• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tren Penafsiran

Dalam dokumen Syuhada Subir Metodologi Tafsir Al Qur (Halaman 44-50)

METODE TAFSIR AL-QUR`ÂN PADA MASA MODERN

B. Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân

1. Tren Penafsiran

tren atau kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah suatu warna, arah, atau kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus menggambarkan latar belakang intelektual penafsirnya, dengan kata lain tren merupakan gambaran umum tentang arah pemikiran mufassir.23

Berbicara mengenai tren atau kecenderungan mufassir, maka akan ditemukan pembagian yang dilakukan oleh sarjan Muslim maupun sarjana Barat. Misalnya dari sarjan Barat dikenal Ignaz Goldziher dalam karyanya Madzahib al-Tafsîr, Goldziher berasumsi bahwa terdapt lima kecenderungan dalam penafsiran al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsiran yang menggunakan bantuan hadits Nabi dan Para sahabat; (2) Penafsiran Dogmatis; (3) Penafsiran Mistik; (4) Penafsiran Sektarian; dan (5) Penafsiran Modern.24 Akan tetapi Goldziher dalam karya ini, belum

23

Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2008), cet. ke-1, h. 60, Liihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388

24

Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr, (Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I. Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam mendukung

membahas kecenderungan yang berkembang pasca Muhammad Abduh.25 Selain Goldziher, J.J.G. Jansen mengkategorisasikan kecenderungan mufassir pada masa modern kedalam tiga kecenderungan, yaitu (1) Penafsiran yang bernuansa sosial kemasyarakatan; (2) Penafsiran Saintifik; dan (3) Penafsiran filologik.26

Sedangkan dari kalangan sarjan Muslim, yang dianggap sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern adalah Muhammad Ibrâhîm Syarîf, yang mengkategorisasikan kecenderungan ini kedalam tiga kategori, yaitu: (1) al-Ittijâh al-Hidâ`î (tren kehidayaan al-Qur`ân); (2) al-Ittijâh al-Adabî (tren filologi dan sastra); (3) al-Ittijâh al-‘Ilmî (tren saintifik).27

Lain halnya dengan pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Husein al-Zahabî, yang mengemukakan tujuh macam kecenderungan yang berkembang dalam ranah ilmu tafsir, yaitu:28tafsîr bi al-ma`tsûr, tafsîr bi al-ra`yi, tafsîr sûfî,29 tafsîr fiqhî,30tafsîr falsafî,31tafsîr ‘ilmî,32 dan tafsîr adab ijtimâ’i.33

aliran Muktazilah. Akan tetapi jika dilihat pada sumbangsihnya terhadap penafsiran filologis, tafsir ini mempunyai peranan sangat penting dalam analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur`ân. Karena menurut Jansen al-Zamakhsyari merupakan tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap al-Qur`ân setelah Abu Ubaidah. Lebih lanjut lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 5-6

25

Selain Goldziher, terdapat pula sarjana Barat yang dianggap belum secara komprehensif memaparkan tentang perkembangan kecenderungan di era modern seperti J.M.S. Baljon. Lebih lanjut lihat J.M.S. Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), dan J. Jomier yang hanya mefokuskan kajiannya dalam penelitian yang dilakukan pada penafsiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, hal ini juga diungkapkan oleh J.J.G. Jansen dalam pengantar bukunya dan sekaligus sebagai alasan dia dalam menulis bukunya sebagai kelanjutan dari penelitian yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. vii

26

J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 96 Pembagian yang dilakukan oleh Jansen ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Iffat Syarqawi, akan tetapi Jansen menjelaskan dalam catatan kaki pada pengantar bukunya, mengatakan bahwa ia baru menemukan buku Iffat Syarqawi ketika ia hampir selesai dalam merampungkan karya yang merupakan hasil penelitiannya selama satu tahun sejak 1966-1967. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. ix

27

Adapun penjelasan lebih detail dari ketiga kecenderung yang dikategorisasikan oleh Ibrâhim Syarîf, lihat Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, h. 229-441

28

Muhammad Husein al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, 1976), h. 20. Sedangkan M. Quraish Shihab, menyebutkan terdapat enam corak atau kecenderungan tafsir yang dikenal hingga saat ini, yaitu: corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqhi atau hukum, corak tasawuf, corak sastra dan budaya

Kemunculan tren adabi ijtimâ’i atau hidâ`i, disebabkan problem yang dihadapi oleh umat Islam saat itu, yang mengalami kemunduran dan terpecah belah, dan dominasi Barat atas pemerintahan Islam dalam berbagai sektor kehidupan, seperti budaya, ekonomi dan militer. Oleh karena itu-permasalahan ini-mendorong munculnya paradigma baru dalam memperbaiki dan membangkitkan kembali kondisi umat Islam dari keterbelakangan tersbut.

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para reformis Islam ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama pendahulunya, ketika umat yang dihadapinya menghadapi sebuah problem. Namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan diantara keduanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Iffat Syarqawi, bahwa mufassir klasik lebih cenderung menggunakan pendekatan filosofis dalam banyak hal untuk menghadapi kemasyarakatan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72

29

tafsîr sûfî adalah tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur`ân dari sudut esoterik atau isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya. Tasir jenis terbagi kedalam dua macam, yaitu: 1) tafsir sufi yang didasarkan pada tasawuf teoritis yang cenderung menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan teori-teori atau paham-paham tasawuf yang pada umumnya bertentangan dengan makna lahiriyah ayat dan menyimpang dari struktur kebahasaan; 2) tafsir sufi yang didasarkan pada tasawuf praktis, yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur`ân berdasarkan isyarat-isyarat samar yang tampak oleh sufi dalam suluknya. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, (Jakarta: PSW UIN Jakarta & IISEP, 2005), h. 236

30

tafsîr fiqhî adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum (fiqhi) dari al-Qur`ân. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, h. 233

31

tafsîr falsafî adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur`ân berdasarkan pendekatan filososfis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur`ân, atau tafsir yang menfasirkan al-Qur`ân berdasarkan pandangan filosof dan dihubungkan dengan masalah-masalah filsafat. Lihat M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 182-183

32

tafsîr ‘ilmî adalah penafsirkan al-Qur`ân yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, atau ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat yang terkait dengan sains atau yang dekenal dengan ayat-ayat kauniyah. Dengan kata lain usaha para mufassir untuk mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dengan temuan-temuan sains dan teknologi. Lihat Alimin Mesra et.al., Ulûm al-Qur`ân, h. 235

33

tafsîr adab ijtimâ’i adalah tafsir yang menitikberatkan pada penjelasaan ayat-ayat al-Qur`ân pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat al-Qur`ân tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan pokok dari tujuan-tujuan yang dimaksud al-Qur`ân, yaitu selaku petunjuk dalam kehidupan; kemudian mengaitkan pengertian ayat dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 124

tantangan zamannya, sedangkan para mufassir modern lebih menekankan pada gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat, dengan mengelaborasi temuan-temuan muafssir klasik kemudian mengemasnya dengan baik.34

Adapun penafsiran saintifik, kecenderungan model ini dalam penafsiran al-Qur`ân sebenarnya telah lama dikenal. Jika ditelisik lebih jauh, cikal bakal permulaan penafsiran ini telah ada pada masa khalifa al-Ma`mun (w. 853 M) yang mana pada masa khalifah ini penerjemahan kitab-kitab ilmiah dari Eropa kedalam bahasa Arab digalakkan.35 Pola penafsiran ini didasarkan pada asumsi bahwa berbagai macam penemuan seperti sains dan teknologi modern telah tersadur dalam al-Qur`ân, dan ditemukannya banyak referensi-referensi yang jelas terntang temuan-temuan tersebut dalam al-Qur`ân, seperti kosmologi Copernicus hingga kandungan-kandungan listrik, dari keteraturan reaksi-reaksi kimia hingga bakteri-bakteri yang dapat menimbulkan penyakit.36

Tren penafsiran model ini menuai pro dan kontra tentang pengabsahannya dikalangan mufassir baik klasik maupun modern. Para pendukung model penafsiran ilmiah ini sering mengutip statemen al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Jawâhir al-Qur`ân guna membela keabsahannya, dalam bukunya ini al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Qur`ân hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya. Sebagaimana seseorang tidak akan dapat memahami al-Qur`ân tanpa memiliki pengetahuan tentang tata bahasa Arab, demikian pula seseorang tidak dapat memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang bunyi artinya “dan apabila aku

34

Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A’mâl al-Mufassirîn, (t.tp.: Maktabah al-Syabâb, 1980), h. 80

35

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 101. Sedangkan menurut Jansen, munculnya tafsir ilmiah modern merupakan pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 67

36

Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi PemikiranKeagamaan & Kebudayaan, No. 18, Tahun 2004, h. 68

sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”,37 jika ia tidak mengerti ilmu kedokteran.38 Diantara ulama ataupun mufassir yang digolongkan pendukung tafsir ilmiah ini adalah al-Râzî, al-Mursi, al-Suyûtî, al-Ghazâlî, serta Muhammad Abduh dan Tantawi Jauhari. Sedangkan yang menolak penafsiran ilmiah ini diantaranya adalah Muhammad Rasyid Rida, Amin al-Khûlî, Mahmud Syaltut, Sayyid Qutub, Izzat Darwazahh dan lainnya.39

Para ulama ataupun mufassir yang tidak mengakui keabsahan model penafsiran ini, karena mereka memandang bahwa 1) Secara leksikografik, penafsiran saintifik tidak dapat diterima, karena ia secara salah mengaitkan “makna-makna modern” pada kosa-kata al-Qur`ân; 2) Mengabaikan konteks kata-kata dan frase-frase dalam teks al-Qur`ân dan asbâb al-nuzûl; 3) Kurang memperhatikan fakta bahwa al-Qur`ân dapat dipahami oleh audiens pertama; 4) Tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai dengan karakter dasarnya selalu tidak sempurna dan berkembang, karena itu mengadopsi pengetahuan dan teori-teori saintifik dari ayat-ayat al-Qur`ân akan berimplikasi pada pembatasan validitas ayat-ayat tersebut untuk masa dimana temuan-temuan saintifik itu diterima; 5) Kegagalan dalam memahami bahwa al-Qur`ân bukan kitab ilmu pengetahuan, tetapi kitab Agama yang di desain untuk membimbing manusia dengan memberikan kepada mereka sistem keyakinan dan nilai-nilai moral.40

37

Q.S. 26 : 80, adapun redaksi ayat tersebut adalah:

     38

Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur`ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Ihyâ` al-‘Ulûm, 1985), h. 45

39

Ahmad ‘Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr ‘Ilmi Li Qur`ân fî Mîzan, (Beirut: Dâr al-Kutaibah, 1991), h. 295-336.

40

Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 71-72. Untuk informasi tentang tanggapan dan kritikan terhadap tafsir ‘ilmi serta argumentasinya, lebih lanjut lihat ‘Abd Majîd Abd Salam al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-‘Asr al-Râhin, (‘Ammân-Yordan: Mansyûrât Maktabah al-Nahdah al-Islâmiyah, 1982), cet. ke-2.

Polemik-polemik yang terjadi antara yang pro dan kontra terhadap penafsiran saintifik ini pada akhirnya melahirkan sikap kompromistik, sebagaimana yang di lakukan oleh Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa al-Qur`ân memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan, namun demikian al-al-Qur`ân tidak bisa di perlakukan sebagai sebuah kitab ilmu pengetahuan. al-Qur`ân lebih merupakan kitab petunjuk daripada teori-teori ilmu. Oleh karena itu memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan penemuan-penemuan baru merupakan ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur`âniyah

dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketenteuan bahasa.41 Pada dasarnya-terlepas dari pro-kontra yang terjadi-upaya yang dilakukan oleh para mufassir ilmiah ini adalah keinginan untuk membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban modern.42

Sedangkan penafsiran filologik dan sastra ini sebenarnya telah dimulai sejak awal abad modern oleh penganut tren sosial kemasyarakatan yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan al-Marâghi. Akan tetapi belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah yang sistematis sebagaimana yang berkembang setelahnya, akan tetapi masih sebatas pengungkapan retorika Qur`ân, karena menurut mereka tujuan dari tafsir al-Qur`ân adalah mewujudkan hidayah al-al-Qur`ân. Dan tidak salah kiranya jika dikatakan tren ini mencapai puncak kematangannya pada masa Amin al-Khûli, karena dialah yang mengembangkan tren ini secara sistematis. Hal ini dapat dilihat dari pandangan al-Khûli yang menyatakan bahwa al-Qur`ân merupakan kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting (Kitâb al-‘Arabiyah al-Akbar wa Atsaruha al-Adabi al- A‘zham), oleh karena itu dia mengatakan dalam mengkaji al-Qur`ân ada dua hal yang fundamental harus

41

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 60

42

dilakukan, yaitu: 1) mengeksplorasi latarbelakang historis dan situasi-situasi awal pewahyuan; 2) Menetapkan makna yang tepat untuk kata per kata teks (al-Qur`ân) sebagaimana yang dipahami oleh audiens pertama, dengan memperhatikan seluruh pengetahuan yang relevan dan dihimpun dalam metode ini.43

Meskipun al-Khûli hingga akhir hayatnya tidak meninggal karya tafsir yang menjabarkan akan ide dan metodenya, tetapi para murid-muridnya dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam karya mereka, misalnya ‘Âisya ‘Abd al-Rahman Bintu al-Syâti`î44 dan Muhammad Ahmad Khalafullah45.

Dalam dokumen Syuhada Subir Metodologi Tafsir Al Qur (Halaman 44-50)