidak berbatasan dengan laut secara fisik (Landlock Countries) guna pemanfaatan laut dengan seluruh potensi yang terkandung di dalamnya bagi umat manusia sebagaimana yang tercantum dalam UNCLOS 1982, beserta konvensi-konvensi internasional yang terkait langsung dengannya.23

2. Konvensi Hukum Laut

Bila dulu hukum laut pokoknya hanya mengurus kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut, tetapi dewasa ini perhatian juga telah diarahkan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya.

Hukum laut yang dulunya bersifat unidimensional sekarang berubah menjadi pluridimensional. Yang sekaligus merombak filosofi dan konsepsi hukum laut di masa laut. Justru untuk dapat menggunakan kekayaan- kekayaan laut itulah, hukum laut semenjak beberapa dekade terakhir ini telah berupaya keras bukan saja untuk menentukan sampai berapa jauh kekuasaan suatu negara terhadap laut yang menggenangi pantainya, sampai sejauh mana negara-negara pantai dapat mengambil kekayaan- kekayaan yang terdapat di dasar laut dan laut di atasnya, tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah dnyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.24

23 Syahrial Bosse, 2003, Pengertian Hukum Maritim, diakses dari

http://www.maritimeworld.web.id/2013/11/penjelasan-Secara-Rinci-Tentang-Hukum- Maritim.html?m=1, pada Pukul 03:44. 19 Januari 2018.

24 Boer Mauna, op.cit, hlm. 304.

(41)

The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari ketiga Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea mendefenisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia, menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. UNCLOS mulai berlaku sejak tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 menandatangani perjanjian, sejak saat ini 161 negara dan masyarakat eropa telah bergabunga dalam Konvensi (UNCLOS). Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi.

Setelah Perang Dunia Kedua, masyarakat internasional meminta agar PBB Internasional Commission mempertimbangkan kodifikasi hukum yang ada yang berkaitan dengan lautan. Komisi mulai bekerja ke arah ini pada tahun 1949 dan menyiapkan empat rancangan konvensi, yang diadopsi pada konvensi PBB pertama tentang Hukum Laut.

Konferensi PBB pertama tentang hukum laut bertemu di Jenewa dari 24 Februari sampai 29 April 1958. Sebanyak 86 negara yang diwakili pada diskusi. Untuk sebagian besar apa yang dicapai adalah kodifikasi praktek adat pada waktu itu. Ada upaya untuk berlayar ke dalam air unchartered, tapi sedikit kemajuan telah dibuat. Ketidakmampuan UNCLOS I untuk menyelesaikan beberapa masalah menjengkelkan, termasuk khususnya lebar laut territorial, menyebabkan UNCLOS kedua

(42)

pada tahun 1960 dan akhirnya pada UNCLOS III, yang berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember 1982. Kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS I dirangkum dalam empat Konvensi berikut:25

a. Konvensi tentang High Seas

b. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan c. Konvensi tentang Landas Kontinen

d. Komvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Laut Tinggi.

Pada tahun 1960 digelar UNCLOS II dengan tujuan untuk penyempurnaan hasil-hasil yang telah dicapai UNCLOS I, konvensi ini digelar dari tanggal 17-26 April 1960. Namun UNCLOS II tidak menghasilkan perjanjian internasional. Konferensi ini sekali lagi gagal memperbaiki luasnya seragam untuk wilatah atau membangun konsensus tentang hak-hak nelayan berdaulat.

Sementara UNCLOS III dimulai dari tahun 1973 ke 1982. UNCLOS III membahas isu-isu dibeli di konferensi sebelumnya. Lebih dari 160 negara berpartisipasi dalam konvensi 9 tahun, yang akhirnya mulai berlaku pada tanggal 14 November 1994, 21 tahun setelah pertemuan pertama UNCLOS III dan satu tahun setelah ratifikasi oleh negara keenam puluh.

Setelah disahkannya Konferensi ketiga (UNCLOS III) yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982

25 Sangkoeno, Sejarah Lahirnya UNCLOS, diakses dari

http://www.sangkoeno.com/2016/07/sejarah-lahirnya-unclos.html?m=1, pada Pukul 19:55. 25 Desember 2017.

(43)

(United Nations Convention on the Law of the Sea) yang ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember 1982.

UNCLOS 1982 membagi laut dalam tiga bagian, yaitu: pertama, laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya (yaitu laut teritorial, laut pedalaman); kedua, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatannya namun negara tersebut memiliki hak-hak dan yurisdiksi terhadap aktivitas tertentu (taitu zona tambahan, zona ekonomi eksklusif);

ketiga, laut yang bukan merupakan wilayah kedaulatannya dan bukan merupakan hak/yurisdksi, namun negara tersebut memiliki kepentingan, yaitu laut bebas.26

1) Perairan Pedalaman

Lebar laut teritorial diukur dari “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut dinyatakan sebagai perairan pedalaman.27 Secara garis besar, perairan pedalaman terdiri atas:28

a) Laut pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal.

b) Perairan darat yaiyu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal maupun bekas garis pangkal normal.

26 Retno Windari, 2009, Hukum Laut, Zona-zona Maritime Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi Bidang Maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut), hlm.

19.

27 Lihat Pasal 5 UNCLOS 1982.

28 Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 32.

(44)

c) Perairan kepulauan (Archipelagic Water) yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan.

2) Perairan Kepulauan (Archipelagic water)

Perairan kepulauan merupakan zona maritim yang tidak dimiliki oleh semua negara panta, namun hanya dimiliki oleh negara-negara pantai yang dikategorikan sebagai negara kepulauan. Menurut Pasal 49 UNCLOS 1982 yang dimaksud perairan kepulauan adalah perairan yang dilingkupi oleh garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base Line) tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.29

Di perairan kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (Right of the Innocent Passage) bagi kapal asing yang dinyatakan dalam Pasal 52 (2) UNCLOS 1982. Namun demikian, apabila berkaitan dengan keamanan dan pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan Hak Lintas Damai di Perairan Kepulauan tanpa ada pengecualian.

3) Laut Territorial

Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi 12 mil laut diukur dari pangkal seperti yang tercantum dalam Pasal 4 UNCLOS 1982. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut.30

Pasal 15 UNCLOS mengatur penetapan garis batas territorial di antara negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau

29 Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit, hlm. 30.

30 T. May Rudy, 2006, Hukum Internasional II, Refika Aditama, Bandung, hlm. 18

(45)

berdampingan, tidak satupun dari kedua negara berhak, kecuali ada persetujuan sebaliknya diantara mereka, untuk menetapkan batas laut territorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing- masing negara itu diukur.

4) Zona Tambahan

Landasan yuridis Zona Tambahan mengacu pada Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari garis lebar laut teritorial diukur

Menurut UNCLOS 1958 maupun1982, sebuah negara pantai harus memutuskan apakah akan mengklaim zona tambahan atau tidak, karena zona ini tidak diberikan secara otomatis kepada negara pantai.

5) Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

Berdasarkan Pasal 55 UNCLOS 1982 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan suatu daerah atau area yag terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Ini menunjukkan bahwa ZEE berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara, tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak atau yurisdiksi- yurisdiksi tertentu. Hak-hak berdaulat negara pantai di ZEE bersifat residu, karena hanya berlaku terhadap sumber daya hayati yang terkandung di dalam zona tersebut dan tidak meliputi perairan dan ruang udara diatasnya.31

31 Didik Mohamad Sodik, 2014, Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 82.

(46)

6) Landas Kontinen (Continental Shelf)

Landas Kontinen dalam pengertian yuridis mulai diatur di melalui UCLOS 1958 yang kemudian Konferensi Hukum Laut di Jenewa Swiss pada tahun 1958 tersebut juga menghasilkan Konvensi Tentang Landas Kontinen.32 Melaui Pasal 1 Konvensi tentang Landas Kontinen tersebut, Landas Kontinen diartikan sebagai dasar laut dan tanah di luar wilayah laut teritorial, sampai pada 200 meter atau lebih, sepanjang kedalaman air di atasnya masih memungkinkan untuk dapat mengeksploitasi sumber daya alamnya.

D. Gambaran Umum Sengketa Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan adalah merupakan laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik yang meliputi sebagian wilayah dari singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3,5 juta km persegi.

Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah (searah jarum jam dari utara) RRC termasuk (Macau dan

32 Suryo Sakti Hadiwijoyo, op.cit, hlm. 36.

(47)

Hongkong), Republik Cina (Taiwan), Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia dan Vietnam.33

1. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan

Sengketa di Laut Cina Selatan ini diawali oleh klaim Republik Rakyat Cina atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992. Hal ini dipicu oleh karena Cina pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan Kepulauan Spartly dan Paracel dan Pratas. Pada tahun yang sama, Republik Rakyat Cina mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut.34 Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Tidak hanya Vietnam, sejumlah negara lain juga turut mengklaim Kepulauan Spartly dan Paracel termasuk dalam wilayah teritorialnya.

Sejumlah negara yang bersengketa atas hak kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan selama beberapa abad adalah Taiwan, Filipina, Malaysia dan juga Brunei kembali megalami ketegangan beberapa tahun terakhir oleh karena Cina secara terang-terangan melangkah lebih jauh dengan membangun pulau-pulau buatan serta menggelar patroli laut secara teratur di sana. Pada tahun 2016, Filipina geram atas tindakan Cina tersebut dan bahkan Filipina menggugat Cina ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda.

33 Anugerah Baginda Harahap, “Upaya ASEAN Dalam Menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan Tahun 2010-2015”, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Riau,

Pekanbaru, hlm 2.

34 Evelyn Goh, 2005, Meeting the China Challenge: The U.S in Southheast Asian Regional Security Strategies, East- West Center Washintong, hlm 11

(48)

Pada bulan Juli 2016, Mahkamah Internasional memutuskan untuk menolak kepemilikan Cina atas kawasan kepemilikan wilayah perairan di Laut Cina Selatan akan tetapi Pemerintah Beijing menepis dan mengaku tidak akan terpengaruh dengan putusan tersebut.35 Dalam putusan tersebut juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan Cina di Perairan itu tidak memberi hak apapun kepada Pemerintah Cina.

Mahkamah menyatakan bahwa Cina telah melakukan penggaran atas hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan bahwa Cina telahh menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.

Hakim di ppengadilan mendasarkan putusan mereka pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang ditandatangani baik oleh pemerintah Cina maupun Filipina. Keputusan ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk menerapkanya.

Jadi dapat dikatakan bahwa sengketa Laut Cina Selatan disebabkan karena letak geografisnya sebagai jalur pelayaran dan perdagangan internasional, dan juga SDA yang ada di dalamnya akan sangat menguntungkan bagi siapapun negara yang menguasainya.

2. Pihak-pihak yang Bersengketa di Laut Cina Selatan a. Vietnam

Pada sengketa di wilayah Perairan Laut Cina Selatan, Vietnam merupakan bagian dari negara Asia Tenggara yang ikut menjadi negara pengklaim atas masalah di Laut Cina Selatan. Klaim Vietnam didasarkan pada latar belakang sejarah Perancis tahun 1930-an masih menjajah

35 BBC, Cina Tegaskan Klaim Wilayah Laut Cina Selatan yang Masih Jadi Sengketa, diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/dunia/38730199, pada pukul 13.00. 14 maret 2018

(49)

Vietnam. Pada saat itu kepulauan Spartly dan Paracel di bawah kontrol Perancis. Setelah merdeka dari Perancis, Vietnam kemudian mengklaim kedua pulau tersebut, serta memaka argument dasar landas kontinen.

Vietnam mengkalim daerah Spartly sebagai daerah lepas pantai provinsi Khanh Hoa. Klaim Vietnam mencakup area yang cukup luas di Laut Cina Selatan dan Vietnam telah menduduki sebagian kepulauan Paracel sebagai wilayahnya.

b. Filipina

Adapun negara anggota ASEAN yang menjadi negara pengklaim atas wilayah perairan Laut Cina Selatan yaitu Filipina. Filipina juga mengklaim Kepulauan Spartly berdasarkan pada prinsip landas kontinen serta eksplorasi Spartly pleh seorang penjelajah Filipina pada tahun 1956, menurut data penjelajah Filipina bahwa pulau-pulau yang diklaim adalah:

1) bukan bagian dari kepulauan Spartly, dan 2) tidak dimiliki oleh negara manapun serta terbuka untuk diklaim. Tahun 1971, Filipina secara resmi menyatakan 8 pulau di Spartly sebagai bagian dari provinsi Palawan. Ada 8 pulau yang diklaim dan dikuasai Fiipina di Spartly, luas total lahan pulau- pulau ini adalah 790.000 meter persegi.

c. Malaysia

Negara yang juga mengklaim sebagian dari kepulauan wilayah perairan Laut Cina Selatan bahwa kepulauan tersebut merupakan bagian dari kepulauannya adalah Malaysia. Klaim Malaysia berdasarkan pada prinsip Landas kontinen, berkaitan dengan hal itu Malaysia telah membuat batas yang diklaimnya dengan koordinat yang jelas. Malaysia telah

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat seperti oase pada gurun yang berarti tempat berteduh di perkotaan yang sangat padat. Suatu ruang terbuka publik bermanfaat juga bagi kesehataan

f) Made subordinate felt valuable, treat them as a partner or teamwork. Third, the role of motivation. The influence of the relationship and the motivation is if the role of

applicable to non-joint stock companies) Modal yang termasuk phase out dari CET1 N/A 5 Common share capital issued by subsidiaries and held by.. third parties (amount allowed

Kecuali sebagaimana disebutkan dalam jaminan ini dan sebatas yang diizinkan oleh undang-undang yang berlaku, ASUS tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung, khusus,

koordinat pada sebuah citra digital, menyimpan informasi mengenai intensitas cahaya  warna • Grafika Komputer memproses data menjadi citra,.. proses penggambaran pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan teori nilai konsumsi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pilihan konsumen mengenai produk ramah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui volume sampah organik; pendapatan yang diperoleh dari produksi kompos; biaya operasional dan pemeliharaan; nilai finansial

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Leverage,