• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Hubungan Perencanaan Wilayah Dengan SDM Dan Kualitas

2.2.1 Sumber Daya Manusia Dalam Konteks Kewilayahan

Strategi pembangunan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah pada dasarnya diarahkan untuk (1) mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di luar Jawa-Bali dan Sumatera dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera; (2) meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui peningkatan perdagangan antarpulau untuk mendukung perekonomian domestik; dan

(3) meningkatkan daya saing daerah melalui pengembangan sektor-sektor unggulan di tiap wilayah, (4) Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan strategis dan cepat tumbuh, kawasan perbatasan, kawasan terdepan, kawasan terluar dan daerah rawan bencana; serta (5) Mendorong pengembangan-pengembangan di tiap wilayah mengacu pada strategi dan arah kebijakan yang berbasiskan perencanaan wilayah darat melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan berbasiskan perencanaan wilayah laut melalui Arah Pengembangan Wilayah Laut.

Selain itu, strategi pembangunan juga mengacu pada paradigma Pembangunan untuk Semua (Development for All). Paradigma ini bertumpu pada 6 (enam) strategi dan arah kebijakan, yaitu:

Pertama, strategi pembangunan inklusif yang mengutamakan keadilan, keseimbangan dan pemerataan. Semua pihak harus dan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan melalui penciptaan iklim kerja untuk meningkatkan harkat hidup keluar dari kemiskinan. Seluruh kelompok masyarakat harus dapat merasakan dan menikmati hasil-hasil pembangunan terutama masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, kawasan perdesaan, daerah pedalaman, daerah tertinggal dan daerah pulau terdepan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri; serta Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Pulau Terdepan dan daerah pasca konflik dan pasca bencana merupakan program yang diarahkan langsung untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif.

Kedua, strategi pembangunan berdimensi kewilayahan. Strategi pembangunan wilayah mempertimbangkan kondisi geografis, ketersediaan sumber daya alam, jaringan infrastruktur, kekuatan sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia menyebabkan yang tidak sama untuk setiap wilayah. Strategi pembangunan wilayah juga memperhitungkan basis daratan dan basis kepulauan atau maritim sebagai satu kesatuan ruang yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, strategi pembangunan berdimensi kewilayahan memperhatikan tata ruang wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. Dengan strategi ini, kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengoptimalkan potensi dan keunggulan daerah dan membangun keterkaitan antarwilayah yang solid termasuk mempercepat pembangunan pembangkit dan jaringan listrik, penyediaan air bersih, serta pengembangan jaringan transportasi (darat, laut dan udara) dan jaringan komunikasi untuk memperlancar arus barang dan jasa, penduduk, modal dan informasi antarwilayah.

Ketiga, strategi pembangunan yang mendorong integrasi sosial dan ekonomi antarwilayah secara baik. Dalam hal ini perhatian terhadap pengembangan pulau- pulau besar, kecil dan terdepan harus dilakukan dengan memperhatikan poteni daerah sebagai modal dasar yang dikelola secara terintegrasi dalam kerangka geoekonomi nasional yang solid dan kuat. Dengan kesatuan ekonomi nasional yang kuat untuk lima tahun mendatang, maka posisi tawar Indonesia dalam globalisasi percaturan perekonomian dunia, secara geo-ekonomi berada pada posisi yang lebih kuat, dan lebih berdaya saing. Kebijakan untuk memperkuat integrasi sosial dan ekonomi

antarwilayah diarahkan pada pengembangan pusat-pusat produksi dan pusat-pusat perdagangan di seluruh wilayah terutama di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Keempat, strategi pengembangan ekonomi lokal. Pengembangan ekonomi lokal menjadi penting dan mendesak sebagai upaya memperkuat daya saing perekonomian nasional. Para gubernur, bupati dan walikota mempunyai kewenangan yang luas dan peran dominan dalam pengembangan ekonomi lokal. Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendorong pembangunan daerah pada intinya mempunyai arah sebagai berikut:

1. Menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang;

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar;

3. Mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang; (4) memperkuat kerjasama antardaerah; dan

4. Membentuk jaring ekonomi yang berbasis pada kapasitas lokal dengan mengkaitkan peluang pasar yang ada di tingkat lokal, regional dan internasional;

5. mendorong kegiatan ekonomi bertumpu pada kelompok, termasuk pembangunan prasarana berbasis komunitas; dan

6. Memperkuat keterkaitan produksi-pemasaran dan jaringan kerja usaha kecil- menengah dan besar yang mengutamakan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif daerah.

Kelima, strategi pembangunan disertai pemerataan (growth with equity) yang bertumpu pada keserasian pertumbuhan ekonomi (pro-growth) dalam menciptakan kesempatan kerja (pro-jobs) dan mengurangi kemiskinan (pro-poor) yang tetap berdasarkan kelestarian alam (pro-environment). Kebijakan pembangunan diarahkan untuk memperkuat keterkaitan antarwilayah (domestic interconnectivity), membangun dan memperkuat rantai industri hulu hilir produk unggulan berbasis sumber daya lokal, mengembangkan pusat-pusat produksi dan perdagangan baik di Jawa-Bali maupun di luar wilayah Jawa Bali yang didukung dengan penyediaan prasarana dan sarana, peningkatan SDM, pusat-pusat penelitian, pembangkit listrik dan penyediaan air bersih; serta perbaikan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal. Sejalan dengan arah kebijakan ini, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan salah satu dorongan untuk menciptakan dan membangun pusat-pusat pertumbuhan dan perdagangan di seluruh wilayah.

Keenam, strategi pengembangan kualitas manusia. Orientasi pembangunan adalah peningkatan kualitas manusia (the quality life of the people) sebagai bagian dari penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat terutama pangan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan air bersih, perumahan, sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan. Oleh sebab itu, kebijakan pembangunan akan diarahkan pada peningkatan akses dan mutu layanan dasar

termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan air bersih, perumahan, sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan terutama bagi masyarakat yang berada di daerah perdesaan, kawasan perbatasan, pulau-pula terluar dan daerah pasca konflik dan pasca bencana. Dengan meningkatnya kualitas manusia, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat dan membaik secara merata di seluruh wilayah.

Salah satu hasil penelitian yang mengkaitkan tentang kewilayahan, pengembangan wilayah dan peningkatan SDM adalah Penelitian yang dilakukan oleh Jarisding, La Ode (2006) tentang Potensi Dan Masalah Perkembangan Wilayah Di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara memberikan gambaran berbagai permasalahan permasalahan perkembangan wilayah di daerah adalah: (1) Kurang memanfaatkan potensi terkait dengan fenomena perkembangan wilayah masa lalu; (2) Konflik perwilayahan dalam penataan ruang; (3) Lemahnya kekuatan endogen, berupa keterbatasan sarana prasarana, SDA, pariwisata, SDM dan tenaga kerja; (4) Sosial- ekonomi; (5) Situasi politik lokal; (7) Letak geografis; (8) Globalisasi dan teknologi. Untuk menjawab Research Question dan untuk mengetahui potensi endogen dan eksogen perkembangan wilayah, maka dilakukan langkah-langkah: analisis potensi dan masalah perkembangan wilayah Kabupaten Muna berdasarkan fenomena sejarah; analisis potensi dan masalah perwilayahan; analisis potensi endogen wilayah dan permasalahannya; analisis potensi dan masalah perekonomian; analisis potensi dan masalah politik lokal terhadap perkembangan wilayah Kabupaten Muna. Metode analisis yang digunakan adalah orde kota, Jarak dan waktu tempuh minimum ke pusat

pelayanan untuk mengidentifikasi potensi dan masalah perwilayahan; peran sektor, struktur perekonomian dan daya dukung lahan pertanian untuk mengidentifikasi potensi dan masalah perekonomian Kabupaten Muna.

Pada keseluruhan analisis juga menggunakan metode pemetaan potensi. Berdasarkan hasil analisis potensi dan masalah perkembangan wilayah di Kabupaten Muna, secara keseluruhan Kabupaten Muna kurang berkembang terutama Pulau Buton Bagian Utara dan faktor utama penyebabnya adalah kondisi politik lokal. Kebijakan-kebijakan politik pembangunan selama ini belum maksimal dalam mendorong perkembangan wilayah. Kondisi politik yang demikian menyebabkan kekuatan endogen dan eksogen wilayah yang harusnya merupakan modal utama pembangunan tidak termanfaatkan dengan baik. Fenomena-fenomena yang terjadi berhubungan dengan kebijakan politik pembangunan yang kurang berorientasi pada kekuatan endogen dan eksogen wilayah di Kabupaten Muna adalah: (1) Potensi integrasi atau penyatuan wilayah pada jaman Kerajaan Muna, cenderung menjadi masalah dengan mengemukanya sifat primordialisme; (2) Penentuan pusat pelayanan dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) tidak tepat, sehingga pelayanan masyarakat tidak optimal; (3) Disparitas pembangunan infrastruktur antara Pulau Buton dan Pulau Muna; (3) Potensi sumberdaya alam dan pariwisata belum dikelola dan dimanfaatkan; (4) Konstribusi komoditas ekspor utama Kabupaten Muna terhadap perkembangan wilayah sangat kurang. Untuk meminimalisir permasalahan perkembangan wilayah di Kabupaten Muna, dilakukan beberapa strategi: (1) Melakukan regionalisasi desentralistik dengan model kerjasama antar kabupaten/kota

yang didasari inisiatif dan komitmen bersama untuk membangun wilayah; (2) Hal mendasar perlu dilakukan Pemerintah Kabupaten Muna terhadap pembangunan wilayah di Buton Utara adalah membangun infrastruktur jalan, membangun prasarana pendidikan terutama gedung SLTP dan SLTA, membangun Puskesmas fasilitas rawat inap serta menambah tenaga dokter, membangun jaringan air bersih, listrik, telekomunikasi dan membangun kantor pelayanan pemerintah satu atap; (3) Merevisi kembali penentuan pusat pelayanan dalam SWP; (4) Untuk meningkatkan Value Added komoditas ekspor utama Kabupaten Muna, maka perlu pembangunan industri pengolahan komoditas jambu mete dan optimalisasi industri pengolahan kayu jati yang didukung dengan kebijakan investasi dipermudah; (5) Hal yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Muna adalah tingkat integritas dan profesionalisme yang tinggi para penentu kebijakan.

Beberapa studi tentang berbagai persoalan dalam pemekaran daerah pernah dilakukan antara lain oleh Bappenas (2005), Lembaga Administrasi Negara (2005), dan Departemen Dalam Negeri (2005). Untuk melengkapi studi tersebut, telah dilakukan studi evaluasi oleh Building and Reniventing Decentralised Governance

(“BRIDGE”) yang dirancang untuk mencapai tiga tujuan:

a. Mengevaluasi perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan, serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat;

b. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi dalam masa pemekaran daerah, khususnya dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan;

c. Merumuskan rekomendasi kebijakan berkaitan dengan pemekaran daerahHasil dari studi pemekaran daerah ini menunjukkan temuan yang patut untuk diperhatikan dari masingmasing aspek yang dianalisis.

Tim studi menyimpulkan dalam jangka pendek diperlukan perubahan pola belanja aparatur pemerintah daerah, supaya pembangunan mampu menciptakan permintaan baru terhadap peningkatan pelayanan publik. Aparatur pemerintah daerah harus lebih diarahkan pada peningkatan kualitas aparatur sesuai dengan kompetensi aparatur yang diperlukan oleh daerah, mulai dari tahap penerimaan tetapi juga mencakup promosi dan mutasi aparatur. Di samping itu, diperlukan penataan aparatur pada daerah transisi. Hal ini secara nasional perlu dibuat semacam grand design

penataan aparatur, khususnya aparatur pada tingkat pemerintah daerah. Dengan kata lain diperlukan dukungan lebih besar dari pemerintah pusat kepada daerah induk yang melakukan persiapan pemekaran berdasarkan PP 129/2000 dan juga daerah pemekaran. Langkah ini tidak dengan sendirinya berarti terjadi desentralisasi, tetapi mengakui peranan pemerintah pusat dalam menjaga tercapainya pembangunan berkualitas daripada asal pembentukan daerah-daerah pemerintahan baru. Hal ini selain merupakan azas pembangunan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan juga mencerminkan prioritas nasional yang berkaitan dengan proses desentralisasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Aparatur pemerintah menjadi hal pokok yang dievaluasi, untuk mengetahui seberapa jauh ketersediaan aparatur dapat memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat. Semakin banyak jumlah aparatur yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, semakin baik pula ketersediaan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam evaluasi pemekaran daerah terdapat tiga indikator utama yang dapat menunjukkan ketersediaaan dan kualitas aparatur pemerintah, yakni salah satunya adalah Tingkat pendidikan merefleksikan tingkat pemahaman dan pengetahuan. Semakin tinggitingkat pendidikan aparatur, semakin besar pula potensi untuk meningkatkan kualitaskerjanya.

Dokumen terkait