• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada masa pemerintah Orde Baru, para tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara diberikan ruang untuk beraktivitas sesuai dengan keingingannya. Sebagian dari mereka memilih berprofesi sebagai pengusaha dan sebagian lagi menjadi politisi Golkar. Mereka yang memilih profesi sebagai pengusaha diberikan kemudahan untuk mendapatkan akses modal dan fasilitas lainnya seperti perizinan. Sedangkan yang menjadi politisi harus mengikuti tahapan penjenjangan yang diatur oleh para penguasa Orde Baru. Di samping itu, bagi tokoh Pemuda Pancasila yang memilih profesi sebagai pegawai negeri, juga diberikan kemudahan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi jika mengikuti arahan pimpinan birokrasi.

Pada masa Orde Baru, anak-anak muda yang direkrut menjadi anggota Pemuda Pancasila itu diharuskan memberikan dukungan kepada Golongan Karya. Di antara mereka kemudian memilih aktif sebagai pengurus Golongan Karya, meskipun latar belakang sebagai anak jalanan atau preman masih melekat pada dirinya. Selain menjadi pengurus Golongan Karya, anak-anak muda tersebut diberikan posisi penting sebagai pengurus organisasi pemuda (KNPI), buruh (SPSI), nelayan (HNSI), dan lain-lainnya. Posisi mereka di organisasi tersebut hanya berfungsi sebagai pelaksana lapangan dari suatu keputusan yang diambil. Aparat militer di Sumatera Utara menjadi institusi yang melindungi mereka.

Dukungan politik yang diberikan pemerintah Orde Baru kepada Pemuda Pancasila di Sumatera Utara memberi kekuatan tersendiri bagi para pimpinannya. Bagi para kader yang memilih profesi sebagai politisi harus menunjukkan loyalitas kepada pimpinan partai di daerah yaitu Ketua Golongan Karya Provinsi Sumatera

Utara.60 Untuk menjadi kader yang bisa dipercaya ada serangkaian tahapan yang

harus dilewati seperti penelitian khusus (litsus61), mengikuti jenjang pelatihan,

                                                                                                                         

60 Masa Orde Baru, Ketua Golongan Karya Tk. I Sumatera Utara dan di hampir semua daerah tingkat II selalu berasal dari militer. Ini menunjukkan bahwa militer yang mengatur sirkulasi calon pemimpin di daerah atas dasar loyalitas kepada rezim Orde Baru.

61 Litsus adalah penelitian khusus yang digelar oleh pemerintah Orde Baru sebagai bagian dari operasi pemantapan pemerintahan terhadap pegawai eksekutif maupun legislatif. Kebijakan ini dilakukan untuk melihat anggota masyarakat yang terlibat PKI.

penataran P462, dan lain-lainnya. Setelah lulus ujian tersebut maka ujian lapangan pun menjadi penilaian seperti tugas-tugas untuk menertibkan basis massa dan menjamin tidak ada demonstrasi menentang pemerintah Orde Baru.

Para kader Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara relatif tidak memiliki kebebasan untuk bertindak atas kehendaknya sendiri dan anggota organisasinya. Semua tindakan organisasi harus mendapatkan persetujuan dari elit di Jakarta. Bagi mereka yang dapat menunjukkan loyalitas seperti itu akan dipercaya menjadi pemimpin organisasi masyarakat yang akan menaikkan status sosial sekaligus status ekonominya. Tidak begitu sulit bagi mereka untuk menjadi pengurus partai politik dan anggota legislatif di Provinsi Sumatera Utara. Setiap pemilu berlangsung, mereka diletakkan pada posisi nomor urut jadi yang dipastikan akan terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Kondisi berbeda terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika kebijakan demokrasi dan desentralisasi ditetapkan, suasana reformasi mengubah posisi politik kader-kader Pemuda Pancasila. Setelah reformasi, sebagian kader Pemuda Pancasila tidak hanya menjadi politisi Golkar, tetapi di antara mereka beralih keanggotaan dan menjadi pengurus partai politik lainnya di Sumatera Utara. Modal ekonomi dan politik yang dimiliki pada saat Orde Baru, mereka gunakan pada masa reformasi untuk mendapatkan kekuasaan di partai politik lainnya dengan cara memberikan sumbangan uang untuk dapat dicalonkan menjadi anggota legislatif. Mereka relatif memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan sendiri untuk pengembangan karir politik dirinya dan organisasinya.

Sebagai contoh, di bidang politik, untuk mendukung calon yang akan menjadi ketua partai atau kepala daerah mereka bebas menentukan calonnya

sendiri tanpa ada arahan dari elit politik di Jakarta.63 Sebelum reformasi, kebebasan

menentukan pilihan itu tidak terbuka bahkan arahan dari Jakarta harus dipatuhi sebagai bentuk loyalitas kader kepada organisasi. Setidaknya aspirasi anggota dari

bawah (buttom up) harus didengar agar keputusan dapat dilaksanakan. Di bidang

ekonomi, kader Pemuda Pancasila yang berprofesi sebagai pengusaha menguasai                                                                                                                          

62 P4 singkatan dari Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila. Setiap aktivis partai politik diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 yang dilangsungkan dengan berbagai metode dan pola jam pengajaran.

63 Kasus ini terjadi pada saat pemilihan Walikota Medan pada tahun 2000 oleh DPRD Kota Medan. Ketika itu, anggota DPRD yang berasal dari kader Pemuda Pancasila relatif bebas mengambil putusan dari pilihannya sendiri. Lihat Vedi R. Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan…..... hal. 237-240.

proyek-proyek pemerintah daerah yang bersumber dari APBD dan APBN dengan cara-cara kekerasan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan karena telah diatur oleh aparat pemerintah Orde Baru di daerah. Tindakan kekerasan itu dilakukan karena penawaran proyek dilakukan secara terbuka.

Tabel 2.5

Tokoh Pemuda Pancasila yang Menjabat Pimpinan Partai Politik dan Birokrasi di Sumatera Utara

No. Nama Profesi dan Asal

Organisasi Pemuda

Jabatan di Partai Politik dan Publik

1. Syamsul Arifin - Pengusaha/Pemborong

di Pertamina

Pangkalan Berandan

- Pemuda Pancasila

- FKPPI Sumatera Utara

- Pengurus Golongan Karya

- Anggota DPRD Kabupaten

Langkat (1982-1987,1987- 1999)

- Bupati Langkat (1999-2004,

2004-2009)

- Gubernur Provinsi Sumatera

Utara (2008-2013)

- Ketua Partai Golkar

Provinsi Sumatera Utara (2009-2015)

2. Ajib Shah - Pengusaha

- Pemuda Pancasila

- Ketua MPW Pemuda

Pancasila Sumatera Utara (1997-1999)

- Wakil Ketua DPD Golongan

Karya Sumatera Utara

- Anggota DPRD Kota

Medan dari Partai Golkar (1987-1992)

- Anggota DPRD Provinsi

Sumatera Utara dari Partai Golkar (2009-2014)

3. Marzuki - Ketua MPW Pemuda

Pancasila 1986-1996

- Wakil Ketua DPD Golkar

Sumut

- Anggota DPRD Provinsi

Sumatera Utara (1999-2004)

4. Bangkit Sitepu - Pengusaha

- Pemuda Pancasila

- Ketua DPC Pemuda

Pancasila Kota Medan

- Pengurus Golongan Karya

- Anggota DPRD Kota

Medan dari Partai Golkar (1999-2004, 2004-2009)

- Anggota DPRD Kota

Medan dari Partai Patriot (2009-2014)

5. Martius

Latuperissa

- Politisi

- Pemuda Pancasila

- Ketua FKPPI Medan

- Pengurus Golongan Karya

- Ketua PKPI Kota Medan

- Anggota DPRD Kota

Medan (1999-2004)

- Pemuda Pancasila

- Ketua DPC Pemuda

Pancasila Kota Tebing Tinggi

Tebing Tinggi

- Ketua DPRD Kota Tebing

Tinggi (2004-2009, 2009- 2014) 7. Syahrul Pasaribu - Anggota MPO Pemuda Pancasila Sumatera Utara

- Wakil Ketua DPD Golkar

Provinsi Sumatera Utara

- Sekretaris Fraksi Partai

Golkar DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

- Bupati Tapanuli Selatan

2010-2015

8. Eddi Rangkuti - Pemuda Pancasila - Pengurus DPD PDIP

Sumatera Utara

- Anggota DPRD Provinsi

Sumatera Utara

Sumber: diolah dari berbagai informasi. Daftar tabel di atas hanya contoh dari beberapa tokoh Pemuda Pancasila yang awalnya dikenal sebagai preman masuk menjadi pemimpin partai politik, anggota legislatif dan pemimpin di eksekutif. Data lengkap mengenai anggota Pemuda Pancasila yang menduduki jabatan sebagai pimpinan partai politik, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif setelah reformasi dapat dilihat dalam Lampiran 5 Disertasi.

Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh para tokoh Pemuda Pancasila diperoleh dengan berbagai macam cara, sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang tumbuh dan berkembangnya Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Pada tahap pembentukan, sumber kekuasaan diperoleh dengan mengandalkan kekuatan fisik atau otot. Tahap pembentukan itu berjalan selama sekitar 25 tahun yaitu 1959- 1984. Pada tahapan pemantapan, sumber kekuasaan tidak hanya berasal dari kekuatan fisik, tetapi juga mengandalkan kekuatan ekonomi.

Sejak awal pembentukan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, rekrutmen anggota didapat dari pemuda jalanan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Jauh sebelum pembentukan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, ada tokoh pemuda

yang memiliki pengaruh terhadap sekelompok pemuda lainnya.64 Pengaruh itu

terjadi karena mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup anggotanya sehari-hari. Pimpinan Pemuda Pancasila memberikan kepada para anak muda -yang kebanyakan menganggur itu– berupa pekerjaan seperti menjaga bioskop, perparkiran, menjaga keamanan wilayah, dan lain sebagainya. Ketika itu, persoalan                                                                                                                          

64

Kebanyakan orang-orang di kota Medan dan sekitarnya menyebut mereka ini sebagai preman. Di antara mereka itu, selain berani dan nekad, namun ada yang memiliki kecerdasan yang cukup baik untuk membina para pemuda lainnya agar tidak melakukan tindakan yang dapat merusak seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya. Pemuda yang dikenal sebagai preman dan memiliki kecerdasan yang baik itulah kemudian direkrut menjadi ketua Pemuda Pancasila.

sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal menjadi masalah utama khususnya di kota-kota besar Sumatera Utara seperti kota Medan, Binjai, dan Lubuk Pakam.

Pada umumnya, anak-anak muda yang menganggur itu selalu nekad untuk melakukan tindakan merusak seperti mencuri, merampok, bahkan membunuh jika ingin memiliki sesuatu. Para ketua Pemuda Pancasila memberikan pekerjaan kepada anak-anak muda yang menganggur agar memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hampir seluruh ketua Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara dikenal dengan sebutan kepala preman. Selain berani, mereka juga digunakan oleh aparat militer untuk menghambat pengaruh komunis di Sumatera Utara sekaligus sebagai upaya merangkul dukungan kepada pemerintah Orde Baru. Untuk menjalankan misi itulah, anak-anak muda itu direkrut dan diberikan sedikit kewenangan tindakan mengatur daerah kekuasaannya.

Keberanian dengan mengandalkan kekuatan fisik menjadi salah satu sumber kekuatan yang dimiliki oleh anggota Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Namun, para pemimpinnya, yang kemudian sering disebut sebagai kepala preman, tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik saja. Para ketua Pemuda Pancasila Sumatera Utara juga menggunakan kekuatan otak untuk mengatur anggota mereka agar berbuat sesuai dengan keinginannya. Pada periode akhir Orde Lama dan menjelang

peristiwa G 30 S PKI65, pemimpin Pemuda Pancasila Sumatera Utara telah

memiliki pengaruh terhadap anggota organisasi dan diperhitungkan oleh organisasi pemuda dan kelompok yang sedang berkuasa saat itu di Sumatera Utara. Dukungan yang diberikan kepada kelompok tentara yang menentang PKI tidak hanya semata- mata untuk mempertahankan ideologi Pancasila, tetapi lebih disebabkan konteks lokal yang terjadi pada pertengahan tahun 1960.

Konteks lokal yang dimaksud adalah berkaitan dengan pengaruh kekuasaan yang diinginkan para pemimpin pemuda itu. Mereka tidak mendapat peran oleh para penguasa lokal di Sumatera Utara dan selalu berhadapan dengan kelompok yang mendukung PKI seperti Pemuda Rakyat. Setiap kegiatan kenegaraan dan pemerintahan di kota Medan, mereka selalu tidak dilibatkan bahkan sering diisukan                                                                                                                          

65

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau yang sering disingkat G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah peristiwa yang terjadi pada malam tanggal 30 September sampai awal 1 Oktober 1965. Dalam peristiwa itu enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia.

membuat kekacauan. Perlakuan penguasa lokal kepada tokoh pemuda itu yang kemudian membuat mereka bertambah marah kepada penguasa lokal dan menerima tawaran kelompok tentara yang menentang PKI. Pada saat yang sama, kelompok tentara memerlukan kekuatan pimpinan pemuda jalanan dan preman itu untuk menambah dukungan ketika berhadapan secara langsung dengan massa PKI. Dalam konteks itulah Pemuda Pancasila terbentuk di Sumatera Utara.

Pertemuan dua kepentingan tesebut kemudian berlangsung secara dinamis. Kelompok pemuda jalanan dan preman yang mengandalkan kekuatan kekerasan berupa otot dan omong bertemu dengan kekuatan tentara yang dapat memberikan mereka ruang untuk menunjukkan eksistensinya. Pada tahapan pembentukan inilah berbagai program kerjasama di antara kelompok yang menentang keberadaan PKI semakin terjalin hingga munculnya pemerintah Orde Baru. Rezim pemerintahan Orde Baru membutuhkan dukungan dari berbagai daerah dan kelompok masyarakat. Pemuda Pancasila menjadi bagian yang mendukung pemerintah Orde Baru. Para kader dan tokohnya diberikan peran untuk menjadi politisi, pengurus Golongan Karya hingga menjadi anggota legislatif dan pimpinan eksekutif. Proses ini yang disebut tahapan pematangan organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara.

Berkurangnya kendali pusat yang terjadi setelah Orde Baru tidak mengurangi pengaruh Pemuda Pancasila terhadap lembaga politik lokal di antaranya partai politik, legislatif, eksekutif, dan kelompok bisnis. Kekuatan Pemuda Pancasila menyebar di antara lembaga politik lokal tersebut dan tidak ada institusi atau tokoh dominan yang dapat menguasai lembaga politik lokal di Sumatera Utara. Menurut Vedi R Hadiz gejala ini disebutnya sebagai pembentukan jaringan patronase baru yang lebih otonom, lebih cair dan saling bersaing satu sama lain. Bahkan beragam kepentingan untuk

merebut kekuasaan di tingkat lokal terlihat bervariasi ketimbang masa Orde Baru.66

Situasi tersebut membuat tokoh dan elit Pemuda Pancasila membentuk jaringan baru di tingkat lokal yang tidak hanya mengandalkan kader dan tokoh Pemuda Pancasila tetapi tokoh lokal lainnya. Jaringan itu adalah mereka yang berprofesi sebagai politisi yang ambisius, kelompok-kelompok pebisnis baru yang berambisi tinggi, birokrat negara yang lihai, serta beraneka ragam penjahat politik, kaum kriminal, dan barisan keamanan sipil yang tumbuh pada masa Orde Baru sebagai eksekutor lapangan.                                                                                                                          

66

Mereka ini kemudian menjadi tokoh-tokoh penting dan berperan dalam proses demokrasi dan otonomi daerah di Sumatera Utara.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa sumber kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara berasal dari kekuatan fisik dan keberanian untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dari kekuatan fisik itu, pengaruh para tokoh Pemuda Pancasila semakin kuat pada saat mereka memperoleh

kekayaan atau ekonomi.67 Sedangkan cara-cara penggunaan kekuasaan paksaan,

mereka lakukan dengan cara paksaan seperti mengancam, melukai, bahkan membunuh kepada orang lain yang tidak mengikuti keinginannya. Antonio Gramschi

menyebutnya sebagai praktek dominasi atau penindasan.68

Oleh karena praktik kekuatan fisik dan uang itu pula yang kemudian banyak pihak menyebut sebagian besar prilaku anggota Pemuda Pancasila mirip dengan premanisme. Namun, bukan berarti prilaku kekerasan dan uang yang sering dilakukan membuat tokoh Pemuda Pancasila tidak disukai oleh masyarakat. Sebagian dari tokoh Pemuda Pancasila itu menjadi anggota dan pengurus partai politik dan terpilih menjadi anggota legislatif serta pejabat eksekutif di Provinsi Sumatera Utara. Jabatan formal yang diperoleh kader Pemuda Pancasila digunakan secara lebih otonom dalam menentukan pilihannya pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari para elit politik di Jakarta.

                                                                                                                         

67 Lihat penjelasan Miriam Budiardjo tentang sumber-sumber kekuasaan. Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Miriam Budiardjo. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13. Lihat juga Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 130.

68 Penjelasan tentang cara-cara penggunaan kekuasaan lihat Antonio Gramsci. 1971. Selections from

Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Roger Simon. 2000.