• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA: PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK - Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Waki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA: PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK - Kekuasaan dan Politik Lokal (Studi tentang Peran Pemuda Pancasila dalam Mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho sebagai Calon Gubernur dan Waki"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA:

PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK

Bab ini akan menjelaskan latar belakang berdirinya Pemuda Pancasila di

Sumatera Utara terkait dengan situasi politik nasional setelah Indonesia merdeka

hingga Orde Lama yang menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di

Jakarta dan daerah membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik

pada masa Demokrasi Parlementer juga menimbulkan pengelompokan di tingkat akar

rumput. Tidak terkecuali di Sumatera Utara, kekuatan-kekuatan politik nasional

berusaha untuk “menggarap” seluruh satuan sosial masyarakat. Salah satu organisasi

yang dibentuk untuk memobilisasi anak-anak jalanan yang berusia muda dan para

preman di Sumatera Utara itu adalah Pemuda Pancasila. Dalam perkembangannya

Pemuda Pancasila menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu militer untuk

mendukung pemerintah Orde Baru di daerah-daerah termasuk di Sumatera Utara.

Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi

dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak

reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya

masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda

Pancasila yang dikenal selalu mengandalkan kekuatan kekerasan memberikan

pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, lembaga legislatif, dan

eksekutif.

2.1. Sejarah Lahirnya Pemuda Pancasila

Sumatera Utara dulunya dikenal dengan nama Sumatera Timur yang menjadi

salah satu wilayah perkebunan di Indonesia. Sumatera Timur adalah daerah dataran

rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur

mencapai 31.715 km2. Di daerah ini terdapat hutan-hutan Payau (Mangrove) yang

ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang

bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai,

tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi

(2)

endapan lumpur.1 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat

Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur

untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak

perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis.

Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land

Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku

Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang China menempati

urutan ketiga.

Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari

lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat

gubernemen, bukan rakyat kerajaan.2 Komunikasi di antara mereka semakin lancar

dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928.

Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat

nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa

Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan

budaya tradisional.3 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar.

Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.

Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan

Batak Simalungun.4 Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai

Timur Sumatera. Bahwa yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa

yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta

mema-kai adat resam Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja

Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan

dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka.

Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di Bandar-Bandar

                                                                                                                          1

Karl J. Pelzer. 1985. Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.

2 Orang China, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie

(MBGD), 1912-1925 hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur (Tahun 1800-1975), Bandung: Alumni. hal. 76.

3 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56.

(3)

Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan

gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.5

Tumbuh kembangnya pelbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat

kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain tidak

dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan, terutama

antara 1950-an hingga tahun 1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal.

Bermacam-macam organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini

tentu tidak dapat dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam

“MAKLUMAT PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh

Wakil Presiden Mohammad Hatta.6 Implikasi dari Maklumat tersebut di Sumatera

Utara, khususnya Kota Medan, adalah berdiri berbagai cabang organisasi untuk

merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Tujuannya tidak lain adalah untuk

memenangkan pemilihan umum nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan

akan dilaksanakan pemerintah pada Januari tahun 1946.7

Keadaan Kota Medan semakin rumit dan tidak menentu setelah timbulnya

gerakan sebagaimana diistilahkan dengan kata “revolusi sosial’ di Sumatera Timur

(April 1946). Sebagian besar anggota keluarga sultan-sultan Melayu ditangkap,

dibunuh dan hartanya dirampok. Revolusi sosial ini diumumkan oleh Wakil

Gubernur Sumatera, DR. Amir, yang mendapat tekanan dari kelompok kiri

(komunis). Kelompok kiri berusaha meyakinkan massa rakyat bahwa Kesultanan

Melayu berkhianat pada Revolusi Indonesia, karena beberapa hari setelah sekutu

mendarat pihak Kesultanan mengundang seorang pejabat tinggi Belanda untuk

menghadiri upacara penobatan Sultan Osman Sani dan pemakaman almarhum

ayahnya yang digantikannya.8 Revolusi sosial yang belakangan diketahui diatur

dan disusupi oleh unsur-unsur PKI (Partai Komunis Indonesia) ini, walaupun

singkat sempat mengakibatkan berlakunya “keadaan darurat” di seluruh Sumatera

Timur.9

                                                                                                                          5Ibid. hal.24.

6 Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8.

7 Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember 1981. hal. 18.

8 Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat:

Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: IDSN Depdikbud.hal. 202-203. 9

(4)

Era revolusi kemerdekaan hingga tahun 1950, cukup kuat memberi alasan

betapa keadaan saat itu dikatakan amat tidak aman. Masyarakat Sumatera Utara

umumnya, khususnya di Medan, merasakan situasi yang demikian mencekam itu.

Sehingga begitu memasuki era 1950-an, sekalipun di sana-sini masih terjadi

berbagai pergolakan, namun secara historis masyarakat mengenalnya sebagai masa

aman. Pada era inilah implementasi Maklumat Pemerintah 3 November 1945

mendapat momentum baru. Organisasi masa, perkumpulan-perkumpulan, serta

organisasi partai tumbuh dan berkembang menjalankan misi dan program-program

politiknya. Pertarungan antar partai untuk merebut pusat-pusat kekuasaan dan

penentuan kebijakan negara berlangsung secara terbuka. Pergolakan-pergolakan

yang terjadi di seluruh Indonesia itu bukan lagi dalam rangka menghadapi musuh

dari luar. Akan tetapi pergolakan itu lebih disebabkan oleh perbedaan-perbedaan

pendapat dan kepentingan antar partai politik yang berpengaruh dan bermassa

besar di dalam negeri.

Di antara partai-partai politik yang terbilang jumlahnya di masa itu,

pertikaian ideologi dan kompetisi untuk menghimpun kekuatan dengan

mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan isu

sentral. Tiap-tiap organisasi/partai berlomba-lomba untuk tampil di panggung

politik, menentukan format dan arah kebijakan Republik Indonesia yang baru

merdeka. Ada yang muncul sebagai partai dengan ideologi agama, ideologi

kebangsaan, dan ada pula dengan ideologi luar. Sebagian berbasis umat dan

sebagian lagi berbasis okupasi dan kelas sosial. Seluruhnya tampil dengan

mengklaim satu kerangka politik umum mempertahankan dan mengisi

kemerdekaan.

Perbedaan-perbedaan di antara partai politik dan organisasi itu selalu

bermuara pada pertikaian yang berlarut-larut dan sulitnya mencapai kesepakatan.

Setiap partai tidak peduli dengan masalah yang timbul akibat ketidaksepakatan

mereka. Mereka hanya peduli pada upaya memperkuat basis-basis sosial partainya

di kalangan masyarakat. Bermacam-macam instrumen digunakan untuk merekrut

anggota partai sebanyak-banyaknya. Salah satu di antara instrumen yang paling

populer adalah setiap partai politik mendirikan organisasi masyarakat agar dapat

menjangkau massa yang lebih luas. Praktik perluasan massa pendukung di semua

(5)

masyarakat. Pertikaian tidak lagi hanya terbatas di dalam parlemen, tetapi meluas

di dalam kehidupan masyarakat.

Mahasiswa, pelajar, pekerja/karyawan (buruh), petani, nelayan, seniman,

pers dan lain-lain adalah kelompok masyarakat yang selalu menjadi sasaran partai

politik untuk memperluas massa pendukungnya. Sasarannya tidak terbatas pada

masyarakat yang tinggal di perkotaan tetapi juga pada masyarakat yang tinggal di

pedesaan. Sehingga tidak ada satu kelompok sosial pun dalam masyarakat yang

tidak disentuh oleh partai politik, kecuali kelompok sosial yang pada masa itu

dipandang sangat tidak mempunyai “greget” untuk merekrut massa, yakni anak

jalanan. Di Medan kelompok anak jalanan terdiri dari para preman dan anak-anak

cross-boys yang berpusat di seputar kota. Kelompok ini nampaknya tidak tergarap

oleh kekuatan-kekuatan partai politik yang mendekati seluruh satuan sosial di

masyarakat. Para anak jalanan atau preman yang berlainan kampung ini sering

terlibat perkelahian antar sesamanya.

Anak-anak jalanan yang menghuni perkampungan-perkampungan di seputar

pusat kota, bermain ke daerah pusat, untuk menguasai wilayah di sekitar bioskop

dan pusat-pusat pertokoan. Situasi itu mendorong pihak keamanan untuk

mengantisipasi berbagai kemungkinan perkelahian yang dapat menimbulkan

kerusakan-kerusakan di pusat kota. Kecuali karena alasan itu, adanya petugas

penjaga malam disebabkan oleh pengumuman darurat perang di Sumatera Utara

akibat keputusan yang dilakukan Kolonel Simbolon, Panglima Daerah Militer I,

pada 22 Desember 1956 memutuskan hubungan Sumatera Utara dan Kabinet Ali

Sastroamidjoyo.

Pada malam hari daerah kota terpaksa diawasi oleh petugas jaga malam dari

anggota militer. Pasukan jaga malam ini dipimpin Kolonel Sukardi dari Kodam I

Bukit Barisan. Sebagai pelaksana, pihak militer merekrut anak-anak jalanan untuk

ditugaskan sebagai penjaga malam (hermandat). Hal ini dimungkinkan karena pada

masa itu telah terdapat suatu perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pemuda

Kotamadya Medan (P2KM). Perkumpulan ini melibatkan banyak anggota

kelompok anak jalanan yang tersebar di perkampungan sekeliling kota. Kelompok

ini dibentuk di Jalan Amaliun, di rumah salah seorang anggota, dan diketuai oleh

Effendi Nasution dengan sekretaris bernama Anwar. Karena pada masa itu isu

(6)

pada masa itu mencantumkan masalah Irian Barat sebagai salah satu programnya,

maka P2KM juga dinamakan PDIB (Pasukan Djibaku Irian Barat). Pada saat inilah,

politik yang menjadi pembicaraan keseharian masyarakat, mulai masuk dalam

kehidupan para anak jalanan alias preman Kota Medan.

Begitu kuatnya keingingan warga untuk berpolitik, dalam arti merebut

pengaruh dan kekuasaan dalam negara, menyebabkan perhatian pada ekonomi

nyaris terabaikan. Strategi-strategi untuk mengembangkan sumber daya ekonomi

negara kurang mendapat perhatian dalam arus pemikiran umum elit politik pada

masa itu. Aktivitas-aktivitas ekonomi kurang terprogram secara berarti dalam

kebijakan pemerintah. Ia dibiarkan berkembang begitu saja seperti sediakala,

meniru dan mengikuti keadaan yang ada di masa-masa sebelumnya. Tetapi dalam

keadaan itu sentralisasi ekonomi oleh negara justru terus berlangsung sehingga

ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi begitu terasa. Akibatnya

kekuatan ekonomi di masing-masing daerah semakin melemah untuk

mensejahterakan penduduk yang hidup di daerah tersebut. Orang-orang

menganggur (preman) makin bertambah jumlahnya, baik karena kehilangan

pekerjaan maupun karena ketinggalan dalam pendidikan akibat kemiskinan atau

tiadanya kesempatan. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia) tahun 1959 di Sumatera Barat, adalah salah satu pemberontakan yang

menuntut desentralisasi kebijakan ekonomi. Begitu pula pemberontakan

PERMESTA Sulawesi Selatan yang disebabkan oleh penolakan kebijakan

sentralisasi ekonomi oleh pemerintah pusat.10

Penurunan dominasi partai politik dalam kegiatan politik nasional, juga

tampak ketika Presiden Soekarno mengangkat Ir. Djuanda menjadi Perdana

Menteri. Susunan kabinet dibentuk tidak lagi berdasarkan kekuatan-kekuatan partai

melainkan diangkat berdasarkan hubungan pribadi masing-masing. Hubungan

                                                                                                                         

10 Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia. hal. 24. Pemberontakan tersebut terjadi karena adanya pertikaian politik yang bukan saja telah menghalangi konsensus di parlemen, tetapi juga menyebabkan terabaikannya aspek ekonomi/ kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu, atas prakarsa dan dukungan Angkatan Darat, Presiden menunjukkan kekuasaannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan sekaligus mengakhiri era Demokrasi Liberal. Lihat juga Adnan Buyung Nasution. 1998. The Transition to Democracy Lessons from the Tragedy of Konstituante. Center for Political and Regional Studies, Indonesian Institute of Science: Ford Foundation; Ahmad Syafi'i Ma'arif. 1988. Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. hal. 32; Alfian 1977. (ed). Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research.

(7)

kedekatan dengan presiden jauh lebih menentukan karena peranan parlemen sudah

lumpuh sama sekali. Tetapi konflik antar partai bukannya mereda, beberapa partai

seperti PKI yang dekat dengan presiden, makin berkibar dan menggilas

partai-partai lain disekitarnya. Termasuk Partai Masyumi yang turut dibubarkan tahun

1960 karena alasan keterlibatan tokohnya dalam pemberontakan.

Lain halnya dengan IPKI yang kecil –karena kalah dalam Pemilu 1955– di

masa ini justru dapat membangun kekuatan. Kekalahan IPKI yang didukung

kalangan Angkatan Darat pada Pemilu 1955 itu, seakan memberi pelajaran banyak

pada elit partainya. Konsolidasi IPKI dalam kongresnya di Lembang (Jawa Barat),

pada tanggal 28 Oktober 1959, memunculkan gagasan untuk merekrut pemuda

sebagai salah satu pilar pendukungnya. Kongres itu juga mengeluarkan mandat

kepada fungsionaris partai di seluruh Indonesia untuk membentuk organisasi masa

pendukung partai (onderbouw), yang dinamakan “karyawan” IPKI. Partai yang

diresmikan menjadi partai politik pada tahun 1961 inilah yang kemudian menjadi

bukti bahwa, hanya angkatan bersenjata sajalah yang bisa lebih leluasa bergerak

menandingi kekuatan PNI dan PKI yang dekat dengan Bung Karno pada era

Demokrasi Terpimpin.

Menurut Spego Goni, dalam kapasitasnya sebagai fungsionaris IPKI, ia

telah merintis pembentukan Pemuda Pancasila sejak dini.11 Nama “Pemuda

Pancasila” itu sudah pernah dicantumkannya dalam buku tamu di sebuah acara

resmi, yakni pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1959 di Gedung

LAN Jl. Veteran Jakarta. Kehadiran Spego Goni dalam acara tersebut sebetulnya

mewakili IPKI Jakarta Raya. Oleh sebab itu, menurut Spego Goni, dialah orang

yang pertama mencetuskan nama Pemuda Pancasila dan dia pula orang yang

membawa delegasi Pemuda Pancasila (Mei 1961) pertama menjadi onderbouw

IPKI ke hadapan Ny. Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum DPP IPKI) ketika itu.12

                                                                                                                         

11 Spego Goni. 1964. Sekali Lajar Terkembang, Surut Kita Berpantang. Djakarta: Pemuda Pantjasila. hal. 63.

12

(8)

Sampai tanggal 28 Oktober 1960 embrio organisasi Pemuda Pancasila versi

Spego Goni belum diizinkan mengikuti Kongres Pemuda di Bandung.

Penyebabnya adalah Pemuda Pancasila belum terdaftar sebagai organisasi pemuda.

Tetapi pada tanggal 27 April 1961, kira-kira enam bulan kemudian, Pemuda

Pancasila diterima sebagai anggota “Front Pemuda”. Namun Spego Goni tidak

menjelaskan alasan yang menyebabkan Pemuda Pancasila pada saat itu dapat

diterima, jika pada tahun 1960 masih ditolak mengikuti Kongres Pemuda.

Diterimanya Pemuda Pancasila ke dalam Front Pemuda terkait dengan

keberadaan Ny. Ratu Aminah Hidayat (Ketua Umum IPKI).13 Sehingga tidak

mengherankan kalau organisasi pemuda yang bernaung di bawah bendera partainya

itu diterima menjadi anggota Front Pemuda. Namun yang perlu disimak adalah

bahwa di dalam Front Nasional itu sendiri terdapat unsur PKI yang diketahui

sangat anti kepada Pancasila. Tentu saja unsur PKI tersebut dengan sangat berat

hati menerima keanggotaan Pemuda Pancasila. Tetapi dengan konsep NASAKOM

yang digulirkan Presiden Soekarno serta didukung sepenuh hati oleh PKI maka

secara formal unsur komunis di Front Nasional tak berdaya menolaknya.

Sampai saat ini sejarah tentang penggunaan nama Pemuda Pancasila versi

lain selain dari yang sudah dibuat Spego Goni, secara tertulis belum dapat

ditemukan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang bernada menggugat

kebenarannya, seperti banyak beredar di kalangan anggota Pemuda Pancasila

dewasa ini, sulit diyakini kekuatannya. Memang kemungkinan adanya kekeliruan

tentang hal itu sebetulnya masih sangat terbuka. Intensitas komunikasi antar daerah

pada masa itu dapat dibayangkan masih sangat terbatas. Sehingga informasi

tentang perkembangan dari pelaksanaan mandat kongres IPKI Lembang (1959)

guna mendirikan organisasi pemuda IPKI di daerah-daerah di luar Jawa umumnya

atau Jakarta khususnya, tidak dapat diketahui seluruhnya. Inilah alasan yang umum

dikemukakan untuk menggugat lukisan sejarah yang diajukan Spego Goni. Apalagi

jika dalam kongres Lembang sendiri sebetulnya sudah ada dibicarakan nama dari

wadah pemuda IPKI yang akan didirikan adalah Pemuda Pancasila, maka klaim

Spego Goni patut diragukan. Ada kemungkinan di daerah lain telah didirikan

Pemuda Pancasila menyusul mandat yang dikeluarkan kongres. Akan tetapi,

                                                                                                                         

(9)

disinilah kekurangannya, dokumen kongres IPKI Lembang sendiri pada saat ini

tidak tersimpan di tangan para aktivitas Pemuda Pancasila yang ingin menggugat.

Pemuda Pancasila lahir tak lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959

ditetapkan. Kesepakatan tentang hal itu di antara anggota Pemuda Pancasila dapat

diyakini bahwa Pemuda Pancasila lahir di tengah-tengah situasi politik nasional

yang tidak demokratis. Kelompok yang tidak setuju terhadap Nasakom dan

komunis, dapat diduga akan mengalami kesulitan untuk berkembang. Tantangan

yang dihadapi oleh “bayi” Pemuda Pancasila tentu tidak kecil. Partai Komunis

Indonesia yang diketahui sangat “mesra” berhubungan dengan Bung Karno

menjadi penghalang bagi gerakan yang dilakukan Pemuda Pancasila. Sejarah

membuktikan tidak sedikit aparat pemerintahan, sipil maupun militer, pada masa

itu bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Mereka bahkan terlibat langsung

dalam usaha PKI untuk menggantikan Pancasila dengan Komunisme sebagai Dasar

Negara Republik Indonesia.

Setelah Dekrit Presiden, pemerintah mengeluarkan kebijakan

menyederhanakan partai-partai politik yang ada melalui Penpres 7 Tahun 1959 dan

Penpres 13 Tahun 1959. Partai-partai diwajibkan menerima Manifesto Politik

Republik Indonesia (Manipol) dan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945,

Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian

Indonesia) disamping ideologi masing-masing partai. Semua partai politik

diwajibkan melaporkan kembali partainya kepada pemerintah. Setiap partai harus

mendaftar kembali sesuai persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah.

Syarat-syaratnya antara lain harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit

seperempat jumlah daerah Tingkat I dan jumlah cabang di daerah Tingkat I

bersangkutan minimal sebanyak seperempat daerah Tingkat II, jumlah anggota

seluruhnya minimal 150.000 orang, lengkap dengan catatan nama, umur dan

pekerjaan anggota dari setiap cabang disertai pengesahan polisi.14

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) sebagai organisasi yang

dibentuk oleh TNI sangat menyambut keputusan itu. Tekad pengurusnya untuk

mengabadikan Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita kemerdekaan,

sebagaimana keputusan kongresnya yang ke-II di Lembang (Jawa Barat) 17-21

Maret 1959, mendapat sambutan dari Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan

                                                                                                                          14

(10)

Perang. Menghadapi kebijakan pemerintah yang baru ini, internal IPKI mengalami

perpecahan. Pihak pertama menyatakan IPKI tidak perlu dipertahankan dan karena

itu sebaiknya dibubarkan lalu bergabung dengan Angkatan 45 dan Legiun Veteran.

Sebab secara ideologis Republik Indonesia telah kembali kepada Pancasila dan

UUD 1945. Akan tetapi pihak kedua merasa IPKI masih perlu dipertahankan untuk

mengawal pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atas

dasar inilah IPKI mendaftar sebagai partai politik dan dinyatakan lulus oleh

Keppres No. 128/1961.

Perpecahan ini menyebabkan pusat kegiatan (sekretariat) IPKI terbelah dua.

Sebagian berkegiatan di Jalan Menteng Raya No. 60 dan sebagian lagi berkegiatan

di Jalan Kebon Sirih No. 39. Di Menteng Raya berkantor kelompok Achmad

Sukarmadijaya yang menginginkan IPKI menjadi partai politik sedangkan di

Kebon Sirih berkantor Sugirman dan kelompoknya, yang tidak ingin IPKI jadi

partai politik. Generasi muda IPKI yang berinduk di Menteng Raya melahirkan

organisasi massa Pemuda Pancasila sedangkan dari Kebon Sirih lahir organisasi

pemuda bernama Pemuda Patriotik. Dualisme generasi muda IPKI ini sempat

menyebar ke seluruh wilayah IPKI di daerah-daerah. Tidak terkecuali di kalangan

generasi muda IPKI Sumatera Utara. Namun beberapa pertanyaan masih belum

terjawab secara tuntas mengenai hubungan pembentukan organisasi Pemuda

Pancasila di Medan dengan Pemuda Pancasila bentukan Spego Goni di Jakarta.

Almarhum Kerani Bukit barangkali tidak sempat menuturkan hal itu kepada para

penerusnya.15 Tidak ada dokumen ataupun catatan-catatan yang dapat menjadi

rujukan untuk mengetahui keterkaitan tersebut. Akibatnya, masalah itu hilang

bersamaan dengan kepulangan almarhum Kerani Bukit sebagai pelopor dan orang

yang mencari pemuda-pemuda untuk dimasukkan menjadi pengurus Pemuda

Pancasila di Sumatera Utara.

Setahun sebelumnya, persisnya pada tanggal 28 Oktober 1960, Ketua DPD

IPKI Sumatera Utara, Kerani Bukit, melantik Effendi Nasution sebagai Ketua dan

Yansen Hasibuan sebagai Sekretaris pengurus organisasi Pemuda Pancasila di

Medan. Effendi Nasution, selaku orang yang dilantik ketika itu, tidak mengetahui

                                                                                                                         

(11)

pada saat yang sama di tempat lain juga, ada organisasi Pemuda Pancasila di luar

Kota Medan. Effendi Nasution hanya tahu bahwa nama organisasi Pemuda

Pancasila saat itu disebutkan oleh Kerani Bukit. Nama Pemuda Pancasila diketahui

Effendi Nasution beberapa hari sebelum pelantikan, pada saat dia bertemu dengan

Kerani Bukit di kantor IPKI Jalan Sutomo Medan, di depan Medan Bioskop.

Pertemuan itu, menurut Effendi, dilakukan setelah Rosiman (teman Johan Bukit,

putra Ketua IPKI) mengajaknya bergabung dengan IPKI yang akan mendirikan

organisasi Pemuda Pancasila di Medan.

Pilihan kepada Effendi Nasution sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota

Medan diduga sebagai hasil diskusi dan pengamatan yang mendalam di kalangan

pucuk pimpinan IPKI Sumatera Utara ketika itu. Tepatnya pilihan itu terletak pada

dua hal. Pertama, Effendi Nasution adalah simbol dari pemuda jalanan, anak

bioskop, yang selama ini belum sempat tergarap oleh organisasi-organisasi

kekuatan politik. Pada saat itu jumlah anak jalanan di Kota Medan cenderung

meningkat bersamaan dengan kebijakan program rasionalisasi dan sentralisasi

ekonomi sejak Kabinet Wilopo. Kedua, pada saat yang bersamaan Effendi

Nasution dan Rosiman telah menjadi anggota perkumpulan P2KM (Persatuan

Pemuda Kotamadya Medan), yang bertugas sebagai penjaga malam (hermandat) di

pusat kota.

Organisasi P2KM telah menjadi arena sosial bagi para preman dan

cross-boys untuk bekerjasama, membangun saling pengertian, baik dalam pergaulan

maupun dalam aktivitas dan dinamika kehidupan kota Medan. Secara taktis tidak

salah Efendi Nasution dipilih sebagai pimpinan organisasi yang sudah mulai

berkibar sebagai penjaga malam menyusul pengumuman Presiden tentang darurat

perang 1957. Kolonel Sukardi dari Kodam I Bukit Barisan, Ketua Umum Jaga

Malam ketika itu, dan yang diduga kuat mempunyai hubungan baik dengan Kerani

Bukit selaku purnawirawan angkatan bersenjata, berkemungkinan besar ikut

mempengaruhi pilihan IPKI dalam membentuk organisasi Pemuda Pancasila di

Medan.

Kehadiran Pemuda Pancasila di Kota Medan juga merekrut para anak

jalanan dan preman itu sebagai anggota organisasi. Hampir seluruh anggota P2KM

menjadi anggota Pemuda Pancasila. Ketika Effendi Nasution beserta

(12)

kalangan pemuda preman sudah terbentuk. Perkelahian preman antar kampung,

untuk sebagian sudah dapat dihindari. Para preman yang pada mulanya hanya

terikat menurut kesamaan teritori sudah dapat berkawan dan bergaul secara lintas

teritori kampung. Oleh sebab itu, kehadiran Pemuda Pancasila sudah lebih mudah

diterima di kalangan preman serta malahan diharapkan akan memberi sentuhan

organisasi yang lebih sistematis melalui kegiatan-kegiatan yang telah direncakan.

Dalam perkembangannya, jumlah anggota Pemuda Pancasila di Kota Medan telah

mencapai ribuan hingga tahun 1962.

Pada masa-masa awal pembentukan Pemuda Pancasila, sistem organisasinya

belum sebaik sekarang. Upaya penataan organisasi diutamakan pada usaha

pembentukan organisasi di seluruh wilayah Kota Medan. Pelaksanaan

pembentukan organisasi tidak terbatas hanya oleh pengurus Pemuda Pancasila yang

sudah ada sebelumnya. Pengurus IPKI masih sangat berperan dalam pembentukan

itu. Jika di suatu pemukiman ada kemungkinan Pemuda Pancasila dibentuk, maka

disanalah organisasi itu dibentuk. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila pada

saat yang sama, terjadi dua peristiwa pelantikan pengurus di dua pemukiman yang

berbeda. Tentang hubungan organisatoris atau hirarkis antara Pemuda Pancasila di

tempat yang satu dan di tempat yang lain pada dasarnya tidak begitu jelas.

Hubungan antara mereka hanya karena sama-sama berinduk kepada organisasi

IPKI. Kegiatan nyata yang dikelola oleh organisasi Pemuda Pancasila sangat boleh

jadi tidak ada. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk menyatukan Partai IPKI.

“dulu mana kita tahu dek…. Organisasi kata orang, ya organisasi. Lantik

katanya ya lantik lah, kan sekarang baru kita tahu itu apa. Setelah pelantikan

lalu ada latihan atau penataran dan sebagainya. Sebelumnya mana ada

tatar-tatar karena semua preman, crossboy, pencuri, perampok dan pembunuh ada

semua di situ. Apa itu DPW, DPC mana kita tahu itu, iya kan? Yang penting

bikin saja dulu, dirikan di mana-mana. Jadi lain dek…tidak seperti

sekarang, sekarang ini orang sudah banyak yang tahu bahwa DPW melantik

DPC. DPC melantik anak cabang. Dulu mana ada itu… Preman semuanya

di situ.”16

                                                                                                                          16

(13)

Pada tanggal 14 April 1961 IPKI dinyatakan lulus seleksi dan diakui

keberadaannya sebagai sebuah partai politik yang berhak mengikuti pemilu.

Pengakuan tersebut dinyatakan dalam KEPRES No. 128 Tahun 1961. Bagi IPKI

peningkatan statusnya menjadi sebuah partai disambut dengan kegembiraan.

Kegembiraan itu sangat beralasan karena hal itu mencerminkan prestasi IPKI yang

sangat besar di masa itu. Sebab peningkatan status menjadi partai memudahkan

konsolidasi organisasi IPKI yang telah memiliki beberapa cabang di wilayah

nusantara. Ketika itu tantangan dari partai-partai lain menjadi salah satu persoalan

bagi internal IPKI terkait dukungan dari para pemuda, seperti PNI dengan Pemuda

Marhaennya dan PKI dengan Pemuda Rakyatnya.

Pemuda Pancasila dinyatakan secara resmi sebagai organisasi yang berada

di bawah binaan (onderbouw)17 IPKI, ketika Kongres III IPKI yang berlangsung

tanggal 7–11 Juli 1961 di Surabaya. Sejak itu mulai dilakukan penataan struktur

organisasi sebagai upaya perluasan dan pemekaran organisasi ke seluruh tanah air.

Partai IPKI berperan sangat penting dalam proses konsolidasi Pemuda Pancasila di

seluruh wilayah Indonesia. Demikian pentingnya, sehingga pada tanggal 20

Agustus 1962 tanpa melalui rapat umum Pemuda Pancasila se-Indonesia, Ketua

Umum IPKI melantik Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pemuda Pancasila di

bawah pimpinan Ketua Umum Spego Goni SP dan Sekretaris Umum Arief Zen.

Selain membentuk Pemuda Pancasila, Kongres IPKI ke-III Surabaya juga

membentuk onderbouw IPKI lainnya yaitu Mahasiswa Pancasila, Ikatan Sarjana

Pancasila, Karyawan Wanita Pancasila, Gerakan Pelajar Pancasila, Karyawan Tani

Pancasila, Karyawan Nelayan Pancasila, Karyawan Guru Pancasila, Lembaga

Kebudayaan Pancasila, dan Kubu Pancasila. Secara bertahap dan

berkesinambungan, orgnisasi onderbouw IPKI terus didirikan hingga menjelang

Gestapu 1965 keseluruhan organisasi binaan tersebut telah berdiri di Medan,

Sumatera Utara.

Pada bulan Juli 1963 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila

Sumatera Utara dibentuk. Effendi Nasution ditunjuk sebagai Ketua dan dilantik di

Gedung Selecta, Jalan Listrik Medan, oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 kepeloporan yang mumpuni di antara pemuda lainnya. Lihat Syamsul Bahri Nasution dan Saifuddin Mahyudin. 1999. The Lion of North Sumatera. Medan: USU Press. hal. I-III.

(14)

IPKI Sumatera Utara. Lima jam kemudian di rumah Kusen Tjokrosentono, Ketua

IPKI Sumatera Utara, memberikan tugas kepada Yan Paruhum Lubis alias Ucok

Majestik sebagai koordinator Pemuda Pancasila Kotamadya Medan. Kusen

Tjokrosentono, yang pada saat itu menjabat Kepala Jawatan Penerangan Provinsi

Sumatera Utara, tampaknya ingin mempersiapkan pembentukan Dewan Pimpinan

Cabang Kotamadya Medan. Ketika itu, di beberapa wilayah kecamatan Kotamadya

Medan telah dibentuk Pemuda Pancasila, di antaranya Pemuda Pancasila Ranting

Pulau Brayan ketuanya Suaibun Usman, Pemuda Pancasila Anak Cabang

Kecamatan Medan Barat dengan ketua Nico Pulungan, dan lain-lain. Seluruh

pengurus Pemuda Pancasila di tingkat ranting hingga anak cabang dilantik oleh

pengurus IPKI, bukan oleh pengurus Pemuda Pancasila dari instansi yang lebih

tinggi.

Effendi Nasution, selaku Ketua DPW, dan Amran Ys mulai membentuk

Anak Ranting Pemuda Pancasila di sekitar Jalan Medan Area Selatan tahun 1964.

Waktu itu di jalan tersebut sudah ada kelompok pemuda dengan nama Seri-Boys.

Anggotanya terdiri dari anak-anak sekitar Jalan Medan Area Selatan, yang sering

nongkrong di bawah pohon Seri dan dikenal dengan sebutan Pemuda Roman.

Sebagian mereka sudah tidak bersekolah dan sebagian lagi masih bersekolah.

Umumnya belum memiliki pekerjaan tetap, kecuali membantu pekerjaan orang tua

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya berjualan.

Kebiasaan anak muda masa itu adalah mereka bermusuhan dengan

anak-anak muda di lingkungan yang lain di antaranya anak-anak-anak-anak Jalan Puri. Berkelahi

secara keroyokan dengan anak-anak Puri, adu jotos dan lempar batu pun sering

terjadi. Walaupun sebab perkelahian itu hanya karena soal plotot-plototan mata

secara individual saat berpapasan. Pasa masa kepemimpinan Effendy Nasution,

untuk menjadi ketua Pemuda Pancasila di semua tingkatan, ia selalu bertanya "Apa

kau sudah pernah masuk penjara? Sudah berapa orang yang kau tikam/bunuh?

Berapa anggotamu?” dan pertanyaan lainnya yang terkadang menyesakkan dada.

Jika memenuhi syarat itu langsung diterbitkan surat keputusan tanpa ada

musyawarah.

Pertumbuhan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tak dapat dilepaskan dari

keadaan sosial budaya dan sosial politik ketika itu. Semangat revolusi yang

(15)

panji IPKI dan ormas-ormasnya. Semangat anak muda yang mengidolakan para

jagoan pun menemukan salurannya di dalam organisasi. Pemuda Pancasila menjadi

wadah berkumpulnya para preman dan jagoan yang selama ini menjadi perhatian

anak muda. Keberanian dan kesetiaan kelompok menjadi simbol Pemuda Pancasila

dalam menantang musuh-musuhnya.

Pemuda Pancasila yang berbasis para anak jalanan mulai bangkit merekrut

pemuda-pemuda di kampung-kampung bumiputera sekitar Kota Medan. Hal ini

menjadi perhatian pihak lawan, terutama dari kelompok pemuda yang mendukung

PKI yakni Pemuda Rakyat. Apalagi pada waktu itu kata-kata Pancasila mulai

lenyap dari telinga dan ada ketakutan orang menyebutkan itu. Orang takut

menyebutnya karena tidak bersesuaian dengan ideologi Nasakom yang telah

menyebar ke seluruh wilayah nusantara. Akan tetapi oleh anak jalanan, kata

“Pancasila” bukan saja sekedar disebut, ditanamkan dalam hati, melainkan

ditabalkan pada nama organisasinya Pemuda Pancasila.

Pemuda Rakyat paling tidak suka melihat orang mengagung-agungkan

Pancasila. Dengan segala cara mereka tempuh agar lawan jatuh dan terpuruk.

Mereka tebar intrik dan ejekan-ejekan untuk mengecilkan marwah lawan. Mereka

sebar benih permusuhan, bersembunyi di balik kata revolusi untuk menghabisi

lawan. Dengan jumlah massa ribuan mereka gelar demonstrasi-demonstrasi,

intimidasi, dan propaganda menjatuhkan lawan. Mereka teriakkan NASAKOM

yang menyudutkan agama. Mereka ciptakan idiom-idiom politik untuk menistakan

lawan. Lewat spanduk mereka tuliskan dan lewat koran mereka sebarluaskan

seperti HMI “kaum sarungan”, SOKSI “kapitalis birokrat” alias “kabir”, Pemuda

Pancasila “perampok kota”, serta slogan lainnya seperti Bubarkan HMI, Bubarkan

SOKSI, Ganyang Pemuda Pancasila.

Intimidasi dan intrik-intrik yang disebar Pemuda Rakyat18/PKI tidak pula

membuat Pemuda Pancasila takut. Dengan semboyan “Kamput19 di Kiri Tombak di

                                                                                                                         

(16)

Kanan” dan “Nyawa dibalas Nyawa, Darah dibalas Darah”, Pemuda Pancasila

dengan berani melawan musuhnya. Esprite de corps, setia kawan, “Tangan Kanan

kuburan, Tangan Kiri Rumah Sakit” menjadi semboyan Pemuda Pancasila maju

menentang Pemuda Rakyat dan PKI. Tidak sekali dua perkelahian terjadi di antara

mereka. Suatu hari di antara tahun 1964–1965 seorang anggota Pemuda Pancasila,

Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik, diculik Pemuda Rakyat. Sebagai gantinya

Pemuda Pancasila mengambil Ketua Pemuda Rakyat wilayah Medan Barat. Di hari

yang lain, ketika sebuah upacara nasional digelar di lapangan Benteng, Pemuda

Rakyat yang berjumlah ribuan ingin menyingkirkan barisan Pemuda Pancasila

yang hanya berjumlah 40 orang. Melihat sikap Pemuda Rakyat yang arogan itu,

Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ucok Majestik melaksanakan aksi yang

sangat emosional. Dengan kayu, batu dan tiang bendera yang ada di tangan,

Pemuda Pancasila menghajar barisan Pemuda Rakyat hingga kocar-kacir.20

Suasana mencekam dan mengkawatirkan mulai timbul setelah PKI/BTI

membunuh seorang anggota ABRI yang kemudian dikenal sebagai (Alm.) Letda

Soedjono di Perkebunan Bandar Betsy, Simalungun, 14 Mei 1965. Hiruk pikuk dan

kekacauan terus-terusan memuncak setelah itu. Demonstrasi, agitasi, dan

propaganda semakin banyak digelar. Rakyat di kota ataupun di pedesaan makin

ditakut-takuti. PKI merasa semakin kuat, apalagi beberapa pejabat teras, sipil dan

militer Sumatera Utara telah berhasil dirangkulnya. Kehidupan rakyat makin

mencekam, siapa kawan dan siapa lawan semakin tidak jelas, saling curiga

merajalela.

Berita tentang terbunuhnya para Jenderal di Jakarta telah disiarkan oleh RRI

pada 2 Oktober 1965 malam. Kabar tersebut didengar oleh sebagian anggota

Pemuda Pancasila yang sedang berada di Medan Bioskop. Isi berita mengabarkan

bahwa telah terbunuh satu perwira, lima jenderal dan seorang bocah oleh satu

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Pada kongres November 1950 Francisca C. Fanggidaej diangkat menjadi ketua, sementara Sukatno menjadi sekretaris jenderal. Pada 1965 keanggotaannya mencapai sekitar 3 juta orang. Organisasi ini ditindas secara brutal bersama-sama dengan PKI pada 1965-1966. Lihat di

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemuda_Rakyat

19

Kamput singkatan dari kambing putih merupakan merek minuman keras yang bisa memabukkan, dengan harga yang relatif murah menjadi minuman sehari-hari para anak muda jalanan di kota Medan dan sekitarnya.

(17)

gerakan tertentu di Jakarta. Tanpa pikir panjang, apalagi setelah ada peringatan

sebelumnya, anggota Pemuda Pancasila yang berkumpul di tempat itu menafsirkan

bahwa gerakan dimaksud adalah PKI. Maka pada malam itu juga, “pasukan”

Pemuda Pancasila tanpa berkonsultasi dengan pihak manapun langsung bergerak

menyerang kantor dan rumah-rumah anggota PKI. Kegiatan ini terus dilaksanakan

pada hari-hari berikutnya.

Pembentukan Komando Aksi dalam rangka penumpasan PKI dan

ormas-ormasnya dilakukan di Sumatera Utara. Gerakan pembentukan Komando Aksi ini

diprakarsai oleh Pemuda Pancasila yang dibentuk pada 29 Oktober 1965 dengan

ormas-ormas pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk menumpas PKI.21 Masyarakat

pemuda semakin menggandrungi organisasi Pemuda Pancasila, sehingga pada masa

itu banyak sekali tumbuh pengurus-pengurus Pemuda Pancasila mulai dari Anak

Ranting, Ranting, Anak Cabang, serta Cabang di Sumatera Utara.

Komando Aksi mengadakan rapat umum di Gedung Olahraga Medan,

dengan membahas isu masuknya senjata sebanyak 1.000 pucuk dari RRT (Republik

Rakyat China). Usai rapat seluruh peserta berdemonstrasi ke kantor Konsulat RRT

yang dipimpin Pemuda Pancasila. Massa demonstran menurunkan bendera RRT

dan mendesak pihak konsulat untuk menjelaskan perihal kebenaran isu tersebut di

atas. Dalam demontrasi yang emosional itu, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di

kepala seorang anggota demonstran dan korban tak dapat diselamatkan sehingga

menghembuskan nafas terkahirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Korban

tersebut adalah seorang anggota IPTR (Ikatan Pemuda Tanah Rencong) bernama

Ibrahim Umar yang juga merangkap sebagai anggota Pemuda Pancasila.

Peristiwa 10 Desember 1965 yang menyebabkan kematian Ibrahim Umar itu

memicu kemarahan massa Pemuda Pancasila dan pemuda lainnya. Mereka

melampiaskan kemarahannya hampir secara membabi buta. Semua orang China

yang dilihat, sekalipun tidak tahu menahu peristiwa itu ditangkapi, dipukuli,

hartanya dirampok, setelah itu dihabisi nyawanya. Tak kurang 150 orang China

Medan tewas dalam peristiwa berdarah itu. Akibat dari tindakan mengganyang

China ini, fungsionaris Pemuda Pancasila seperti Effendi Nasution ditahan oleh                                                                                                                          

21

(18)

pihak berwajib selama kurang lebih 21 hari. Rosiman dan Mansyur Azis yang tidak

ditahan akibat peristiwa itu, dipanggil ke Jakarta menemui Jenderal A.H. Nasution

untuk menjelaskan duduk perkara peristiwa tersebut. Pemerintah pusat menyebut

peristiwa itu sebagai peristiwa rasialis. Sehingga selepasnya dari tahanan, Effendi

Nasution dipanggil ke Jakarta menghadap Bung Karno. Di Jakarta ia disambut

Jenderal Sukendro, yang saat itu menjabat Ketua Umum IPKI, dan bersamanya

menghadap Bung Karno.

Bung Karno sempat menuduh Effendi Nasution sebagai Rasialis. Namun

Effendi tetap menyatakan tidak, Effendi menyatakan keanekaragaman anggotanya

di dalam organisasi Pemuda Pancasila yaitu “Ada China, Keling, Menggali22 yang

menjadi anggota saya. Mana mungkin saya rasialis”, jelas Effendi. Presiden

Soekarno sendiri menerima penjelasan Effendi Nasution setelah hampir dua jam

dialog terjadi di antara mereka. Di akhir pertemuan Soekarno berpesan kepada

Effendi, “Effendi! Saya harap kamu bantu Saya untuk mengamankan kawasan

Sumatera Utara”. 23 Penjelasan serupa dia ajukan kepada Jenderal Nasution dan

juga Jenderal Alamsyah Ratuprawiranegara. Sehingga ketika rapat Front Nasional

diadakan, keluar pernyataan resmi dari pemerintah, bahwa peristiwa 10 Desember

1965 bukan peristiwa rasial melainkan hanya peristiwa kriminal biasa.

2.2. Pemuda Pancasila Masa Orde Baru

Keluarnya Supersemar 1966 membawa nafas baru bagi penumpasan PKI.

Pejabat Presiden Jenderal Soeharto memerintahkan pembubaran PKI dan atas

perintah tersebut Komando Aksi mengarahkan serangannya antara lain ke

Kampung Kolam. Serangan ini konon diawali oleh Pemuda Pancasila dari Ranting

Sei Kera. Serangan ini mendapat tantangan sehingga tertangkapnya dua orang

penyerang, yakni Adlin Prawira (anggota Pemuda Pancasila merangkap anggota

HMI) dan M. Yakob. Menurut keterangan yang diperoleh, M. Yacob adalah

seorang anak yang masih di bawah umur. Ketika rencana penyerangan Kampung

Kolam disusun, M. Yacob minta ikut tetapi dilarang oleh anggota yang sudah

dewasa. Namun tanpa diduga-duga, remaja M. Yacob ternyata menyusup di antara

                                                                                                                         

22 Keling dan Menggali digunakan dalam bahasa sehari-hari warga kota Medan kepada orang India Tamil atau orang Keling. Di Medan kaum Keling dan Menggali banyak tinggal di Jalan Zainul Arifin atau lebih dikenal dengan istilah Kampung Keling.

23

(19)

rombongan dan terlibat dalam aksi penyerangan. Ia bersama Adlin menemui

ajalnya setelah terlebih dahulu disiksa. Mayatnya ditemukan 12 hari kemudian

dalam keadaan sangat mengenaskan. Telinga dan alat vitalnya hilang serta mata

terburai dengan posisi terikat ke sepotong besi (rel lori) yang ditenggelamkan ke

dalam air parit, di bawah rakit batang pisang sebagai pelampungnya. Untuk

mengelabui pencari mayat “pahlawan” Orde Baru ini, PKI meletakkan bangkai

kambing di atas rakit pohon pisang yang mengapung-apung tersebut.

Kecuali penumpasan antek-antek komunis di Kampung Kolam, Komando

Aksi terlibat aktif dalam pengambilalihan gedung-gedung pusat kegiatan partai

terlarang PKI.24 Menyusul Supersemar, organisasi masyarakat se-Sumatera Utara

berkumpul di Kodim guna membentuk Kesatuan Aksi Masyarakat Pengganyang

Antek-antek Komunis (KAMPAK). Dalam kesatuan ini Pemuda Pancasila kembali

terlihat mendominasi. Kesatuan ini pada dasarnya dibentuk dalam rangka

implementasi kehendak rakyat Sumatera Utara untuk mendukung pemerintah Orde

Baru.

Perubahan konstelasi politik nasional pertama yang paling mendasar selama

usia kemerdekaan adalah bergantinya Orde Lama ke Orde Baru. Perubahan tatanan

politik yang menjadi kerangka seluruh kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara itu bukan hanya memberi jalan bagi hubungan politik di dalam maupun

luar negeri. Tetapi perubahan tersebut juga dapat melahirkan suasana yang dapat

menentukan mati hidupnya sebuah partai politik. Kondisi itu seringkali timbul di

luar perkiraan dan ramalan-ramalan sebelumnya. Sebabnya tidak lain karena gejala

sosial politik yang terjadi bisa berjalan di luar aturan-aturan normal yang dapat

diantisipasi.

Pemuda Pancasila selaku organisasi massa dengan mudah dapat terimbas

oleh perubahan-perubahan tatanan sosial politik yang terbentuk. Sifat rentan yang

dimilikinya itu terkait erat dengan kedudukannya sebagai salah satu orderbouw

partai politik IPKI. Sehingga jika kesehatan “induknya” terganggu maka terganggu

pula kesehatan “anaknya”. Dengan kata lain permasalahan yang dialami IPKI akan

sekaligus menjadi masalah Pemuda Pancasila.                                                                                                                          

24

(20)

Di puncak-puncak kejayaannya, usai masa penumpasan sisa-sisa Gerakan

30 September 1965, Pemuda Pancasila sempat mengadakan Kongres/Musyawarah

Besar yang pertama tahun 1968 di Medan. Beberapa wilayah Pemuda Pancasila

yang tersebar di seluruh Indonesia, hadir pada kesempatan itu. Kota Medan yang

dikenal karena keberanian basis massa Pemuda Pancasila menghadapi PKI,

menjadi bukti kepercayaan pengurus pusat memilihnya sebagai tuan rumah

penyelenggaraan kongres pertama. Sementara Pemuda Pancasila di daerah-daerah

lain, termasuk Jakarta, belum tentu memiliki kekuatan massa yang sama seperti

kekuatan yang telah didapat Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Maka pada saat

kongres berlangsung, tujuan utama adalah menaikkan popularitas Effendi Nasution

sebagai tokoh Pemuda Pancasila yang sedang sangat tenar ketika itu. Hampir

dalam semua kegiatan, Effendi Nasution, ikut terlibat dan bertindak sebagai

pemimpin aksi.

Ketenaran tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara ini tidak dapat

dipungkiri sebagai salah satu modal yang telah membawanya berkantor di Gedung

DPRGR/MPRS/BP-MPRS tahun 1968 mewakili unsur pemuda. Namun berkat

ketenarannya itu pula pekerjaannya menjadi semakin banyak. Ia Ketua Umum

DPW Pemuda Pancasila dan dia pula anggota DPR. Keputusan Effendi Nasution

menunaikan tugas rangkap di Jakarta, bukanlah tanpa resiko baik kepada dirinya

sendiri maupun kepada organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Di

masa-masa ia harus meninggalkan Sumatera Utara, disitu pula Walikota Medan,

Aminurrasyid, yang tersangkut peristiwa G 30/S tidak mungkin lepas dari

perhatiannya. Ia pun terlibat dalam kompetisi dan percaturan politik pemerintahan

kota ketika itu. Akibat keterlibatannya itu pula, tugas-tugasnya di Jakarta tidak

dapat diselesaikan sesuai periode yang ditentukan.

Keterlibatan Effendi Nasution dalam pemilihan Walikota Medan adalah

mendukung Syurkani sebagai calon walikota yang ingin dimenangkan. Lawan

Syurkani dalam pemilihan itu berasal dari kelompok tentara yaitu Letkol MS

Rangkuti. Ketika itu pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara anggota

DPRD Kota Medan. Dukungan Pemuda Pancasila dalam pemilihan itu terbelah

dalam dua kubu yaitu pengurus wilayah mendukung Syurkani, sedangkan pimpinan

cabang Medan mendukung Letkol MS Rangkuti. Perbedaan dukungan itu lebih

(21)

pendukungnya. Akhirnya, Syurkani terpilih sebagai Walikota Medan melalui

proses pemilihan suara anggota DPRD Medan yang dinilai mendapat tekanan dari

kelompok preman. Kelompok yang kalah kemudian menyebarkan isu bahwa

kemenangan Syurkani karena adanya intimidasi terhadap anggota DPRD Medan.

DPC Pemuda Pancasila Kotamadya Medan termasuk kelompok yang menyebarkan

isu tersebut. Atas sikap itu, pimpinan wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara

memberikan sanksi kepada pengurus cabang Medan dengan membekukan DPC

Pemuda Pancasila Kotamadya Medan dan ketuanya diberikan sanksi skorsing dan

pemecatan.

Selama rentang waktu 1968 hingga 1971 kegiatan Pemuda Pancasila

mengalami kemunduran di seluruh Indonesia. Ketika itu Angkatan Bersenjata

sedang menyusun “skenario” besar untuk menata sistem pemerintahan Orde Baru.

Di antaranya adalah menggarap partai politik, golongan Islam, mensahkan RUU

Pemilu tahun 1969 yang menjamin posisi ABRI menjadi anggota DPR dan DPRD

tanpa dipilih, mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tentang

pelarangan pegawai negeri menjadi anggota partai politik, membesarkan Golongan

Karya, dan lain-lainnya. Skenario tersebut secara tidak langsung mengeluarkan

IPKI dari kekuatan politik yang selama ini telah mendukung ABRI. Hasilnya

adalah IPKI tidak memperoleh satu kursi parlemen pun dalam Pemilu 1971.

Menurut penjelasan tokoh-tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara,

kekalahan IPKI dalam Pemilu 1971 seharusnya tidak menyebabkan menurunnya

kegiatan Pemuda Pancasila jika Pemuda Pancasila itu berani melepaskan

keterikatannya dari IPKI. Gagasan ingin melepaskan keterikatan kepada IPKI ini

lama menjadi bahan renungan dan pertimbangan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera

Utara. Semakin hari gagasan itu semakin menguat dan setelah 1973, IPKI

bersepakat memfusikan diri ke dalam sebuah partai yakni Partai Demokrasi

Indonesia. Tuntutan independensi organisasi akhirnya menjadi pembicaraan serius

di kalangan aktivis Pemuda Pancasila.

Ketika Effendi Nasution memimpin Pemuda Pancasila Sumatera Utara,

independensi organisasi menjadi pedoman bagi pengurus untuk menyusun dan

melaksanakan kegiatan. DPP Pemuda Pancasila dalam keadaan vakum, sebagian

aktivis dan para anggotanya sudah tak aktif dalam kegiatan organisasi. Atas tekad

(22)

Wilayah ke-III, Pemuda Pancasila Sumatera Utara kembali menegaskan

independensi organisasi. Pernyataan tersebut memiliki arti sejarah yang sangat

penting bagi perkembangan Pemuda Pancasila saat ini. Keistimewaan pernyataan

independensi itu juga akhirnya tidak mengubah AD/ART Pemuda Pancasila yang

berlaku secara nasional.25 Dengan kata lain Pemuda Pancasila Sumatera Utara

masih menggunakan AD/ART yang lama dan menjadi rujukan dalam pengambilan

keputusan di tingkat nasional.

Keputusan yang diambil itu, seolah-olah menimbulkan kesan telah terjadi

kesepakatan politik dengan pemerintah Orde Baru. Pengertian independen yang

dipakai dalam kesempatan tersebut lebih bersifat politis ketimbang yuridis.

Peluang untuk terlepas dari partai IPKI yang kalah pemilu, dilakukan untuk

memperoleh akses ke kontestan pemilu yang lain, yang secara mutlak jauh lebih

kuat. Setelah musyawarah usai, disampaikan pernyataan kebulatan tekad

satuan-satuan pengurus Pemuda Pancasila di pelbagai wilayah untuk memenangkan

Golkar pada Pemilu 1977. Akan tetapi begitu daftar caleg (calon anggota legislatif)

diumumkan, sebagian pengurus Pemuda Pancasila kecewa karena wakil mereka

tidak terdaftar dalam usulan caleg.

Selain menghasilkan keputusan independen, Musyawarah III ini kembali

menetapkan M.Y. Effendi Nasution menduduki jabatan Ketua DPW Pemuda

Pancasila Sumatera Utara periode 1974–1978. Namun kebiasaan kembali berulang,

ketua terpilih tidak menyelesaikan tugasnya hingga akhir periode. Ketua terpilih

mengundurkan diri dari jabatan ketua tahun 1976 setelah yang bersangkutan

kembali dari menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah 1975. Untuk

menyelesaikan kepengurusan hingga akhir periode (1978), rapat pleno melakukan

reshuffle menunjuk Amran Y.S. sebagai ketua dan Amril Y.S. sebagai sekretaris.

Sejak Pemilu 1971, DPP Pemuda Pancasila tidak pernah melakukan

kegiatan, meskipun Maurits L. Tobing masih tercatat sebagai Ketua DPP Pemuda

Pancasila. Ketika susunan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila

Sumatera Utara dilantik, Maurits L. Tobing ikut menghadiri. Namun pada waktu

itu statusnya bukan sebagai Ketua DPP Pemuda Pancasila, melainkan sebagai salah

seorang utusan/wakil dari Komite Nasional Pemuda Pancasila (KNPI). Kenyataan

                                                                                                                          25

(23)

ini semakin mempertegas bahwa kepengurusan DPP Pemuda Pancasila dalam

keadaan vakum.

Amran YS26, penerus kepemimpinan periode 1974-1978, menjabarkan

konsep tersebut dalam bentuk kegiatan-kegiatan. Namun dalam babak awal

kepengurusan, pihaknya masih sangat berhati-hati karena tak lama lagi pemilu

akan berlangsung pada tanggal 2 Mei 1977. Segala bentuk perbedaan pendapat dan

sikap individual kepada salah satu kontestan pemilu masih sangat terasa, walaupun

Pemuda Pancasila telah berikrar untuk bertekad memenangkan Golkar dalam

Pemilu 1977.

Kebijakan pencabutan surat izin cetak untuk pers yang dilakukan oleh

Laksus Kopkamtibda setelah Pemilu 1977 mempunyai implikasi terhadap strategi

perjuangan pengurus Pemuda Pancasila Sumatera Utara terkait pendekatan dengan

kelompok media. Ketika aturan tersebut dicabut usai pemilu, serta merta Pengurus

Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara mengeluarkan pernyataan kepada

pemerintah dan ucapan selamat kepada PWI Sumatera Utara. Pernyataan itulah

yang mengawali debut kepengurusan pada periode 1974-1978. Sejak itu

kegiatan-kegiatan dan sikap-sikap Pemuda Pancasila, baik di tingkat wilayah maupun di

tingkat cabang, muncul lebih sering di media cetak lokal.

Hubungan pengurus Pemuda Pancasila dengan pers tampak lebih intim

sehingga kegiatan sekecil apapun di daerah misalnya, mulai terlihat di media.

Popularitas Pemuda Pancasila secara perlahan-lahan menanjak. Mereka ikut

menanggapi dan malahan turun langsung menyelesaikan persoalan-persoalan di

masyarakat. Pemuda Pancasila Sumatera Utara sering melontarkan pernyataan

tentang tindakan penyelewengan yang terjadi di lingkungan pemerintahan. Sebagai

contoh, pada tahun 1977 Pemuda Pancasila berdelegasi ke gedung DPRD Deli

Serdang terkait isu korupsi yang melibatkan bupati daerah itu.27 Selain itu, sikap

protes juga disampaikan Pemuda Pancasila saat berdelegasi ke DPRS Sumatera

Utara tentang penggunaan pukat harimau yang meresahkan masyarakat nelayan.

                                                                                                                          26

Amran YS dikenal sebagai tokoh pemuda di Sumatera Utara yang ikut dalam aksi pemberantasan PKI di Sumatera Utara. Sebutan “preman” juga melekat dalam diri Amran karena dikenal sebagai pemuda yang berani dan pandai berkelahi. Para pemuda di Sumatera Utara yang dikenal sebagai “preman” sangat menghormati Amran YS.

27

(24)

Termasuk mengenai masalah Pabrik Pengolahan Udang PT. Indra Deli di

Belawan.28

Melihat aktivitas Pemuda Pancasila tersebut, pemerintah daerah memberi

perhatian secara khusus terkait dengan organisasi. Pemuda Pancasila diminta untuk

menghambat kemungkinan menjalarnya demonstrasi mahasiswa menyambut

Sidang MPR 1978. Peristiwa yang menarik perhatian nasional dan internasional

itu, sempat mengkhawatirkan pemerintah daerah Sumatera Utara. Pemuda

Pancasila, sebagai salah satu unsur organisasi pemuda, telah menunjukkan loyalitas

kepada pemerintah Orde Baru. Pemuda Pancasila memanfaatkan kesempatan

tersebut, dengan cara menggerakkan kekuatan eksponen 66 di daerah Sumatera

Utara menandingi demonstrasi 1978 di Sumatera Utara. Ketika itu, Pemuda

Pancasila Sumatera Utara mengeluarkan pernyataan dengan judul Buku Putih dan

langsung memberikannya kepada Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, Ketua

DPR/MPR Adam Malik, dan juga kepada sekretaris pribadi Presiden Soeharto di

Jakarta. Amran Y.S. mengutip salah satu pernyataan Amir Machmud ketika itu,

“Saya bangga bahwa masih ada pemuda yang memikirkan negara dan pemerintah

Orde Baru”. Pernyataan ini, tambah Amran, keluar dari mulut Amir Machmud

sambil menitikkan air mata.29

Peristiwa tersebut ikut menaikkan nama Pemuda Pancasila karena di dalam

kepengurusan eksponen 66 itu sendiri, terdapat banyak anggota Pemuda Pancasila.

Secara tidak langsung hubungan Pemuda Pancasila dengan pemimpin-pemimpin

sipil dan militer di wilayah pemerintahan Sumatera Utara menjadi semakin erat.

Dari relasi itu, Pemuda Pancasila sempat mendapatkan fasilitas khusus berupa

sumber dana organisasi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Fasilitas khusus

yang diberikan itu adalah Pemuda Pancasila diberikan kebebasan untuk mengelola

beberapa wilayah di Sumatera Utara untuk mendapatkan uang dengan caranya

sendiri. Cara-cara yang dilakukan oleh anggota Pemuda Pancasila seperti

mengancam, merusak, dan bahkan membunuh untuk mendapatkan uang menjadi

penyebab dikenalnya Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang menggunakan

kekerasan di masyarakat.

                                                                                                                         

28 Mimbar Umum, 2 November 1977; Mercusuar, 2 November 1977; Waspada, 2 November 1977; Analisa, 2 November 1977.

29

(25)

Konstelasi organisasi pemuda di Sumatera Utara sedikit berbeda dari

sebagian besar kota lain di Indonesia. Pada masa Orde Baru kekuasaan organisasi

pemuda berakar dari kedekatan mereka dengan komandan militer lokal.

Perlindungan militer yang terbesar diberikan kepada Pemuda Pancasila ketimbang

organisasi pemuda lainnya di Sumatera Utara. Hal ini memungkinkan mereka

untuk menjalankan segala aktivitas yang menguntungkan karena mendapat

perlindungan dari militer. Saat militer mengalami kesulitan untuk mengendalikan

aktivitas Pemuda Pancasila berkaitan dengan keuntungan ekonomi, maka harus ada

penyeimbang organisasi pemuda lainnya yang dibentuk dan dibesarkan oleh

kalangan tentara sendiri.

Oloan Panggabean, yang sering disapa Olo, adalah mantan anggota Pemuda

Pancasila yang memiliki bisnis perjudian di kota Medan. Pada tahun 1969, Olo

keluar dari organisasi Pemuda Pancasila dan memilih profesi sebagai pengusaha,

yang dikenal dengan usaha perjudian. Ia dipilih oleh petinggi militer sebagai figur

yang mampu membentuk kekuatan organisasi pemuda selain Pemuda Pancasila.

Sejak akhir tahun 1970, Olo pernah mengajak Ucok Majestik untuk ikut

memberikan dukungan bisnis judi yang dikelola dengan teman-temannya. Ketika

itu, Olo pun kemudian menawarkan imbalan yang cukup besar kepada Ucok

Majestik berupa uang yang akan diterima setiap bulan jika bersedia memberikan

jaminan keamanan dari masyarakat.30 Namun, Ucok Majestik menolak tawaran Olo

tersebut dan tetap saja bertindak sebagai “penguasa” wilayah di kawasan Majestik

Medan.

Untuk mendapatkan perlindungan keamanan dari bisnis perjudian, Olo

Panggabean mendirikan organisasi pemuda yang bernama IPK (Ikatan Pemuda

Karya) pada tanggal 28 Agustus 1969. Pada awalnya, pendirian IPK merupakan

kelanjutan dari berdirinya Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila)

pada tanggal 19 Juni 1954 di Jakarta yang berinduk pada Ikatan-Ikatan Pancasila

(KODI) dan merupakan salah satu pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia

(GAKARI). Dalam aktivitasnya, IPK banyak mendapatkan dukungan dari kalangan

tentara khususnya Angkatan Darat di Sumatera Utara. Oleh karena itu, IPK

mengambil pusat aktivitas organisasi di Kota Medan sekaligus sebagai tempat

                                                                                                                          30

(26)

kedudukan Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IPK. Kota Medan

menjadi pusat pengendali seluruh kebijakan dan kegiatan organisasi IPK yang ada

di hampir seluruh provinsi di Indonesia yang diberi nama Dewan Pimpinan Daerah

(DPD) IPK.31

Setelah berdiri IPK, Pemuda Pancasila tidak begitu bebas menguasai suatu

lokasi wilayah atau lahan yang dapat menghasilkan uang. Pada lokasi wilayah yang

sebelumnya dikuasai oleh anggota Pemuda Pancasila, harus berbagi dengan

anggota IPK. Akibatnya sering terjadi benturan kekerasan fisik seperti perkelahian,

penculikan, bahkan pembunuhan di antara kedua anggota organisasi pemuda itu

untuk merebut wilayah yang ingin dikuasai. Pertikaian yang terjadi pada umumnya

berada di lokasi wilayah yang berpotensi menghasilkan uang, misalnya lahan

parkir kendaraan, pasar atau tempat berjualan dan pusat-pusat perbelanjaan

lainnya.

Selain karena penguasaan lahan, pertikaian terjadi disebabkan karena

mempertahankan eksistensi organisasi masing. Sedapat mungkin

masing-masing anggota IPK dan Pemuda Pancasila saling menjatuhkan satu sama lain agar

menang di setiap perlawanan. Kemenangan di setiap pertikaian akan dianggap

sebagai kemenangan organisasi, dan kelompok yang menang akan disegani pihak

lain. Anggota dari kedua organisasi ini apabila terkena musibah seperti kena bacok,

tikaman atau meninggal dunia akan mendapatkan bantuan dana dari organisasinya

masing-masing. Loyalitas anggota dari satu kelompok akan terlihat saat mereka

dihadapkan pada satu masalah yang besar dan membawa-bawa nama organisasi.

Maka saat itulah rasa kebersamaan muncul.

Penyebab lain dari pertikaian antara IPK dan Pemuda Pancasila adalah

karena rebutan lahan pekerjaan. Adanya kecemburuan dan sakit hati dari para

anggota IPK yang banyak dipekerjakan menjadi penjaga pabrik dan satuan

pengaman di perusahaan yang ada di sekitar kota Medan. Akibatnya, anggota

Pemuda Pancasila menjadi tersaingi oleh kehadiran anggota IPK yang mengambil

alih wilayah kekuasaannya. Banyak anggota Pemuda Pancasila yang berpindah ke

IPK karena merasa tidak diperhatikan oleh organisasinya dan akhirnya

menggembosi keberadaan organisasi Pemuda Pancasila.

                                                                                                                          31

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dalam mengatur dan mengur us kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang

vi burnout mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap engagement pada perawat di ruang rawat inap RSUD Kota Bekasi.. Kata Kunci: Psychological Capital , Komitmen

Suatu alternatif memiliki nilai preferensi yang sama penting selama selisih atau nilai P(x) dari masing-masing alternatif tidak melebihi nilai threshold.

karena kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas dan sulit diterima

Dengan model yang lebih menggunakan teknologi masa kini ini informasi dapat terlihat dengan lebih baik, akan tetapi papan pengumuman digital yang ada hanya dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: kualitas akrual tidak berpengaruh terhadap asimetri informasi; asimetri informasi berpengaruh positif terhadap cash holding

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bagaimana cara mengintegrasi basis data yang berbeda platform menggunakan web service yang berbeda ke dalam satu aplikasi

Data hasil pengujian software peralihan dari sumber Genset ke PLN dapat diketahui sistem saklar pemindah otomatis secara simulasi software dapat berfungsi