• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah sumberdaya (resource), mulai populer di Indonesia sejak dekade 1980-an. Sebelum dekade 1980-an sumberdaya merujuk pada sumber kekayaan alam, dan setelah tahun 1980, sumberdaya berkonotasi pada alam, manusia dan buatan. Namun demikian, konotasi sumberdaya pada umumnya terkait dengan nilai ekonomi atau segala sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia atau input-input yang bersifat langka yang dapat menghasilkan utilitas baik melalui proses produksi maupun bukan dalam bentuk barang dan jasa (Bannock et al,

1992).

Dalam beberapa literatur juga dijumpai pengertian sumberdaya sebagai sebutan singkat untuk sumberdaya alam. Beberapa definisi mengenai sumberdaya dapat disajikan sebagai berikut:

1. Seluruh faktor produksi/input produksi untuk menghasilkan output (Pass dan Lowes, 1988).

2. Berbagai faktor produksi yang dimobilisasikan dalam suatu proses produksi, atau lebih umum dalam suatu aktivitas ekonomi, seperti modal, tenaga manusia, energi, air, mineral, dan lain-lain (Katili, 1983).

3. Aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia (Grima dan Berkes, 1989)

Sumberdaya alam (SDA) merupakan salah satu sumberdaya dalam pengertian luas. Pengertian SDA secara akademik dengan latar belakang keilmuan akan berbeda. Menurut Suparmoko (1989) SDA adalah sesuatu yang masih

terdapat di dalam maupun di luar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi untuk meningkatkan tersedianya barang dan jasa dalam perekonomian dan Fauzi (2006) menyebutnya sebagai barang netral. Suparmoko (1989) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan barang sumberdaya adalah SDA yang sudah diambil dari dalam atau dari atas bumi dan siap digunakan serta dikombinasikan dengan faktor-faktor produksi lain sehingga dapat dihasilkan luaran baru yang berupa barang dan jasa bagi konsumen maupun produsen.

Secara umum SDA diklasifikasikan atas SDA yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources) dan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources). SDA yang tidak dapat diperbarui atau sumberdaya stok atau bersifat

exhaustible seperti logam, minyak bumi, mineral, dan gas adalah sumberdaya dengan supply terbatas. Eksploitasi sumberdaya ini akan menurunkan cadangan dan ketersediaannya. Sumberdaya yang dapat diperbarui atau disebut juga sebagai “flow”, yakni sumberdaya yang supply-nya dapat mengalami regenerasi secara terus menerus baik secara biologi maupun bukan melalui proses biologi. SDA ini ada yang benar-benar supply-nya tidak terbatas (infinite) dan ada juga yang bersifat dapat diperbarui sepanjang laju pemanfaatannya tidak melampaui titik kritis pemanfaatan seperti SDA dapat diperbarui. Menurut Anwar (2005) setiap proses produksi dan konsumsi SDA selalu menghasilkan limbah (waste). Sebagian limbah produksi/konsumsi dapat menjadi sumberdaya yang dapat dipakai kembali sebagai input dan masuk ke proses produksi (industri) atau kembali ke lingkungan alam. Namun ada juga limbah masih memerlukan upaya

pendauran menjadi residual yang dapat didaur secara alamiah melalui proses biologi (ikan, hutan, dan lain-lain) dan bukan biologi (air dari mata air, situ).

Salah satu sumberdaya yang sampai saat ini masih dibutuhkan semua manusia adalah sumberdaya air. Karakteristik sumberdaya air amat dipengaruhi aspek topografi dan geologi, keragaman penggunaannya, keterkaitannya, waktu serta kualitas alaminya. Oleh karena faktor topografi dan geologi maka sumberdaya air dapat bersifat lintas wilayah administrasi. Dengan demikian, kuantitas dan kualitas air amat bergantung pada tingkat pengelolaan sumber daya air masing-masing daerah. Untuk mencapai terwujudnya kelestarian sumber daya air diharapkan adanya koordinasi terpadu antar sektor, antar daerah dan kesadaran dari msyarakat serta kemampuan tenaga pengelola pengairan yang berada di lapangan.

Waduk sebagai sumberdaya air adalah sumberdaya buatan. Waduk merupakan barang sumberdaya yang apabila dipadukan dengan faktor produksi lain akan menghasilkan luaran baru, seperti, air yang ada di waduk digunakan untuk menggerakkan turbin sehingga menghasilkan energi listrik (Suparmoko, 1989). Contoh lain, dengan adanya KJA, akan memberikan peluang pendapatan/ekonomi kepada masyarakat untuk sektor budidaya ikan.

Waduk pada umumnya dibangun oleh pemerintah, karena pemerintah memandang bahwa waduk akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Sedikit pihak swasta yang bersedia membangun waduk secara mandiri, karena terlalu besar biaya yang diperlukan untuk membangunnya. Oleh karena itu waduk, dapat disebut sebagai barang publik yang dalam banyak hal sangat dibutuhkan oleh masyarakat namun tidak seorangpun yang bersedia menghasilkannya.

Kalaupun ada pihak swasta yang menyediakannya dan jumlahnya sudah tentu terbatas.

Sebagai barang publik waduk adalah barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yaitu melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, waduk disediakan oleh pemerintah disebabkan sistem pasar gagal dalam menyediakan barang tersebut. Sistem pasar tidak dapat menyediakan waduk karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati oleh banyak orang.

Dalam hal tertentu sangatlah penting untuk membedakan barang atas sifat penguasaannya, seperti barang-barang pribadi atau private dengan barang yang dimiliki atau dikuasai secara bersama (kolektif). Samuelson (1954) mendefinisikan barang publik sebagai “collective consumption good” sebagai berikut:

...[goods] which all enjoy in common in the sense that each individual’s consumption of such a good leads to no subtractions from any other individual’s consumption of that good...

Analog dengan public goods, juga dikenal istilah public bads, yakni hal-hal yang menciptakan efek eksternalitas negatif, seperti polusi dan korupsi dimana terdapat sifat-sifat dari properti yang non-excludability dan nonrivalness. Dalam ekonomi, public goodadalah barang yang tidak bersaing, dalam arti penggunaan barang oleh individu tidak mengakibatkan berkurangnya ketersediaan barang bagi orang lain.

Suatu jenis barang dinamakan barang publik, bila mengandung dua karakteristik utama, yaitu:

1. Penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry). Satu orang dapat meningkatkan kepuasannya dari barang ini tanpa mengurangi kepuasan orang lain yang juga menikmatinya dalam waktu bersamaan.

2. Tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability). Bila barang publik sudah tersedia, maka setiap orang dapat memanfaatkannya tanpa ada pengecualian.

Sedangkan barang kolektif (collective goods) atau disebut juga barang sosial (social goods) diartikan sebagai barang publik (public goods) yang dapat disediakan dalam bentuk barang privat (private goods) ataupun juga sebagai barang yang disediakan pemerintah dengan berbagai macam alasan (social policy) dan dibiayai oleh dana publik seperti pajak.

Sedangkan barang privat (private good) dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai barang yang memperlihatkan kepemilikan pribadi, serta memiliki ciri: (1)

excludable, tidak dapat dikonsumsi oleh setiap orang karena apabila di konsumsi oleh seseorang dapat mengurangi potensi konsumsi atau berakibat tidak dapat dikonsumsi oleh pihak lain, dan (2) terbatas (karena ada persaingan). Barang privat merupakan kebalikan dari barang publik (public good) karena hampir selalu bersifat eksklusif untuk mencapai keuntungan.

Selain hal di atas, dikenal pula Common good yang merujuk pada berbagai konsep. Dalam bahasa populer digambarkan sebagai barang yang spesifik yang dibagikan dan bermanfaat bagi (hampir) semua anggota suatu komunitas tertentu. Dalam ilmu ekonomi dianggap sebagai competitive non-excludable good(barang kompetitif yang tidak dapat dibuat eksklusif). Dalam Ilmu politik dan etika, mempromosikan common good berarti untuk keuntungan anggota-anggota

masyarakat (society) atau dalam ideologi negara kita “digunakan untuk sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat”, sehingga mengadakan/mengelola common good berarti menolong semua orang atau setidaknya mayoritas masyarakat, atau selaras dengan istilah kesejahteraan umum (general welfare). Sumberdaya yang dikelompokkan sebagai common pool resources (CPR) juga dikenal sebagai

common goods. Kadangkala club goods dan common goods juga dimasukan dalam definisi luas daripublic goods Barang-barang publik dalam pengertian luas (CPR, club goods, dan pure public goods) mencakup hal-hal seperti: pertahanan, penegakan hukum, pemadam kebakaran, udara bersih dan jasa-jasa lingkungan, mercusuar, informasi,software, penemuan, dan karangan tulisan.

Secara empirik, selalu saja ada barang yang dapat dikategorikan dalam berbagai kategori di atas. Namun istilah common goods sering disalahartikan dengan subtipepublic goods yang dikenal sebagaicollective goods(social goods) dan didefinisikan sebagai barang yang dapat dijadikan sebagai barang privat maupun barang yang disediakan pemerintah.

Isu pengelolaan barang publik (public good problems) menjadi perdebatan dan polemik ilmiah yang cukup panjang dan serius karena hal ini merupakan argumen penting yang akan menentukan peranan pasar di dalam ekonomi. Secara lebih teknis, permasalahan barang publik berkaitan dengan isu yang lebih luas yaitu eksternalitas.

Secara populer, the common goods menjelaskan secara spesifik barang yang dibagi dan dimanfaatkan untuk banyak orang pada suatu komunitas. Dalam ilmu ekonomi, common good digunakan secara kompetitif. Sedangkan public goods tidak sama dengan CPR karena adanya perbedaan kunci berkaitan dengan

manfaat dan akses terhadap sumberdaya tersebut. CPR adalah sumberdaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komunitas atau kelompok dimana pengelolaannya mendekati pengelolaanprivate property. Sedangkanpublic goods

bersifat non-excludability dan nonrivalry sehingga cenderung mengalami open acces dari manfaatnya seringkali dikuasai oleh kelompok-kelompok terkuat ataupun kelompok-kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan. CPR adalah salah satu kategori dari Impure public goods (quasi public goods) seperti saluran air, pantai, padang gembala, sungai, air tanah, dan hutan tropis (Ostrom,

et.al.,2002).

Common-pool resources diperkenalkan kembali secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom, et al (2002) yang menjelaskan bahwa karakteristik sumberdaya memiliki dua karakteristik utama:

1. Pertama, memiliki sifat substractibilityataurivalnessdalam pemanfaatannya, dalam arti setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. seperti batubara, minyak bumi, sumberdaya yang dapat diperbarui, ikan laut (ikan) serta udara, dimana semakin banyak orang dalam suatu ruangan akan menyebabkan kesesakan dan rasa tidak nyaman ketersediaan udara segar di ruangan tersebut.

2. Kedua, adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses sumberdaya pada pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries).

Pengaruh tersebut dapat bersifat signifikan atau tidak signifikan. Seperti udara segar pada dasarnya mempunyai sifatsubstractability, tapi dalam kehidupan di atas dunia pada ruang atmosfir, udara yang kita hirup seakan-akan udara yang

tidak terbatas. Di masa lalu, terutama di daerah-daerah yang berlimpah, air seakan tersedia secara tidak terbatas.

Masalah keterbatasan ini timbul karena adanya kecenderungan overuse

(penggunaan yang berlebihan) sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan

congestionyang terjadi akibat ketidakseimbangan antarasupplydandemand pada waktu-waktu tertentu. Kecenderungan overuse akan mengarah pada degradasi (kerusakan). Bila sumberdaya dipanen secara berlebihan, melebihi suatu titik kritis maka tidak dapat pulih, contoh tanah yang tererosi bila melebihi tolerable soil loss maka akan terjadi degradasi. Sumberdaya yang dipanen dengan laju melebihi kemampuan regenerasi alamiahnya di alam akan punah seperti hutan yang di tebang melebihi batas kemampuan suksesinya dan begitu juga ikan yang ditangkap nelayan.

Menyangkut ciri CPR yang kedua, yakni adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat, seperti halnya barang publik (public good) CPR memiliki permasalahan yang sama yaitu kehadiran free rider, yakni adanya pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kecenderungan free rider yang melampaui batas akan mengancam pada keberlanjutan sistem produksi.

Kecenderungan pemanfaatan berlebihan (overuse) dan adanya free rider

merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPR, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah

atau menghindarinya. Saat ini, CPR tidak hanya menyangkut SDA melainkan juga menyangkut sumberdaya buatan dan sumberdaya baru yang diciptakan manusia.

Salah satu tantangan penting dalam penatalaksanaan common-pool resources terletak pada fakta bahwa persediaan dan aliran sumberdaya ini seringkali sulit untuk dipastikan. Oleh karena digunakan pada skala geografis yang berbeda, dan dalam situasi yang bertentangan/konflik seperti pengguna hutan lokal merugi, ketika hutannya digunakan untuk produksi kayu. sehingga penggunaan CPR sering mengakibatkan eksternalitas bagi pihak lain. Melindungi

common-pool resources dari overuse menuntut adanya otoritas pengguna atau otoritas external yang mengatur penggunaannya. Menentukan aturan, membutuhkan usaha bersama dari seluruh pengguna. Hal tersebut menuntut banyak hal bagi semua pengguna yang akan memperoleh keuntungan dari aturan baru tersebut. Kelompok dengan tradisi saling percaya yang lebih erat dan komunitas yang lama memiliki institusi yang lebih baik. Ketika lembaga pengatur eksternal dan pengguna sumberdaya sama-sama menciptakan dan mendukung aturan, maka konflik dapat muncul diantara sistem aturan yang secara potensial membawa kehancuran pada sumberdaya. Privatisasi sering merupakan salah satu solusi untuk mencegah adanya overuse dari common pool resources, akan tetapi hal ini tidak dapat dilakukan sama di setiap daerah dengan karakteristik yang berbeda.

Tantangan dalam memprivatisasi common pool resources adalah menentukan sebuah rancangan institusi yang menjamin keberlanjutan dan efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya dengan karakteristik yang spesifik. Kita tidak dapat hanya menularkan sebuah rancangan institusional yang berhasil dalam

memanage sumberdaya di suatu tempat ke jenis sumberdaya lain di tempat yang berbeda untuk mendapatkan keberhasilan yang sama. Karakteristik khusus bagi

common-pool resources tertentu dan penggunanya mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana, semakin kecil skala sumberdaya, maka akan semakin mudah untuk merancang institusi dan untuk mencegahnya dari overuse dan perusakan. Begitu pula sumberdaya yang rumit dengan penggunaan interaktif dan eksternalitas negatif akan sulit untuk dikelola. Karakteristik individu pengguna, seperti preferensi dan aset, serta karakteristik kelompok (keeratan, tingkat kepercayaan, homogenitas, ukuran) mempengaruhi institusi.

Penggunaan common-pool resources dipengaruhi juga oleh institusi yang mengatur dari keberadaan teknologi. Karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi: berukuran kecil, stabil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan), sumberdaya tidak digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan dinamika sumberdaya yang dipahami dengan baik oleh pengguna.

Berdasarkan uraian di atas, dan berdasarkan kepemilikannya, Waduk Cirata, adalah barang publik yang dimiliki secara pribadi (private good) oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), anak perusahaan BUMN PT PLN, yang memproduksi listrik untuk wilayah Pulau Jawa dan Bali. Namun selain kepentingan di atas, PT PJB memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk memanfaatkan perairan sebagai sumberdaya perikanan melalui budidaya

ikan KJA. Keberadaan sumberdaya perikanan di Waduk Cirata merupakan CPR (common pool resources) yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan eksternalitas disebabkan overuse untuk mengerjar target produksi dan berakibat pada penurunan kualitas perairan.

Dokumen terkait