METODOLOGI TAFSIR MODERN ALA IZZAH DARWAZAHH
B. Respon Akademik Terhadap Gagasan Kronologi Pewahyuan al-Qur`ân
4. Surat al-Hajj
114
Abû 'Alî al-Fadl Bin al-Hasan al-Tabarsî, Majma' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, Jilid IV, Juz XIII, (Beirut-Lebanon: Mansyûrât Dâr Maktabah al-Hayâh, t.th.), h. 135
115
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur'ân, Jilid IV, Juz XIII, (Beirut, Dâr al-Shorouk, 1965), h. 2039. lihat juga Muhammad Hadi Ma'rifat, Sejarah al-Qur`ân, terj: Thaha Musawa (jakarta: al-Huda Press, 2007), h. 86.
116
Muhammad al-Tâhir Ibn 'Âsyûr, Tahrîr wa Tanwîr, Juz XIII, (Tunis: Dâr al-Tûnisiyah li al-Nasyr, t.th.), h. 76
117
Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.
Sebagaimana dengan surat sebelumnya, surat al-Hajj pada awalnya diposisikan sebagai surat Madaniyyah dalam urutan turun surat, dan termasuk dari salah satu surat yang diperselisihkan kedudukannya apakah masuk dalam kelompok Makkiyah ataukan Madaniyyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa surat ini Madaniyyah dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa surat ini Makkiyah. Kelompok yang berpegang pada pendapat pertama berpegang pada riwayat yang dinukil oleh al-Suyûtî yang dikeluarkan oleh Ibn Mardawaih melalui al-'Aufî dari Ibn 'Abbâs, juga melalui Ibn Juraij dan 'Utsmân dari 'Atâ` dan Ibn 'Abbâs, dan melalui Mujâhid dari Ibn al-Zubair, yang menyatakan bahwa surat al-Hajj adalah Madaniyyah.118 Adapun pendapat kedua didasarkan pada riwayat al-Nuhhâs dari Ibn 'Abbâs, yang oleh al-Suyûtî hadits ini sanadnya Jayyid karena semua perawinya merupakan orang-orang yang memiliki kredibilitas tsiqah.119
Dalam Mushaf Utsmânî standar Indonesia, setelah melalui berbagai pertimbangan terhadap riwayat dan pendapat ulama yang ada, sidang pleno Lajnah Pentashihan al-Qur`ân menetapkan bahwa surat ini masuk dalam kelompok Madaniyyah.120 Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa pada surat ini terjadi tumpang tindih antara Madaniyyah dan Makkiyah, lebih lanjut Jumhur ulama menyatakan bahwa sebagian besar ayatnya turun di Madinah.121
118
Al-Suyûtî, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jilid I, h. 26
119
Riwayat yang dimaksud berikut ini:
ﺔ ﻨﯾﺪﻤﻟﺎﺑ لﺰ ﻧ ﻦﮭﻧﺈ ﻓ ﺎ ﮭﻨﻣ تﺎ ﯾآ ثﻼ ﺛ ىﻮﺳ ﺔﻜﻤﺑ ﺖﻟﺰﻧ ﺞﺤﻟا ةرﻮﺳو لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ
ﻗ ﻦﻣ ﺮﻔﻧ ﺔﺘﺳ ﻲﻓ
ثرﺎ ﺤﻟا ﻦ ﺑ اةﺪ ﯿﺒﻋ ﻢﮭﻓ نﻮﻨﻣﺆﻤﻟا ﺎﻣﺄﻓ نوﺮﻓﺎﻛ ﺔﺛﻼﺛو نﻮﻨﻣﺆﻣ ﻢﮭﻨﻣ ﺔﺛﻼﺛ ﺶﯾﺮ
ﺔ ﻌﯿﺑر ﺎﻨﺑا ﺔﺒﯿﺷو ﺔﺒﺘﻋ زاﺮﺒﻠﻟ ﻢھﺎﻋد ﻢﮭﯿﻠﻋ ﷲا ﺔﻤﺣر ﺐﻟﺎﻃ ﻲﺑأ ﻦﺑ ﻲﻠﻋو ﺐﻠﻄﻤﻟاﺪﺒﻋ ﻦﺑ ةﺰﻤﺣو
ﻢ ﮭﺑر ﻲ ﻓ اﻮﻤﺼ ﺘﺧا نﺎﻤﺼ ﺧ ناﺬ ھ ﻦ ھ تﺎﯿﻧﺪ ﻣ تﺎ ﯾآ ثﻼﺛ ﻞﺟو ﺰﻋ ﷲا لﺰﻧﺄﻓ ﺔﺒﺘﻋ ﻦﺑ ﺪﯿﻟﻮﻟاو
ا تﺎﯾﻵا مﺎﻤﺗ ﻰﻟإ
ثﻼﺜﻟ
Lebih lengkapnya lihat Ahmad bin Muhammad bin Ismâ'îl al-Murâdî Al-Nuhhas Abû Ja'far, al-Nâsikh wa al-Mansûkh, Tahqîq Muhammad 'Abd al-Salâm Muhammad, (Kuwait: Maktabah al-Falâh, 1408), cet. ke-1, h. 561
120
Forum sidang pleno Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`ân yang dilaksanakan di Wisma Haji Tugu Bogor, pada tanggal, 26-28 Nopember 2007.
121
Namun oleh Darwazah dalam tafsirnya, surat ini diposisikan pada urutan ke 88 setelah surat al-Ra'd. Darwazah dalam hal ini cenderung mengikuti pola susunan kronologis surat yang juga diyakini oleh beberapa mufassir klasik seperti al-Bagawî, al-Naisâbûrî, al-Zamakhsyari, al-Tabarsi, al-Khâzin, al-Baidawi dan al-Nasafi yang berpendapat bahwa surat ini adalah surat Makkiyah dengan pertimbangan sisi gaya bahasanya. Hanya saja, beberapa di antara mereka menjadikan beberapa ayatnya Madaniyyah. Diantara ayat-ayat yang dianggap Madaniyyah adalah ayat 19-22,-dalam riwayat lain yaitu ayat 19-24,-kemudian ayat 38-41, 52-55, dan 58-60.122
Pengecualian beberapa ayat diatas kedalam Madaniyyah, bukannya tidak beralasan, akan tetapi didasarkan pada beberapa riwayat. Ayat 19-22 misalnya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Syaikhâni (Bukhari dan Muslim) dari Ali bin Abi Talib yang mengukuhkan bahwa ayat ini adalah Madaniyyah, dimana riwayat ini secara jelas menyatakan bahwa hadits ini turun pada peperangan Badar.123
Sayyid Qutb dalam komentarnya terhadap ayat 38-41, ia mengatakan bahwa ayat ini termasuk dalam kelompok Madaniyyah karena memuat masalah dibolehkannya berperang dan qisas, dimana kedua hal ini tidak diperbolehkan oleh Nabi kecuali pasca hijrah ke Madinah dan pasca berdirinya Daulah Islamiyah
122
Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 7-8.
123
Abû Ja'far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî al-Musammâ Jâmi' al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur`ân, Jilid 9, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1999), cet. ke-3, h. 123, adapun bunyi hadits yang dimaksudkan disini adalah:
لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺐﻟﺎﻃ ﻲﺑأ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﻦﻋ
:
ﺔﻣﻮﺼﺨﻠﻟ ﻦﻤﺣﺮﻟا يﺪﯾ ﻦﯿﺑ ﻮﺜﺠﯾ ﻦﻣ لوأ ﺎﻧأ
ﻮﯾ
ﺔﻣﺎﯿﻘﻟا م
.
ﺖﻟﺰﻧ ﻢﮭﯿﻓو ﺲﯿﻗ لﺎﻗ
﴿
ﻢﮭﺑر ﻲﻓ اﻮﻤﺼﺘﺧا نﺎﻤﺼﺧ ناﺬھ
﴾
.
اوزرﺎ ﺑ ﻦﯾﺬ ﻟا ﻢ ھ لﺎ ﻗ
ﺔﺒﺘﻋ ﻦﺑ ﺪﯿﻟﻮﻟاو ﺔﻌﯿﺑر ﻦﺑ ﺔﺒﺘﻋو ﺔﻌﯿﺑر ﻦﺑ ﺔﺒﯿﺷو ةﺪﯿﺒﻋو ةﺰﻤﺣو ﻲﻠﻋ رﺪﺑ مﻮﯾ
Lihat: Muhammad bin Ismâ'îl Abû Abdullah al-Bukhârî al-Ju'fî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), cet. ke-3, h. 1769, dengan nomor hadits 4467. Lihat juga Muslim bin al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Nîsâbûrî, Sahîh Muslim, Juz 4, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-'Arabî, t.th.), h. 2323, dengan nomor hadits 3033
di Madinah.124 Selain itu, terdapat pula riwayat lain melalui Ibn 'Abbâs yang dikeluarkan oleh al-Tirmizî yang menerangkan ayat tersebut adalah Madaniyyah.125
sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini turun dalam perjalanana hijrah ke Madinah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hassâr. Dengan demikian hadits ini secara tidak langsung menguatkan pendapat bahwa ayat ini Madaniyyah.
Argumentasi mengenai diturunkannya ayat 52-55 ini di dasarkan pada sebuah riwayat dari Ibn 'Abbâs yang mengisahkan tentang kisah fiktif Garâniq
yang terjadi pada saat perang badar.126 Mengenai kisah Garâniq yang dimaksudkan dalam riwayat tersebut menuai kontrofersi, karena kisah tersebut merupakan bagian dari kisah-kisah buatan.127
Sedangkan ayat 58-60, sebagian ulama tafsir berpendapat bahwa ketiga ayat tersebut turun pada waktu orang-orang Muslim berhadapan dengan kaum musyrikin tatkala mereka (kaum Muslim) dalam perjalanan hijrah yang bertepatan dengan bulan-bulan yang diharamkan, dan mereka terlibat pertempuran untuk membela diri setelah kaum musyrik mengabaikan perjanjian yang telah disepakati bersama untuk tidak berperang dalam bulan-bulan yang diharamkan. Dalam hal
124
Komentar dan pendapat Sayyid Qutb ini dapat dilihat dalam: Sa'îd Hawwâ, Asâs fî al-Tafsîr, Jilid VII, (Kairo: Dâr al-Salâm li al-Tabâ'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî' wa al-Tarjamah, 1985), cet. ke-1, h. 3519
125
Adapun lafazh hadits yang dimaksudkan adalah:
لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ
:
ﺮﺧأ ﺮ ﻜﺑ ﻮ ﺑأ لﺎ ﻗ ﺔﻜﻣ ﻦﻣ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا جﺮﺧأ ﺎﻤﻟ
اﻮ ﺟ
ﷲا لﺰﻧﺄﻓ ﻦﻜﻠﮭﯿﻟ ﻢﮭﯿﺒﻧ
﴿
ﺮﯾﺪ ﻘﻟ ﻢھﺮﺼ ﻧ ﻰ ﻠﻋ ﷲا نإو اﻮﻤﻠﻇ ﻢﮭﻧﺄﺑ نﻮﻠﺗﺎﻘﯾ ﻦﯾﺬﻠﻟ نذأ
﴾
لﺎ ﻘﻓ ﺔ ﯾﻵا
لﺎﺘﻗ نﻮﻜﯿﺳ ﮫﻧأ ﺖﻤﻠﻋ ﺪﻘﻟ ﺮﻜﺑ ﻮﺑأ
Muhammad bin 'Îsâ al-Tirmidzî al-Sulamî, al-Jâmi' al-Sahîh Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turats al-'Arabî, t.th.), h. 325, dengan nomor hadits 3171,
126
Mengenai riwayat yang menerangkan hal tersebut dapat di lihat dalam: Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Tabarî, al-Mu'jam al-Kabîr, Juz XII, (Irak: Maktabah al-'Ulûm wa al-Hikam, 1983), dengan nomor hadits 12450, h. 53
127
ini terdapat beberapa riwayat yang nelatar belakangi turunnya ayat tersebut, diantaranya riwayat yang dikeluarkan oleh ibn Hâtim dari Salmân al-Fârisî.128
Akan tetapi menurut Darwazah ketika mengomentari pendapat para ulama tafsir diatas, dengan melihat pada sisi gaya bahasanya, ia menyatakan bahwa ayat 19-24 misalnya, lebih menunjukkan pada Makkiyah daripada Madaniyyahnya, dengan alasan hadits yang diriwayatkan oleh al-syikhâni ini, tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan riwayat tersebut dengan jelas. Sedangkan jika melihat pada gaya bahasa dan karekter ayat, jelas menunjukkan keMakkiyahan ayatnya. Selain itu dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan akan ancaman siksaan di akhirat kelak serta hadits yang menjelaskan ayat tersebut mengindikasikan akan fenomena akhirat dan itu semua adalah kodrat Allah Swt.129
Demikian juga dengan ayat 52-55, ia mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, dimana ayat sebelumnya mengisahkan tentang sikap, pengingkaran dan tantangan kaum kafir terhadap ajaran yang dibawah oleh Nabi, kemudian diakhiri dengan penetapan atas tugas Nabi sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat ini sebagai penjelas bahwa setiap Nabi dan Rasul yakin dengan ajaran yang dibawahnya dapat menjadikan ummatnya merasa tenang dan tentram. Kemudian ayat setelahnya juga memperkuat pendapat ini, dimana ayat setelahnya mengindikasikan bahwa ayat ini turun sebagai perintah untuk berhijrah ke
128
Salah satu hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat 58-41 ini adalah:
ﻂﻤﺴﻟا ﻦﺑ ﻞﯿﺒﺣﺮﺷ ﺎﻨﺛﺪﺣ لﺎﻗ
:
ﻲ ﺑ ﺮ ﻤﻓ موﺮ ﻟا ضرﺄ ﺑ ﻦﺼ ﺣ ﻰﻠﻋ ﺎﻨﺘﻣﺎﻗإو ﺎﻨﻃﺎﺑر لﺎﻃ
لﺎﻘﻓ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﻲﺳرﺎﻔﻟا ﻲﻨﻌﯾ نﺎﻤﻠﺳ
:
لﻮ ﻘﯾ ﻢﻠ ﺳو ﮫ ﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠ ﺻ ﷲا لﻮ ﺳر ﺖﻌﻤ ﺳ ﻲ ﻧإ
:
ﷲا ىﺮﺟأ ﺎﻄﺑاﺮﻣ تﺎﻣ ﻦﻣ
اوؤﺮ ﻗاو ﻦﯿﻧﺎ ﺘﻔﻟا ﻦ ﻣ ﻦﻣأو قزﺮﻟا ﮫﯿﻠﻋ ىﺮﺟأو ﺮﺟﻷا ﻚﻟذ ﻞﺜﻣ ﮫﯿﻠﻋ
ﻢﺘﺌﺷ نإ
﴿
اوﺮﺟﺎھ ﻦﯾﺬﻟاو
ﺮﯿﺧ ﻮﮭﻟ ﷲا نإو ﺎﻨﺴﺣ ﺎﻗزر ﷲا ﻢﮭﻨﻗزﺮﯿﻟ اﻮﺗﺎﻣ وأ اﻮﻠﺘﻗ ﻢﺛ ﷲا ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓ
ﻦﯿﻗزاﺮﻟا
*
ﻢﯿﻠﺣ ﻢﯿﻠﻌﻟ ﷲا نإو ﮫﻧﻮﺿﺮﯾ ﻼﺧﺪﻣ ﻢﮭﻨﻠﺧﺪﯿﻟ
﴾
Lebih jelasnya riwayat-riwayat lain yang berkaitan dengan turunnya ayat dapat di lihat dalam: Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, h. Juz III, h. 311
129
Madinah setelah Nabi dan pengikutnya mendapatkan tekanan dari kaum kafir quraisy.130
Sedangkan ayat 38-41 dan 58-60 lebih cenderung mengarah kepada Madaniyyah, namun menurutnya terdapat kemungkinan juga termasuk ayat Makkiyah, terutama ayat 38-41, meskipun terdapat riwayat yang mengindikasikan ayat ini adalah Madaniyyah, akan tetapi menurut Darwazah riwayat tersebut juga mengindikasikan akan kaum musyrik Quraisy yang memerangi kaum Muslim ketika di Mekkah. Surat ini juga mengisyaratkan tentang orang-orang yang melakukan hijrah di jalan Allah kemudian mereka mati ataupun dibunuh. Dan jika memang termasuk ayat Madaniyyah, maka konteks ayat seharusnya diletakkan sesuai dengan konteks ayat Madaniyyah yang menerangkan sikap orang-orang kafir setelah hijrah. Darwazah juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan keluarnya mereka dari tempat tinggal mereka disini adalah hijrahnya mereka ke Habasyah disebabkan adanya tekanan dan penganiayaan dari orang-orang kafir.131
Adapun ayat 25-27 memang sudah jelas menunjukkan Madaniyyah, bahkan hampir tidak ada indikasi Makkiyahnya. Walau bagiamanapun juga, Darwazah tetap menganggap bahwa mayoritas bahkan hampir semua gaya bahasa dan kandungan ayatnya menunjuk pada Makkiyah.132
Dalam hal ini agaknya Darwazah tetap mempertahankan kesatuan surat dengan tidak memedulikan status ayat lain yang berbeda, dengan alasan selama hal itu tidak banyak berpengaruh kepada ayat-ayat lainnya, maka tidak dipakai oleh Darwazah sebagai pertimbangan dalam memposisikan surat tersebut kedalam kelompok Makkiyah ataupun Madaniyyah.
Alasan penempatan seperti ini oleh Darwazah lebih diperkuat lagi dengan terdapatnya dua ayat yaitu ayat 18 dan 77 yang termasuk ayat sajadah yang
130
Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 65-66
131
Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts, juz VI, h. 55-59
132
merupakan salah satu ciri khas dari surat Makkiyah,133 yang diperkuat oleh beberapa riwayat yang menyatakan bahwa dalam surat ini terdapat dua ayat sajadah. Riwat-riwayat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abû Dawud, al-Tirmidzî, dan al-Hâkim dari 'Uqbah bin 'Amir yang maksud haditsnya: 'Uqbah bin 'Amir berkata kepada Nabi bahwa dalam surat al-Hajj terdapat dua ayat sajadah, dan Nabi mengiyakannya, akan tetapi menurut syaikh al-Albâni hadits ini statusnya dha'îf.134 Dan masih terdapat hadits senada yang diriwayatkan oleh Ahmad dari jalan yang sama dan Abu Bakr Ismâ'îlî dari jalan Abî al-Jahm.135