• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Gempa di Jawa

Dalam dokumen ENTERIM REPORT TERM I (Halaman 86-89)

4 Analisis Bahaya Goncangan Tanah (Ground-motion hazard Analysis)

6.4 LAMPIRAN E: WILAYAH RAWAN GEMPABUMI DI INDONESIA

6.4.3 Sumber Gempa di Jawa

Potensi gempabumi dan tsunami untuk wilayah Pulau Jawa umumnya belum banyak diketahui. Seperti halnya di Sumatra, di Jawa pun sumber patahan gempanya ada yang di daratan dan juga di bawah Lautan di Selatan Jawa, yaitu sumber gempabumi dari sistem patahan batas lempeng dari zona subduksi Jawa.

Berdasarkan pemetaan pendahuluan regional yang sudah dilakukan (Gbr. 6) di daratan Jawa terdapat cukup banyak jalur patahan aktif yang berpotensi menghasilkan gempa merusak. Patahan aktif yang sudah cukup dikenal umum adalah Patahan Cimandiri – Lembang dan Patahan Baribis, meskipun demikian potensi bencananya belum banyak dipelajari dan mendapat perhatian serius. Patahan aktif lainnya yang sudah teridentifikasi diantaranya adalah patahan naik di wilayah Semarang – Brebes dan patahan di sebelah timur Gunung Muria dimana akan dibangun reaktor nuklir pembangkit listrik. Kemudian, di Jawa Timur terdapat jalur lipatan Kendeng yang aktif pada zaman Kuarter dan mungkin masih aktif sampai sekarang. Semburan lumpur di Porong yang banyak memakan korban lokasinya berada di ujung timur jalur lipatan ini.

Gambar E.6. Peta tektonik aktif dan sumber gempabumi di Pulau Jawa. Lempeng Australia menunjam di bawah Jawa dengan kecepatan sekitar 70 mm/tahun. Di lepas pantai terdapat zona megathrust, yaitu patahan besar pada batas lempeng penunjaman biasanya pada kedalaman di atas 50 km). Di daratan jawa terdapat indikasi banyak jalur patahan aktif (sumber peta patahan aktif: Natawidjaja dkk, 2006-laporan ke Caltech-USGS belum dipublikasikan)

Selain peta patahan aktif, laporan-laporan kuno dan catatan sejarah gempabumi di daratan Pulau Jawa sejak pertengahan abad 19 juga menunjukkan sudah banyak terjadi gempa-gempa merusak di masa lalu (Gbr. 7). Dari laporan kerusakan atau atau intensitas gempa-gempa tersebut yang wilayah kerusakannya lokal dapat disimpulkan bahwa

sumber gempanya adalah patahan-patahan aktif yang berdekatan dengan wilayah kerusakannya, bukan berasal dari gempa besar Zona Subduksi yang jauh di bawah lautan di Selatan Jawa. Dari rekaman seismik dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, belum pernah terjadi gempa dangkal yang berkekuatan skala magnitudo 7 atau lebih. Meskipun demikian, hanya dari rekaman seismik yang pendek ini belum dapat disimpulkan bahwa patahan-patahan aktif di Jawa tidak ada yang berpotensi untuk mengeluarkan gempa dengan kekuatan sampai magnitudo 7 atau lebih. Perlu penelitian lebih lanjut untuk analisis sumber gempa dan potensinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa potensi ancaman gempa di daratan P. Jawa memang lebih kecil dibandingkan dengan di daratan Sumatra, yaitu di sepanjang Patahan Sumatra. Meskipun demikian karena populasi di Jawa lebih padat dibandingkan Sumatra, juga inrastruktur dan kota-kota besar sudah lebih berkembang di Jawa maka risiko bencananya belum tentu lebih kecil dari wilayah di sepanjang Patahan Sumatra.

Gambar E.7. Peta sejarah gempa-gempa merusak di Jawa sejak tahun 1850 dari berbagai sumber. Gempa Jogya tahun 1867 dan Gempa Jogya tahun 2006 mempunyai wilayah kerusakan yang sama karena itu kemungkinan berasal dari jalur patahan aktif yang sama.

Gempa Bantul pada bulan Mei 2006 (Mw 6.2) yang memakan korban ~5000 jiwa membuktikan hal ini. Gempaini sumbernya adalah Patahan aktif Opak (Gbr?) [Natawidjaja, 2007]. Sebelumnya, pernah terjadi gempa di lokasi sama pada tahun 1867 yang waktu itu memakan korban lebih dari 500 jiwa dan menghancurkan rumah-rumah dan infrastruktur di wilayah Jogyakarta pada waktu itu. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa penguasa dan masyarakat pada waktu itu meyakini bahwa bencana serupa tidak akan terjadi lagi di masa datang. Kemungkinan ini menjadi salah satu faktor kenapa masyarakat di wilayah Jogyakarta umumnya sudah lupa tentang bencana gempabumi di masa lalu itu dan rumah-rumah di sana dibangun tanpa memperhitungkan

kemungkinan bencana gempa. Hal ini menyebabkan gempa Mei 2006 menelan begitu banyak korban jiwa dan harta.

Catatan sejarah gempa dan tsunami di masa lalu dan beberapa kejadian gempabumi di masa kini menunjukkan bahwa zona subduksi Jawa mempunyai potensi bencana yang harus diperhitungkan (Gbr.8). Seperti halnya dengan gempa di daratan, potensi gempa dan tsunami dari sumber zona subduksi di lepas pantai Selatan Jawa secara umum lebih rendah dibandingkan potensi dari zona subduksi Sumatra. Dari data gempa sejak pertengahan Abad 19 terlihat bahwa gempa besar di zona subduksi yang terjadi tidak sesering dan sebesar di Sumatra. Kekuatan gempa terbesar yang pernah terjadi belum ada yang sampai magnitudo 8. Meskipun demikian, fakta sejarah dan rekaman seismik saja belum cukup untuk mengatakan bahwa zona subduksi Jawa tidak bisa mengeluarkan gempa dengan kekuatan sampai skala magnitudo 9. Hal ini perlu penelitian geologi dan goefisika yang lebih rinci dan komprehensif.

Gambar E.8. Diagram ruang-waktu kejadian gempa bumi di wilayah selatan Jawa berdasarkan catatan sejarah dan rekaman seismik. Setiap kolom menunjukkan satu kejadian gempa. Kolom putih = skala MMI I-!V, kolom titik-tik = skala MMI V-VII, kolom hitam = skala MMI > VII . Garis bergelombang mengindikasikan wilayah yang terkena tsunami (sumber: Newcomb dan McCann, 1987).

Terlepas dari apakah zona subduksi Jawa Oleh karena itu potensi gempa dan tsunami dari zona subduksi P. Jawa harus diperhitungkan untuk mitigasi bencana alam. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman dua gempa zona subduksi masa kini, yaitu pada tahun 1994 dan tahun 2006. Gempa dan tsunami Pangandaran tejadi pada bulan Juli 2006 (Mw7.7), hanya dua bulan setelah gempa di Bantul,. Sumbernya adalah pelepasan tekanan tektonik pada megathrust di zona subduksi Jawa (Gbr.9). Gempa serupa yang juga disertai tsunami serupa pernah terjadi di wilayah Pancer, Jawa Timur tahun 1994 (Mw7.6). Pengalaman dua gempa ini menunjukan bahwa walaupun gempanya bermagnitudo tidak sampai skala 8 tapi bisa menghasilkan tsunami yang cukup besar.

Gambar E.9. Peta kegempaan di Pulau Jawa sejak tahun 1973 (sumber data: NEIC-USGS catalog 1973-2006) memperlihatkan aktifitas kegempaan pada patahan aktif di daratan dan patahan zona subduksi. Wilayah sepi gempa diantara wilayah gempa Pangandaran Juli 2006 dan gempa tahun 1994 di Pancer Jawa Timur dan juga di sebelah barat gempa Pangandaran bisa ditafsirkan sebagai ”seismic gap” yang berpotensi untuk mengeluarkan gempa besar di masa datang.

Untuk mitigasi bencana gempabumi di Pulau Jawa, mengingat data patahan aktif dan potensi bencana gempanya masih sedikit, diperlukan program penelitian yang komprehensif meliputi pemetaan patahan aktif detil, studi paleoseismologi, studi pergerakan lempeng dengan metoda geodesi (GPS), dan karakterisasi potensi gempabumi dari studi data seismik .

Dalam dokumen ENTERIM REPORT TERM I (Halaman 86-89)

Dokumen terkait