• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN APHT ATAS TANAH SEBAGAI

B. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Sebagaimana diketahui bahwa hak tanggungan adalah dituangkan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) berbentuk yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai bukti tentang pemberian hak tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang

melengkapi dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok. Dalam pembuatan APHT dilakukan oleh debitur atas objek jaminan kredit, yang dapat juga dilakukan oleh pihak bank (kreditur) atas dasar kuasa yang diberikan oleh debitur dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Menurut Pasal 1792 KUH Perdata, memberikan batasan, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, ”untuk atas namanya”, menyelesaikan suatu pekerjaan.

Dari definisi ini dapat diketahui bahwa perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak. Kemudian makna kata-kata ”untuk atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 KUH Perdata).114

Kemudian dalam Pasal 1793 KUH Perdata menentukan bahwa suatu surat kuasa, dapat dibuat antara lain, dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dalam hal tertentu, pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa, terikat pada syarat-syarat formil, surat kuasa yang harus otentik.

114

Djaja S. Meliala, Penuntut Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab-Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hal. 7. Selanjutnya dinyatakan Namun, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada orang (pihak III), ada perbuatan yang tidak dapat diwajibkan, sebagai contoh, mislanya dalam membuat testamen (Pasal 932 KUH Perdata), melangsungkan perkawinan, kecuali ada alasan penting sebagaimana diatur dalam Pasal 79 KUH Perdata, mengakui atau mengangkat anak (Adopsi).

Menurut Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat dengan akta otentik. Di dalam pelaksanaannya akta otentik itu adalah akta notaris. Tidak demikian halnya untuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), karena menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, dapat dibuat dengan akta notaris, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:

(a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak tanggugan;

(b) tidak memuat kuasa subtitusi;

(c) mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.

Konsekuensinya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, dari penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT, bahwa tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pembuatan Hak Tanggungan (APHT). Selanjutnya, di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu dikemukakan bahwa PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat akta pemberian hak tanggungan, apabila surat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan seperti di atas.

Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksp1isit ditentukan, misalnya berupa salah satu ayat dari pasal UUHT:

1. Pasal 15 ayat (6) UUHT menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” apabila SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) dari Pasal 15 UUHT tersebut.

2. Pasal 12 UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi Hukum” cidera janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji.

3. Pasal 20 ayat (4) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” bagi dimuatnya janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada Pasal 20 ayat (1), ayat (2) ayat (3) UUHT.

Untuk kepentingan debitur, antara kuasa memasang hipotek dengan pemasangan hipotik tidak dibatasi waktunya. Sebaliknya, kuasa membebankan hak tanggungan dibatasi dengan waktu, yaitu satu bulan untuk tanah yang sudah terdaftar dan tiga bulan untuk tanah yang belum terdaftar bila tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan akan batal demi hukum Pasal 15 ayat (3) dan (6) UUHT.115

115

Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah

pada Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996, hal. 45.

Di dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT dinyatakan bahwa dalam SKMHT tidak memuat kuasa substitusi. Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut UUHT adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain.

Menurut Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, suatu surat kuasa dapat dilimpahkan (substitusi) oleh penerima kuasa kepada orang lain (pihak ketiga). Pada umumnya surat kuasa selalu diberikan dengan klausul, ”surat kuasa ini diberi hak substitusi”. Jika penerima kuasa tidak diberi wewenang untuk itu, tapi kemudian ia melimpahkannya kepada orang lain maka pelimpahan itu tidak sah. Kecuali untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa.

Alasan-alasan bank tidak langsung membebankan hak tanggungan pada tanah yang menjadi agunan kredit, tetapi hanya meminta SKMHT dari pemberi hak tanggungan adalah biaya pembebanan hipotik (hak tanggungan) dirasakan sangat mahal oleh nasabah debitur. Oleh karena itu, nasabah debitur merasa berkeberatan apabila bank mengharuskan agar dilakukan langsung pembebanan hak tanggungan di atas agunan yang diserahkan oleh nasabah debitur. Alasan lain adalah tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar dan belum bersertifikat. Sehingga pengurusan dan penerbitan sertifikatnya biasanya memakan waktu yang sangat lama, sementara itu kredit sudah segera diperlukan.

Oleh karena itu, sementara penerbitan sertipikat masih dalam proses, bank mengikat debitur dengan meminta terlebih dahulu SKMHT.116

Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak bai, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri.117

Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah kreditur dapat membebani hak tanggungan di atas tanah yang telah diagunkan untuk krediturnya itu.118

116

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan..., op. cit., hal. 117-118.

117Ibid., hal. 120. 118

C. Pelaksanaan APHT Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit di PT. Bank

Dokumen terkait