BAB 2
SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA:
PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK
Bab ini akan menjelaskan latar belakang berdirinya Pemuda Pancasila di
Sumatera Utara terkait dengan situasi politik nasional setelah Indonesia merdeka
hingga Orde Lama yang menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di
Jakarta dan daerah membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik
pada masa Demokrasi Parlementer juga menimbulkan pengelompokan di tingkat akar
rumput. Tidak terkecuali di Sumatera Utara, kekuatan-kekuatan politik nasional
berusaha untuk “menggarap” seluruh satuan sosial masyarakat. Salah satu organisasi
yang dibentuk untuk memobilisasi anak-anak jalanan yang berusia muda dan para
preman di Sumatera Utara itu adalah Pemuda Pancasila. Dalam perkembangannya
Pemuda Pancasila menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu militer untuk
mendukung pemerintah Orde Baru di daerah-daerah termasuk di Sumatera Utara.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi
dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak
reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya
masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda
Pancasila yang dikenal selalu mengandalkan kekuatan kekerasan memberikan
pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, lembaga legislatif, dan
eksekutif.
2.1. Sejarah Lahirnya Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dulunya dikenal dengan nama Sumatera Timur yang menjadi
salah satu wilayah perkebunan di Indonesia. Sumatera Timur adalah daerah dataran
rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur
mencapai 31.715 km2. Di daerah ini terdapat hutan-hutan Payau (Mangrove) yang
ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang
bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai,
tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi
endapan lumpur.1 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat
Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur
untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak
perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis.
Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land”
Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku
Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang China menempati
urutan ketiga.
Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari
lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat
gubernemen, bukan rakyat kerajaan.2 Komunikasi di antara mereka semakin lancar
dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928.
Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat
nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa
Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan
budaya tradisional.3 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar.
Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan
Batak Simalungun.4 Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai
Timur Sumatera. Bahwa yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa
yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta
mema-kai adat resam Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja
Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan
dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka.
Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di Bandar-Bandar
1
Karl J. Pelzer. 1985. Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.
2 Orang China, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie
(MBGD), 1912-1925 hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni. hal. 76.
3 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56.
Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan
gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.5
Tumbuh kembangnya pelbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat
kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain tidak
dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan, terutama
antara 1950-an hingga tahun 1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal.
Bermacam-macam organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini
tentu tidak dapat dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam
“MAKLUMAT PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh
Wakil Presiden Mohammad Hatta.6 Implikasi dari Maklumat tersebut di Sumatera
Utara, khususnya Kota Medan, adalah berdiri berbagai cabang organisasi untuk
merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Tujuannya tidak lain adalah untuk
memenangkan pemilihan umum nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan
akan dilaksanakan pemerintah pada Januari tahun 1946.7
Keadaan Kota Medan semakin rumit dan tidak menentu setelah timbulnya
gerakan sebagaimana diistilahkan dengan kata “revolusi sosial’ di Sumatera Timur
(April 1946). Sebagian besar anggota keluarga sultan-sultan Melayu ditangkap,
dibunuh dan hartanya dirampok. Revolusi sosial ini diumumkan oleh Wakil
Gubernur Sumatera, DR. Amir, yang mendapat tekanan dari kelompok kiri
(komunis). Kelompok kiri berusaha meyakinkan massa rakyat bahwa Kesultanan
Melayu berkhianat pada Revolusi Indonesia, karena beberapa hari setelah sekutu
mendarat pihak Kesultanan mengundang seorang pejabat tinggi Belanda untuk
menghadiri upacara penobatan Sultan Osman Sani dan pemakaman almarhum
ayahnya yang digantikannya.8 Revolusi sosial yang belakangan diketahui diatur
dan disusupi oleh unsur-unsur PKI (Partai Komunis Indonesia) ini, walaupun
singkat sempat mengakibatkan berlakunya “keadaan darurat” di seluruh Sumatera
Timur.9
5Ibid. hal.24.
6 Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8.
7 Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember 1981. hal. 18.
8 Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat:
Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: IDSN Depdikbud.hal. 202-203. 9
Era revolusi kemerdekaan hingga tahun 1950, cukup kuat memberi alasan
betapa keadaan saat itu dikatakan amat tidak aman. Masyarakat Sumatera Utara
umumnya, khususnya di Medan, merasakan situasi yang demikian mencekam itu.
Sehingga begitu memasuki era 1950-an, sekalipun di sana-sini masih terjadi
berbagai pergolakan, namun secara historis masyarakat mengenalnya sebagai masa
aman. Pada era inilah implementasi Maklumat Pemerintah 3 November 1945
mendapat momentum baru. Organisasi masa, perkumpulan-perkumpulan, serta
organisasi partai tumbuh dan berkembang menjalankan misi dan program-program
politiknya. Pertarungan antar partai untuk merebut pusat-pusat kekuasaan dan
penentuan kebijakan negara berlangsung secara terbuka. Pergolakan-pergolakan
yang terjadi di seluruh Indonesia itu bukan lagi dalam rangka menghadapi musuh
dari luar. Akan tetapi pergolakan itu lebih disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
pendapat dan kepentingan antar partai politik yang berpengaruh dan bermassa
besar di dalam negeri.
Di antara partai-partai politik yang terbilang jumlahnya di masa itu,
pertikaian ideologi dan kompetisi untuk menghimpun kekuatan dengan
mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan isu
sentral. Tiap-tiap organisasi/partai berlomba-lomba untuk tampil di panggung
politik, menentukan format dan arah kebijakan Republik Indonesia yang baru
merdeka. Ada yang muncul sebagai partai dengan ideologi agama, ideologi
kebangsaan, dan ada pula dengan ideologi luar. Sebagian berbasis umat dan
sebagian lagi berbasis okupasi dan kelas sosial. Seluruhnya tampil dengan
mengklaim satu kerangka politik umum mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan.
Perbedaan-perbedaan di antara partai politik dan organisasi itu selalu
bermuara pada pertikaian yang berlarut-larut dan sulitnya mencapai kesepakatan.
Setiap partai tidak peduli dengan masalah yang timbul akibat ketidaksepakatan
mereka. Mereka hanya peduli pada upaya memperkuat basis-basis sosial partainya
di kalangan masyarakat. Bermacam-macam instrumen digunakan untuk merekrut
anggota partai sebanyak-banyaknya. Salah satu di antara instrumen yang paling
populer adalah setiap partai politik mendirikan organisasi masyarakat agar dapat
menjangkau massa yang lebih luas. Praktik perluasan massa pendukung di semua
masyarakat. Pertikaian tidak lagi hanya terbatas di dalam parlemen, tetapi meluas
di dalam kehidupan masyarakat.
Mahasiswa, pelajar, pekerja/karyawan (buruh), petani, nelayan, seniman,
pers dan lain-lain adalah kelompok masyarakat yang selalu menjadi sasaran partai
politik untuk memperluas massa pendukungnya. Sasarannya tidak terbatas pada
masyarakat yang tinggal di perkotaan tetapi juga pada masyarakat yang tinggal di
pedesaan. Sehingga tidak ada satu kelompok sosial pun dalam masyarakat yang
tidak disentuh oleh partai politik, kecuali kelompok sosial yang pada masa itu
dipandang sangat tidak mempunyai “greget” untuk merekrut massa, yakni anak
jalanan. Di Medan kelompok anak jalanan terdiri dari para preman dan anak-anak
cross-boys yang berpusat di seputar kota. Kelompok ini nampaknya tidak tergarap
oleh kekuatan-kekuatan partai politik yang mendekati seluruh satuan sosial di
masyarakat. Para anak jalanan atau preman yang berlainan kampung ini sering
terlibat perkelahian antar sesamanya.
Anak-anak jalanan yang menghuni perkampungan-perkampungan di seputar
pusat kota, bermain ke daerah pusat, untuk menguasai wilayah di sekitar bioskop
dan pusat-pusat pertokoan. Situasi itu mendorong pihak keamanan untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan perkelahian yang dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan di pusat kota. Kecuali karena alasan itu, adanya petugas
penjaga malam disebabkan oleh pengumuman darurat perang di Sumatera Utara
akibat keputusan yang dilakukan Kolonel Simbolon, Panglima Daerah Militer I,
pada 22 Desember 1956 memutuskan hubungan Sumatera Utara dan Kabinet Ali
Sastroamidjoyo.
Pada malam hari daerah kota terpaksa diawasi oleh petugas jaga malam dari
anggota militer. Pasukan jaga malam ini dipimpin Kolonel Sukardi dari Kodam I
Bukit Barisan. Sebagai pelaksana, pihak militer merekrut anak-anak jalanan untuk
ditugaskan sebagai penjaga malam (hermandat). Hal ini dimungkinkan karena pada
masa itu telah terdapat suatu perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pemuda
Kotamadya Medan (P2KM). Perkumpulan ini melibatkan banyak anggota
kelompok anak jalanan yang tersebar di perkampungan sekeliling kota. Kelompok
ini dibentuk di Jalan Amaliun, di rumah salah seorang anggota, dan diketuai oleh
Effendi Nasution dengan sekretaris bernama Anwar. Karena pada masa itu isu
pada masa itu mencantumkan masalah Irian Barat sebagai salah satu programnya,
maka P2KM juga dinamakan PDIB (Pasukan Djibaku Irian Barat). Pada saat inilah,
politik yang menjadi pembicaraan keseharian masyarakat, mulai masuk dalam
kehidupan para anak jalanan alias preman Kota Medan.
Begitu kuatnya keingingan warga untuk berpolitik, dalam arti merebut
pengaruh dan kekuasaan dalam negara, menyebabkan perhatian pada ekonomi
nyaris terabaikan. Strategi-strategi untuk mengembangkan sumber daya ekonomi
negara kurang mendapat perhatian dalam arus pemikiran umum elit politik pada
masa itu. Aktivitas-aktivitas ekonomi kurang terprogram secara berarti dalam
kebijakan pemerintah. Ia dibiarkan berkembang begitu saja seperti sediakala,
meniru dan mengikuti keadaan yang ada di masa-masa sebelumnya. Tetapi dalam
keadaan itu sentralisasi ekonomi oleh negara justru terus berlangsung sehingga
ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi begitu terasa. Akibatnya
kekuatan ekonomi di masing-masing daerah semakin melemah untuk
mensejahterakan penduduk yang hidup di daerah tersebut. Orang-orang
menganggur (preman) makin bertambah jumlahnya, baik karena kehilangan
pekerjaan maupun karena ketinggalan dalam pendidikan akibat kemiskinan atau
tiadanya kesempatan. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) tahun 1959 di Sumatera Barat, adalah salah satu pemberontakan yang
menuntut desentralisasi kebijakan ekonomi. Begitu pula pemberontakan
PERMESTA Sulawesi Selatan yang disebabkan oleh penolakan kebijakan
sentralisasi ekonomi oleh pemerintah pusat.10
Penurunan dominasi partai politik dalam kegiatan politik nasional, juga
tampak ketika Presiden Soekarno mengangkat Ir. Djuanda menjadi Perdana
Menteri. Susunan kabinet dibentuk tidak lagi berdasarkan kekuatan-kekuatan partai
melainkan diangkat berdasarkan hubungan pribadi masing-masing. Hubungan
10 Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia. hal. 24. Pemberontakan tersebut terjadi karena adanya pertikaian politik yang bukan saja telah menghalangi konsensus di parlemen, tetapi juga menyebabkan terabaikannya aspek ekonomi/ kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu, atas prakarsa dan dukungan Angkatan Darat, Presiden menunjukkan kekuasaannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan sekaligus mengakhiri era Demokrasi Liberal. Lihat juga Adnan Buyung Nasution. 1998. The Transition to Democracy Lessons from the Tragedy of Konstituante. Center for Political and Regional Studies, Indonesian Institute of Science: Ford Foundation; Ahmad Syafi'i Ma'arif. 1988. Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. hal. 32; Alfian 1977. (ed). Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research.
kedekatan dengan presiden jauh lebih menentukan karena peranan parlemen sudah
lumpuh sama sekali. Tetapi konflik antar partai bukannya mereda, beberapa partai
seperti PKI yang dekat dengan presiden, makin berkibar dan menggilas
partai-partai lain disekitarnya. Termasuk Partai Masyumi yang turut dibubarkan tahun
1960 karena alasan keterlibatan tokohnya dalam pemberontakan.
Lain halnya dengan IPKI yang kecil –karena kalah dalam Pemilu 1955– di
masa ini justru dapat membangun kekuatan. Kekalahan IPKI yang didukung
kalangan Angkatan Darat pada Pemilu 1955 itu, seakan memberi pelajaran banyak
pada elit partainya. Konsolidasi IPKI dalam kongresnya di Lembang (Jawa Barat),
pada tanggal 28 Oktober 1959, memunculkan gagasan untuk merekrut pemuda
sebagai salah satu pilar pendukungnya. Kongres itu juga mengeluarkan mandat
kepada fungsionaris partai di seluruh Indonesia untuk membentuk organisasi masa
pendukung partai (onderbouw), yang dinamakan “karyawan” IPKI. Partai yang
diresmikan menjadi partai politik pada tahun 1961 inilah yang kemudian menjadi
bukti bahwa, hanya angkatan bersenjata sajalah yang bisa lebih leluasa bergerak
menandingi kekuatan PNI dan PKI yang dekat dengan Bung Karno pada era
Demokrasi Terpimpin.
Menurut Spego Goni, dalam kapasitasnya sebagai fungsionaris IPKI, ia
telah merintis pembentukan Pemuda Pancasila sejak dini.11 Nama “Pemuda
Pancasila” itu sudah pernah dicantumkannya dalam buku tamu di sebuah acara
resmi, yakni pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1959 di Gedung
LAN Jl. Veteran Jakarta. Kehadiran Spego Goni dalam acara tersebut sebetulnya
mewakili IPKI Jakarta Raya. Oleh sebab itu, menurut Spego Goni, dialah orang
yang pertama mencetuskan nama Pemuda Pancasila dan dia pula orang yang
membawa delegasi Pemuda Pancasila (Mei 1961) pertama menjadi onderbouw
IPKI ke hadapan Ny. Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum DPP IPKI) ketika itu.12
11 Spego Goni. 1964. Sekali Lajar Terkembang, Surut Kita Berpantang. Djakarta: Pemuda Pantjasila. hal. 63.
12
Sampai tanggal 28 Oktober 1960 embrio organisasi Pemuda Pancasila versi
Spego Goni belum diizinkan mengikuti Kongres Pemuda di Bandung.
Penyebabnya adalah Pemuda Pancasila belum terdaftar sebagai organisasi pemuda.
Tetapi pada tanggal 27 April 1961, kira-kira enam bulan kemudian, Pemuda
Pancasila diterima sebagai anggota “Front Pemuda”. Namun Spego Goni tidak
menjelaskan alasan yang menyebabkan Pemuda Pancasila pada saat itu dapat
diterima, jika pada tahun 1960 masih ditolak mengikuti Kongres Pemuda.
Diterimanya Pemuda Pancasila ke dalam Front Pemuda terkait dengan
keberadaan Ny. Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum IPKI).13 Sehingga tidak
mengherankan kalau organisasi pemuda yang bernaung di bawah bendera partainya
itu diterima menjadi anggota Front Pemuda. Namun yang perlu disimak adalah
bahwa di dalam Front Nasional itu sendiri terdapat unsur PKI yang diketahui
sangat anti kepada Pancasila. Tentu saja unsur PKI tersebut dengan sangat berat
hati menerima keanggotaan Pemuda Pancasila. Tetapi dengan konsep NASAKOM
yang digulirkan Presiden Soekarno serta didukung sepenuh hati oleh PKI maka
secara formal unsur komunis di Front Nasional tak berdaya menolaknya.
Sampai saat ini sejarah tentang penggunaan nama Pemuda Pancasila versi
lain selain dari yang sudah dibuat Spego Goni, secara tertulis belum dapat
ditemukan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang bernada menggugat
kebenarannya, seperti banyak beredar di kalangan anggota Pemuda Pancasila
dewasa ini, sulit diyakini kekuatannya. Memang kemungkinan adanya kekeliruan
tentang hal itu sebetulnya masih sangat terbuka. Intensitas komunikasi antar daerah
pada masa itu dapat dibayangkan masih sangat terbatas. Sehingga informasi
tentang perkembangan dari pelaksanaan mandat kongres IPKI Lembang (1959)
guna mendirikan organisasi pemuda IPKI di daerah-daerah di luar Jawa umumnya
atau Jakarta khususnya, tidak dapat diketahui seluruhnya. Inilah alasan yang umum
dikemukakan untuk menggugat lukisan sejarah yang diajukan Spego Goni. Apalagi
jika dalam kongres Lembang sendiri sebetulnya sudah ada dibicarakan nama dari
wadah pemuda IPKI yang akan didirikan adalah Pemuda Pancasila, maka klaim
Spego Goni patut diragukan. Ada kemungkinan di daerah lain telah didirikan
Pemuda Pancasila menyusul mandat yang dikeluarkan kongres. Akan tetapi,
disinilah kekurangannya, dokumen kongres IPKI Lembang sendiri pada saat ini
tidak tersimpan di tangan para aktivitas Pemuda Pancasila yang ingin menggugat.
Pemuda Pancasila lahir tak lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
ditetapkan. Kesepakatan tentang hal itu di antara anggota Pemuda Pancasila dapat
diyakini bahwa Pemuda Pancasila lahir di tengah-tengah situasi politik nasional
yang tidak demokratis. Kelompok yang tidak setuju terhadap Nasakom dan
komunis, dapat diduga akan mengalami kesulitan untuk berkembang. Tantangan
yang dihadapi oleh “bayi” Pemuda Pancasila tentu tidak kecil. Partai Komunis
Indonesia yang diketahui sangat “mesra” berhubungan dengan Bung Karno
menjadi penghalang bagi gerakan yang dilakukan Pemuda Pancasila. Sejarah
membuktikan tidak sedikit aparat pemerintahan, sipil maupun militer, pada masa
itu bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Mereka bahkan terlibat langsung
dalam usaha PKI untuk menggantikan Pancasila dengan Komunisme sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia.
Setelah Dekrit Presiden, pemerintah mengeluarkan kebijakan
menyederhanakan partai-partai politik yang ada melalui Penpres 7 Tahun 1959 dan
Penpres 13 Tahun 1959. Partai-partai diwajibkan menerima Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol) dan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia) disamping ideologi masing-masing partai. Semua partai politik
diwajibkan melaporkan kembali partainya kepada pemerintah. Setiap partai harus
mendaftar kembali sesuai persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah.
Syarat-syaratnya antara lain harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit
seperempat jumlah daerah Tingkat I dan jumlah cabang di daerah Tingkat I
bersangkutan minimal sebanyak seperempat daerah Tingkat II, jumlah anggota
seluruhnya minimal 150.000 orang, lengkap dengan catatan nama, umur dan
pekerjaan anggota dari setiap cabang disertai pengesahan polisi.14
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) sebagai organisasi yang
dibentuk oleh TNI sangat menyambut keputusan itu. Tekad pengurusnya untuk
mengabadikan Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita kemerdekaan,
sebagaimana keputusan kongresnya yang ke-II di Lembang (Jawa Barat) 17-21
Maret 1959, mendapat sambutan dari Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
14
Perang. Menghadapi kebijakan pemerintah yang baru ini, internal IPKI mengalami
perpecahan. Pihak pertama menyatakan IPKI tidak perlu dipertahankan dan karena
itu sebaiknya dibubarkan lalu bergabung dengan Angkatan 45 dan Legiun Veteran.
Sebab secara ideologis Republik Indonesia telah kembali kepada Pancasila dan
UUD 1945. Akan tetapi pihak kedua merasa IPKI masih perlu dipertahankan untuk
mengawal pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atas
dasar inilah IPKI mendaftar sebagai partai politik dan dinyatakan lulus oleh
Keppres No. 128/1961.
Perpecahan ini menyebabkan pusat kegiatan (sekretariat) IPKI terbelah dua.
Sebagian berkegiatan di Jalan Menteng Raya No. 60 dan sebagian lagi berkegiatan
di Jalan Kebon Sirih No. 39. Di Menteng Raya berkantor kelompok Achmad
Sukarmadijaya yang menginginkan IPKI menjadi partai politik sedangkan di
Kebon Sirih berkantor Sugirman dan kelompoknya, yang tidak ingin IPKI jadi
partai politik. Generasi muda IPKI yang berinduk di Menteng Raya melahirkan
organisasi massa Pemuda Pancasila sedangkan dari Kebon Sirih lahir organisasi
pemuda bernama Pemuda Patriotik. Dualisme generasi muda IPKI ini sempat
menyebar ke seluruh wilayah IPKI di daerah-daerah. Tidak terkecuali di kalangan
generasi muda IPKI Sumatera Utara. Namun beberapa pertanyaan masih belum
terjawab secara tuntas mengenai hubungan pembentukan organisasi Pemuda
Pancasila di Medan dengan Pemuda Pancasila bentukan Spego Goni di Jakarta.
Almarhum Kerani Bukit barangkali tidak sempat menuturkan hal itu kepada para
penerusnya.15 Tidak ada dokumen ataupun catatan-catatan yang dapat menjadi
rujukan untuk mengetahui keterkaitan tersebut. Akibatnya, masalah itu hilang
bersamaan dengan kepulangan almarhum Kerani Bukit sebagai pelopor dan orang
yang mencari pemuda-pemuda untuk dimasukkan menjadi pengurus Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara.
Setahun sebelumnya, persisnya pada tanggal 28 Oktober 1960, Ketua DPD
IPKI Sumatera Utara, Kerani Bukit, melantik Effendi Nasution sebagai Ketua dan
Yansen Hasibuan sebagai Sekretaris pengurus organisasi Pemuda Pancasila di
Medan. Effendi Nasution, selaku orang yang dilantik ketika itu, tidak mengetahui
pada saat yang sama di tempat lain juga, ada organisasi Pemuda Pancasila di luar
Kota Medan. Effendi Nasution hanya tahu bahwa nama organisasi Pemuda
Pancasila saat itu disebutkan oleh Kerani Bukit. Nama Pemuda Pancasila diketahui
Effendi Nasution beberapa hari sebelum pelantikan, pada saat dia bertemu dengan
Kerani Bukit di kantor IPKI Jalan Sutomo Medan, di depan Medan Bioskop.
Pertemuan itu, menurut Effendi, dilakukan setelah Rosiman (teman Johan Bukit,
putra Ketua IPKI) mengajaknya bergabung dengan IPKI yang akan mendirikan
organisasi Pemuda Pancasila di Medan.
Pilihan kepada Effendi Nasution sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota
Medan diduga sebagai hasil diskusi dan pengamatan yang mendalam di kalangan
pucuk pimpinan IPKI Sumatera Utara ketika itu. Tepatnya pilihan itu terletak pada
dua hal. Pertama, Effendi Nasution adalah simbol dari pemuda jalanan, anak
bioskop, yang selama ini belum sempat tergarap oleh organisasi-organisasi
kekuatan politik. Pada saat itu jumlah anak jalanan di Kota Medan cenderung
meningkat bersamaan dengan kebijakan program rasionalisasi dan sentralisasi
ekonomi sejak Kabinet Wilopo. Kedua, pada saat yang bersamaan Effendi
Nasution dan Rosiman telah menjadi anggota perkumpulan P2KM (Persatuan
Pemuda Kotamadya Medan), yang bertugas sebagai penjaga malam (hermandat) di
pusat kota.
Organisasi P2KM telah menjadi arena sosial bagi para preman dan
cross-boys untuk bekerjasama, membangun saling pengertian, baik dalam pergaulan
maupun dalam aktivitas dan dinamika kehidupan kota Medan. Secara taktis tidak
salah Efendi Nasution dipilih sebagai pimpinan organisasi yang sudah mulai
berkibar sebagai penjaga malam menyusul pengumuman Presiden tentang darurat
perang 1957. Kolonel Sukardi dari Kodam I Bukit Barisan, Ketua Umum Jaga
Malam ketika itu, dan yang diduga kuat mempunyai hubungan baik dengan Kerani
Bukit selaku purnawirawan angkatan bersenjata, berkemungkinan besar ikut
mempengaruhi pilihan IPKI dalam membentuk organisasi Pemuda Pancasila di
Medan.
Kehadiran Pemuda Pancasila di Kota Medan juga merekrut para anak
jalanan dan preman itu sebagai anggota organisasi. Hampir seluruh anggota P2KM
menjadi anggota Pemuda Pancasila. Ketika Effendi Nasution beserta
kalangan pemuda preman sudah terbentuk. Perkelahian preman antar kampung,
untuk sebagian sudah dapat dihindari. Para preman yang pada mulanya hanya
terikat menurut kesamaan teritori sudah dapat berkawan dan bergaul secara lintas
teritori kampung. Oleh sebab itu, kehadiran Pemuda Pancasila sudah lebih mudah
diterima di kalangan preman serta malahan diharapkan akan memberi sentuhan
organisasi yang lebih sistematis melalui kegiatan-kegiatan yang telah direncakan.
Dalam perkembangannya, jumlah anggota Pemuda Pancasila di Kota Medan telah
mencapai ribuan hingga tahun 1962.
Pada masa-masa awal pembentukan Pemuda Pancasila, sistem organisasinya
belum sebaik sekarang. Upaya penataan organisasi diutamakan pada usaha
pembentukan organisasi di seluruh wilayah Kota Medan. Pelaksanaan
pembentukan organisasi tidak terbatas hanya oleh pengurus Pemuda Pancasila yang
sudah ada sebelumnya. Pengurus IPKI masih sangat berperan dalam pembentukan
itu. Jika di suatu pemukiman ada kemungkinan Pemuda Pancasila dibentuk, maka
disanalah organisasi itu dibentuk. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila pada
saat yang sama, terjadi dua peristiwa pelantikan pengurus di dua pemukiman yang
berbeda. Tentang hubungan organisatoris atau hirarkis antara Pemuda Pancasila di
tempat yang satu dan di tempat yang lain pada dasarnya tidak begitu jelas.
Hubungan antara mereka hanya karena sama-sama berinduk kepada organisasi
IPKI. Kegiatan nyata yang dikelola oleh organisasi Pemuda Pancasila sangat boleh
jadi tidak ada. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk menyatukan Partai IPKI.
“dulu mana kita tahu dek…. Organisasi kata orang, ya organisasi. Lantik
katanya ya lantik lah, kan sekarang baru kita tahu itu apa. Setelah pelantikan
lalu ada latihan atau penataran dan sebagainya. Sebelumnya mana ada
tatar-tatar karena semua preman, crossboy, pencuri, perampok dan pembunuh ada
semua di situ. Apa itu DPW, DPC mana kita tahu itu, iya kan? Yang penting
bikin saja dulu, dirikan di mana-mana. Jadi lain dek…tidak seperti
sekarang, sekarang ini orang sudah banyak yang tahu bahwa DPW melantik
DPC. DPC melantik anak cabang. Dulu mana ada itu… Preman semuanya
di situ.”16
16
Pada tanggal 14 April 1961 IPKI dinyatakan lulus seleksi dan diakui
keberadaannya sebagai sebuah partai politik yang berhak mengikuti pemilu.
Pengakuan tersebut dinyatakan dalam KEPRES No. 128 Tahun 1961. Bagi IPKI
peningkatan statusnya menjadi sebuah partai disambut dengan kegembiraan.
Kegembiraan itu sangat beralasan karena hal itu mencerminkan prestasi IPKI yang
sangat besar di masa itu. Sebab peningkatan status menjadi partai memudahkan
konsolidasi organisasi IPKI yang telah memiliki beberapa cabang di wilayah
nusantara. Ketika itu tantangan dari partai-partai lain menjadi salah satu persoalan
bagi internal IPKI terkait dukungan dari para pemuda, seperti PNI dengan Pemuda
Marhaennya dan PKI dengan Pemuda Rakyatnya.
Pemuda Pancasila dinyatakan secara resmi sebagai organisasi yang berada
di bawah binaan (onderbouw)17 IPKI, ketika Kongres III IPKI yang berlangsung
tanggal 7–11 Juli 1961 di Surabaya. Sejak itu mulai dilakukan penataan struktur
organisasi sebagai upaya perluasan dan pemekaran organisasi ke seluruh tanah air.
Partai IPKI berperan sangat penting dalam proses konsolidasi Pemuda Pancasila di
seluruh wilayah Indonesia. Demikian pentingnya, sehingga pada tanggal 20
Agustus 1962 tanpa melalui rapat umum Pemuda Pancasila se-Indonesia, Ketua
Umum IPKI melantik Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemuda Pancasila di
bawah pimpinan Ketua Umum Spego Goni SP dan Sekretaris Umum Arief Zen.
Selain membentuk Pemuda Pancasila, Kongres IPKI ke-III Surabaya juga
membentuk onderbouw IPKI lainnya yaitu Mahasiswa Pancasila, Ikatan Sarjana
Pancasila, Karyawan Wanita Pancasila, Gerakan Pelajar Pancasila, Karyawan Tani
Pancasila, Karyawan Nelayan Pancasila, Karyawan Guru Pancasila, Lembaga
Kebudayaan Pancasila, dan Kubu Pancasila. Secara bertahap dan
berkesinambungan, orgnisasi onderbouw IPKI terus didirikan hingga menjelang
Gestapu 1965 keseluruhan organisasi binaan tersebut telah berdiri di Medan,
Sumatera Utara.
Pada bulan Juli 1963 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dibentuk. Effendi Nasution ditunjuk sebagai Ketua dan dilantik di
Gedung Selecta, Jalan Listrik Medan, oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah kepeloporan yang mumpuni di antara pemuda lainnya. Lihat Syamsul Bahri Nasution dan Saifuddin Mahyudin. 1999. The Lion of North Sumatera. Medan: USU Press. hal. I-III.
IPKI Sumatera Utara. Lima jam kemudian di rumah Kusen Tjokrosentono, Ketua
IPKI Sumatera Utara, memberikan tugas kepada Yan Paruhum Lubis alias Ucok
Majestik sebagai koordinator Pemuda Pancasila Kotamadya Medan. Kusen
Tjokrosentono, yang pada saat itu menjabat Kepala Jawatan Penerangan Provinsi
Sumatera Utara, tampaknya ingin mempersiapkan pembentukan Dewan Pimpinan
Cabang Kotamadya Medan. Ketika itu, di beberapa wilayah kecamatan Kotamadya
Medan telah dibentuk Pemuda Pancasila, di antaranya Pemuda Pancasila Ranting
Pulau Brayan ketuanya Suaibun Usman, Pemuda Pancasila Anak Cabang
Kecamatan Medan Barat dengan ketua Nico Pulungan, dan lain-lain. Seluruh
pengurus Pemuda Pancasila di tingkat ranting hingga anak cabang dilantik oleh
pengurus IPKI, bukan oleh pengurus Pemuda Pancasila dari instansi yang lebih
tinggi.
Effendi Nasution, selaku Ketua DPW, dan Amran Ys mulai membentuk
Anak Ranting Pemuda Pancasila di sekitar Jalan Medan Area Selatan tahun 1964.
Waktu itu di jalan tersebut sudah ada kelompok pemuda dengan nama Seri-Boys.
Anggotanya terdiri dari anak-anak sekitar Jalan Medan Area Selatan, yang sering
nongkrong di bawah pohon Seri dan dikenal dengan sebutan Pemuda Roman.
Sebagian mereka sudah tidak bersekolah dan sebagian lagi masih bersekolah.
Umumnya belum memiliki pekerjaan tetap, kecuali membantu pekerjaan orang tua
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya berjualan.
Kebiasaan anak muda masa itu adalah mereka bermusuhan dengan
anak-anak muda di lingkungan yang lain di antaranya anak-anak-anak-anak Jalan Puri. Berkelahi
secara keroyokan dengan anak-anak Puri, adu jotos dan lempar batu pun sering
terjadi. Walaupun sebab perkelahian itu hanya karena soal plotot-plototan mata
secara individual saat berpapasan. Pasa masa kepemimpinan Effendy Nasution,
untuk menjadi ketua Pemuda Pancasila di semua tingkatan, ia selalu bertanya "Apa
kau sudah pernah masuk penjara? Sudah berapa orang yang kau tikam/bunuh?
Berapa anggotamu?” dan pertanyaan lainnya yang terkadang menyesakkan dada.
Jika memenuhi syarat itu langsung diterbitkan surat keputusan tanpa ada
musyawarah.
Pertumbuhan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tak dapat dilepaskan dari
keadaan sosial budaya dan sosial politik ketika itu. Semangat revolusi yang
panji IPKI dan ormas-ormasnya. Semangat anak muda yang mengidolakan para
jagoan pun menemukan salurannya di dalam organisasi. Pemuda Pancasila menjadi
wadah berkumpulnya para preman dan jagoan yang selama ini menjadi perhatian
anak muda. Keberanian dan kesetiaan kelompok menjadi simbol Pemuda Pancasila
dalam menantang musuh-musuhnya.
Pemuda Pancasila yang berbasis para anak jalanan mulai bangkit merekrut
pemuda-pemuda di kampung-kampung bumiputera sekitar Kota Medan. Hal ini
menjadi perhatian pihak lawan, terutama dari kelompok pemuda yang mendukung
PKI yakni Pemuda Rakyat. Apalagi pada waktu itu kata-kata Pancasila mulai
lenyap dari telinga dan ada ketakutan orang menyebutkan itu. Orang takut
menyebutnya karena tidak bersesuaian dengan ideologi Nasakom yang telah
menyebar ke seluruh wilayah nusantara. Akan tetapi oleh anak jalanan, kata
“Pancasila” bukan saja sekedar disebut, ditanamkan dalam hati, melainkan
ditabalkan pada nama organisasinya Pemuda Pancasila.
Pemuda Rakyat paling tidak suka melihat orang mengagung-agungkan
Pancasila. Dengan segala cara mereka tempuh agar lawan jatuh dan terpuruk.
Mereka tebar intrik dan ejekan-ejekan untuk mengecilkan marwah lawan. Mereka
sebar benih permusuhan, bersembunyi di balik kata revolusi untuk menghabisi
lawan. Dengan jumlah massa ribuan mereka gelar demonstrasi-demonstrasi,
intimidasi, dan propaganda menjatuhkan lawan. Mereka teriakkan NASAKOM
yang menyudutkan agama. Mereka ciptakan idiom-idiom politik untuk menistakan
lawan. Lewat spanduk mereka tuliskan dan lewat koran mereka sebarluaskan
seperti HMI “kaum sarungan”, SOKSI “kapitalis birokrat” alias “kabir”, Pemuda
Pancasila “perampok kota”, serta slogan lainnya seperti Bubarkan HMI, Bubarkan
SOKSI, Ganyang Pemuda Pancasila.
Intimidasi dan intrik-intrik yang disebar Pemuda Rakyat18/PKI tidak pula
membuat Pemuda Pancasila takut. Dengan semboyan “Kamput19 di Kiri Tombak di
Kanan” dan “Nyawa dibalas Nyawa, Darah dibalas Darah”, Pemuda Pancasila
dengan berani melawan musuhnya. Esprite de corps, setia kawan, “Tangan Kanan
kuburan, Tangan Kiri Rumah Sakit” menjadi semboyan Pemuda Pancasila maju
menentang Pemuda Rakyat dan PKI. Tidak sekali dua perkelahian terjadi di antara
mereka. Suatu hari di antara tahun 1964–1965 seorang anggota Pemuda Pancasila,
Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik, diculik Pemuda Rakyat. Sebagai gantinya
Pemuda Pancasila mengambil Ketua Pemuda Rakyat wilayah Medan Barat. Di hari
yang lain, ketika sebuah upacara nasional digelar di lapangan Benteng, Pemuda
Rakyat yang berjumlah ribuan ingin menyingkirkan barisan Pemuda Pancasila
yang hanya berjumlah 40 orang. Melihat sikap Pemuda Rakyat yang arogan itu,
Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ucok Majestik melaksanakan aksi yang
sangat emosional. Dengan kayu, batu dan tiang bendera yang ada di tangan,
Pemuda Pancasila menghajar barisan Pemuda Rakyat hingga kocar-kacir.20
Suasana mencekam dan mengkawatirkan mulai timbul setelah PKI/BTI
membunuh seorang anggota ABRI yang kemudian dikenal sebagai (Alm.) Letda
Soedjono di Perkebunan Bandar Betsy, Simalungun, 14 Mei 1965. Hiruk pikuk dan
kekacauan terus-terusan memuncak setelah itu. Demonstrasi, agitasi, dan
propaganda semakin banyak digelar. Rakyat di kota ataupun di pedesaan makin
ditakut-takuti. PKI merasa semakin kuat, apalagi beberapa pejabat teras, sipil dan
militer Sumatera Utara telah berhasil dirangkulnya. Kehidupan rakyat makin
mencekam, siapa kawan dan siapa lawan semakin tidak jelas, saling curiga
merajalela.
Berita tentang terbunuhnya para Jenderal di Jakarta telah disiarkan oleh RRI
pada 2 Oktober 1965 malam. Kabar tersebut didengar oleh sebagian anggota
Pemuda Pancasila yang sedang berada di Medan Bioskop. Isi berita mengabarkan
bahwa telah terbunuh satu perwira, lima jenderal dan seorang bocah oleh satu
Pada kongres November 1950 Francisca C. Fanggidaej diangkat menjadi ketua, sementara Sukatno menjadi sekretaris jenderal. Pada 1965 keanggotaannya mencapai sekitar 3 juta orang. Organisasi ini ditindas secara brutal bersama-sama dengan PKI pada 1965-1966. Lihat di
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemuda_Rakyat
19
Kamput singkatan dari kambing putih merupakan merek minuman keras yang bisa memabukkan, dengan harga yang relatif murah menjadi minuman sehari-hari para anak muda jalanan di kota Medan dan sekitarnya.
gerakan tertentu di Jakarta. Tanpa pikir panjang, apalagi setelah ada peringatan
sebelumnya, anggota Pemuda Pancasila yang berkumpul di tempat itu menafsirkan
bahwa gerakan dimaksud adalah PKI. Maka pada malam itu juga, “pasukan”
Pemuda Pancasila tanpa berkonsultasi dengan pihak manapun langsung bergerak
menyerang kantor dan rumah-rumah anggota PKI. Kegiatan ini terus dilaksanakan
pada hari-hari berikutnya.
Pembentukan Komando Aksi dalam rangka penumpasan PKI dan
ormas-ormasnya dilakukan di Sumatera Utara. Gerakan pembentukan Komando Aksi ini
diprakarsai oleh Pemuda Pancasila yang dibentuk pada 29 Oktober 1965 dengan
ormas-ormas pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk menumpas PKI.21 Masyarakat
pemuda semakin menggandrungi organisasi Pemuda Pancasila, sehingga pada masa
itu banyak sekali tumbuh pengurus-pengurus Pemuda Pancasila mulai dari Anak
Ranting, Ranting, Anak Cabang, serta Cabang di Sumatera Utara.
Komando Aksi mengadakan rapat umum di Gedung Olahraga Medan,
dengan membahas isu masuknya senjata sebanyak 1.000 pucuk dari RRT (Republik
Rakyat China). Usai rapat seluruh peserta berdemonstrasi ke kantor Konsulat RRT
yang dipimpin Pemuda Pancasila. Massa demonstran menurunkan bendera RRT
dan mendesak pihak konsulat untuk menjelaskan perihal kebenaran isu tersebut di
atas. Dalam demontrasi yang emosional itu, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di
kepala seorang anggota demonstran dan korban tak dapat diselamatkan sehingga
menghembuskan nafas terkahirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Korban
tersebut adalah seorang anggota IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong) bernama
Ibrahim Umar yang juga merangkap sebagai anggota Pemuda Pancasila.
Peristiwa 10 Desember 1965 yang menyebabkan kematian Ibrahim Umar itu
memicu kemarahan massa Pemuda Pancasila dan pemuda lainnya. Mereka
melampiaskan kemarahannya hampir secara membabi buta. Semua orang China
yang dilihat, sekalipun tidak tahu menahu peristiwa itu ditangkapi, dipukuli,
hartanya dirampok, setelah itu dihabisi nyawanya. Tak kurang 150 orang China
Medan tewas dalam peristiwa berdarah itu. Akibat dari tindakan mengganyang
China ini, fungsionaris Pemuda Pancasila seperti Effendi Nasution ditahan oleh
21
pihak berwajib selama kurang lebih 21 hari. Rosiman dan Mansyur Azis yang tidak
ditahan akibat peristiwa itu, dipanggil ke Jakarta menemui Jenderal A.H. Nasution
untuk menjelaskan duduk perkara peristiwa tersebut. Pemerintah pusat menyebut
peristiwa itu sebagai peristiwa rasialis. Sehingga selepasnya dari tahanan, Effendi
Nasution dipanggil ke Jakarta menghadap Bung Karno. Di Jakarta ia disambut
Jenderal Sukendro, yang saat itu menjabat Ketua Umum IPKI, dan bersamanya
menghadap Bung Karno.
Bung Karno sempat menuduh Effendi Nasution sebagai Rasialis. Namun
Effendi tetap menyatakan tidak, Effendi menyatakan keanekaragaman anggotanya
di dalam organisasi Pemuda Pancasila yaitu “Ada China, Keling, Menggali22 yang
menjadi anggota saya. Mana mungkin saya rasialis”, jelas Effendi. Presiden
Soekarno sendiri menerima penjelasan Effendi Nasution setelah hampir dua jam
dialog terjadi di antara mereka. Di akhir pertemuan Soekarno berpesan kepada
Effendi, “Effendi! Saya harap kamu bantu Saya untuk mengamankan kawasan
Sumatera Utara”. 23 Penjelasan serupa dia ajukan kepada Jenderal Nasution dan
juga Jenderal Alamsyah Ratuprawiranegara. Sehingga ketika rapat Front Nasional
diadakan, keluar pernyataan resmi dari pemerintah, bahwa peristiwa 10 Desember
1965 bukan peristiwa rasial melainkan hanya peristiwa kriminal biasa.
2.2. Pemuda Pancasila Masa Orde Baru
Keluarnya Supersemar 1966 membawa nafas baru bagi penumpasan PKI.
Pejabat Presiden Jenderal Soeharto memerintahkan pembubaran PKI dan atas
perintah tersebut Komando Aksi mengarahkan serangannya antara lain ke
Kampung Kolam. Serangan ini konon diawali oleh Pemuda Pancasila dari Ranting
Sei Kera. Serangan ini mendapat tantangan sehingga tertangkapnya dua orang
penyerang, yakni Adlin Prawira (anggota Pemuda Pancasila merangkap anggota
HMI) dan M. Yakob. Menurut keterangan yang diperoleh, M. Yacob adalah
seorang anak yang masih di bawah umur. Ketika rencana penyerangan Kampung
Kolam disusun, M. Yacob minta ikut tetapi dilarang oleh anggota yang sudah
dewasa. Namun tanpa diduga-duga, remaja M. Yacob ternyata menyusup di antara
22 Keling dan Menggali digunakan dalam bahasa sehari-hari warga kota Medan kepada orang India Tamil atau orang Keling. Di Medan kaum Keling dan Menggali banyak tinggal di Jalan Zainul Arifin atau lebih dikenal dengan istilah Kampung Keling.
23
rombongan dan terlibat dalam aksi penyerangan. Ia bersama Adlin menemui
ajalnya setelah terlebih dahulu disiksa. Mayatnya ditemukan 12 hari kemudian
dalam keadaan sangat mengenaskan. Telinga dan alat vitalnya hilang serta mata
terburai dengan posisi terikat ke sepotong besi (rel lori) yang ditenggelamkan ke
dalam air parit, di bawah rakit batang pisang sebagai pelampungnya. Untuk
mengelabui pencari mayat “pahlawan” Orde Baru ini, PKI meletakkan bangkai
kambing di atas rakit pohon pisang yang mengapung-apung tersebut.
Kecuali penumpasan antek-antek komunis di Kampung Kolam, Komando
Aksi terlibat aktif dalam pengambilalihan gedung-gedung pusat kegiatan partai
terlarang PKI.24 Menyusul Supersemar, organisasi masyarakat se-Sumatera Utara
berkumpul di Kodim guna membentuk Kesatuan Aksi Masyarakat Pengganyang
Antek-antek Komunis (KAMPAK). Dalam kesatuan ini Pemuda Pancasila kembali
terlihat mendominasi. Kesatuan ini pada dasarnya dibentuk dalam rangka
implementasi kehendak rakyat Sumatera Utara untuk mendukung pemerintah Orde
Baru.
Perubahan konstelasi politik nasional pertama yang paling mendasar selama
usia kemerdekaan adalah bergantinya Orde Lama ke Orde Baru. Perubahan tatanan
politik yang menjadi kerangka seluruh kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara itu bukan hanya memberi jalan bagi hubungan politik di dalam maupun
luar negeri. Tetapi perubahan tersebut juga dapat melahirkan suasana yang dapat
menentukan mati hidupnya sebuah partai politik. Kondisi itu seringkali timbul di
luar perkiraan dan ramalan-ramalan sebelumnya. Sebabnya tidak lain karena gejala
sosial politik yang terjadi bisa berjalan di luar aturan-aturan normal yang dapat
diantisipasi.
Pemuda Pancasila selaku organisasi massa dengan mudah dapat terimbas
oleh perubahan-perubahan tatanan sosial politik yang terbentuk. Sifat rentan yang
dimilikinya itu terkait erat dengan kedudukannya sebagai salah satu orderbouw
partai politik IPKI. Sehingga jika kesehatan “induknya” terganggu maka terganggu
pula kesehatan “anaknya”. Dengan kata lain permasalahan yang dialami IPKI akan
sekaligus menjadi masalah Pemuda Pancasila.
24
Di puncak-puncak kejayaannya, usai masa penumpasan sisa-sisa Gerakan
30 September 1965, Pemuda Pancasila sempat mengadakan Kongres/Musyawarah
Besar yang pertama tahun 1968 di Medan. Beberapa wilayah Pemuda Pancasila
yang tersebar di seluruh Indonesia, hadir pada kesempatan itu. Kota Medan yang
dikenal karena keberanian basis massa Pemuda Pancasila menghadapi PKI,
menjadi bukti kepercayaan pengurus pusat memilihnya sebagai tuan rumah
penyelenggaraan kongres pertama. Sementara Pemuda Pancasila di daerah-daerah
lain, termasuk Jakarta, belum tentu memiliki kekuatan massa yang sama seperti
kekuatan yang telah didapat Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Maka pada saat
kongres berlangsung, tujuan utama adalah menaikkan popularitas Effendi Nasution
sebagai tokoh Pemuda Pancasila yang sedang sangat tenar ketika itu. Hampir
dalam semua kegiatan, Effendi Nasution, ikut terlibat dan bertindak sebagai
pemimpin aksi.
Ketenaran tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara ini tidak dapat
dipungkiri sebagai salah satu modal yang telah membawanya berkantor di Gedung
DPRGR/MPRS/BP-MPRS tahun 1968 mewakili unsur pemuda. Namun berkat
ketenarannya itu pula pekerjaannya menjadi semakin banyak. Ia Ketua Umum
DPW Pemuda Pancasila dan dia pula anggota DPR. Keputusan Effendi Nasution
menunaikan tugas rangkap di Jakarta, bukanlah tanpa resiko baik kepada dirinya
sendiri maupun kepada organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Di
masa-masa ia harus meninggalkan Sumatera Utara, disitu pula Walikota Medan,
Aminurrasyid, yang tersangkut peristiwa G 30/S tidak mungkin lepas dari
perhatiannya. Ia pun terlibat dalam kompetisi dan percaturan politik pemerintahan
kota ketika itu. Akibat keterlibatannya itu pula, tugas-tugasnya di Jakarta tidak
dapat diselesaikan sesuai periode yang ditentukan.
Keterlibatan Effendi Nasution dalam pemilihan Walikota Medan adalah
mendukung Syurkani sebagai calon walikota yang ingin dimenangkan. Lawan
Syurkani dalam pemilihan itu berasal dari kelompok tentara yaitu Letkol MS
Rangkuti. Ketika itu pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara anggota
DPRD Kota Medan. Dukungan Pemuda Pancasila dalam pemilihan itu terbelah
dalam dua kubu yaitu pengurus wilayah mendukung Syurkani, sedangkan pimpinan
cabang Medan mendukung Letkol MS Rangkuti. Perbedaan dukungan itu lebih
pendukungnya. Akhirnya, Syurkani terpilih sebagai Walikota Medan melalui
proses pemilihan suara anggota DPRD Medan yang dinilai mendapat tekanan dari
kelompok preman. Kelompok yang kalah kemudian menyebarkan isu bahwa
kemenangan Syurkani karena adanya intimidasi terhadap anggota DPRD Medan.
DPC Pemuda Pancasila Kotamadya Medan termasuk kelompok yang menyebarkan
isu tersebut. Atas sikap itu, pimpinan wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara
memberikan sanksi kepada pengurus cabang Medan dengan membekukan DPC
Pemuda Pancasila Kotamadya Medan dan ketuanya diberikan sanksi skorsing dan
pemecatan.
Selama rentang waktu 1968 hingga 1971 kegiatan Pemuda Pancasila
mengalami kemunduran di seluruh Indonesia. Ketika itu Angkatan Bersenjata
sedang menyusun “skenario” besar untuk menata sistem pemerintahan Orde Baru.
Di antaranya adalah menggarap partai politik, golongan Islam, mensahkan RUU
Pemilu tahun 1969 yang menjamin posisi ABRI menjadi anggota DPR dan DPRD
tanpa dipilih, mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tentang
pelarangan pegawai negeri menjadi anggota partai politik, membesarkan Golongan
Karya, dan lain-lainnya. Skenario tersebut secara tidak langsung mengeluarkan
IPKI dari kekuatan politik yang selama ini telah mendukung ABRI. Hasilnya
adalah IPKI tidak memperoleh satu kursi parlemen pun dalam Pemilu 1971.
Menurut penjelasan tokoh-tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara,
kekalahan IPKI dalam Pemilu 1971 seharusnya tidak menyebabkan menurunnya
kegiatan Pemuda Pancasila jika Pemuda Pancasila itu berani melepaskan
keterikatannya dari IPKI. Gagasan ingin melepaskan keterikatan kepada IPKI ini
lama menjadi bahan renungan dan pertimbangan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera
Utara. Semakin hari gagasan itu semakin menguat dan setelah 1973, IPKI
bersepakat memfusikan diri ke dalam sebuah partai yakni Partai Demokrasi
Indonesia. Tuntutan independensi organisasi akhirnya menjadi pembicaraan serius
di kalangan aktivis Pemuda Pancasila.
Ketika Effendi Nasution memimpin Pemuda Pancasila Sumatera Utara,
independensi organisasi menjadi pedoman bagi pengurus untuk menyusun dan
melaksanakan kegiatan. DPP Pemuda Pancasila dalam keadaan vakum, sebagian
aktivis dan para anggotanya sudah tak aktif dalam kegiatan organisasi. Atas tekad
Wilayah ke-III, Pemuda Pancasila Sumatera Utara kembali menegaskan
independensi organisasi. Pernyataan tersebut memiliki arti sejarah yang sangat
penting bagi perkembangan Pemuda Pancasila saat ini. Keistimewaan pernyataan
independensi itu juga akhirnya tidak mengubah AD/ART Pemuda Pancasila yang
berlaku secara nasional.25 Dengan kata lain Pemuda Pancasila Sumatera Utara
masih menggunakan AD/ART yang lama dan menjadi rujukan dalam pengambilan
keputusan di tingkat nasional.
Keputusan yang diambil itu, seolah-olah menimbulkan kesan telah terjadi
kesepakatan politik dengan pemerintah Orde Baru. Pengertian independen yang
dipakai dalam kesempatan tersebut lebih bersifat politis ketimbang yuridis.
Peluang untuk terlepas dari partai IPKI yang kalah pemilu, dilakukan untuk
memperoleh akses ke kontestan pemilu yang lain, yang secara mutlak jauh lebih
kuat. Setelah musyawarah usai, disampaikan pernyataan kebulatan tekad
satuan-satuan pengurus Pemuda Pancasila di pelbagai wilayah untuk memenangkan
Golkar pada Pemilu 1977. Akan tetapi begitu daftar caleg (calon anggota legislatif)
diumumkan, sebagian pengurus Pemuda Pancasila kecewa karena wakil mereka
tidak terdaftar dalam usulan caleg.
Selain menghasilkan keputusan independen, Musyawarah III ini kembali
menetapkan M.Y. Effendi Nasution menduduki jabatan Ketua DPW Pemuda
Pancasila Sumatera Utara periode 1974–1978. Namun kebiasaan kembali berulang,
ketua terpilih tidak menyelesaikan tugasnya hingga akhir periode. Ketua terpilih
mengundurkan diri dari jabatan ketua tahun 1976 setelah yang bersangkutan
kembali dari menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah 1975. Untuk
menyelesaikan kepengurusan hingga akhir periode (1978), rapat pleno melakukan
reshuffle menunjuk Amran Y.S. sebagai ketua dan Amril Y.S. sebagai sekretaris.
Sejak Pemilu 1971, DPP Pemuda Pancasila tidak pernah melakukan
kegiatan, meskipun Maurits L. Tobing masih tercatat sebagai Ketua DPP Pemuda
Pancasila. Ketika susunan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dilantik, Maurits L. Tobing ikut menghadiri. Namun pada waktu
itu statusnya bukan sebagai Ketua DPP Pemuda Pancasila, melainkan sebagai salah
seorang utusan/wakil dari Komite Nasional Pemuda Pancasila (KNPI). Kenyataan
25
ini semakin mempertegas bahwa kepengurusan DPP Pemuda Pancasila dalam
keadaan vakum.
Amran YS26, penerus kepemimpinan periode 1974-1978, menjabarkan
konsep tersebut dalam bentuk kegiatan-kegiatan. Namun dalam babak awal
kepengurusan, pihaknya masih sangat berhati-hati karena tak lama lagi pemilu
akan berlangsung pada tanggal 2 Mei 1977. Segala bentuk perbedaan pendapat dan
sikap individual kepada salah satu kontestan pemilu masih sangat terasa, walaupun
Pemuda Pancasila telah berikrar untuk bertekad memenangkan Golkar dalam
Pemilu 1977.
Kebijakan pencabutan surat izin cetak untuk pers yang dilakukan oleh
Laksus Kopkamtibda setelah Pemilu 1977 mempunyai implikasi terhadap strategi
perjuangan pengurus Pemuda Pancasila Sumatera Utara terkait pendekatan dengan
kelompok media. Ketika aturan tersebut dicabut usai pemilu, serta merta Pengurus
Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara mengeluarkan pernyataan kepada
pemerintah dan ucapan selamat kepada PWI Sumatera Utara. Pernyataan itulah
yang mengawali debut kepengurusan pada periode 1974-1978. Sejak itu
kegiatan-kegiatan dan sikap-sikap Pemuda Pancasila, baik di tingkat wilayah maupun di
tingkat cabang, muncul lebih sering di media cetak lokal.
Hubungan pengurus Pemuda Pancasila dengan pers tampak lebih intim
sehingga kegiatan sekecil apapun di daerah misalnya, mulai terlihat di media.
Popularitas Pemuda Pancasila secara perlahan-lahan menanjak. Mereka ikut
menanggapi dan malahan turun langsung menyelesaikan persoalan-persoalan di
masyarakat. Pemuda Pancasila Sumatera Utara sering melontarkan pernyataan
tentang tindakan penyelewengan yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Sebagai
contoh, pada tahun 1977 Pemuda Pancasila berdelegasi ke gedung DPRD Deli
Serdang terkait isu korupsi yang melibatkan bupati daerah itu.27 Selain itu, sikap
protes juga disampaikan Pemuda Pancasila saat berdelegasi ke DPRS Sumatera
Utara tentang penggunaan pukat harimau yang meresahkan masyarakat nelayan.
26
Amran YS dikenal sebagai tokoh pemuda di Sumatera Utara yang ikut dalam aksi pemberantasan PKI di Sumatera Utara. Sebutan “preman” juga melekat dalam diri Amran karena dikenal sebagai pemuda yang berani dan pandai berkelahi. Para pemuda di Sumatera Utara yang dikenal sebagai “preman” sangat menghormati Amran YS.
27
Termasuk mengenai masalah Pabrik Pengolahan Udang PT. Indra Deli di
Belawan.28
Melihat aktivitas Pemuda Pancasila tersebut, pemerintah daerah memberi
perhatian secara khusus terkait dengan organisasi. Pemuda Pancasila diminta untuk
menghambat kemungkinan menjalarnya demonstrasi mahasiswa menyambut
Sidang MPR 1978. Peristiwa yang menarik perhatian nasional dan internasional
itu, sempat mengkhawatirkan pemerintah daerah Sumatera Utara. Pemuda
Pancasila, sebagai salah satu unsur organisasi pemuda, telah menunjukkan loyalitas
kepada pemerintah Orde Baru. Pemuda Pancasila memanfaatkan kesempatan
tersebut, dengan cara menggerakkan kekuatan eksponen 66 di daerah Sumatera
Utara menandingi demonstrasi 1978 di Sumatera Utara. Ketika itu, Pemuda
Pancasila Sumatera Utara mengeluarkan pernyataan dengan judul Buku Putih dan
langsung memberikannya kepada Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, Ketua
DPR/MPR Adam Malik, dan juga kepada sekretaris pribadi Presiden Soeharto di
Jakarta. Amran Y.S. mengutip salah satu pernyataan Amir Machmud ketika itu,
“Saya bangga bahwa masih ada pemuda yang memikirkan negara dan pemerintah
Orde Baru”. Pernyataan ini, tambah Amran, keluar dari mulut Amir Machmud
sambil menitikkan air mata.29
Peristiwa tersebut ikut menaikkan nama Pemuda Pancasila karena di dalam
kepengurusan eksponen 66 itu sendiri, terdapat banyak anggota Pemuda Pancasila.
Secara tidak langsung hubungan Pemuda Pancasila dengan pemimpin-pemimpin
sipil dan militer di wilayah pemerintahan Sumatera Utara menjadi semakin erat.
Dari relasi itu, Pemuda Pancasila sempat mendapatkan fasilitas khusus berupa
sumber dana organisasi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Fasilitas khusus
yang diberikan itu adalah Pemuda Pancasila diberikan kebebasan untuk mengelola
beberapa wilayah di Sumatera Utara untuk mendapatkan uang dengan caranya
sendiri. Cara-cara yang dilakukan oleh anggota Pemuda Pancasila seperti
mengancam, merusak, dan bahkan membunuh untuk mendapatkan uang menjadi
penyebab dikenalnya Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang menggunakan
kekerasan di masyarakat.
28 Mimbar Umum, 2 November 1977; Mercusuar, 2 November 1977; Waspada, 2 November 1977; Analisa, 2 November 1977.
29
Konstelasi organisasi pemuda di Sumatera Utara sedikit berbeda dari
sebagian besar kota lain di Indonesia. Pada masa Orde Baru kekuasaan organisasi
pemuda berakar dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal.
Perlindungan militer yang terbesar diberikan kepada Pemuda Pancasila ketimbang
organisasi pemuda lainnya di Sumatera Utara. Hal ini memungkinkan mereka
untuk menjalankan segala aktivitas yang menguntungkan karena mendapat
perlindungan dari militer. Saat militer mengalami kesulitan untuk mengendalikan
aktivitas Pemuda Pancasila berkaitan dengan keuntungan ekonomi, maka harus ada
penyeimbang organisasi pemuda lainnya yang dibentuk dan dibesarkan oleh
kalangan tentara sendiri.
Oloan Panggabean, yang sering disapa Olo, adalah mantan anggota Pemuda
Pancasila yang memiliki bisnis perjudian di kota Medan. Pada tahun 1969, Olo
keluar dari organisasi Pemuda Pancasila dan memilih profesi sebagai pengusaha,
yang dikenal dengan usaha perjudian. Ia dipilih oleh petinggi militer sebagai figur
yang mampu membentuk kekuatan organisasi pemuda selain Pemuda Pancasila.
Sejak akhir tahun 1970, Olo pernah mengajak Ucok Majestik untuk ikut
memberikan dukungan bisnis judi yang dikelola dengan teman-temannya. Ketika
itu, Olo pun kemudian menawarkan imbalan yang cukup besar kepada Ucok
Majestik berupa uang yang akan diterima setiap bulan jika bersedia memberikan
jaminan keamanan dari masyarakat.30 Namun, Ucok Majestik menolak tawaran Olo
tersebut dan tetap saja bertindak sebagai “penguasa” wilayah di kawasan Majestik
Medan.
Untuk mendapatkan perlindungan keamanan dari bisnis perjudian, Olo
Panggabean mendirikan organisasi pemuda yang bernama IPK (Ikatan Pemuda
Karya) pada tanggal 28 Agustus 1969. Pada awalnya, pendirian IPK merupakan
kelanjutan dari berdirinya Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila)
pada tanggal 19 Juni 1954 di Jakarta yang berinduk pada Ikatan-Ikatan Pancasila
(KODI) dan merupakan salah satu pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia
(GAKARI). Dalam aktivitasnya, IPK banyak mendapatkan dukungan dari kalangan
tentara khususnya Angkatan Darat di Sumatera Utara. Oleh karena itu, IPK
mengambil pusat aktivitas organisasi di Kota Medan sekaligus sebagai tempat
30
kedudukan Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IPK. Kota Medan
menjadi pusat pengendali seluruh kebijakan dan kegiatan organisasi IPK yang ada
di hampir seluruh provinsi di Indonesia yang diberi nama Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) IPK.31
Setelah berdiri IPK, Pemuda Pancasila tidak begitu bebas menguasai suatu
lokasi wilayah atau lahan yang dapat menghasilkan uang. Pada lokasi wilayah yang
sebelumnya dikuasai oleh anggota Pemuda Pancasila, harus berbagi dengan
anggota IPK. Akibatnya sering terjadi benturan kekerasan fisik seperti perkelahian,
penculikan, bahkan pembunuhan di antara kedua anggota organisasi pemuda itu
untuk merebut wilayah yang ingin dikuasai. Pertikaian yang terjadi pada umumnya
berada di lokasi wilayah yang berpotensi menghasilkan uang, misalnya lahan
parkir kendaraan, pasar atau tempat berjualan dan pusat-pusat perbelanjaan
lainnya.
Selain karena penguasaan lahan, pertikaian terjadi disebabkan karena
mempertahankan eksistensi organisasi masing. Sedapat mungkin
masing-masing anggota IPK dan Pemuda Pancasila saling menjatuhkan satu sama lain agar
menang di setiap perlawanan. Kemenangan di setiap pertikaian akan dianggap
sebagai kemenangan organisasi, dan kelompok yang menang akan disegani pihak
lain. Anggota dari kedua organisasi ini apabila terkena musibah seperti kena bacok,
tikaman atau meninggal dunia akan mendapatkan bantuan dana dari organisasinya
masing-masing. Loyalitas anggota dari satu kelompok akan terlihat saat mereka
dihadapkan pada satu masalah yang besar dan membawa-bawa nama organisasi.
Maka saat itulah rasa kebersamaan muncul.
Penyebab lain dari pertikaian antara IPK dan Pemuda Pancasila adalah
karena rebutan lahan pekerjaan. Adanya kecemburuan dan sakit hati dari para
anggota IPK yang banyak dipekerjakan menjadi penjaga pabrik dan satuan
pengaman di perusahaan yang ada di sekitar kota Medan. Akibatnya, anggota
Pemuda Pancasila menjadi tersaingi oleh kehadiran anggota IPK yang mengambil
alih wilayah kekuasaannya. Banyak anggota Pemuda Pancasila yang berpindah ke
IPK karena merasa tidak diperhatikan oleh organisasinya dan akhirnya
menggembosi keberadaan organisasi Pemuda Pancasila.
31